Read More >>"> Like Butterfly Effect, The Lost Trail (Bab 1 // Lost Butterfly) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like Butterfly Effect, The Lost Trail
MENU
About Us  

Pernahkah kamu berpikir kalau kamu bukanlah dirimu yang sekarang?

Manusia percaya, bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atlet pandai berolahraga, Ilmuwan pandai meneliti, seniman pandai berkarya dan bahkan politikus yang pandai berbohong.

Apa yang terjadi jika kita bisa bertukar posisi dengan orang-orang tersebut? Dengan pikiran dan perasaan yang sama, apa kita masih diri kita yang sekarang? Lalu, tindakan apa yang akan kita pilih? Akankah sama dengan orang tersebut? Atau justru sebaliknya, kesadaran yang kita miliki bisa membuat pilihan yang berbeda. Ketika semua itu terjadi, apa masa depan akan berubah?

Banyak orang yang berpikir jika menjadi berbakat adalah suatu kelebihan. Diantara mereka bahkan berharap kalau dirinya dilahirkan sebagai seorang yang genius.

Yah, orang-orang yang seperti itu sudah menunjukkan kalau dirinya tidak pintar.

Mereka pikir kepintaran itu dapat menggapai apapun dengan mudah. Meraih prestasi , menjadi terkenal, dan disukai banyak orang.

Heh, Apa-apaan itu? Apa aku aneh? Aku berada di posisi yang terbalik dengan mereka.

Sama halnya ketika anak kecil yang ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Hanya melihat dari luar dan menganggap betapa hebatnya menjadi besar. Tapi setelah itu semua terjadi, pola pikir mereka pun menjadi terbalik.

Semua sama saja, hanya bentuknya yang berbeda. Kelebihan tidak selamanya berbuah manis, dan kekurangan bukanlah penghalang kesuksesan.

Aku tidak pernah menginginkan kekuatan, aku tidak pernah memilih terlahir seperti ini.

****

Sebuah tempat di dataran tinggi. Kota yang cukup padat jika dibandingkan dengan kampung halamanku. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, atau lebih tepatnya memang begitulah ciri khas kota ini.

Saat ini aku sedang berjalan menuju sekolah baruku. Walaupun ini hari pertama, nyatanya tidak ada satupun yang mengantarku pergi ke sana. Ayah yang sudah mengurus semua dokumen telah kembali karena pekerjaannya, sedangkan ibuku tidak datang sama sekali.

Menurut informasi yang kudapat, sekolah itu berada di pinggir pusat kota, tapi ayahku juga bilang sesuatu seperti “Di tengah perumahan”. Aku tidak tahu maksud jelasnya seperti apa, tapi itulah yang kuingat. Banyak hal yang dia katakan padaku tidak tertanam dengan baik. Mungkin waktu itu aku sedang malas, jadi aku mengnyetujui semua penjelasannya.

Aku tahu, melihat masa lalu tidak akan merubah keadaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha mengingat.

Jam menunjukkan pukul 6:45, sudah empat puluh menit aku berjalan. Padahal ayah bilang sekolah itu dapat ditempuh dalam waktu tiga puluh menit.

Apa aku mengambil jalan yang salah?

Kota ini masih terlalu asing untukku, alamat sekolah yang kupegang menjadi tidak berguna. Aku terlanjur berjalan jauh, sudah terlambat untuk kembali dan mengulanginya dari awal. Kalau begini, menanyakan jalan adalah pilihan yang bijak.

Aku mengeluarkan Handphone dari sakuku, menekan tombol kontak dan melihat nama ayahku di dalamnya.

"..."

Tidak, lupakan. Aku tidak ingin menanyakannya pada ayah sekarang.

Kembali mengantungi Handphone dan kulanjutkan langkah lebih jauh. Seharusnya ini menjadi tugas mudah dan sesuatu yang tidak perlu keahlian.

Beberapa Jalan sempit dan bercabang kutemui, tapi aku tidak peduli. Sampai beberapa saat aku menemukan keramaian, pandanganku tiba-tiba saja dipenuhi oleh pedagang. Aku heran, apa kota ini memang ramai dengan kegiatan jual beli, karena di daerah sekitar kontrakanku tidak seperti ini.

Pergerakan kakiku tidak berhenti. Tidak peduli ke arah mana, aku hanya memilih jalan yang cenderung lurus.

Suasana ramai semakin kuat. Obrolan kecil dan teriakan besar saling bertumpang tindih, mengganggu satu sama lain sampai membentuk dengungan di telingaku.

Tunggu dulu ...

Setiap sudut, tidak ... lebih tepatnya setiap bangunan adalah pedagang. Pikiranku menjadi kacau, leher dan kepala bergerak dengan cepat, Semakin kulihat semakin banyak orang berlalu lalang.

... Apa aku tidur sambil berjalan? Aku tidak begitu ingat jalan mana yang kulalui barusan.

Di arah depan ada pedagang sayur dan buah, di samping pedagang rempah-rempah dan di belakangku ada pedagang beras.

Melihat hal tersebut, jiwaku serasa ditarik dari dalam, aku tidak mengerti bagaimana dunia ini berjalan. Rasa bingung dan heran memenuhi kepala, tapi kesimpulan yang kudapat sudah jelas. Aku ada di pasar tradisional.

"Sial"

Aku menenangkan diri dengan menanamkan pernyataan “Mungkin ini memang rute menuju sekolah”.

Melihat ke langit dan berpikir. Setidaknya aku tahu kalau arah sekolah itu ada di utara. Beberapa detik berlalu dan perasaan tercerahkan pun datang, arah tersebut sesuai dengan jalanku selama ini. Walaupun perjalan terhambat kondisi pasar, setidaknya aku bisa datang tepat waktu dengan berjalan keluar menembus pasar sekaligus menuju sekolah.

Tapi kenyataan tidak semanis itu.

Pasar ini cukup luas, menjulur ke semua arah dengan kondisi bangunan yang mirip. Sangat membingungkan untuk orang luar sepertiku. Ketika aku berjalan lurus ke utara, entah mengapa aku selalu menemukan jalan buntu. Sudah kucoba beberapa kali dengan sedikit memutar jalan, tapi tetap berakhir sama.

“Huft ... ”

Aku merasa rendah dan hina, anak laki-laki berumur delapan belas tahun tersesat di pasar dalam perjalanan sekolahnya.

Jam Handphone-ku menunjukkan pukul 6:55. Tentu saja ini sudah waktunya untuk pasar mereda. Tidak seperti barusan, kondisi sekarang memungkinkanku untuk menanyakan arah pada pedagang.

Berjalan mengitari pasar sekali lagi, mengusir rasa lelah dan kecewa dengan menyibukkan dri sendiri. Sampai pandanganku terkunci oleh satu pedagang di persimpangan jalan.

"Bu, gehunya empat"

Ibu itu langsung membugkus dengan plastik, memberikannya padaku dan kutukar dengan sejumlah uang. Percakapan kecil lainnya aku lakukan untuk mencairkan suasana. Tentu saja, semua ini hanya umpan. Niat sesungguhnya adalah untuk bertanya, karena aku sudah muak dengan pasar ini.

“Bu, kalau mau keluar pasar lewat mana yah?"

"Keluar? Adek masuk lewat mana?"

"Dari sana bu" Jawabku sambil menunjuk arahku datang.

"Iya, di sana juga ada jalan keluarnya dek"

“...”

Aku tahu, bukan itu yang ingin kucari. Perasaan kalah luar biasa jika aku melewati jalan tersebut. Aku tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahui fakta itu.

"Gak ada jalan lain gitu bu?"

 

****

Aku bingung kenapa hal ini bisa terjadi. Hari pertama tersesat, aku ingin menyembunyikan fakta ini dari siapapun, terutama ayah. Bisa kubayangkan tawa lebarnya ketika mengetahui hal tersebut.

Cih, membayangkannya saja sudah membuatku kesal.

Ibu tadi menjelaskan arah menuju sekolah dengan jelas. Alasan kenapa aku tidak bisa menemukan jalan keluar adalah sekolah itu sendiri. Tempat itu bersebelahan dan tepat di utara pasar, pondasi dan tembok besar sekolah memutus jalan utara. Kita tidak bisa masuk ke sekolah lewat pasar, maka arah utara adalah satu-satunya jalan yang tidak bisa dilalui.

"Sial, sial banget"

Aku akhirnya keluar dari pasar. Perasaan kecewa dan lega aku rasakan, karena saking mudahnya aku keluar membuat perjuanganku tadi jadi kecil nilainya. Tidak lama setelah itu, aku juga bisa melihat sekolahku. Jika aku gambarkan, sekolahku ini diapit oleh perumahan di setiap arahnya kecuali arah selatan yaitu pasar tadi. Akses jalan menuju sekolah dari tempat tinggalku adalah memutari pasar dan masuk melalui perumahan. Jadi sejak awal, aku yang mengambil jalan lurus ke utara adalah tindakan yang salah.

Tujuanku sekarang terpenuhi, aku bisa menemukan sekolah. Tapi tidak ada rasa puas karena pencapaian ini, itu karena target utamanya tidak kugapai. Waktu sudah terlalu siang, akan sangat canggung jika aku masuk ke sekolah sekarang. Jikapun toleransi mereka berikan, sesuatu yang rumit seperti alasan keterlambatan akan sulit kusampaikan. Tapi di sisi lain, ini juga masih terlalu pagi untukku pulang ke rumah. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berkeliling lebih jauh demi mengetahui sudut kota ini lebih detail. Tentu saja agar kejadian ini tidak terulang lagi.

Aku mulai menjelajahi perumahan, ini juga sebagai referensi tempat berbelanja. Warung makan, jasa fotocopy, dan penjual pulsa akan sangat bermanfaat nanti. Memang agak memalukan ketika ada orang yang melihatku, tapi aku sedikit tertolong dengan jaket hitam yang menutupi seragam.

Banyak waktu kuhabiskan, terkadang aku juga tertarik mengunjungi tempat seperti toko buku dan toko aksesoris kecil. Kepahaman tentang wilayah ini sudah meningkat seiring waktu berjalan. Sampai siang, atau bahkan sore, tidak terasa kalau perjalananku sudah cukup jauh. Dan sampai aku sadar, sepertinya aku tersesat lagi.

"Hah ... Seburuk inikah kemampuan navigasiku?"

Sekarang aku ada di sebuah tempat terpencil dengan satu jalan masuk. Sebuah lahan yang dikelilingi oleh tembok, kecuali arah barat. Di arah tersebut ada sebuah aliran air yang cukup besar dan didepannya lagi tidak ada apa-apa selain ilalang.

Sebelumnya aku tertarik melangkah lebih jauh untuk mencari toko buku yang lebih lengkap, tapi semakin kuberjalan lingkunganku malah semakin sepi.

Apa tersesat sudah menjadi kemampuan khususku?

Tentu tidak sebingung di pasar, aku hanya tidak tahu posisiku sekarang. Jika aku ingin pulang aku bisa mengambil jalan mundur sesuai ingatanku, tapi itu terlalu jauh dan akan sangat melelahkan.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi itu bukan masalah besar. Karena hari ini aku sudah hidup mandiri, tidak ada yang khawatir menunggu kepulanganku sekarang.

Hmn...

Aku suka dengan lahan hijau luas yang melentang sampai ujung penglihatanku, melihat matahari terbenam dan merasakan angin sore di setiap detiknya. Sebuah potret yang menenangkan jiwa. Aku sendiri suka berdiam diri di tempat sempit dan sunyi yang biasa kusebut kamar tidur, apa yang ada di depan mataku sekarang adalah sesuatu yang jarang kulihat.

Lima menit berlalu, pikiranku hampir saja dicuci karena keindahan alam tersebut. Tapi sebelum itu terjadi, aku lebih dulu disadarkan oleh suara di belakangku.

Shrek. Indra pendengaranku menajam karena suasana sepi , suara getar dan gemerisik daun terdengar jelas.

Tunggu? Apa ada orang yang datang? Oh sial, akan sangat memalukan jika dia melihatku.

"Kak?" 

Hn? Suara yang lembut. Apa dia wanita?

Walaupun bukan namaku, sangat jelas kemana panggilan itu ditujukan.

“...”

Aku menenggak air liurku, rasa gugup dan gelisah seketika datang ketika aku memandang arah suara tersebut.

Seorang gadis dengan mata coklat terang, bibir kemerahan, hidung mungil, kulit cerah dan tinggi sekitar 155 sentimeter. Gadis dengan pakaian terusan berwarna pucat dan tas kecil yang dibawanya, dia melihatku dengan wajah penasaran.

Apa yang harus kujelaskan padanya? Apa aku harus langsung pergi? Tidak, itu akan lebih memalukan.

"Kakak ngapain?"

Dia bertanya sekali lagi, suara halusnya tersebut seperti membelai telingaku.

“Huft ... ”

Kakiku pegal, keringatku banyak, kepalaku penat, dan hatiku remuk karena kecewa. Semua itu sangat menyebalkan, ingin rasanya aku berteriak marah pada diriku yang lalai di masa lalu.

Tapi, mungkin tersesat juga bukan hal buruk.

 

****

Hari kedua, dan hari pertamaku ke sekolah.

Aku menyadari fakta konyol ketika aku pulang kemarin. Seharusnya aku tidak perlu tersesat, bahkan hampir semua yang kukakukan itu sia-sia, kebodohan terbesar telah kulakukan di zaman modern ini. Aku memang tidak pernah menggunakannya, tapi itu adalah sesuatu yang bahkan bisa kumengerti dengan sekali pakai. Jika aku menelpon ayah, solusi tersebut mungkin dia usulkan padaku.

Handphone-ku sebenarnya sudah mendukung fitur google map. Tempat umum seperti sekolah pasti dimuat di dalamnya. Entah apa yang ada di kepalaku sampai bisa melupakan hal sederhana ini.

Apa mungkin karena keadaanku yang tidak fit?

Kalau begitu tidur selama empat jam itu memang kurang, mungkin aku akan menambah dua jam lagi untuk keselamatan.

Tidak seperti kemarin, hari ini jauh dari kata tersesat. Kali ini aku bisa berpapasan dengan anak-anak lain. Walaupun masih canggung untuk aku bisa menyapa orang-orang tersebut.

Kepindahanku dimulai pada bulan Oktober, ketika sekolah sudah berjalan sekitar tiga bulan. Aku juga masuk di tahun kedua, dimana hampir semua murid sudah memiliki temannya masing-masing. Ini mempersulitku untuk memulai komunikasi.

Lima belas menit berlalu, banyak siswa lain yang mengambil jalur berbeda dalam perjalanannya. Rute menuju sekolah adalah perumahan itu sendiri, jalannya pun menjadi beragam, tidak masalah untuk sedikit memutar dari jalur utama.

Selang beberapa menit setelah melewati persimpangan, aku melihat seorang pria. Laki-laki dengan tubuh tinggi dan jaket berbahan taslan berwarna gelap. Orang itu memakai celana sekolah, kemungkinan besar kalau dia juga siswa yang sama denganku.

"Hn?"

Aku melihat dengan lebih teliti, sepertinya aku kenal pria tersebut. Rambut tebal dan sedikit bergelombang, cara berjalan yang unik dengan sedikit membungkuk. Laki-laki itu adalah Ryan, entah mengapa instingku bilang seperti itu. Walaupun banyak perubahan terjadi pada bentuk fisiknya, tapi aku masih bisa mengenalinya dengan jelas.

Mempercepat langkah demi mengejar orang tersebut, Aku terdiam sesaat untuk bisa melihat sedikit wajahnya. Ketika aku benar-benar yakin tidak salah orang, tepukan pundak aku berikan padanya.

"Yan? Kamu sekolah di sini ternyata"

"..."

Tapi bukan jawaban melainkan penolakan. Dia membuang wajah dan mempercepat langkahnya.

"Oi, oi, gak usah gini juga lah, yan"

Menghadapi sikapnya, aku juga mempercepat langkah sehingga memiliki phase yang sama dengannya. Tapi dia tidak kunjung berhenti, tetap menjauh dan tidak meresponsku. Sebelum dia terlalu jauh untuk kukejar aku menghentikkannya dengan memegang erat pundaknya. Serentak dia pun berhenti, terdiam sesaat dan memalingkan wajahnya padaku.

"Hah ... Kenapa lu balik lagi?"

Sedikit terkejut ketika kalimat pertama yang dia lontarkan padaku adalah pertanyaan yang dingin.

Tapi ...

Mungkin hanya candaan, karena semua laki-laki tidak akan mengungkapkan pujian dan perasaan rindu pada laki-laki lain.

"Yah, aku gak mau kelamaan di sana, aku juga mau sekolah di kota. Jadi sekarang aku nge-kos sendiri"

"Oh ..."

Ryan kembali mengambil langkah untuk pergi. Sepertinya bukan perasaanku kalau dia memang bersikeras untuk menjauh.

"Enggak, enggak, enggak, hari ini kamu kenapa, yan? Pendiam gak segininya juga"

"Gua gak apa-apa"

Ryan memang bukan tipe orang yang ramah. Biarpun begitu, dia akan membalas obrolan dengan baik. Dan responsnya kali ini berlawanan dengan semua yang kuingat.

"Haha ... Sekarang kamu malah ngasih teka-teki pekain cewek. Ini beneran gak apa-apa yang gak apa-apa, atau gak apa-apa yang kenapa-napa?"

Mungkin dia masih canggung karena kedatanganku yang tiba-tiba. Sedikit candaan kulontarkan, aku kira ini bisa mencairkan suasana, tapi ternyata tidak. Ryan malah mengeluarkan aura dingin, dia bahkan tidak mengubah garis dahi di mukanya.

"Yan? Seriusan kamu kenapa?"

"..."

Masih tetap diam. Kali ini aku sedikit khawatir.

"Yan?"

"Cukup!"

Aku terkejut, suaranya cukup tajam.

Apa aku membuatnya marah? Kenapa? Bukankah belum ada kesempatan untukku bisa membuatnya marah.

Aku mengambil satu langkah mundur, penolakan kuat dia keluarkan dari dalam tubuhnya. Wajah yang Ryan tunjukkan bukan wajah yang menyenangkan.

"Sorry, yan "

Mengurungkan niat untuk bicara, aku bergerak menjauh. Ryan sendiri yang memutuskan benangnya denganku.

"..."

Lagi lagi tanpa jawaban. Memang sepi rasanya jika harus mengakhiri reuni tanpa sapaan dan pamitan sama sekali. Entah siapa yang salah kali ini, tapi aku tidak sepenuhnya menyerah. Aku masih menunggu reuni sesungguhnya.

Semua orang punya urusan dan privasinya masing-masing. Aku tidak berhak ikut campur jika Ryan sendiri tidak memperbolehkanku. Bisa saja aku berinisiatif menawarinya bantuan, tapi dengan hubungan kami sekarang dan sikapnya yang begitu sudah menunjukkan kalau itu tidak mungkin.

Setelah itu kami berpisah. Aku mengambil langkah lurus ke sekolah, sedangkan Ryan segera mengubah arahnya. Beberapa menit berlalu dan tanpa aku sadari Ryan sudah menghilang dari penglihatanku.

Dulu aku pernah ke kota ini. Ryan adalah teman sekaligus tetanggaku waktu SD, pertemuan kami terputus oleh kepindahanku. Semua itu disebabkan oleh Ayah yang mengalami mutasi jabatan, kami sekeluarga terpaksa mengikutinya. Tapi selang aku dewasa, aku meminta untuk hidup mandiri dan memindahkanku ke sekolah di kota. Entah kebetulan atau takdir, sekarang aku kembali bertemu Ryan.

Aku tiba di sekolah, begitu melewati gerbang aku melihat gadis yang kutemui kemarin sore. Sekarang dia tampil dengan seragam sekolah. Perubahan terbesar terletak di bagian wajah, dia memakai kacamata dengan frame berwarna hitam yang lebih besar dari bola matanya.

Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat, aku hanya memandanginya dari jarak yang cukup jauh.

Gadis itu berjalan layaknya siswa biasa, menyisir halaman depan sekolah sampai tiba saatnya dia untuk berbelok. Tatapan kami bertemu, gerak tubuh dan kepalanya membuat dia tidak sengaja memandang ke arahku. Tapi hanya sekejap, dengan cepat dia membalikkan wajah dan kembali melanjutkan langkahnya.

“...”

Sekarang aku harus bagaimana?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
North Elf
1824      811     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
Dunia Saga
3720      1084     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Melihat Mimpi Awan Biru
3380      1148     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Damn, You!!
2521      898     13     
Romance
(17/21+) Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Arogansinya, sikap dinginnya, atau pesonanya dalam memikat wanita? Semuanya hampir membuatku jatuh cinta, tetapi alasan yang sebenarnya adalah, karena kelemahannya. Damn, you!! I see you see me ... everytime...
Matchmaker's Scenario
790      386     0     
Romance
Bagi Naraya, sekarang sudah bukan zamannya menjodohkan idola lewat cerita fiksi penggemar. Gadis itu ingin sepasang idolanya benar-benar jatuh cinta dan pacaran di dunia nyata. Ia berniat mewujudkan keinginan itu dengan cara ... menjadi penulis skenario drama. Tatkala ia terpilih menjadi penulis skenario drama musim panas, ia bekerja dengan membawa misi terselubungnya. Selanjutnya, berhasilkah...
Life
258      177     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
TENTANG WAKTU
1844      767     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Dimensi Kupu-kupu
11698      2372     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Pelukan Ibu Guru
541      403     0     
Short Story
Kisah seorang anak yang mencari kehangatan dan kasih sayang, dan hanya menemukannya di pelukan ibu gurunya. Saat semua berpikir keduanya telah terpisah, mereka kembali bertemu di tempat yang tak terduga.