Read More >>"> Like Butterfly Effect, The Lost Trail (Bab 6 // Flash Vision) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like Butterfly Effect, The Lost Trail
MENU
About Us  

Liburan Hari mingguku berakhir. Semua waktuku kuhabiskan dengan bersantai, mengerjakan tugas, bermain game, dan membaca beberapa buku.

Setelah telepon dengan ayahku kututup kemarin, dia menelpon kembali. Dia bilang padaku, apapun masalahnya hadapi dan jangan tinggalkan seorang gadis sendiri. Kesediaanku membantu adalah nilai tambah, walaupun masalah tersebut tidak selesai. Ketika gadis datang menceritakan masalah, mereka tidak selalu minta solusi tetapi hanya minta perhatian.

Semua pernyataan itu keluar dari mulut orang yang tidak pernah serius. Walaupun di akhir telepon rasa kesal kembali tumbuh karena kesombongannya yang bisa mendapat hati ibuku dulu.

Aku berhenti berpikir dan berangkat ke sekolah. Berjalan seperti biasa dan sampai ke sekolah tepat waktu. Mengabaikan keluhku untuk tetap mengikuti upacara, berbaris di belakang karena tinggiku yang sedikit di atas rata-rata.

Usai upacara, aku segera membantingkan badanku ke bangku. Merasakan nyamannya suhu dingin di pipi dan melepas semua pegalku.

"Kamu gak ganti baju san?"

"Yah, entar nyusul"

Hari ini kami bermain badminton. Lapangan dibagi menjadi dua bagian, laki-laki dan perempuan mendapat bagian tempat bermain. Lapangan yang kami gunakan itu adalah lapangan futsal, jadi kami tidak bisa menggunakan net.

Ada bagian lapang yang bisa menggunakan net, tapi itu digunakan bu Ria untuk test badminton perorangan hari ini. Kami yang menunggu bisa mencoba dan berlatih tanpa net.

Setengah jam berlalu dan akhirnya namaku disebut. Aku diminta melakukan service, smash bahkan satu set permainan ganda.

Teamku adalah Haryadi, karena dia yang tedekat dengan absenku. Dan kali ini Latif adalah lawanku, karena absennya juga dekat denganku.

Permainanku sangat buruk. Kesalahan service, gagal memukul balik dan kerja sama team yang payah. Aku dan Haryadi bahkan sempat bertabrakan karena mengejar bola, padahal badminton ganda sudah mengatur kami untuk mengurus daerah masing masing.

"Hah... Hah..."

Aku akhirnya menyelesaikan permainan, teamku kalah telak. Latif tidak memberikan keringanan sama sekali.

Aku mencari tempat istirahat dan mengambil tempat duduk di selasar pinggir lapang. Sedikit bersantai mungkin bisa mengobati lelah.

"Kamu kenapa san?"

Bu Ria mendatangiku, pakaiannya masih sama, menggunakan jas lab.

"Gak apa-apa, aku memang gak jago olahraga saja"

"Bukan, kamu kayak gak semangat"

Memangnya wajahku sekarang seperti apa? Aku memang diciptakan seperti ini, tatapan sayuku adalah wajah normalku. Bagiku membuka mata lebar itu melelahkan.

"Mungkin karena ada ibu"

"Tapi kamu udah lemas sebelum ibu datang"

Dari awal aku tidak menyukai olahraga. Hanya karena olahraga itu diganti menjadi permainan, bukan berarti aku akan senang begitu saja.

"Jadi, siapa cewek cantik itu san?"

"Hah?

Aku menelan pernyataanku tadi, sekarang mataku terbuka lebar menatap bu Ria. Membuat wajah heran dengan alis mengangkat.

"Ayahmu ngirim pesan"

Bu Ria mengeluarkan Handphone dan menunjukkan pesan dari ayahku.

Pak Daffa : Hassan ada masalah cinta, coba kamu tanya Ria

"..."

Ayah, aku tahu kau khawatir, tapi pilihanmu kali ini sangat menyebalkan. Bukankah masalah ini sudah selesai dengan nasehatmu?

Aku tidak menyalahkannya, kesalahan utama adalah kebodohanku yang membocorkannya pada ayah. Baik ayah maupun bu Ria, mereka semua mengambil keputusan yang buruk dengan melakukan hal ini.

Sekarang aku mulai mengutuk diriku yang pernah bercerita.

"Jadi gimana san?"

“Apapun yang ayah bilang, lupakan"

Menutup pembicaraan aku berbalik dan membuang wajahku dari bu Ria, tapi setelah mendengar perkataan itu, bu Ria malah mengambil tempat duduk di sebelahku.

"Kamu gak akan cerita san"

"Harusnya Ibu juga sudah tahu ceritanya kan"

Mengingat sifat ayahku, dia pasti membeberkan semuanya. Setidaknya informasi yang dia tahu sekarang setara dengan ayah.

"Kamu kan suruh ibu lupain semuanya"

"Oke, aku salah. Apapun yang ayah bilang, abaikan"

"Hehe... kok gak konsisten sih"

"Ibu juga tahu kan, yang barusan itu bukan lupakan secara harfiah"

"Iya, ibu tahu. Memangnya kamu pikir ibu sebodoh apa?"

Cukup bodoh kalau bisa kubilang, pakaianmu sudah melambangkan itu.

"Kalau pesan dari ibu sih, kamu kalau gak sanggup mending minta bantuan ke orang lain"

Ibu masih belum tahu masalahnya, ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan meminta bantuan begitu saja.

"Itu lebih baik daripada kamu timbun sampe kritis, terus malah orang lain yang selesain masalahnya. Bisa-bisa kamu malah ketikung"

Mungkin memang benar, tapi aku ragu kalau ada orang lain yang bisa menyelesaikan ini.

"Iyah, makasih bu"

Bu Ria mengangguk dengan bangga. Sepertinya dia senang sudah berhasil mendapatkan kesempatan menjadi penasehat. Tapi maaf saja, saranmu tidak akan kugunakan.

Permainan badminton regu setelahku sudah selesai, tapi bu Ria tidak di sana untuk melihatnya. Sepanjang pertandingan itu, dia duduk di sampingku.

"Bu, itu gak apa-apa gak ibu liatin? Nilainya gimana?"

"Nilai? Kamu gak tahu san? Permainan di akhir tadi tuh cuman main-main aja, nilainya sudah ada waktu kamu test sendiri"

Harus kemanakan rasa kecewa atas kekalahanku? Beberapa menit yang lalu, aku merasa bersalah karena menjadi beban dan merusak nilai teamku.

***

Bel istirahat berbunyi. Aku mengirimi Ryan dan Hana pesan untuk datang ke bawah tangga itu, kali ini tentu dengan izin Mia. Aku pergi ke kantin terlebih dahulu, membeli minuman dan roti untuk makan siang.

"Hn? San"

Tapi sepertinya aku bertemu tamuku sekarang. Hana ada di kantin, tapi dia tidak bersama Ryan sekarang.

Dia sendiri sudah selesai dengan urusannya, di pegangnya sebuah minuman kemasan dan bungkus plastik di tangannya, tapi Hana lebih memilih menungguku. Membuat Kami pergi bersama ke bawah tangga tersebut.

"Ryan sekarang dimana?"

"Sudah di sana kok”

Aku sedikit terpikir, kenapa kalian tidak pergi bersama?

Tapi dengan cepat pertanyaan itu kujawab sendiri. Jika terlalu sering bersama adalah hal yang buruk. Mereka akan merasa bosan dan terbebani jika ada persyaratan seperti itu.

"Terus kabar soal sinyal gimana san?"

Aku bingung ingin menjawab apa, tapi karena dia bertanya aku cukup katakan dengan jujur. Bercerita tentang semua hal yang kuanggap penting, semua hal itu hanya ada satu, benda itu tidak ditemukan.

"Jadi masih gak ketemu juga"

Bukan...

"Aku malah gak ngapa-ngapain"

"Hehe... Tapi Mia gak protes kan? Kamu mungkin sudah bantu kok"

"Tetap saja rasanya aneh. Aku mau lebih berguna, aku mau masalah yang kuatasi selesai. Kalau memang gak selesai, aku mau ada perubahan. Diam kayak gini malah gak enak"

"..."

Kenapa tiba-tiba berhenti? Apa yang kukatakan ini aneh?

"Aku boleh nanya san?

"Enggak"

"Kamu suka sama Mia?"

"Kan aku bilang gak boleh"

Aku tidak terkejut, entah instingku yang kuat atau karena dia yang mudah ditebak. Pertanyaan tadi adalah sesuatu yang bisa kutahu akan keluar.

"Maaf, aku penasaran"

Kenapa belakangan ini banyak pertanyaan yang merujuk pada hal itu?

"Hanya karena aku bersikap baik, bukan berarti aku menyukainya"

"Tapi Ryan cuman baik sama aku tuh"

"Ryan beda spesies, jangan jadiin dia patokan cowok"

"Iya juga sih, Ryan kan cuman satu"

Setiap Hana membanggakan Ryan dihapadapanku, lagi-lagi rasa kesal muncul. Inikah yang disebut cemburu? Bukan karena aku menyukai Hana. Aku hanya cemburu pada pasangan secara umum.

"Jadi intinya Ryan itu spesial, Hassan itu biasa yah"

Akhg... Itu sakit, walaupun tidak berdarah. Oke, aku tahu, memang tidak banyak yang menarik dariku, tapi kau tidak perlu mengatakannya.

Percakapan kami berakhir sampai di sana, beberapa detik setelahnya kami sampai di bawah tangga tersebut.

"Ryan, siapa cewek itu?"

Kami melihat kehadiran Mia dan Ryan yang sudah mendahului kami. Mereka duduk cukup dekat, atau lebih tepatnya tempat ini tidak cukup luas.

"Dia Mia, Bukannya pernah ketemu"

"Memang sudah"

"Kalau gitu ngapain nanya"

"Dia siapanya Ryan?"

"Jangan bikin kayak gua ini selingkuh"

"Habis kalian berduaan"

"Kan elu yang nyuruh duluan” Sedikit jeda dia lakukan dengan tarikan nafas. “Oke, stop" dan dikirimkannya perintah berhenti menggunakan tangan.

Mereka sepertinya tidak serius, entah kenapa suasana seperti itulah yang kurasakan. Aku mengabaikannya, duduk di tempat biasa kududuk, disamping Mia, di bawah tangga dan sandaran meja terguling.

Ryan menenangkan Hana dengan baik dan Hana membalasnya dengan ekspresi candaan. Sesuatu yang mereka bentuk masih seperti biasa.

Aku mulai membuka bekal makan. Walaupun ini terlihat menyedihkan, aku sebenarnya hanya membuka plastik Rotiku.

"San, lu tiap hari makan begituan?"

Dia memperhatikan makanan yang kubawa. Bukan karena dia peka, tapi karena penampilanku yang mencolok, diantara kami hanya aku yang tidak membawa bekal buatan rumah.

"Otak manusia masih bisa jalan selama ada glukosa, roti tawar itu makanan terbaik"

"Iya, dan lama-lama lu bakal berhenti jadi manusia"

"Sorry yan, aku masih makan makanan masuawi di kosan"

Aku memang selalu memakan Roti di istirahat, tapi untuk sarapan dan makan malam, aku memasukan menu bergizi di dalamnya.

Kami memakan bekal masing-masing. Tidak sampai sepuluh menit dan aku sudah selesai dengan bekalku.

"Hn?"

Ryan memberikan bekalnya padaku. Sisa makanannya hanya seperempat dari keadaan utuh.

"Gua kenyang san, buat lu saja"

Aku terdiam melihat bekal itu.

"Mau gak?"

"Iya, iya, aku makan"

Apa dia mengasihaniku? Hmn... Mungkin besok akan kubawa nasi bungkus untuk bekal, aku juga mulai bosan dengan roti.

“Kenapa kakak mau makan bekel ka Ryan, tapi gak mau makan bekalku?”

Baru saja aku menarik makanan, Mia menanyaiku dengan pertanyaan.

"Itu beda ceritanya, aku cuman gak mau buang-buang makanan"

Aku memakan bekal milik Ryan. Hanya tersisa tiga sampai empat suap sebelum akhirnya bekal Ryan benar-benar habis.

"Ha?"

Tapi begitu bekalnya habis, Mia menggeserkan kotak makannya kepadaku.

"Aku kenyang kak"

Apa ini? Apa aku semiskin itu? Aku memilih untuk memakan Roti karena keputusanku sendiri, bukan karena aku tidak sanggup membeli nasi.

"Sebelumnya kamu gak pernah kekenyangan kan, kenapa sekarang kamu kasih ke aku?"

"Tuh kan, kok kakak gak mau makan punyaku sih?"

Hanya karena aku makan bekal sisa Ryan bukan berarti aku mau makan semua makanan sisa, kau tidak perlu sampai melakukan ini.

"Iya, iya, aku makan"

Aku sudah malas untuk beralasan, menerimanya adalah jalan tercepat.

Menggeser kotak bekal Ryan dan menaruh bekal Mia di pahaku. Sampai aku sadar, ternyata lauk yang tersisa di bekalnya sekarang hampir seluruhnya tomat.

"Mia, apa maksudnya ini?"

"Hn? gak ada maksud apa-apa"

"Kalau kamu ngasih bekal gara-gara ini, aku gak mau makan"

"Ah, jangan kak. Aku sudah gak bisa makan lagi"

Aku masih tidak tahu siapa yang membuatkannya bekal. Sepertinya dia juga berusaha agar Mia berhenti memilih-milih makanan.

"Kenapa kamu gak coba makan saja sih, rasanya enak kayak strawberry kok"

"Bohong banget kak"

"Aku gak bohong"

Rasa strawberry yang sebenarnya adalah asam, ini karena kandungan terbanyak dari strawberry sama dengan tomat, vitamin C. Aku selalu bingung dengan masyarakat yang menilai buah tersebut manis. Padahal strawberry yang dijual di bus pariwisata dikemas bersamaan dengan gula untuk menetralisir rasa asamnya.

"Jadi kakak tetep ga mau makan bekal aku?"

"Ck, Iya, aku makan"

Tidak ada nilai lebih atas makanan yang kumakan. Kau tidak perlu mendesakku sampai seperti itu.

Beberapa suap aku ambil. Walaupun rasa kenyang sudah kurasakan, tapi aku masih memakan bekalnya. Aku tidak bohong tentang perkataanku yang tidak ingin membuang makanan.

"Kak"

Aku memalingkan wajah pada Mia, menoleh sambil sedikit mendengung. Aku tidak bisa menjawab dengan ucapan, mulutku sedikit penuh oleh makanan.

"Ada nasi di pipi kakak?

Aku meraba dengan tangan kiriku, tapi nasi tersebut tidak bisa kutemukan.

"Bukan di sana"

"Dimana?"

"Duh, di sini kak"

Mia berinisiatif untuk mengambilnya langsung, memperlihatkan butir nasi tersebut dan menyodorkannya ke wajahku.

“Nih...”

Apa maksudnya itu? Apa dia ingin menyuapiku? Dengan tangan kosong? Tidak, ada banyak sentuhan di sana.

Aku membuang wajah dan menolak sambutan nasi tersebut.

"Kak? Hn?"

Dadaku sedikit terpacu, bukan karena tindakannya tadi, melainkan yang terjadi setelahnya. Menanggapi responsku, Mia memakan nasi itu, benda yang ada di pipiku beberapa detik yang lalu. Aku tidak tahu ini sesuatu yang biasa atau tidak, tapi itu sudah cukup untuk menggetarkan hatiku sesaat.

Aku ingin memulihkan akal sehatku dengan memandang ke arah lain, tapi tak disengaja aku melihat Hana di ujung mataku, dia memelototi kami dari tempat duduknya.

Apa dia melihat semuanya?

"Ryan"

Ryan berbalik menjawab, tapi Hana terdiam dan terus menatap wajah Ryan dengan teliti.

"Apaan?"

"Hmn... Ada mulut di mukamu"

"Celakalah kalau gak ada"

"Ryan..."

"Cukup, gua gak tahu lu mau ngapain, tapi mulut dan semua yang di muka itu gak bisa diambil"

"Alis?"

"Oke, itu mungkin bisa, tapi jangan. Gua gak mau pake pensil alis"

“Habis muka kamu bersih banget, kenapa kamu makannya gak berantakan saja kayak anak kecil”

“Soalnya gua bukan anak kecil”

“Sisain dikit buat aku bersihin donk”

“Enggak, makasih”

Ternyata kejadian itu adalah sesuatu yang cukup hebat sampai seorang Hana pun ingin menirunya. Setidaknya aku bisa tahu kalau reaksiku tadi tidak terlalu naif karena terbawa suasana.

"Ryan, aku kenyang"

"Jangan kasih ke gua, gua juga kenyang"

Sedikit jeda di akhir percakapan, menatap makanan yang tersisa di bekalnya dan dengan kompak mereka menatap ke arahku.

Tunggu, tunggu, apa ini seperti yang kubayangkan?

"San, habisin punyaku juga"

Aku melihat ke arah Ryan, dia menggelengkan kepalanya. Aku juga melihat ke arah Mia dan dia membuang wajahnya.

"Hah... Iya, aku yang habisin”

Ada apa dengan kalian hari ini? Jika memang tidak mampu memakannya sampai habis, kenapa tidak kurangi saja porsi bekalnya?

Menggeser kotak bekal Mia di sebelah kotak makan Ryan, aku mengambil kotak makan milik Hana dan kutaruh di atas paha.

Woi, apa semua wanita seperti ini?

Aku melihat banyak tauge dan beberapa tomat di bekal Hana. Sangat jelas kalau dia menyisakan ini semua.

Jadi kamu juga sama saja yah...

***

Aku menghabiskan sisa bekal mereka. Sensasi perut penuh dan getaran tak mengenakkan kurasakan di perutku. Kalau bisa aku tidak ingin merasa kekenyangan lagi.

Kita manusia mempunyai respon yang lambat untuk merasakan rasa kenyang. Ketika perasaan itu muncul di tengah santap makan, itu artinya asupan kita sudah berlebih. Inilah kenapa kita mengenal istilah kekenyangan. Hal ideal yang dilakukan adalah berhenti makan sebelum kenyang.

Terlalu banyak makan hanya akan merusak pencernaan. Makanan yang tak terserap dengan baik hanya akan menjadi racun, itulah yang pernah kubaca.

Ini juga menjelaskan kenapa ada orang yang makan banyak tapi tidak gemuk. Salah satu alasannya adalah kualitas pola makannya yang buruk.

***

Hari ini kami tidak melakukan pencarian, jadi aku langsung pulang. Aku membereskan beberapa barang dan langsung menempatkan tubuhku di atas kasur.

Aku tidak tahu apa yang terjadi hari ini, tapi aku merasa sangat lelah. Rasa lega kurasakan di bahu ketika aku berbaring di kasur. Ini biasa kurasakan ketika rasa pegal sudah memuncak.

Posisiku terlentang dengan menghadap ke langit-langit. Memikirkan tentang sinyal yang kucari dan penyelesaiannya, tapi tentu saja hasilnya sama. Aku malah ragu kalau masalah ini memiliki jalan keluar.

Rasa silau kurasakan dari arah jendela. Posisi matahari yang berada di samping pada sore hari membuat cahayanya menyorot langsung ke kamarku. Aku menghalangi sorotan itu dengan tangan kananku.

Silau cahaya tersebut mengingatkanku pada kejadian dimana aku menjelaskan istilah Rayleigh Scattering pada Mia.

Apakah aku membantu Mia karena keinginan egoisku atau murni karena kebaikanku?

"..."

Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melakukan sesuatu demi orang lain.

"Mia..."

Baru kali ini bertemu orang yang benar benar tertarik pada penjelasanku.

Belajar sendiri memang menyenangkan, tapi memberitahukannya pada orang lain menghasilkan perasaan yang berbeda.

Waktu aku SMP, tidak ada yang benar benar mendengarkanku. Mereka tidak peduli tentang pengetahuan luar biasa yang kutemukan di buku-buku. Kebanyakan orang tidak peduli dan mengabaikanku.

Perkataan seperti “Memang kenapa?”, “Kalau sudah tahu terus gimana?” dan yang cukup ekstrim seperti “Gak nanya” sudah pernah kualami. Semua itu membuatku tidak merasakan kenyamanan ketika aku menjelaskan.

Mungkin kesalahan ada padaku. Waktu itu aku menjelaskan semuanya secara acak tanpa ada pemicu pertanyaan, membuat gambaran sombong pada diriku.

Berbeda dengan di rumah. Ada ibuku yang bisa kuajak bicara, tapi dia jauh lebih pintar. Orang itu hanya mendengarkanku sebagai bentuk perhatian saja. Tidak ada ekspresi ingin tahu di wajahnya. Itu hal yang wajar, mengingat sebagian besar bukuku hasil pemberian ibu.

Sedangkan ayah, dia juga persis dengan ibu. Perbedaannya adalah ayah yang tidak mengerti penjelasanku, baginya berbicara denganku sudah cukup.

Setelah aku SMA, aku mulai berhenti membicarakan itu semua. Rasa hausku akan pujian membuatku lupa tujuanku sebenarnya.

Tujuan, walaupun bias aku masih punya sesuatu yang kujadikan tujuan. Aku melakukan ini bukan untuk dimengerti, bukan untuk saling berbagi, bukan karena nilai, status sosial maupun pujian.

Tujuanku hanyalah ingin tahu, tahu dan mengeti. Pada akhirnya itu semua untuk diriku sendiri. Belajar bukanlah ajang menjadi nomor satu, tapi untuk kita dapat memperoleh pengertian.

Mengetahui sangat membuatku tenang. Mengetahui situasi, mengetahui apa yang orang katakan, mengetahui apa yang terjadi, mengetahui arti alam, bahkan mengetahui semua tipu daya di dunia. Jika semua itu aku gapai, aku bisa mengetahui apa yang akan kulakukan.

Aku, ingin sebuah kebenaran. Tidak tahu apa-apa itu mengerikan.

****

Hari berikutnya, hari selasa. Sesuai rencana, sepulang sekolah kami akan melakukan pencarian. Kali ini aku mengajak Ryan dan Hana. Awalnya Ryan menolakku, tapi setelah aku mengajak Hana, entah apa yang terjadi tiba-tiba Ryan berubah pikiran.

Aku menunggu di depan gerbang. Hana dan Mia pulang ke rumah untuk berganti pakaian, sedangkan kami tidak. Alasan Ryan tidak pulang berbeda denganku, tidak seperti yang lain Ryan memiliki rumah yang cukup jauh.

Aku berdiri dan bersandar di tembok gerbang sekolah, sedangkan Ryan duduk di trotoar. Aku dan Ryan tidak memulai pembicaraan apapun. Ketika kami berpapasan kami hanya melirik satu sama lain lalu membisu.

Kalau dipikir pikir kami sudah jarang berkumpul berdua. Banyak waktu kugunakan untuk pencarian Mia, sedangkan Ryan di saat ini sudah memiliki pasangan.

"Yan"

Ryan menjawab dengan dengungan tegas, tetap memandang lurus tanpa melirik ke arahku.

"Kali kali main ke kosan mau ga?"

"Di kosan lu ada apa?"

"Yah, gak usah ada apa-apa juga. Main saja"

"Kalau cuman ngebangke saja sih males"

Kenapa kita bisa berteman? Ryan juga bukan tipe orang yang mau mendengarkan penjelasanku. Aku memang tidak mengingatnya dengan jelas, tapi tidak ada salahnya mencoba.

"Yan, kenapa ga main game bareng aja?"

"Gak san, gak usah"

Apa ingatanku salah? Setahuku dia cukup antusias dulu. Apa dia sudah tidak menyukai game?

"Bilang aja kamu takut kalah yan"

Jika ingatanku benar, waktu itu aku mendominasi hampir semua game yang kami mainkan.

"santai aja san, gua gak akan kalah lagi"

"Ho... darimana kepercayaan dirimu itu?"

"Soalnya gua gak akan maen game itu lagi"

"Iy-iya memang sih"

Apa dia tidak ingin bermain denganku lagi? Lalu bagaimana kita bisa akrab sekarang?

Apa aku harus meminta bantuan Hana?

Obrolan kami terputus sampai di sana, perasaan sepi terus menyelimuti waktu tunggu kami. Entah berapa lama kami seperti itu, tapi semua hilang ketika Hana dan Mia datang.

Tempat tujuan kami adalah taman danau itu. Karena dari semua tempat pencarian, tempat tersebut lebih nyaman dan lebih dekat dengan sekolah.

Sesampainya di tempat, Ryan adalah orang pertama yang mengambil tempat duduk, diikuti dengan Hana yang memilih tempat di sampingnya. Tempat duduk ini mempunyai empat kursi dengan meja bulat ditengahnya. Kami berkumpul layaknya kelompok belajar. Biasanya aku dan Mia duduk berhadapan, kali ini aku berhadapan dengan Hana, sedangkan Mia dan Ryan ada di sampingku.

"Jadi, kita mau ngapain san?"

Hana bertanya padaku.

"Entahlah" Dan kulemparkan lirikanku pada Mia.

"Hn... Ngapain yah?"

Aku sudah tahu jawabannya dan sudah berkali-kali mendengarnya. Tapi rasa kecewa ketika kalimat itu keluar masih ada.

"Ah, iya kak"

"Kenapa?"

"Aku lihat di TV ada api yang warnanya hijau, itu kenapa yah? kan kakak kemarin jelasinnya cuman oren, kuning, sama biru"

"Kamu lihat di acara apa?"

"Insert Investigasi, waktu uji boraks"

Jadi tema hari ini tentang api lagi. Aku tidak menjelaskan hal tersebut sebelumnya karena aku anggap itu tidak perlu.

"Itu ada hubungannya sama sinyal?" Tanya Hana.

"Enggak... Enggak kan?"

Aku menghadapkan wajahku ke arah Mia untuk bertanya kembali.

"Iya, memang enggak kok"

“Oh...”

Maaf, tapi itu memang kenyataan.

"Jadi gimana kak?"

"Hmn... Coba kamu sebut dulu apa yang kamu ingat waktu itu"

Karena penjelasan ini akan bersambung dengan penjelasanku sebelumnya. Kalau dia lupa, aku harus mengulangnya.

"Kakak bilang, api itu energi hasil pembakaran. Api berwarna gara-gara ngeluarin gelombang cahaya dan warna api nunjukin tingkat kesempurnaan pembakaran. Semakin sempurna pembakaran semakin bening warna apinya. Jika diurut dari yang terendah, warna api itu oren, kuning dan biru. Sempurnanya pembakaran tergantung banyaknya oksigen, makanya api dari bahan bakar gas cenderung berwarna biru karena lebih mudah bercampur dengan oksigen"

Luar biasa, tapi kenapa kau menggunakan kalimat tak langsung? cukup katakan apa yang kau ingat, bukan meniru semua kata-kataku.

"Oke, kamu memang sudah ngerti"

"Tapi warna hijau kan gak ada kak?"

"Karena api hijau itu memang beda. Dari awal, semua warna api tadi cuman berlaku kalau yang dibakar itu bahan organik"

"Bahan organik?"

"Yah, atau lebih tepatnya karbon"

Mia terdiam, wajahnya datar dan tatapannya sedikit kosong.

"Kamu gak tahu karbon?"

"Karbon dioksida? memang bisa dibakar kak?

"Kenapa karbon di kamusmu sempit banget?"

"Hehe..."

Itu bukan pujian, jadi tidak perlu membuat wajah senang.

"Hampir semua benda yang kita bakar sehari hari mengandung karbon. Bensin, kayu, gas elpiji, kertas, dan lain lain."

Kali ini aku mengeluarkan buku catatanku. Seperti biasa, aku menggambar sedikit ilustrasi untuk mendukung penjelasanku.

"Oke, jadi karbon. Pada dasarnya semua karbon berwarna biru waktu dibakar, tapi berbeda dengan benda selain karbon. Mereka ngeluarin gelombang unik dan punya warna apinya masing-masing. Sekarang api hijau, boraks itu boron. Waktu boron dibakar dia ngeluarin gelombang warna hijau”

Mia terdiam melihat catatan dan gambar ilustrasiku, tapi dia tidak menyanggahku sama sekali. Apa aku menjelaskan terlalu cepat?

“Kak?”

“Kenapa?”

"Kenapa pembakaran karbon saja yang warnanya banyak? Kenapa karbon ada pembakaran sempurna tapi yang lain enggak?"

Ada penjelasan panjang tentang ini. Dia harus mengerti macam-macam ikatan kimia dan sifat setiap atom terlebih dahulu.

Hn? Tidak, seharusnya ada penjelasan sederhana tentang ini.

"Mia, kamu tahu Karbon dioksida  kan, tapi kamu tahu gak Karbon monoksida?"

"Kalau Karbon dioksida itu gas yang dikeluarin waktu bernafas, kalau Karbon monoksida itu gas polusi yang di keluarin kendaraan"

Oke, setidaknya dia sudah tahu pengertian dasarnya. Aku tidak menyalahkan ini, entah kenapa pengetahuannya itu dibatasi oleh buku mata pelajaran. Sesuatu yang dia katakan itu persis dengan yang tertulis di buku sekolah dasar.

"Jawaban yang benar itu, karbon dioksida hasil pembakaran sempurna, karbon dioksida hasil pembakaran tak sempurna."

"Jadi kita nafas tuh pembakaran sempurna?"

"Oke stop, itu ada di bahasan lain"

"Hehe... Iya deh"

Kenapa Mia selalu bisa memperluas bahasan ini? Aku yang hampir menyentuh garis finish malah ditarik mundur olehnya.

"Dari semua benda tadi, karbon adalah yang paling mudah terbakar. Boron itu gak bisa kita bakar langsung. Mereka kasih alkohol buat pemicu api biar boron bisa dibakar”

"Oh... Pantesan apinya langsung besar, sudah kayak sulap"

"Karbon itu spesial, waktu minim oksigen dia masih bisa kebakar, tapi hasil gasnya karbon monoksida dan apinya warna oren. Beda kalau boron, dia cuman bisa dibakar waktu kondisi maksimalnya saja"

Aku mulai menggambarkan penjelasanku. Ilustrasi berbentuk segitiga untuk karbon dan reaksi lurus untuk boron.

"Boron yang dibakar gak akan bisa ngasilin hasil tengah. Kalau karbon dibakar, hasilnya bisa jadi karbon monoksida atau karbon dioksida, sedangkan boron cuman satu, boron oksida. Jadi gak ada hasil tengah yang bikin pembakarannya gak sempurna maupun warna api yang berbeda."

"Oh..."

"Oh..."

Aku tidak terkejut dengan reaksi Mia tadi, tapi aku tidak menyangka kalau daritadi Hana ikut memperhatikan.

"Aku baru tahu. Ryan, Hassan tuh memang gini?"

"Iya, dan masih banyak lagi yang dia tahu"

Woi, tunggu, apa-apaan itu yan.

"Oh beneran san? Kalau gitu aku mau nanya"

"Bentar kak, tadi juga ada yang masih aneh"

Setelah Hana mendengar perkataan Ryan, dia menyerbuku dengan berbagai pertanyaan. Serasa tak ingin kalah, Mia juga memberiku pertanyaan lainnya. Mereka tak peduli dengan keadaanku. Begitu aku selesai menjawab , dengan segera pertanyaan lainnya datang.

Waktu berjalan cukup lama. Ryan sudah menaruh wajahnya di lipatan tangan. Dia sudah dalam kondisi setengah tidur, sedangkan aku bisa merasakan punggungku kaku karena duduk tegak.

"Kalau keyboard kenapa diacak abjad nya san?"

"Buat ngurangin kecepatan ngetik pegawai zaman dulu"

"Bukannya makin cepet makin bagus?"

"Bagus buat hasilnya, tapi jelek buat alatnya. Dulu masih pake mesin tik dan selalu rusak, makanya mereka ganti"

Entah pertanyaan keberapa yang sudah kujawab.

"Kakak memang beneran tahu segalanya"

"Aku gak tahu segalanya, aku cuman tahu apa yang kutahu"

Apa aku seluar biasa itu? Bukankah semua ini hal yang bisa ditemukan di buku. Maksudku, aku bukan ilmuwan yang menemukan, aku hanya mencarinya.

Aku mulai lelah, sedikit mengangkat tangan untuk menghilangkan rasa pegal. Sangat merepotkan ditanya oleh dua orang berturut-turut. Itu benar-benar menguras stamina.

Langit sudah semakin gelap. Bukan karena langit malam, tapi karena matahari yang tertutup awan pekat. Angin dingin mulai menghembus, aku bisa mencium aroma hujan dari arah tersebut. Mungkin memang sudah memasuki musim hujan.

Aku masih belum membeli payung, jadi lebih baik pulang sebelum terlambat.

"Yan, bangun, mau pulang gak?"

Aku menggoyang-goyangkan tangan dan badannya, tapi Ryan tidak menunjukkan respons apapun.

Sial, ternyata dia tidak setengah tidur.

Terbesit di kepalaku suatu ide. Melihat botol air Mia, aku pun mengambilnya untuk bantu alat membangunkan Ryan.

Tiba-tiba cahaya terang muncul di hadapanku. Sangat terang hingga membuatku berkedip. Reaksi itu hanya dialami olehku, tidak ada dari mereka yang melihat kilatan petir itu. Posisi dudukku yang menghadap danau menjadi alasan utamanya.

Selang tiga detik dari kemunculan kilat tadi, muncul suara yang sangat keras. Ryan terbangun dari tidurnya, Hana dan Mia melompat karena kaget. Semua orang menutup telinga dan menundukkan kepalanya, kecuali aku.

"Akgh..."

Begitu suara petir terdengar, aku tidak menutup telinga melainkan memegang kepalaku, rasa sakit luar biasa kurasakan. Penglihatanku tiba-tiba kabur, pendengaranku dipenuhi suara dengung dan aku juga kehilangan tenaga di setiap ruas tubuhku.

Sakit, sakit, sakit. Rasa sakit itu terus berlanjut. Aku berusaha menjerit tapi suaraku tidak keluar.

Apa ini? aku tidak pernah merasakan rasa sakit ini?

Berusaha meminta pertolongan aku memaksa untuk kembali membuka mata. Penglihatanku masih kabur, tapi aku bisa melihat. Mereka bertiga memasang wajah cemas. Aku berusaha bicara mereka untuk mengirimkan sinyal ini.

Namun, sebelum bisa melakukan tindakan. Sesuatu yang aneh terjadi pada penglihatanku. Suatu ilusi mata yang tidak jelas tapi sangat membekas. Sebuah goresan hati yang tidak bisa kuingat dan sesuatu yang selama ini tertimbun dalam.

 

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
North Elf
1824      811     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
Dunia Saga
3720      1084     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Melihat Mimpi Awan Biru
3380      1148     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Damn, You!!
2521      898     13     
Romance
(17/21+) Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Arogansinya, sikap dinginnya, atau pesonanya dalam memikat wanita? Semuanya hampir membuatku jatuh cinta, tetapi alasan yang sebenarnya adalah, karena kelemahannya. Damn, you!! I see you see me ... everytime...
Matchmaker's Scenario
790      386     0     
Romance
Bagi Naraya, sekarang sudah bukan zamannya menjodohkan idola lewat cerita fiksi penggemar. Gadis itu ingin sepasang idolanya benar-benar jatuh cinta dan pacaran di dunia nyata. Ia berniat mewujudkan keinginan itu dengan cara ... menjadi penulis skenario drama. Tatkala ia terpilih menjadi penulis skenario drama musim panas, ia bekerja dengan membawa misi terselubungnya. Selanjutnya, berhasilkah...
Life
258      177     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
TENTANG WAKTU
1844      767     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Dimensi Kupu-kupu
11698      2372     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Pelukan Ibu Guru
541      403     0     
Short Story
Kisah seorang anak yang mencari kehangatan dan kasih sayang, dan hanya menemukannya di pelukan ibu gurunya. Saat semua berpikir keduanya telah terpisah, mereka kembali bertemu di tempat yang tak terduga.