KAY P.O.V
Sepertinya sudah hampir 3 minggu Peter tidak masuk sekolah. Wow. Saat dia bilang dia tidak akan kembali cepat aku tidak mengira akan selama ini.
Teman- teman Peter terus menemaniku setiap istirahat kedua. Mereka menemaniku terkadang bergantian, kadang bersama tapi Pan-lah yang paling sering menemaniku. Peter benar- benar tidak ingin aku sendiri. Tapi dia pasti tahu kalau aku tidak mau. Untungnya saat mereka menemaniku, mereka tidak mengangguku. Mungkin mereka akan berbicara sedikit. Tapi karena aku tidak merespon. Mereka tidak memaksakan.
~~~
Sekarang Pan sedang ada di sebelahku. Dia sedang membaca buku. Aku tidak tahu apa yang dia baca, tapi sepertinya dia menyukainya. Selama ini dia yang paling sering menemaniku. Kenapa? Kenapa dia betah menemaniku. Apa dia tidak bosan?
"Kau..." kataku. Karena aku tidak tega untuk membiarkan dia menemaniku terus seperti ini. Saat aku mengeluarkan suara dia seperti melihat sekeliling dan menggeleng. Lalu dia melanjutkan membaca bukunya. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bicara. "Kenapa kau betah sekali menemaniku di sini?"
Dia seperti terkejut dan melihatku dengan tampang tidak percaya. Lalu dia menunjuk jarinya padaku sambil bergetar?
"Ka... ka... kau bicara?" Tanyanya. Sungguh konyol.
Aku mendengus lalu lanjut membaca bukuku, "Lupakan."
"Ti.. ti.. tidak." Katanya, "Maksudku. Aku hanya terkejut. Ini pertama kalinya aku mendengar suaramu. Maklumkan saja kalau aku kaget. Kau bertanya kenapa aku betah?"
Aku melihatnya lagi. Jujur ada sesuatu yang sangat familiar darinya. Sungguh- sungguh familiar tapi aku tidak tahu apa itu.
"Yah... gimana ya," jawabnya, "Pertama iya. Tapi lama kelamaan aku tidak merasa bosan malahan aku jadi menyukainya."
Dia melihatku dan sepertinya dia tahu kalau aku bingung dengan melihat ekspresiku. Dia terkekeh, "Maksudku... pertama memang aku bosan. Tapi lama kelamaan ternyata nyaman juga di sini. Aku merasa damai. Aku jadi tahu alasan kenapa kau selalu ke sini dan tidak berbicara apa- apa."
Aku mengangguk. Kami berdua sama- sama diam lagi sekarang.
"Kau..." dia bilang tapi langsung berhenti, "Tidak jadi deh. Lupakan. Hei tapi aku ingin bertanya. Terserah jika kau ingin jawab atau tidak." Aku hanya diam biarkan dia langsung bertanya padaku, "Kau membenciku ya?"
Jujur aku terkejut dengan pertanyaannya. Tidak pernah terpikir olehku kalau dia akan bertanya seperti itu. Aku hanya diam karena tidak tahu harus merespon apa.
"Hm..." katanya, "Kau tidak mau menjawabku? atau kau kembali menjadi kau yang selalu diam?"
"Kenapa?" tanyaku, "Kau bertanya seperti itu?"
Dia mengangkat bahu, "Tidak tahu. Tapi sejak pertama kali bertemu denganmu sepertinya sudah terlihat sekali. Itu menggangguku selama ini."
Aku jadi lebih bingung, "Aku membencimu dan itu mengganggumu? Kenapa?"
Dia mengangkat bahunya lagi, "Tidak tahu juga. Hanya merasa janggal saja. Aku tahu banyak orang membenciku tapi saat ada firasat di mana aku tahu kalau kau membenciku. Perasaanku jadi tidak tenang. Aku seperti tidak bisa hidup saat tahu kau membenciku Ash."
Aku baru akan bilang dramatis. Tapi tiba- tiba kepalaku sakit. Kata- kata yang baru saja dia katakan terus mengulang di kepalaku. Seperti sebuah memori tapi semuanya kabur.
"Terlalu dramatis ya?" katanya.
Lalu tiba- tiba, ada seorang anak. Anak laki- laki kecil."Ash jangan benci aku. Aku tidak bisa hidup dengan pikiran kau membenciku Ash."
Dia terus mengulang kata- kata itu. Lalu ada yang mengguncangku, "Ashelyn!? Ash?! Ash?!"
Saat kepalaku mulai kembali normal. Rasa sakitnya sudah hilang. Aku membuka mataku dan melihat mata Pan dalam- dalam. Semakin lama aku melihatnya. Aku semakin merasa kalau dia familiar.
"Ash, kau tak apa?" tanyanya wajahnya sangat khawatir.
"Jangan panggil aku dengan nama itu lagi." kataku tegas. Lalu aku berdiri dan meninggalkan dia.
Hal yang baru saja terjadi. Aku tahu, aku tahu pasti kalau itu adalah memori. Aku hanya tidak tahu siapa anak laki- laki itu. Yang aku pikirkan juga kenapa bisa aku mendapatkan memori tersebut. Aku tak merasa ada yang hilang. Aku juga tidak pernah ingat pernah bertemu anak itu tapi aku yakin sekali kalau itu adalah memori.
PAN P.O.V
"Hei!" Kataku pada teman- temanku, "Hari ini ke rumahku. Ada berita baik untuk kalian semua."
"Apa?" Tanya mereka
"Sudah nanti saja." Jawabku.
~~~
Saat sudah sampai rumahku. Aku mulai menceritakan kejadian aku dengan Ashelyn tadi. Tapi sebelum itu aku menelpon Peter. Saat di sekolah aku sudah bilang padanya kalau nanti aku mau video call sepulang sekolah. Dan dia sudah jawab Iya. Jadi harusnya dia mengangkat teleponku.
"Apa berita baikmu Pan?" Tanya Peter dari sambungan sebelah sana.
"Kau di mana?" Tanyaku.
Dia menyuapkan salad ke mulutnya dan aku tahu jawabannya. Tapi dia tetap menjawab, "Sedang makan siang."
"HEI!" jerit John, "Cepat beritahu kami. Apa yang kau ingin katakan."
"Jadi..." kataku lalu jadi terkekeh sendiri, "Tadi aku bicara dengan Ashelyn."
Mereka semua terkejut. Dan Peter bilang, "Hmm.. ini pertama kalinya? Butuh waktu berapa lama? 3 minggu? Lebih lama dari dugaanku."
"Bodo," kataku, "Yang penting aku bisa bicara dengannya."
"Bagaimana suaranya?" Tanya Gary, "Menyeramkan?"
"Tidak" jawabku, "Malah sangat lembut. Seperti malaikat?"
Aku jadi ingat namanya yang diberikan murid- murid lain. Memang cocok dengannya. Apalagi dengan suaranya.
"Aku senang kalian punya kemajuan," kata Peter, "Tapi apa cuma Pan? Yang lain?"
Mereka menggeleng, "Dia tidak mau bicara padaku." Jawab Tim.
"Aku sudah mengajaknya bercanda tapi sama saja," kata John, "Senyum pun tidak."
"Aku mencoba merayunya," kata Gary yang membuat kami melotot ke arahnya. Apalagi aku
. Aku menatapnya seperti akan menusuknya, "Apa? Kalian kan tahu aku. Tapi sama saja dia bahkan tidak membuka matanya."
"Hmm... kenapa hanya Pan?" Tanya Peter.
"Dia yang paling sering menemani Ashelyn," jawab Tim, "Mungkin karena itu."
Peter mengangguk dan memakan saladnya lagi, "Benar juga."
Lalu kami mendengar ada yang memanggil nama Peter. Mungkin dia sudah harus bekerja lagi. Susah ya kalau punya teman yang sibuk.
"Ah... iya," jawab Peter, "Nanti lagi ya kawan. Aku harus pergi. Ingat pesanku ya. Jaga Kay untukku. Bye..."
"Bye..." kata kami lalu mematikan sambungan.
"Jadi Pan..." kata Tim, "Dia sudah mau bicara denganmu sekarang. Apa langkahmu yang berikutnya?"
Aku mengangkat bahu, "Aku tidak tahu. Lihat saja nanti."
KAY P.O.V
Ada anak laki- laki kecil di depanku. Dia sedang menangis, "Ash jangan tinggalkan aku. Kenapa kau tega meninggalkanku."
Lalu aku ditarik pergi, anak itu meneriaki namaku. Dia ingin mengejarku tapi ditahan oleh seorang pria. Anak ini, siapa dia?
"ASH!" dia berteriak dan berlari ke mengejar mobilku setelah keluar dari gengaman pria itu. "ASHELYN JANGAN TINGGALKAN AKU! ASHELYNNNNN!"
"AAAHHHH" aku menjerit dan terbangun dari tidurku. Aku masih mengatur nafasku. Siapa? Siapa anak kecil itu? Kenapa aku bisa memimpikannya dan teriakannya bisa membangunkanku seperti ini? Kenapa matanya tatapannya sungguh familiar?
Lalu tiba- tiba ada yang membuka pintuku dengan kencang.
"Kay!" Tante dan pamanku cepat- cepat menghampiriku. "Kau tak apa?" Tante bertanya dan mengecek seluruh tubuhku dan temperaturku.
Astagah aku hanya mengalami mimpi buruk. Aku bahkan tidak jatuh dari kasur.
Aku menggeleng dan menjauhkan tangannya dari wajahku, "Aku tak apa. Hanya mimpi buruk. Kalian kembali tidur saja."
"Mimpi apa sayang?" Tanya Paman khawatir.
Aku menggeleng, "Tidak terlalu penting."
"Apa kau mau tante temani di sini?" Tanya tante Lydia.
Aku menggeleng lagi, "Aku tak apa. Maaf aku membangunkan kalian."
Tanteku menggeleng, "Tak perlu minta maaf. Baiklah kalau kau bilang tak apa," Dia mengecup keningku dan berjalan keluar, "Selamat malam sayang."
Pamanku menepuk kepalaku, "Selamat malam Kay."
~~~
Pagi harinya , setelah aku sudah siap untuk sekolah aku turun ke meja makan. Tante dan pamanku sudah ada di meja makan. Saat mereka melihatku, mereka tersenyum dan menyapaku. Aku mengambil roti dan selai stroberi.
"Jadi Kay..." panggil tanteku. Aku sudah tahu dia akan menanyakan apa. "Apa yang terjadi padamu semalam?"
Aku mengangkat bahu, "Sudah kubilang mimpi buruk."
Dia mengangguk, "Iya aku tahu. Tapi setahuku kau tidak pernah menjerit seperti itu saat mimpi buruk. Kecuali itu memori tentang sesuatu yang sangat buruk."
Dia benar. Aku memang tidak pernah menjerit seperti itu kecuali itu sebuah memori. Dulu aku sering menceritakannya ke tante Lydia, paman Jack dan kedua orang tuaku.
Saat aku kecil, aku pernah mengalami hal seperti semalam. Saat itu aku memimpikan kejadian anjing kesayanganku tertabrak. Sepertinya itu kejadian paling mengerikan dan paling menyedihkan yang pernah aku alami saat kecil. Tapi mimpiku yang kali ini, aku tidak pernah ingat pernah mengalaminya.
“Kay beritahu tante. Apa yang kau mimpikan semalam?”
Aku mengangkat bahu, “Aku sendiri juga tidak tahu. Aku melihat anak kecil. Dia terus menerus memanggil namaku. Tapi aku tidak tahu dia siapa.”
“Kau ingat wajahnya sayang?” tanya Tanteku.
Aku mengangkat bahu, “Wajahnya samar- samar. Tapi wajahnya sama seperti wajah yang...”
“Yang?” tanya paman.
“Kemarin aku...” aku berhenti karena aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada mereka. Di saat kepalaku sakit saat berbicara pada Pan. “Kepalaku sakit dan tiba- tiba anak itu muncul memintaku agar tidak pergi. Semacam memori. Memori yang sudah hilang. Aku tahu ini sulit dipercaya tapi Tante apa aku pernah kehilangan ingatan?”
Tante melihat paman. Wajah mereka berdua tampak khawatir. Paman mengangguk kepada tante dan tante menghela nafas.
“Kay...” katanya lembut, “Sepertinya sudah waktunya kau mengetahui sesuatu.”
Aku melihat tanteku dengan penuh rasa penasaran. Apa benar kataku tadi? Apa aku pernah hilang ingatan?
"Saat itu umurmu masih 7 tahun, kau mengalami kecelakaan. Kau sedang dalam perjalanan ke bandara untuk menjemput ayah dan ibumu. Saat dalam perjalanan mobilmu ditabrak. Lengan supirmu patah dan kau mengalami benturan yang sangat keras. Itu menyebabkan ingatanmu hilang. Mungkin kau tidak ingat karena kau masih kecil."
Aku berusaha memproses semua yang dia katakan. Aku benar- benar terkejut. Aku pernah hilang ingatan? Kenapa tidak ada yang memberitahuku.
"Kenapa..." kataku lemas, "Kenapa tidak ada yang memberitahuku."
Paman menghela nafas dan menggenggam tangaku, "Menurut kami lebih baik kau lupa. Tidak baik untuk mengingat hal buruk di masa lampau."
"Kau terlalu kecil waktu itu," kata tante, "Jadi kau pasti tidak akan mengerti."
Aku butuh beberapa saat untuk berpikir. Membuat pikiranku kembali normal lagi. Setelah berpikir untuk sejenak akhirnya aku berdiri, "Aku akan telat."
Mereka berdua langsung berdiri. "Oh iya," kata mereka, "Ayo cepat. Kita jalan sekarang."