Teng.. teng.. teng
Jam kayu mahoni berdentang tiga kali. Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Seluruh muka bumi pun bermandikan matahari. Embun menetes dari dedaunan. Pohon mangga di ujung jalan merekahkan ujung tangkainya seakan bertambah tinggi lima sentimeter.
Semua makhluk memulai hari. Induk burung pergi meninggalkan sarangnya, mencari santapan pagi. Para ibu bergegas menyiapkan sarapan pagi untuk anak dan suami. Terang seakan menjadi pertanda mulainya hari namun, tidak untuk rumah tua itu.Tiada sinar yang masuk, kecuali melalui lubang ventilasi. Jendela - jendelanya ditutup rapat oleh tirai beludru putih. Pintu ruangan dan pagar depan terkunci rapat seakan si pemilik rumah telah lama menelantarkannya. Namun, rumah itu ada penghuninya.
Abimanyu Santoso masih berbaring di tempat tidurnya. Matanya menerawang langit - langit kamar. Tangannya meraih gelas kaca di meja samping kasur, tidak ada air. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Umur tua telah melahap tak hanya memori, tapi juga gairahnya.
Abi segera keluar kamar untuk mengambil air. Setiap lantai kayu yang ia langkahi berderit. Tangan kanannya berpegangan pada tembok. Sulit berjalan lurus dalam kegelapan rumah itu,ditambah lagi matanya kini sudah tak seawas dahulu.
Teng.. teng .. teng
Jam kayu mahoni berdentang memecah kesunyian rumah tua itu. Abi menenggak minumannya sambil duduk di meja makan. Mata hitam perempuan di lukisan menatapnya dengan tajam. Abi bergidik merinding. Kepalanya berdenyut - denyut bila teringat akan peristiwa itu. Ia mungkin sudah pikun namun luka hati akan selalu mengingatkan kesalahannya.
" Abi, "
Abi tersentak, suara itu.. sudah lama ia tak mendengarnya.
" Abi, " panggil suara itu lagi.
Kini ia telah beranjak dari tempat duduknya. Tubuhnya yang ringkih tak terasa selemah itu lagi. Ia menyusuri lorong rumah, mencoba mencari asal suara yang sangat ia rindukan.
Sungguh mustahil, pikirnya.
" Abimanyu ! " seru suara itu semakin keras.
Abi kini berlari karena suara itu semakin jauh, semakin hilang.
Brukkk !
Ia terpeleset. Tubuhnya berguling sepanjang anak tangga sampai akhirnya terhempas ke lantai bawah. Kepalanya terasa berat karena telah terhantam berkali - kali. Ia memegang bagian belakang tempurungnya. Darah bercucur, Abi menatap pasrah bercak di jarinya.
Teng.. teng.. teng
Jam itu berdentang lagi. Jarum panjang dan pendeknya berputar cepat berlawanan arah. Abi mencoba mengangkat badannya tapi hasilnya nihil. Ia juga mencoba berteriak minta tolong tapi hasilnya nihil. Ia merebahkan kepalanya dan menarik napas panjang.
***
Ada suara berdenging di telinga Abi, sejenis yang kita rasakan bila tidak mengunyah permen karet di pesawat. Ia merasa tubuhnya diguncang - guncangkan. Segera ia membuka matanya.
" Abi, ayo bangun " kata wanita itu lembut.
Abi tertegun. Matanya melotot tak percaya. Mulutnya menganga kesulitan mencari kata.
" Kok malah bengong, sih ? Ayo cepat mandi nanti kamu terlambat loper koran, " katanya heran, " Elang sudah menunggu di luar tuh " lanjutnya.
Perempuan itu berbalik badan. Sungguh keajaiban. Ia terlihat persis seperti yang Abi ingat. Kulit gelap, rambut hitam lurus sampai ke pinggang.
" Ka.. kak ? Kak Sen..ja ? " sahut Abi terbata - bata.
Senja menengok ke arahnya dan tersenyum. Ia melambaikan tangannya, mengisyaratkan Abi untuk bergegas.
***
Abi menatap bayangannya di cermin lekat - lekat. Tidak ada lagi kerutan di wajahnya. Rambutnya yang hampir memutih kini hitam semua. Meski masih mengantuk, ada api yang membara di matanya, yaitu semangat pemuda usia remaja.
Bagaimana bisa ?
Abi mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari bak mandi. Setelah selesai, ia mengenakan seragamnya ketika meloper koran : kaus lengan panjang dan celana pendek yang agak kebesaran untuknya. Senja sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Hanya mi instan yang mampu mereka beli setiap hari.
Seorang laki - laki muda duduk di bangku plastik meja makan. Perawakannya tinggi dan kekar. Cambang di wajahnya menggambarkan bahwa usianya sudah tua walau umurnya masih 17 tahun. Matanya menelusuri langit - langit, memperkirakan berapa lama lagi atap rumah itu akan bobrok.
" Elang ? " kata Abi.
Abi segera memeluknya ketika Elang beranjak dari tempat duduk.
" Lah, kamu ini kenapa ? " jawab Elang dalam aksen Batak yang sangat kental.
" Tidak apa. Hanya merasa seperti sudah 60 tahun saja kita tidak bertemu " kata Abi sambil mengusap air matanya.
Elang menggelengkan kepala, " Bi, aku tahu aku kita ini sahabat baik tapi, tidak begitu juga kali ".
Mereka tertawa. Senja menaruh dua mangkuk mi kuah di meja.
Elang pun berkata, " Makasi, Kak. Tapi kita harus buru-buru. Sudah telat ini ! "
Pagi buta itu, Abi dan Elang pun berangkat meloper koran ke kompleks elite naik sepeda. Abi tak bisa berhenti tersenyum. Kini ia punya kesempatan kedua.
***
Elang menghempaskan sepedanya ke tanah. Kakinya lesu sehabis mengayuh sampai siang. Elang segera menuju ke gubuk kosong di tengah sawah, tempat langganannya dan Abi beristirahat sehabis meloper koran. Ia mengeluarkan botol air dan menyodorkannya ke Abi. Abi menghabiskannya dalam 10 detik.
" Jangan capek dulu, Bi. Kita masih harus antar koran lagi "
" Iya, Lang " kata Abi terengah - engah.
Elang merogoh tas rotannya lagi. Kali ini ia menyodorkan sebuah buku dan pensil kepada Abi.
" Kamu tinggalkan ini kemarin di gubuk, untung aku temukan ! "
Abi membuka isi buku itu perlahan - lahan. Setiap lembar berisi sketsa gambarnya, mulai dari robot imajinasi sampai potret kakaknya. Abi tertawa. Betapa ia merindukan gambar - gambar itu. Tapi ia sudah tidak melakukannya lagi. Tidak bisa.
" Nanti kamu gambar Aku, ya, sebagai bayarannya. Sudah, ayo " kata Elang sambil menaiki sepedanya.
***
Ketika Abi sampai di rumah hari sudah berganti sore. Badannya pegal - pegal dan perutnya keroncongan. Ia merogoh kantong celananya dan menghitung jumlah uang yang ia hasilkan hari ini. Sepuluh ribu cukup untuk mi instan seminggu ke depan.
Senja duduk diam di teras rumah. Riasan wajahnya luntur karena habis menangis. Pakaian menyanyinya yang bertabur manik - manik kini bagai kain lusuh. Sebotol minuman keras yang hampir habis di tangan kirinya. Senja adalah biduan keliling. Meski pendapatannya kecil, ia tetap senang melakukannya. Menyanyi adalah hobinya sejak kanak - kanak.
" Aku kira Kakak tidak kerja di hari Minggu " kata Abi sambil menyerahkan uangnya.
" Memang tidak, ada audisi menyanyi tadi di kampung sebelah, Kakak ikut " jawab Senja sambil menyembunyikan botol minumannya di bawah kursi.
" Aku ingat Kakak pernah berjanji tidak akan minum lagi "
" Ini hanya sekali, oke ? Mereka tidak memilih Kakak tadi karena katanya Kakak kurang cantik, kurang seksi "
Abi memandangi penampilan kakaknya. Senja memang tidak sekurus artis dangdut di TV, bahkan sedari mereka kecil. Semenjak ibu mereka meninggal karena stroke, Senja menemukan kenyamanan dalam alkohol.
" Ah, akhirnya matahari turun juga. Lihat, Bi, betapa indahnya ! " Senja menunjuk pemandangan di depan matanya.
" Andai aku tahu apa yang Kakak maksud. Dunia itu kabur bagi orang buta warna "
Senja menggenggam tangan adiknya, " Warnanya jingga bercampur kuning keemasan. Terang sebelum kegelapan bagai surga dunia "
" Berhenti puitis, Kak. Kebanyakan berbicara seperti itu tidak baik " jawab Abi ketus sambil berlalu pergi.
" Mungkin suatu hari nanti kamu bisa lukis pemandangan itu buat Kakak ! " sahut Senja.
Abi benci melukis. Sebelum ia tahu bahwa ia buta warna, ia sangat menyukainya. Ia bahkan pernah bercita - cita untuk menjadi pelukis. Ketika ia mengaku sulit membedakan warna hijau dari biru atau kuning dari merah, Senja membawanya ke dokter. Ia menderita buta warna parsial. Untuk itu, ia lebih senang menggambar dengan pensil karena tidak mungkin salah membedakan warna hitam.
Abi berbaring di tempat tidurnya sambil bertanya - tanya kapan Senja akan menyerahkan impiannya sebagai penyanyi. Lebih cepat dia menyadarinya, lebih baik.
***
Brukk !
Pagi itu, Abi terbangun karena suara jatuh yang keras dari dapur. Senja telah jatuh pingsan. Berdua dengan Elang yang baru saja datang, Abi membawa Senja ke puskesmas diantar tetangga mereka, Pak Supri, seorang supir angkot.
Segera dokter mencurigai bau tajam dari mulut senja, " Apakah kakak kamu peminum ? "
" Ya, Dok. Sudah beberapa tahun. " jawab Abi lesu.
" Kondisinya parah. Ini perlu segera ditangani di rumah sakit, bisa jadi sirosis hati. "
Abi pun tersadar. Sihir macam apapun yang telah memberikan ia kesempatan untuk mengulang hari itu akan habis. Ia tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali.
***
Senja terbaring lesu di kamarnya. Dokter puskesmas hanya mampu memberikannya obat generik murahan beserta seribu doa. Abi duduk termenung di ujung kasur Senja. Ia memikirkan tawaran Pak Supri tadi. Ada pekerjaan kuli bangunan di kota selama tiga hari. Hasilnya bisa ia gunakan untuk pengobatan Senja.
" Bi, Kakak kangen kamu melukis " kata Senja tiba - tiba. Suaranya kini serak, hampir tak terdengar telinga.
Abi segera berdiri. Ia telah memutuskan untuk pergi bekerja ke kota.
" Jangan tinggalkan Kakak, Bi "
Abi memandang Kakaknya sekali lagi. Kali ini ia tidak akan terlambat.
***
" Kau yakin harus pergi ? " tanya Elang.
" Aku akan kembali dalam tiga hari. Tolong jaga kakakku. Bawa dia keluar setiap sore, dia suka lihat pemandangan senja " jawab Abi pahit.
Abi naik bus paling pagi hari itu. Lebih cepat ia sampai, lebih cepat ia selesai. Di perjalanan, Abi teringat kenyataan sebelumnya : pada hari kepulangannya, ia terlambat sampai ke rumah karena bus yang dikendarainya mogok di jalan. Ketika ia tiba di kampungnya, hari sudah gelap. Ada semacam bendera kecil dipasang di sepanjang jalan. Ketika ia bertanya kepada seorang anak yang ditemuinya, anak itu mengatakan bahwa bendera itu berwarna kuning. Senja meninggal dunia.
Lamunannya terusik oleh suara supir bus yang menggerutu setelah didahului mobil pribadi. Tak sengaja ia menjatuhkan buku sketsanya. Lembarannya terbuka pada potret Senja sedang duduk santai di teras sambil menatap matahari terbenam. Tidak ada warna, hanya goresan pensil.
Abi teringat permintaan terakhir kakaknya.
Kakak ingin melihat matahari terbenam sekali lagi.
Abi menarik napasnya dalam - dalam. Kali ini ia tak akan membuat kesalahan yang sama. Kali ini kakaknya akan melihat matahari terbenam untuk terakhir kali.
Abi menengok ke arah anak kecil yang sedang sibuk mewarnai buku gambarnya.
" Dek, boleh Kakak pinjam pensil warna kamu ? Oh ya, saya juga butuh panduan kamu "
***
Abi berlari masuk ke dalam rumah.
" Elang, dimana kakakku ? "
" Abi, maafkan aku. Aku tidak bisa bawa dia ke teras. Dia.. dia.. sekarat "
Abi bergegas memasuki kamar kakaknya. Ia memberikan buku sketsanya. Sebuah gambar pemandangan matahari terbenam lengkap dengan warna oranye dan kuning keemasan.
Senja tersenyum, " Abi, kamu melukis ini ? "
" Tidak ada kuas dan cat di perjalanan tapi, ada seorang anak yang meminjamkan pensil warnanya "
Senja meraba gambar itu, masih tak percaya.
" Jangan pernah menyerah, Bi. Keterbatasan tidak menjadikan kita lemah. Mimpi tidak pantas dibuang hanya karena kegagalan "
Abi menggenggam erat tangan Senja. Air matanya kini tak tertahankan.
" Terima kasih, Dik "
***
Abi terbangun. Kenangan terakhirnya adalah senyum tulus Senja yang diikuti sinar putih terang. Abi bangkit dari tempatnya terjatuh. Ada ketenangan yang ia rasakan. Perasaan itu sulit digambarkan dengan kata - kata.
Abi naik ke lantai atas. Suasananya kini berbeda. Seluruh jendela dibuka lebar - lebar. Sinar surya memperlihatkan setiap sudut ruangan dipajangi lukisan warna - warni dengan inisial pelukis A.S. Di kamarnya berdiri penyangga kayu dilengkapi dengan kanvas yang lukisannya belum selesai. Abi ternyata melukis, bahkan sampai usia melingkupi dirinya.
Abi mengambil kuas yang tergeletak di meja dan pergi ke teras atas. Matanya menatap pemandangan matahari terbenam. Ini mungkin hanya imajinasinya tetapi, ia merasa seperti bisa melihat warnanya.
" Warnanya jingga bercampur kuning keemasan. Terang sebelum kegelapan bagai surga dunia "
Abi merebahkan tubuhnya di kursi rotan itu. Sesaat ia seperti melihat Senja sedang duduk di sampingnya.
Di lantai bawah jam kayu mahoni itu berdentang lagi.
Teng.. teng.. teng
Waktu menunjukkan pukul enam sore.
Senja menggenggam erat tangan Abi.
Abi memejamkan matanya.
Teng.. teng.. teng..
Jam kayu mahoni itu berdentang terakhir kali seiring hembusan napas Abi.
Abimanyu Santoso wafat sehabis senja tanpa jerit atau tangis, hanya ada kebahagiaan.
- SELESAI -
Good Job megan, ๐๐ป