Daun coklat jatuh dan mendarat di meja batu, pohon kersen di sampingkulah sumbernya. Sekarang aku ada di taman danau bersama dengan Mia. Ryan dan Hana tidak mengikutiku jika aku tidak memintanya.
Aku mengambil daun yang terjatuh tadi. Membalikkan, merenggangkan dan melihat setiap sisinya.
Kurasa ini daun gugur yang normal, gugur karena umurnya yang sudah tua dan mati secara alami. Aku bisa membedakannya dengan merasakan teksturnya. Keras, kering dan akan patah jika ditekan terlalu kencang.
Daun adalah tempat fotosintesis, sebuah proses pembuatan makanan pada tumbuhan. Tapi proses tersebut hanya efektif pada daun muda. Ketika daun menua, banyak sisa metabolisme yang mengganggu prosesnya. Oleh sebab itu, pohon pun melakukan tindakan penyelamatan diri dengan memakan daun yang tidak produktif. Zat klorofil diserap dari daun tua untuk dijadikan nutrisi, lama-kelamaan daun akan menguning, mengering dan akhirnya gugur. Aku sendiri menganggap tindakan ini sebagai bentuk kanibalisme.
"Kak...?"
Mia memangilku, tapi matanya tidak mengarah padaku. Kedua tangannya dilipat dan dia jadikan bantal untuk dahinya. Wajah Mia menghadapkan ke bawah, suaranya sedikit samar terhalang meja batu.
"Ada apa?"
Aku meletakkan daun tadi di atas meja, tapi sesaat setelahnya daun itu malah tertiup angin, Cih.
"Ceritain sesuatu"
"Memangnya aku pendongeng?"
Aku bukan orang yang bisa terus bicara tanpa ditanya. Setidaknya aku tidak tahu apa yang harus kubicarakan sekarang. Walaupun banyak pikiran muncul di kepalaku, aku tidak akan dengan lurus menceritakannya. Itu hanya membuat bingung dengan segala pemikiran acak di kepalaku.
"Bosen kak"
"Kenapa gak pulang aja?"
"Di rumah gak ada kakak soalnya"
Hah... Aku tahu, aku tahu. Baginya aku hanya mbah google. Fungsi keberadaanku adalah memberikan jawaban dari seluruh pertanyaan penasarannya. Seperti buku yang dibuka dan ditutup kapan saja.
"Kalau kamu mau nanya, kan bisa besoknya"
Mia mengangkat kepalanya. Meletakkan dagu di meja sehingga mulutnya tertutup oleh liapatan tangan yang sebelumnya dia pakai sebagai bantal dahi.
"Umn... Dasar pelit"
Suara Mia menjadi samar oleh lipatan tangan yang menutupi mulutnya, tapi aku bisa mengetahui apa yang dia maksud.
"Aku gak bilang kalau aku gak akan jawab"
Mia pernah menanyakan cara kerja sabun dan deterjen lewat pesan, tapi penjelasan itu tidak pernah sampai padanya. Di dalam komunikasi itu, aku tidak bisa menjelaskan dengan gambar dan tidak bisa mengontrol tindak-tanduk Mia. Pertanyaan yang memotong datang bertubi-tubi. Oleh karena itu, diskusi dan tanya jawab hanya diajukan dengan tatap muka denganku.
"Jadi kakak suruh aku tidur sambil penasaran?"
"Kalau kamu memang penasaran, kenapa gak baca saja langsung?"
"Aku pernah kak, di buku itu ngebosenin. Kalau kakak yang cerita jadi beda"
Aku yakin dia hanya tidak suka membaca. Itu semua tergantung tujuan awalnya.
"Buku itu macem-macem. Target pembacanya juga beda-beda. Mungkin kamu gak ngerti makanya jadi bosen"
"Iya kali ya. Soalnya aku gak ngerti apa itu penetrasi, gerakan maju mundur, terus tiba-tiba berdarah"
Ha?
"Tunggu, buku apa yang kamu baca?"
"Hn? Buku tentang nyamuk"
Sial, hormon testosteron memang merepotkan. Kenapa laki-laki ditakdikan untuk mudah berfantasi?
Probosis, jarum pada nyamuk betina. Memang bahasan ini terdengar sederhana. Tapi untuk buku yang berbau pengetahuan, Mia mungkin dipusingkan dengan nama-nama bagian jarum seperti max-, man- dan hyp- yang aku sendiri juga tidak ingat.
"Memang bukunya kayak gimana? Aku mau lihat"
"Kakak mau baca bareng?"
Sial, Jika percakapan ini diteruskan, dia mungkin akan membawa banyak buku dan aku harus menerjemahkan semuanya.
"Bukan itu, mungkin aku bisa milih buku yang cocok buat kamu"
Setidaknya ini akan menghilangkan kemungkinan terburuk. Walaupun sebenarnya ada cara sederhana untuk menghindarinya, yaitu dengan mengatakan tidak.
Hari mulai gelap, sudah waktunya kami pulang . Aku mengantar Mia sampai di persimpangan terdekatnya, dia mengucapkan salam dan aku membalas secukupnya. Aku menunggu di sana dan tidak bergerak sama sekali. Melihat Mia menjauh hingga dia mengubah arah dan berbelok.
"..."
Hari Selasa 23 Oktober. Aku akan memulai pencarianku lagi. Setelah Mia tidak terlihat, aku menghapus ekpresi yang kubuat. Mengaktifkan kerja tubuh dan konsentrasiku, kemudian melangkah pergi.
Sudah seminggu sejak kejadian itu. Rasa sakit di kepalaku, rasa dengung di telingaku, dan pandangan kabur di mataku. Semuanya itu aneh.
Pada dasarnya Otak adalah bagian tubuh yang tidak memiliki saraf rasa sakit. Jadi, rasa sakit di kepala bukan berasal dari otak, melainkan lingkungan di sekitar otak. Penyebabnya ada dua, rangsangan sakit di area rawan dan aktifitas kimia.
Berjalan sebentar sudah cukup untuk mengantarkanku kembali ke taman danau. Setelah sampai, aku duduk kembali di kursi batu, tepat dimana aku mengalami peristiwa tersebut.
Aku merasa hal yang kualami itu adalah sesuatu yang perlu kucari. Setelah petir besar, rasa sakit memang menyerang kepalaku, tapi bukan itu yang kucari, melainkan kejadian sesudahnya. Aku melihat sesuatu, tetapi dengan cepat semua itu hilang bersama dengan semua gejala tadi. Tidak hanya itu, aku juga melupakan semua yang kulihat. Ini seperti aku melompati waktu beberapa detik. Hal yang kuingat hanyalah fakta bahwa ada sesuatu terjadi pada penglihatanku sesaat setelah sakit menyerang.
Satu satunya kemungkinan yang ada hanyalah sinyal Mia, tapi aku masih kekurangan petunjuk, bisa saja ini adalah kedua hal yang tidak berhubungan. Jadi aku mencarinya sendiri, mengandalkan orang lain hanya akan menghambatku.
Aku bangkit dari posisi duduk, berjalan ke tepian danau dan melihat ke arah langit.
Petir besar itu kurasa muncul disekitar sini. Di atas danau yang kira-kira luasnya 250 meter persegi.
Apa semua itu hanya ilusi?
Petir adalah listrik, listrik adalah elektron yang bergerak. Petir terjadi karena ada perbedaan potensial antara awan dengan bumi atau antara awan negatif dengan awan positif, layaknya baterai. Kekuatan petir sangat luar biasa. Hal yang wajar jika aku mengalami shock karenanya.
"..."
Tidak, ini hal yang berbeda. Aku sudah pernah mendengar petir dari dekat, bahkan lebih dekat lagi, tapi aku belum pernah mengalami hal serupa.
Aku berkeliling mencari petunjuk yang mungkin dapat membantu. Pohon kersen di sini adalah satu-satunya benda mencolok. Tingginya sekitar 10 meter, baik daun, bunga maupun buahnya, pohon ini tergolong cukup rimbun.
Pohon kersen jarang dibudidayakan. Tentu saja karena tidak banyak pedagang menjual buahnya. Mereka ada dan menyebar dengan sendirinya, tapi pohon ini memiliki posisi strategis untuk melindungi taman dari panas. Aku pikir seseorang sengaja menanamnya.
"..."
Apa aku masih bisa memanjat?
Dalam hatiku ada keinginan liar untuk melihat di ketinggian. Tapi hanya keinginan, tidak ada niat untukku menjadikannya pencapaian. Selain memalukan, pohon ini juga sulit dipanjat, cabang terendahnya saja setinggi dua setengah meter. Dengan melihatnya sudah cukup untuk menekan motivasiku.
Tunggu? Sebenarnya apa yang sedang kulakukan?
Sial, sekarang aku mengerti kenapa Mia selalu diam ketika pencarian berlangsung.
Aku kembali duduk di kursi. Menenangkan pikiran dan konsentrasi untuk berpikir kembali.
Hmn... Cara paling mudah adalah untuk mengulang kembali kejadian waktu itu dan memastikannya sendiri, tapi itu hampir mustahil. Ada pepatah kalau petir tidak akan menyambar dua kali di tempat yang sama. Itu cukup masuk akal, karena perbedaan potensial akan berkurang ketika petir sudah menyambar suatu tempat.
Kalau begitu, aku akan mengabaikan petirnya. Kejadian itu bukanlah penyebab utama aku mengalami sakit kepala. Itu artinya petir hanyalah katalis, aku harus menemukan faktor utamanya.
Hmn... Ada tiga hal yang berkaitan dengan kejadian itu. Petir, taman danau dan aku sebagai korban. Sudah hampir seminggu aku mencari sesuatu di taman ini, tapi hasilnya nihil. Kurasa memang tidak ada yang berarti di taman ini. Jika aku abaikan peristiwa petir dan latar tamannya. Itu berarti, hanya satu alasan logis untuk ini semua.
****
Aku tidak mempunyai motivasi apapun, aku tidak punya kewajiban apapun, tapi semua itu tetap kulakukan. Jika ditanya kenapa, jawabannya sangat sederhana. Semua itu demi diriku sendiri. Hanya aku dan diriku di dunia. Aku tidak pernah memandang orang lain sebagai individu. Jika orang itu tidak memberikan keuntungan, maka aku tinggalkan.
Hari Rabu 24 Oktober. Aku sekarang ada di bawah tangga.
"Kak, Ini bukunya"
Aku melirik buku itu sambil memakan rotiku.
"Ini buku kuliah? harusnya kamu cari yang sedikit bergambar sebelum baca yang kayak gini"
Aku sudah tahu kalau buku yang dia bawa akan seperti ini.
Aku menarik kantong kresek yang kubawa dari kelas, membuka dan mengambil buku serupa di dalamnya. Buku yang cukup tipis bertemakan serangga.
Mia mengambil dan membuka halaman pertamanya. Di sana ada penjelasan sederhana tentang lalat. Dengan serius gadis itu terus membaca. Beberapa detik dia habiskan dan dilanjut dengan gerak tangan yang membuka kertas. Terus seperti itu sampai dia membaca halaman ke empat yang menjelaskan tentang nyamuk.
"Ooo..."
Reaksinya cukup berlebihan untuk sekedar melihat buku. Apalagi ini adalah tentang serangga, dimana isinya cukup menjijikan untuk dilihat seorang gadis. Apa dia baik-baik saja membaca buku itu sambil makan?
"Itu buku kamu bawa saja, kalau sudah beres baru kembaliin"
Aku membereskan sampah makananku dan menyatukannya agar bisa kubawa dengan satu tangan. Setelah itu aku langsung berdiri, tidak, maksudku bergeser maju sebelum berdiri tegak. Bentuk tangga yang miring membuatku harus berhati-hati jika kepalaku ingin selamat.
"Hn? Kakak mau kemana?"
"Balik ke kelas"
"Oh... nanti pulangnya ke tempat biasa saja kak"
"Ah, iya, aku sekarang gak akan ke taman itu"
"He? Kenapa?"
Kenapa yah? Mungkin alasan biasa akan lebih baik.
"Ada tugas"
"Hmn... ya sudah kalau gitu"
Aku melangkah pergi meninggalkan Mia. Ini masih awal istirahat, tentu saja aku tidak akan ke kelas yang menjadi sarang wanita itu. Jadi, yang kulakukan sekarang adalah pergi ke tempat sepi lainnya. Tempat itu ada di perpustakaan, pojok dari ruangan dan tertutup oleh lemari yang mengapitnya.
Hah... Ternyata mudah saja.
Hari ini untuk pertama kalinya aku menjauhi Mia. Jika aku ingin mengabaikannya, yang perlu kulakukan cukup sederhana, jangan tatap matanya. Dari awal setiap indraku ini peka, menatap matanya berefek buruk pada kesadaranku.
***
Bel pulang pulang berbunyi. Aku menyelesaikan urusan pengalihan agar tindakanku tidak mencurigakan teman-temanku.
Hari ini aku mencari ke rumah kosong. Tempat yang tidak pernah kukunjungi dengan Mia. Sebelumnya dia mengajakku masuk, tapi aku menolak. Ketakutanku menjadi penyebab utamanya, takut akan kerusakan akal sehatku.
Begitu aku datang, tempat itu tidak banyak berubah, masih kotor. Tanaman liar tinggi menutupi setengah tembok, puing-puing sampah bangunan yang berserakan dan rumah usang hancur yang tak tersentuh.
Hmn...
Aku masuk ke dalam rumah itu. Suara gema dari langkah kakiku menjalar ke seluruh sudut. Begitu aku datang pandanganku terfokus untuk melihat ruangan, sebuah tempat yang cukup luas dengan penerangannya buruk. Posisinya yang dikelilingi ruangan lain membuat ruangan ini tidak memiliki jendela dan menyulitkan cahaya untuk masuk.
Aku bergerak lurus untuk masuk ke ruangan belakang. Ruangan sederhana yang memanjang dengan akses jalan ke halaman belakang. Di dalam ruangan ini terdapat meja permanen yang dilapisi keramik, ruangan ini adalah dapur.
Sepertinya tidak ada yang aneh.
Aku kembali mundur dan mengamati ruangan lainnya, tapi semua ruangan juga tampak normal. Ruang kosong dengan sisa barang rongsokan yang ditinggalkan pemiliknya. Aku bahkan bisa mengetahui semua fungsi ruangan di sini dengan melihatnya saja. Dari ruang keluarga, ruang tamu, dapur, kamar tidur, kamar mandi dan...
Hmn..? Oke, untuk yang ini aku tidak tahu.
Ruangan bersebelahan dengan ruang tengah, memiliki ukuran layaknya kamar tidur dengan barang rongsokan kecil yang mengisinya. Namun, sesuatu yang janggal adalah keberadaan sofa di tengah ruangan tersebut. Sofa untuk satu orang yang diletakkan sejajar dengan pintu. Ini membuat siapapun yang masuk akan langsung melihatnya. Berbeda dengan barang barang lain, sofa yang di depanku sekarang bukan barang rongsokan. Memang tidak bisa dibilang bersih, tapi sofa itu tidak kehilangan fungsinya sekarang.
Aku mencoba duduk di kursi itu.
Hmn...
****
Halusinasi acak hanya terjadi karena efek obat-obatan. Selama ini aku yakin tidak menyentuh alkohol dan narkoba. Aku juga sudah mengecek riwayat kesehatanku belakangan ini, tidak ada obat keras yang sekiranya bisa menyebabkan efek samping halusinasi. Jika itu adalah penyakit yang menyangkut ke lima indraku, seharusnya gejala yang sama atau mungkin serupa akan terulang dalam waktu dekat, tapi hal itu juga tidak terjadi.
Hari Kamis 24 Oktober. Aku tidak pergi ke tempat bawah tangga bersama Mia. Sebagai gantinya aku meletakkan beberapa buku yang mungkin membuatnya tertarik sebagai pengganti diriku.
Waktu sangat penting, konsentrasi adalah hal yang sulit kugapai. Jika ada selang aktifitas yang tak berhubungan dengan tindakanku, itu akan membuatku kesulitan. Jadi aku kembali menghabiskan waktuku sendiri lagi, ada beberapa hal yang harus kuketahui.
Aku sudah mencari beberapa petunjuk yang berkaitan perpustakaan, tapi masih kurang. Buku di sana lebih mengarah pada buku pelajaran atau buku pengetahuan yang sejenisnya. Seperti cara menghafal, cara mengerjakan soal dan teknik-teknik lain yang berkaitan dengan sekolah. Semua yang kumiliki sekarang masih tidak cukup. Pengetahuanku masih belum menunjukkan jawaban. Ini juga bukan waktunya untuk pencarian. Aku harus mencarinya sendiri di toko buku.
***
Hoawn...
Aku melemaskan tangan dan badanku, menengadahkan kepala ke langit dan terus mendorong tubuhku ke belakang sampai jatuh ke kasurku.
Hah...
Ada pepatah bilang kalau Ilmu jauh lebih baik daripada harta. Ilmu adalah sesuatu yang dapat menjagamu dan tidak pernah hilang, sedangkan harta adalah sesuatu yang harus kau jaga dan akan habis dimakan waktu. Aku juga pernah dengar kalau uang itu bagaikan pupuk, jika ditebar akan sangat bermanfaat, tapi hanya akan berbau jika terus ditumpuk.
Kenyataannya, aku adalah orang yang menghitung uang dengan teliti, itu berarti aku bukanlah orang kaya. Untuk pertama kalinya aku menyesal membeli ilmu. Uang saku bulananku hampir habis untuk membeli buku yang sekarang menumpuk di kamar, buku-buku yang jika ditotal beratnya sekitar 3.5 kilogram. Bukan berarti aku membenci mereka semua, hanya saja waktunya sangat tidak pas. Semua buku itu masih tidak memuat perihal yang ingin kucari.
Cara kerja otak, dimana ketika panca indra menerima rangsangan, mereka akan diubah menjadi listrik dan disimpan dalam neuron.
Aku sudah tahu itu.
Cara ketika otak mengingat, dimana ketika neuron yang mengandung memori akan dipanggil oleh sel neuron lain dengan mengirimkan neurotrasmitter lewat sinaps.
Aku mempelajari itu waktu SMP.
Aku masih bertahan dan terus membaca, penjelasan tentang pembentukan ingatan jangka pendek, itu terjadi karena penebalan jalur sinaps. Pembentukan ingatan jangka panjang, itu tercapai jika jumlah sinaps yang menyambungkan setiap neuronnya cukup banyak agar mudah dipanggil kembali.
Ayolah... Aku butuh lebih dari itu.
Mekanisme cara otak bekerja, cara indra bekerja, cara tubuh mengsingkronasikan sistem.
Bukan, bukan itu yang kucari. Aku tidak butuh dasar dari semua teori ini.
Aku terus membaca sampai di bab terakhir, seberkas harapan masih tersisa dan terus menggerakan tubuhku, tapi buku-buku itu malah tidak menjawabnya. Sampai akhir halaman, mereka hanya menjelaskan pola hidup sehat dan riwayat hidup seorang ilmuwan. Itu sesuatu yang lebih tidak kubutuhkan.
Hah...
Aku tidak bisa menyalahkan penulis, ini adalah kesalahanku. Rasa cemas, takut dan perasaan untuk tidak mau menerima hal buruk ada di benakku. Di dalam hati, aku berharap kalau peristiwa yang kualami adalah sesuatu yang normal. Oleh sebab itu, aku memilih buku-buku tersebut, buku yang menjelaskan fungsi tubuh. Di dalamnya tidak memuat apapun yang berhubungan dengan tragedi itu. Jika sudah seperti ini, aku tahu kalau buku biasa tidak akan memberi petunjuk.
Dompetku berteriak karena kehampaannya, tidak mungkin untukku membeli buku yang baru. Jika aku terus memaksakan, menu makanku akan berubah dari roti tawar menjadi air gula. Aku tidak mau jadi semiskin itu.
Pilihan lain seperti meminta uang tambahan kepada ayahku juga kuhindari. Akan merepotkan jika aku harus menjelaskan pengeluaranku. Masih ada tiga hari sebelum saku baru didapat, sampai saat itu aku tidak akan membeli buku terlebih dahulu.
Rasa lelah dan kecewa berat datang menghampiri, aku sudah banyak berkorban hanya untuk kseimpulan kecil.
Badanku terlentang, berusaha bergerak dan menggulingkannya ke kanan. Kulihat Handphone-ku tergeletak di lantai, mengambilnya dan melihat jam di sana.
Hn? Mati, tidak, ini habis baterai.
Tidak ada respons apapun ketika aku menekan tombol powernya. Apa sudah selama itu waktu berlalu?
Aku mencari charger Handphone dan langsung melakukan pengisian daya. Beberapa detik selanjutnya aku langsung menghidupkannya kembali. Ruangan ini tidak memiliki jam dinding, penujuk waktu aku serahkan pada Smartphone-ku.
Layar Handphone menununjukkan pukul 02:21. Menurut buku yang barusan kubaca, jantung manusia akan mengalami penurunan kinerjanya pada jam dua pagi, akan lebih baik jika di waktu tersebut orang sudah tidur. Tapi aku memiliki jadwal tidur yang berbeda, jam dua pagi adalah waktuku untuk bangun. Dari awal maksimal waktu tidurku adalah enam jam, itu sudah waktu ideal untuk tidak merasakan kantuk di kelas. Mungkin aku mengalami mutasi gen, membuat tubuhku tidak perlu tidur delapan jam. Lagipula tubuhku yang paling mengetahuinya, aku tidur ketika aku merasa ngantuk.
Oke, kesampingkan tentang itu, karena aku benar benar lelah sekarang.
***
Semua hasinya kerjaku tidak memuaskan. Aku bisa saja menunggu beberapa hari demi uang sakuku, tapi perasaanku tidak bisa ditunda. Perasaan ini mendesakku untuk mencari tahu secepatnya. Jika memang aku tidak bisa membeli buku, yang perlu kulakukan hanyalah meminjamnya, walaupun aku tidak suka.
Hari Sabtu 27 Oktober. Aku sudah berhenti menemui Mia. Awalnya aku hanya berniat menyelidikinya selama satu hari, tapi pencarian ini ternyata memakan banyak waktu.
Semua masih tidak jelas. Apa benar hal kualami berkaitan dengan sinyal Mia? Jika kejadian itu memang benar, ada lubang hitam yang mengganjalku. Aku tidak bisa mengerti tujuan Mia sebenarnya. Ini seperti dia melemparkan umpan yang dia tarik kembali sebelum ikan dapat menggigitnya.
Selama ini aku sudah menjauhinya, mungkin sudah saatnya aku menunjukkan muka di hadapannya. Walaupun aku tidak akan melakukan pencarian dengannya hari ini. Setidaknya istirahat siangku hari ini tidak terpakai.
Hoawn... Sial, mataku perih.
Aku terlalu banyak begadang dan membaca di tengah malam. Otot wajahku terasa pegal, mataku terasa sakit ketika terbuka maupun tertutup. Walaupun aku sudah mandi pagi, aku merasa badanku tidak segar dan lemas.
Apa wajahku terlihat menyeramkan?
Keramaian kelas mengelilingiku sekarang. Suara murid laki-laki yang bercanda cenderung mendominasi, mereka membuat tindakan gaduh tak masuk akal demi tawa bersama. Berbeda dengan murid perempuan, mereka sibuk dengan obrolannya masing-masing.
Aku sendiri tidak melakukan apapun, hanya duduk di kursiku. Berharap bisa mengabaikan situasi ini, aku berusaha menambah waktu tidurku bersama bantal lengan. Demi menambah kenikmatan, aku menutup seluruh kepalaku dengan jaket. Setidaknya dengan minimnya cahaya, mataku bisa beristirahat.
Hari ini, guru di jam kedua kami tidak hadir. Guru tersebut memberi tugas ringan untuk menggantikan kehadirannya. Aku sendiri dapat menyelesaikannya dalam lima belas menit.
"Kenapa san?"
Suara ini...
"Tif, jangan ganggu... Aku ngantuk"
"Haha... Siap, aku cuman nanya aja, tugas dari-"
"Nih, nih..." Dengan cepat aku memberikan buku catatan pada Latif.
"Haha... Makasih san"
Kalau begitu buatlah kelas ini lebih kondusif sebagai harga dari keramahanku.
Gosip kalau aku adalah murid teladan sudah menyebar. Mereka sudah mulai memanfaatkan dan mengandalkanku dalam kegiatan sekolah.
Cih, kukira aku bisa jadi orang normal, ternyata tetap tidak mungkin.
Sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga. Walaupun aku menyetting ulangan dan tugasku di nilai rata-rata, tapi reflect-ku menjawab pertanyaan dan menyelesaikan masalah membuat mereka meninggikan pandangan.
Aku tipe orang yang bisa tidur kapan saja aku mau, tapi bukan berarti aku bisa tidur dalam kegaduhan. Ketika rasa nyaman hampir kudapatkan, mejaku tersenggol oleh siswa yang sedang bercanda, kepalaku naik turun dan membentur meja cukup keras.
“Ah, sorry san”
Aku sedikit mengangkat kepala, membuka jaket yang menutup dan melihat pelaku dari kejadian tadi.
“Ng...”
Tapi aku tidak menghiraukannya, hanya membuang tenaga jika aku marah sekarang.
Aku bingung kenapa kelas sebelah tidak protes dengan kegaduhan ini. Kondisi kelasku sekarang sudah sampai di tingkat dimana wajar jika guru datang.
Apa mereka ada pada kondisi sama?
Yah, karena merepotkan untuk berpikir, aku anggap saja mereka sedang belajar di luar kelas.
Bel istirahat berbunyi, aku mulai memperbaiki kondisi wajah dengan sedikit mencucinya agar terlihat lebih hidup. Rasa gugup sesaat mendatangiku, aku tidak tahu apa yang akan kukatakan ketika bertemu dengan Mia nanti. Aku hanya berharap kalau dia tidak menanyaiku, akan merepotkan menjawabnya.
Aku sampai di bawah tangga. Memang sudah biasa kalau aku datang lebih awal, jadi hari ini juga Mia tidak menyambutku. Aku duduk di tempat biasa kududuk, mengistirahatkan tubuh dan bersiap untuk makan.
"...."
Padahal hanya beberapa hari aku tidak datang, tapi tempat ini begitu memancing nostalgia.
Hari ini rotiku turun derajat, dari roti seharga lima ribu menjadi tiga ribu rupiah. Uang dua ribu cukup berharga untuk aku hemat sekarang. Memang keuanganku tidak separah itu, hanya saja perasaan cemas terus menghantuiku. Lebih baik berhemat sekuat tenaga dan tersisihkan sedikit, dibanding makan enak hari ini, tapi obat maag kemudian.
Beberapa tindakan bertahan hidup kulakukan belakangan ini. Sudah menjadi kebiasaanku menaruh uang di tempat sembarang. Ketika membeli sesuatu dengan uang besar, sisa uang kembalian ditaruh secara acak. Aku sendiri sudah mencari uang tersebut di berbagai tempat. Krisis uangku sekarang membuat uang 10 ribu menjadi penyelamat.
Tapi sayang, itu hanya terjadi ketika aku masih anak asuhan ayah. Sejak hidup mandiri, aku mulai merapikan penyimpanan uangku. Beberapa hari yang lalu, aku dikecewakan oleh secarik kertas di saku celana yang tadinya kukira uang. Merasa dibodohi oleh diri sendiri, secarik kertas itu adalah nota pembelian dari belanjaku di minimarket.
Apa Mia akan membawa bekal tomatnya lagi?
Aku tidak mau berhutang apalagi meminta, tapi tetap saja aku masih berharap. Disaat seperti inilah aku butuh asupan bekal orang lain. Aku sendiri ingin kalau Mia tidak memilih-milih makanan, tapi aku tidak berharap dia bisa sembuh dari kebiasaan itu hari ini.
Rotiku habis, tapi aku tidak merasa kenyang sama sekali. Tidak ada niat untuk makan kembali, karena selain lapar aku juga masih mengantuk.
Tidur sebentar di sela-sela kegiatan sebenarnya tidak sehat. Ini akan memperburuk kualitas tidur karena kacaunya tahapan tidur. Tapi sesekali mungkin tidak apa-apa, rasa kantukku tidak bisa diabaikan sekarang.
Aku mengangkat lutut agar sejajar dengan dada, membuat lipatan tangan di atasnya dan kugunakan kembali sebagai bantal.
Mataku tertutup, tapi rasanya perih. Hal yang biasa untuk orang yang kurang tidur. Ini karena mata orang yang begadang cenderung kering karena terbuka terlalu lama. Sama halnya seperti kerongkongan kering, rasa perih terjadi ketika membasahinya dengan air ludah.
Waktu terasa begitu lambat, aku tidak ingat kapan aku tertidur dan kapan aku terakhir sadar. Suara keramaian sekolah terasa sangat mendalam dan jauh menghipnotis.
"Hhh...!"
Tiba-tiba nafasku terhentak, kelopak mata dengan tegas terbuka dan rasa paniklah yang selanjutnya datang. Aku segera mengambil Handphone untuk melihat jam, akan sangat memalukan jika aku tertidur sampai melewati pelajaran.
"..."
Ada empat menit lagi sebelum istirahat benar-benar berakhir, aku merasa lega karenanya. Tapi perasaan yang berbeda kembali datang. Perasaan yang dipenuhi rasa takut dan kecewa. Jika aku tertidur lelap sampai akhir istirahat, artinya Mia tidak datang.
Apa ini harus terjadi lagi? Apa jalur hidupku akan terus berputar di roda yang sama?
****
Hari Minggu 28 Oktober. Aku memang ingin mencari tahu tentang peristiwa itu. Padahal tinggal sedikit lagi, hanya sedikit data lagi dan aku bisa mempersempit kemungkinan yang ada.
Kring, kring. Telepon?
Aku lupa dengan jadwal mingguan ini.
"Halo yah"
"Halo san, Kamu sehat? Makanmu gimana? Apa enak? Sekolahmu gimana? Lancar saja? Terus uangmu? Apa kurang?"
Sebenarnya ada beberapa jawaban buruk dari pertanyaan barusan, tapi aku malas untuk bicara panjang.
"Semuanya baik kok"
"Oh... Terus buat uang bulan depan, nanti ayah kirim hari Jumat atau Sabtu"
"Iya, yah"
"Terus gimana, kamu gak mau minta apa-apa di kosanmu?"
Aku lupa kalau ayah menawariku begitu, tapi jika memang dia meangizinkan...
"Mungkin lemari tempel, atau apapun yang bisa nampung buku"
Sangat mengganggu dengan melihat buku-buku ini di tumpuk di lantai.
"Oke... Nanti ayah kesana minggu depan, kayaknya kamu juga bakal susah kalau masang sendiri"
"Iya, yah"
Aku tidak pernah melakukan renovasi rumah sebelumnya. Mungkin ini akan jadi pengalaman yang baik.
"Hmn.... San?"
"Ng? Kenapa yah?"
"Kamu yang kenapa, kemana perginya omongan kasarmu? Dimana tindakan gak sopan yang biasa kamu lakuin?"
“Ha?”
Sangat menyebalkan untuk menereima perkataan ini. Tapi jujur, jika aku berkaca pada diri sendiri. Akulah orang yang harus disalahkan. Aku tahu kalau ayah hanya berkata jujur.
"Bukanya bagus kalau aku jadi anak baik?"
"Mau gimana-gimana pun kamu tetep anak baik, walaupun agak ngerepotin. Ada apa minggu ini?"
Aku sedikit terganggu dengan nada menyebalkannya tadi, tapi aku menyanggahnya.
"Gak ada apa-apa"
Dalam seminggu ini tidak ada hal apapun yang bisa membuatku sedih maupun senang. Kenapa aku harus menyambut telepon ayah dengan semangat? Kebetulan saja hari ini aku masih lelah.
"Oh... Gitu. Jadi kamu masih belum ada kemajuan sama cewek cantik itu"
"Oi, aku gak pernah bilang gitu yah"
"Bukannya kamu sendiri yang bilang? Gak ada apa-apa, itu aneh kan. Kamu yang lagi jatuh cinta harusnya punya satu atau dua kejadian yang menyenangkan bukan"
"Enggak, enggak, darimana logika itu muncul. Lagipula jikapun memang benar, aku tidak akan menceritakannya. Aku cuman lagi malas dan kebetulan ayah juga lagi jinak"
“Jadi memang gak ada apa-apa yah”
“Iya, yah”
Setelah aku menjawab itu, percakapan terputus sesaat. Suara tetesan air dari kamar mandi terdengar jelas, tapi yang mengganggu adalah nafas ayah membuat dengung telepon.
“Kenapa kamu gak cerita san?”
“Bukannya tadi ayah sudah bilang kalau aku gak apa-apa? Kenapa malah tanya lagi?”
"Hassan... Ayah tuh sudah kenal kamu dari zaman kamu dicebokin. Kamu gak motong omongan ayah, nada ngomongmu lembut dan mau nerima ayah datang ke kosan gitu saja. Ini pasti ada apa-apanya"
"..."
Aku sedikit terkesan dengan jawaban ayah. Pasalnya, aku sendiri baru menyadari kalau memang ada yang berbeda. Aku yang normal mungkin lebih memilih untuk merenovasi kamarku sendiri daripada harus menerima ayah sebagai tamu.
"Ayah memang gak maksa kamu. Kalau kamu gak mau cerita sih terserah"
Cih, Kalimat itu. Kenapa ketika di sebut tidak usah malah memberikan efek sebaliknya. Aku merasa bersalah jika harus menolaknya sekarang.
"Yah, aku boleh tanya"
"Boleh saja, tapi kamu yang jujur kayak gini malah aneh. Telepon hari ini jadi gak seru"
Aku memang punya beberapa kesempatan untuk menimpali perkataan ayah yang menyebalkan. Sekarang aku mengerti, ternyata memang ada hal yang menghalangi semangatku belakangan ini. Suatu masalah kecil yang berlarut-larut, tak kunjung selesai dan terus terulang.
"Ayah, waktu ayah deket sama Ibu, pernah gak ngerasa hancur?"
"Ha? Gimana maksudnya tuh? Kalau kayak gitu kamu gak akan lahir. Buat apa ayah nikah sama orang kayak gitu"
Kalimat puitis seperti itu memang tidak bisa menyentuh otak ayah. Memang berbeda sedikit dengan apa yang terjadi padaku sebenarnya, tapi ini mungkin bisa mewakili dan memberiku sedikit petunjuk.
"Kalau gitu, Ayah pernah gak iri sama Ibu?"
"Iri? kenapa?"
"Karena Ibu pintar"
Aku tahu ini hanya penilaianku, tapi ayah dan orang di sekitar kami tahu kalau kepintaran ibuku jauh melampauinya.
"Hmn... Kalau diinget-inget. Ayah pernah ngerasa kalau Ibumu memang gak cocok sama ayah, tapi itu gak penting lagi"
"Gak penting lagi?"
"Iya, ayah sudah gak peduli. Ayah yang bodoh gak bisa salahin ibumu cuman gara-gara dia pinter. Ibumu gak salah apa-apa"
Yah, itu benar. Pemikiran sederhana itu adalah sesuatu yang bisa disadari semua orang. Pemahaman yang dapat diketahui dengan sedikit berpikir dan bicara. Tapi ada hal yang bisa membutakan penglihatan. Hal yang menyakitkan jika kita terus memahami realita yang ada.
"Ya sudah, makasih yah"
****
Aku memiliki beberapa kemungkinan dengan apa yang terjadi di taman danau, tapi semua itu masih sekadar pendapat kasarku saja. Berbagai pengorbanan sudah kulakukan, begitu berat dan melelahkan. Sebelum aku bisa menggapainya, aku sadar kalau aku berjalan terlalu jauh. Orang-orang disekitarku seakan tertinggal dibelakang. Hilang, tidak bisa menyusul dan tidak melihatku. Tidak hanya itu, aku yang sudah jauh melangkah mengalami hal yang sama. Ketika aku melihat ke belakang, rasanya sakit, tidak ada orang yang mengikutiku sama sekali.
Hari Senin 29 Oktober.
"Hgnm..."
Sakit? Kepalaku sakit?
Aku membuka mata dan bangkit dari posisi terlentang. Rasa penat pada kepala dan lemas pada badan membuat kegiatan ini menjadi berat.
Kenapa hari ini panas sekali?
Aku selalu tidur menggunakan selimut, tubuhku mudah untuk kedinginan. Tapi hal yang kurasakan sekarang berkebalikan dengan itu, panas yang kurasakan membuatku bertanya, kenapa aku bisa tidur dalam kondisi ini?
Aku pun segera mengangkat pergi selimut tersebut, membukanya hingga celana pendekku terlihat dan menyentuh udara.
Hn? Brr... Apa ini?
Setelah aku melepas selimutku, rasa dinginlah yang selanjutnya kurasakan. Tubuhku bergidik, rambut-rambut tubuhku berdiri dan angin dingin masuk juga ke tubuh.
Mungkin ini reaksi tubuh yang berlebihan. Tidur menggunakan selimut memang nyaman, tapi masalah akan datang ketika bangun. Tubuhku sulit beradaptasi dengan udara dingin, hal ini biasa dirasakan ketika tinggal di sebuah kota sejuk.
Tapi itu bukan masalah, semua akan hilang setelah aku mandi. Ini hanya gejala biasa, sebuah fenomena dimana tubuh kebingungan. Ketika matahari sudah tinggi, semuanya akan kembali normal.
Itulah yang kupikirkan, tidak, maksudku itulah yang kuharapkan. Aku hanya berusaha untuk menghindari kemungkinan terburuk.
"Kamu gak apa-apa san?"
"Tif, kamu sudah cek barusan kan?"
"Haha... Iya sih, tapi aku gak tahu ngapain apa lagi"
"Kalau gitu diem aja"
Kepalaku terasa penat dan penuh, seperti isinya yang sedang diaduk-aduk oleh sesuatu. Tubuhku terasa lemas, tenggorokanku terasa perih, kerongkonganku kering dan suhu tubuhku yang panas.
Hah... Merepotkan sekali. Hanya sebulan aku hidup sendiri, dan sekarang sudah terserang demam.
Aku menyandarkan wajah bagian kiri pada meja. Pipi, pelipis dan hidung bagian depanku menempel dengan bangku. Disaat seperti ini, meja terasa dingin dan nyaman. Setidaknya inilah yang bisa kulakukan untuk merasa lebih baik. Badan lemas dan rasa kantuk masih kurasakan sampai detik ini, aku juga memposisikan diri untuk tidur dengan menggunakan jaketku sebagai bantal sekaligus selimut.
Sebenarnya demam adalah bentuk dari sistem kekebalan. Mereka yang terinfeksi penyakit akan mengalami kenaikan suhu tubuh. Ini berguna untuk mempercepat kerja enzim dan menekan perkembangan penyakit. Pada saat demam, suhu tubuh memang meningkat, tapi penderita akan tetap merasa dingin. Itu semua bertujuan agar orang tersebut terus mencari kehangatan sampai suhu yang diinginkan tercapai.
"Kamu gak langsung pulang aja?"
"Mungkin nanti, sudah upacara"
Masih banyak orang berlalu lalang di jalur sekolah. Aku tidak mau berpapasan dengan mereka.
"Kamu mau ikut upacara san?"
"Enggaklah"
"Oh... Kirain. Terus nanti ada guru patroli, san. Bilang saja kamu sakit"
"Ng..."
Setelah mengatakan itu, Latif meninggalkankan kelas. Dia adalah orang terakhir di kelasku yang berangkat untuk upacara.
Sekarang ruang kelas menjadi sepi. Seketika tempat ini terlihat sangat luas.
Suara ramai murid dari luar terdengar. Jarak kelasku dengan lapangan sebenarnya cukup jauh. Namun minimnya sumber suara membuat acara itu terasa menggelegar.
Upacara sudah berjalan sekitar sepuluh menit, setengah badanku masih dalam posisi meringkuk. Di saat itulah aku mendengar langkah kaki, suara sepatu keras yang menghantam lantai terus mendekat. Decitan engsel pintu terbentuk beberapa saat setelahnya, aku bisa menyadari kalau ada orang yang masuk ke kelasku.
"San?"
Hn?
Aku mengangkat wajahku, melihat ke arah samping untuk mengetahui sumber suara.
Ah, Kenapa? Dari sekian banyak guru kenapa harus dia?
"Kamu sakit san?"
"Ng..."
Aku kembali meringkuk. Ada guru yang dengan jas lab berdiri di sampingku, guru yang sedikit kekanak-kanakan dengan tingkah lakunya.
"Kenapa kamu gak pulang aja?"
"Nanti saja, kalau upacara selesai, kalau sudah sepi"
"Hehe... Kamu dari dulu memang pemalu yah. Kalau kamu lewat belakang kelas, gak akan ada yang lihat kamu kok"
Mungkin memang benar. Jika aku berjalan melewati belakang gedung, aku bisa pulang tanpa terlihat. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Ini hari senin, sangat mungkin jika gerbang utama ditutup untuk menahan siswa yang terlambat. Aku juga tidak ingin berpapasan dengan orang-orang di sana.
"Nanti saja, kalau upacara sudah beres"
Aku mengatakannya tanpa melihat wajah bu Ria, menghadapkan muka ke tembok sambil menempelkannya ke bangku.
"Terserah kamu lah. Terus izinnya gimana? Ayahmu sudah tahu?"
"Izin sakit, mungkin tiga hari. Kalau ayah, nanti aku kasih tahu"
"Ya sudah, kalau gitu ibu keluar dulu, nanti sore Ibu ke kos-anmu"
"Ng..."
Bu Ria kembali keluar dari ruangan, kurasa sudah tugasnya untuk mencari murid yang mungkin bolos upacara. Tidak ada waktu untuk mengurusiku sekarang.
Upacara berlangsung sekitar dua puluh menit. Begitu berakhir, aku mulai bersiap untuk pulang. Memang agak memalukan, tapi apa boleh buat.
Segera setelah aku berpamitan, aku langsung menuju titik buta para siswa dan berjalan pulang ke rumah. Rumahku memang sedikit jauh untuk berjalan, namun kondisi jalan yang menurun sedikit memudahkanku. Di jalan aku juga membeli beberapa makanan dan obat demi kesembuhan.
Cukup berat berjalan ketika sakit, setiap langkah dipenuhi oleh rasa lemas, beberapa kali aku ingin tersungkur jatuh, tapi akhirnya aku bisa melewatinya. Hanya tinggal membuka pintu dan istirahat dengan tenang. Membuka pintu dan...
Hmn?
Aku menggeledah saku celana dan bajuku, membuka tas dan mencari satu persatu semua tempat berkantung, tapi tetap tidak bisa menemukannya.
Kunci kamarku, kenapa tidak ada? Apa aku lupa mengunci pintu?
Aku mendorong sambil menarik daun pintu. Rasanya berat, pintu itu hanya terdorong sedikit sampai hentakan keras mencegahnya terbuka. Tentu saja pintu kamarku terkunci.
Oke, tenang. Tidak mungkin kunci bisa berjalan dari tempatnya, semua pasti ada sebabnya. Jika itu adalah kunci, tidak mungkin benda itu dicuri, apalagi jika pemilik kamarnya itu sepertiku.
Aku pun duduk bersandarkan pintu kamar.
Hmn...
Aku keluar menggunakan jaket karena kedinginan, tapi memakai jaket itu adalah hal yang kulakukan setiap hari. Aku selalu menaruh kunci di jaket atau saku celana. Dan di sekolah...
Ah, sial.
Ketika aku ingin menjadikan jaketku sebagai bantal, aku merasa terganggu dengan kunci yang ada di sakunya. Jadi aku menaruhnya di kolong bangku. Itu hal yang tidak biasa kulakukan, pada akhirnya benda itu tidak kuambil kembali.
Kamarku ada di lantai dua di paling pojok. Aku merapatkan tubuhku dengan tembok balkon untuk melihat rumah ibu kos. Rumah itu ada di depan kosanku.
Ternyata hari ini bisa lebih buruk lagi.
Rumah ibu kos itu tertutup, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Kendaraan bermotor yang biasa terparkir di halaman depan juga tidak ada. Kalau tidak salah, ibu itu membuka warung sembako di pasar, dia akan pulang siang hari. Rencanaku untuk meminjam kunci cadangan harus kandas karenanya.
Aku sudah tidak punya tenaga lagi, aku juga tidak tahu lokasi warung sembako itu dimana. Mencarinya hanya akan menyiksaku. Pilihan lain seperti kembali ke sekolah juga sangat buruk. Aku bisa pingsan jika melakukan itu, uangku juga sudah sekarat jika harus dua kali menyewa ojeg.
Kenapa aku mengalami semua ini? Apa aku salah? Apa aku tidak perlu memulai pencarian? Apa keadaan akan membaik jika kulupakan semuanya? Atau memang sebuah kesalahan ketika aku datang ke kota ini?
Aku kembali duduk bersandar di pintu. Terlalu lemas untuk bertindak sekarang jadi...
Aku membuka Handphone, melihat kontak dan langsung mengirimkan pesan kepada Ryan mengenai kondisiku. Aku memang tidak memintanya mengantarkan sekarang juga, setidaknya aku tidak keberatan jika harus menunggu sampai istirahat makan siang.
"..."
Selang sekitar lima menit aku mengirimkan pesan, tapi aku tidak mendapat jawaban.
Ayolah...
Ini keadaan darurat, jika memang dia membaca pesanku, harusnya ada pesan balasan apapun isinya. Menerima atau tidak itu masalah mudah, setidaknya aku harus menyebarkan berita terlebih dahulu.
Aku mengirim pesan kedua, tapi hasilnya tetap sama. Tak ingin menyerah, aku terus mengirimkan pesan dengan cepat atau biasa orang sebut sebagai spam. Namun, mau sebanyak apapun aku mengiriminya pesan, balasan dari orang tersebut tak kunjung datang.
Karena tidak mendapat respons, aku pun mengurungkan niat.
Kembali ke menu awal, menggeser layar Handphone dan melihat kontak lain yang ada. Tapi sebelum aku ingin mengirimkan pesan yang sama, terlebih dahulu perasaan berat menyambarku. Jariku berhenti dan pikiranku kosong. Walaupun keadaan darurat, hatiku tetap menolak untuk menggerakan tangannya.
Apa sekarang aku sudah dibuang lagi?
****