KAY P.O.V
Pulang sekolah, aku langsung merapikan barang- barangku. Tapi ada 2 orang yang menghampiriku, itu Gary dan Tim. Aku hanya melihat mereka dan melanjutkan membereskan barang- barangku.
"Kalian mau apa?" Tanyaku sedikit jengkel karena perasaanku masih kacau.
"Kami ingin bertanya sebenarnya," jawab Tim, "Duduk saja dulu."
Aku melihat mereka, menghela nafas dan duduk. Mereka mengambil bangku di sebelah dan depanku. Mereka mengamatiku.
"Kenapa?" Tanyaku, "Tolong cepat. Perasaanku benar- benar sedang kacau."
"Nah itu yang mau kami tanyakan," kata Gary, "Kenapa seorang Ashelyn bisa kesal."
"Aku benar- benar tidak mood untuk sarkasmemu sekarang," kataku.
Tim menatap tajam Gary, dan dia hanya mengangkat tangannya. Lalu Tim melihatku, "Kau tidak mau bercerita?"
"Hmm," kataku, "Aku tidak tahu jika kalian tahu. Aku tidak suka bercerita. Aku merasa seperti sedang di psikiater."
"Kau serius?" Tanya Tim lagi dan aku mengangguk. Dia melihat Gary tapi dia hanya mengangkat bahu.
"Baiklah," kata Gary dan dia berdiri, "Ayo kita keluar."
"Kalau kau tidak mau cerita. Kita tidak akan memaksakan," kata Tim, "Tapi kalau kau butuh teman untuk bicara tengah malam. Kami selalu begadang dan hp kami on 24/7."
Aku mengangguk dan berdiri. Mereka mengantarku ke mobil.
"Kau ingat?" Tanya Gary lagi dan aku mengangguk. Setelah menutup pintu mobil, Tuan Drew mengemudikan mobilnya pergi.
"Bagaimana harimu nona?" Tanya tuan Drew.
"Biasa saja," jawabku. Ada keheningan sebentar di mobil sebelum aku membuka mulut lagi. "Tuan Drew,"
"Iya nona?"
"Tante dan paman sudah menceritakan semuanya padaku," kataku. Aku belum pernah berterima kasih padanya, jadi menurutku sekaranglah saat paling tepat untuk berterima kasih padanya. Itu kenapa aku sengaja duduk di sebelahnya hari ini.
"Menceritakan tentang apa?"
"Apa yang terjadi padaku," jawabku, "Tuan Drew kenapa kau tidak pernah memberi tahuku kalau kau pernah menyelamatkan nyawaku?"
Dia menghela nafas dan tersenyum, "Anda sudah tahu tentang itu. Hm... Tidak mungkin saya tiba- tiba memberi tahu anda tentang itu kan? Anda sendiri bahkan tidak ingat dengan kecelakaan itu. Yang penting anda tidak apa- apa dan lebih baik saya tidak mengingatkan nona tentang kejadian mengerikan itu. Saya juga sudah lega mengetahui nona sudah sehat kembali, dan sudah mulai mempunyai teman lagi."
"Tuan Drew tolong," kataku, "Panggil aku dengan namaku saja. Tidak usah terlalu sopan. Anda sudah seperti ayah bagiku."
"Saya tidak akan bisa nona," katanya, "Saya sudah terbiasa seperti ini."
"Terima kasih Tuan Drew," kataku dengan tulus, "Aku benar- benar berterima kasih. Aku tidak akan ada di sini tanpamu."
"Anda tidak perlu berterima kasih nona," katanya, "Harusnya saya meminta maaf pada anda karena anda juga tidak akan ada di posisi itu kalau bukan karena saya."
"Itu bukan salahmu. Kecelakaan terjadi."
Aku sudah sampai rumah, untung saja aku sudah selesai berterima kasih. Dia tersenyum ke arahku, "Terima kasih, nona."
"Untuk apa anda berterima kasih?" Kataku, "Aku ingin meminta maaf atas perilakuku pada anda. Aku baru saja sadar kalau anda selalu ada untukku dari dulu. Bahkan saat orangtuaku masih hidup."
Dia mengangguk, "Tidak apa nona."
"Aku punya permintaan," kataku dan dia bertanya apa itu, "Tuan Drew aku ingin anda menganggapku sebagai anak anda sendiri. Aku tahu anda sudah punya 2 anak laki- laki tidak apa kan jika bertambah satu?"
"Maksud nona?" Tanyanya bingung.
"Aku ingin anda menasihatiku jika aku salah," jawabku, "Memarahiku jika aku sudah kelewat batas. Aku sudah tahu kalau anda akan selalu ada untukku. Bisa anda lakukan itu untukku?"
Dia tersenyum lagi, "Nona... tanpa anda minta, saya susah menganggap anda seperti anak sendiri."
"Terima kasih," kataku, "Aku sepertinya harus turun sekarang. Sampai jumpa tuan Drew."
"Selamat beraktivitas lagi nona,"
Aku turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam. Aku merasa lega sudah berterima kasih padanya. Tapi tiba- tiba aku memikirkan soal Pan sekarang. Seperti biasa anjing- anjingku sudah menunggu aku pulang. Saat aku mengelus mereka ada seorang perempuan lewat membawa kain lap. Aku langsung menatapnya tajam. Kurasa aku tidak pernah bisa percaya pada orang baru, mungkin karena trauma.
"Permisi nona," katanya, "Namaku..."
"Tante Lydia!!!!!!! Paman Jack!!!!" Teriakku tiba- tiba dan sepertinya perempuan di depanku terkejut. Aku langsung berlari keluar dan sepertinya Tuan Drew belum pergi. Dia langsung turun dari mobil dan bertanya ada apa, aku menunjuk perempuan di dalam. Saat dia melihat apa yang aku tunjuk dia langsung menjadi tenang lagi.
Tante Lydia keluar rumah dan mencariku. Saat dia melihatku, dia langsung menanyakan ada apa. Melihatku yang gemetaran dia langsung memelukku. Dia bertanya dengan Tuan Drew ada apa, dan dia menunjuk ke perempuan tadi. Tante Lydia mengerti dan mengelus kepalaku.
"Kay sayang," katanya, "Tenang... semuanya baik- baik saja. Perempuan di dalam itu ponakan Tuan Drew. Dia tidak akan macam- macam padamu. Dia kami pekerjaan untuk membantu membereskan rumah. Tenang saja sayang... kau bisa percaya dengannya. Kami tidak akan memperkerjakan orang sembarang untuk dekat- dekat denganmu."
"Maafkan aku nona," mata suara perempuan tadi, "Anda pasti terkejut."
Aku menggeleng dan melihatnya, "Ti... tidak aku yang seharusnya meminta maaf. Aku terlaku cepat menilai. Kau pasti sangat terkejut mendengar aku berteriak."
Dia menggeleng, "Tidak apa. Nama saya Lola. Senang bertemu dengan anda. Mulai sekarang saya akan kerja di sini. Jika nona butuh sesuatu panggil saya saja."
"Terima kasih," kataku.
"Nah. Sekarang semua sudah jelaskan?" Kata tante, "Aku juga harusnya meminta maaf. Harusnya aku memberi tahumu kemarin."
Aku mengangguk, "Tidak apa."
Kita masuk ke rumah dan aku langsung masuk ke kamar. Masalah Pan muncul lagi di kepalaku. Setelah mengganti baju, aku keluar dari kamarku lagi. Sekarang aku sepertinya lebih banyak keluar tidak tahu kenapa. Aku pergi ke dapur karena aku lapar dan kebetulan tante sedang duduk membaca berkas.
"Tante," kataku sambil membuka pontu kulkas dan mengambil coklat. "Aku ingin bertanya."
"Apa itu sayang?"
"Apa yang kalian katakan tentang keluarga Herrington benar?"
"Kau tidak percaya?" Balas tante.
"Kau tahu aku," jawabku, "Aku susah percaya dengan sesuatu lagi sekarang."
Dia melihatku, menatap mataku. Aku juga melakukan hal yang sama. Dia menghela nafas, "Memang aneh Kay. Kami semua juga menganggapnya aneh. Mereka itu sahabat tapi tiba- tiba ayah Pan jadi seperti itu."
"Lalu kenapa kalian percayaaa?"
"Karena bukti yang mereka beri cukup meyakinkan," jawab tante.
"Apa itu? Hanya omongan orang? Kalian langsung percaya?" Tante langsung diam. "Tante apa kau tidak pernah memikirkannya?"
"Percaya atau tidak," jawabnya, "Kami memang tidak pernah memikirkannya. Kami terlalu syok. Sama sepertimu, aku kehilangan saudaraku. Ibumu dan aku selalu dekat dari dulu. Saat dia sudah tidak ada semuanya berubah. Perusahaan diwariskan kepadamu. Sebagai walimu pasti kita yang akan mengambil alih sampai kau sampai di usia yang tepat. Tapi itu tentu bukan jadi prioritas kami. Prioritas kami itu kau. Pikiran kami fokus kepadamu. Kau terlalu tertekan, kau trauma, depresi jadi kami khawatir. Saat itu kau juga keluar masuk rumah sakitkan?"
Aku tidak pernah memikirkannya dari sudut pandang itu. Mereka terlalu fokus padaku sampai seperti itu...
"Mereka sudah tidak ada Kay," kata tante, "Di keluarga tante, kita dilarang berkabung untuk lama- lama. Iya, mereka sudah hilang tapi bukan berarti kita harus hilang bersama mereka kan? Itu yang selalu dikatakan keluargaku. Sama seperti saat mama tante, nenekmu meninggal. Itu yang kakekmu selalu bilang. Mamamu sudah menitipkanmu dengan kami dari dulu. Jadi kami harus memenuhi permintaannya bukan?"
Aku mengangguk. Kenapa sekarang aku jadi merasa bersalah?
"Tapi," katanya lagi, "Kau sekarang sudah membaik. Jadi kami akan menginvestigasi masalah ini lagi lebih dalam. Karena memang jujur, tante sendiri masih tidak percaya."