Loading...
Logo TinLit
Read Story - You Can
MENU
About Us  

"Nggak!"

"Harus!"

"Nggak, Den! Kok maksa, sih?" Kara memberengut. Hidungnya kembang-kempis. Suasana hatinya sudah buruk sejak siang. Tokonya masih sepi dan Marni harus pulang kampung. Sendirian jaga toko itu tidak enak terutama kalau temannya hanya cicak dan semut di dinding. Tidak ada yang bisa diajak ngobrol.

"Meskipun demi toko tetap 'Nggak'?"

"Nggak. Lagian tumben banget kamu mau difoto apalagi divideo? Otak kamu korsleting?" Kara tahu benar kalau Dennis anti kamera. Sahabatnya itu milih ngamuk atau mematahkan kamera daripada harus tersenyum di depan benda kotak bercahaya itu.

Dennis menekan pundak Kara agar mau duduk kembali ke kursi tinggi tanpa penyangga. Saling berhadapan diselingi sepiring kue kering buatan neneknya di meja bundar. Biasanya Kara bisa menghabiskan satu loyang. Masih hangat sudah jadi incaran. Sekarang, kue kering beraroma vanili itu malah tampak menyedihkan. Tidak laku dan tersentuh sedikit pun. Iba, Dennis mencomot satu. Menggigit secuil. Rasa wortel. Lagi-lagi neneknya bereksperimen. Untung rasanya lumayan. Seperti biskuit bayi. Persis.

"Bukan aku," Dennis berkata disela-sela mengunyah kue kering rasa wortel. "Tapi kamu."

"Nggak."

"Denger, Vlog-nya Feri punya follower banyak. Dia janji mau bantu bikin video untuk mempromosikan toko bukumu."

"Kenapa kamu sibuk ngurus aku? Kamu harusnya fokus belajar, Den. Nek Tin bilang kamu mau masuk UI."

"Aku udah pinter."

"Sombong, ih," cibir Kara iri.

"Kamu pikir, aku bakal tenang ninggalin kamu di sini?" tanya Dennis, enggan.

"Harus tenang, dong. Selain kamu, aku punya Agus," Kara melet. Dennis mendengus.

"Agus ada maunya sama kamu, Bodoh!"

"Biarin!" Kara melet lagi, kali ini pasang tampang malas. "Capek. Kamu nggak capek habis ngamen?"

Dennis menggeleng, capeknya terbayar lihat Kara. Wajah Kara enak dipandang. Tidak secantik Lala, tapi mata Kara yang selalu memandang lugu apa adanya membuat Dennis terpaku. Kayak lihat bayi lagi melongo. "Minggu depan harus mau. Kita bakal shooting di tempatmu."

"Nggak! Aku nggak bisa akting. Kugigit, nih," Kara menarik lengan telanjang Dennis. Bersiap seakan-akan mau gigit.

"Gigit aja," Dennis malah menyodorkan lengannya seperti roti paris panjang. Memasang tampang cuek seperti biasanya. Mata terpejam sambil mendesah malas.

Kara nyengir. Melap lengan sahabatnya itu seperti melap meja supaya kinclong. "Nggak, deh. Fans-mu bakal ngamuk. Aku bakal di-bully habis-habisan."

Dennis mengacak rambut Kara. "Kamu."

"Apa?"

"Nggak," Kepala Dennis melongok ke belakang. "Katanya ke rumah Bibi, Nek?"

Kepala Kara ikut menoleh. Di belakangnya, Nek Tin melangkah gesit sambil membawa tongkat kesayangan. Tongkat andalan untuk memukul tulang kering Dennis saat cowok itu berulah. Entah karena menaruh handuk di kasur, lupa mencantelkan kembali seragam sekolahnya, atau sembarangan membuang sampah. Kara ngeri punya nenek seperti itu. Almarhum ibunya sendiri sudah parah dalam hal kecerewetan. Tapi, Kara merindukan kecerewetannya itu.

Di rumah hanya ditemani Tante Erna yang jarang ngomong. Sama saja seperti sendirian. Kara sering lari ke rumah Dennis hanya untuk mendengar omelan Nek Tin. Aneh, banget. Dennis sampai mengatai Kara sinting. Biar, kata Kara.

"Sudah. Cuma minta kemangi," Nek Tin menunjukkan setangkup kemangi. "Seneng ya kalau Nenek perginya lama?"

Kara ngakak, "Kayaknya, Nek."

"Aduh, dasar anak zaman sekarang. Terus," Nek Tin memandangi Kara dari atas sampai bawah. Dari samping kanan ke samping kiri. Detail. Tidak terlewat. Bahkan noda minyak di rok Kara. "Kenapa Kara masih di sini? Nggak malu dilihat orang anak gadis main ke rumah laki. Lama lagi," gerutu Nek Tin.

Ganti Dennis terkekeh, geli melihat gestur Kara salah tingkah. Kara buru-buru turun dari kursi sambil mengambil beberapa potong kue kering.

"Ada tugas, Nek. Den, kirim e-mail. Nek, Kara pamit pulang, ya," Kara langsung keluar melalui pintu belakang. Mengitari halaman lalu melompati pagar kayu setinggi pinggang. Berhasil? Tidak. Tapi, Kara tidak pernah kapok. Masih saja suka lompat pagar. Sampai memar-memar. Jalan pintas, katanya nyengir kuda sambil mengelus pantat.

"Kalian pacaran?" Nek Tin bertanya.

Kening Dennis terlipat heran. "Nggak."

"Bener?" tanya Nek Tin lagi.

"Terserah," Dennis menyugar rambutnya. Sambil menonton neneknya mencuci kemangi, tangannya meraih secangkir wedang jahe yang sempat dibuat Kara. Lalu menyesapnya. Jahe campur kayu manis. Aroma yang pas. Rasa yang sulit ditebak. Kadang seperti itulah perasaan Dennis. Dia sendiri gagal memahaminya. Sama halnya terlalu gengsi mengakui kekalahan. Enggan saja. Belum waktunya saja.

"Nenek tahu, Den," ujar Nek Tin.

Tahu apa? Dennis tidak peduli. Dia hanya memikirkan nasib toko buku milik sahabatnya. Tidak lebih, semoga. Janjinya.

 

***

 

"Kalau ke sini harus pilih buku! Wajib!" Kara pasang badan di depan mulut pintu toko. Agus tersenyum hangat. Di tangan kanannya membawa kantong putih kecil. Pasti risol lagi, batin Kara. Lezat, kok. Cuma Kara tidak enak hati makan risol gratis terus.

"Selamat pagi, Kara. Hei, Den!" Agus melambai ke belakang Kara, tempat Dennis berdiri sambil memegang lap basah. "Minggu bersih, ya?"

Hanya menoleh sekilas tanpa menjawab, Dennis kembali melakukan aktivitasnya. Melap rak. Menata buku tanpa dibayar. Ikhlas. Kara hanya kasih upah segelas es susu jahe plus semangkuk bakso kalau abang langganan lewat.

Kara yang menengahi. Pasang muka ramah menyambut pelanggan jenis apa pun. Ya, kadang Kara tidak setulus itu. Muka topeng lebih sering digunakan Kara. Lelah penyebabnya. "Harus bawa pulang buku!"

"Tergantung. Ada yang bagus?"

Kara mendesah, "Harusnya kalau tahu kontaknya Kelana Samudra, aku mau masok bukunya dia."

"Masih dia lagi?"

Kara mengangguk, "Beberapa minggu ini banyak yang tanya tentang dia."

"Wow, beken juga. Jujur, karya dia memang bagus meski agak aneh." Agus maju selangkah, "Boleh masuk, kan?"

"Iya, deh," Kara mundur, memberi jalan masuk. "Aneh bagaimana?"

"Dennis nggak cerita?" Agus melirik cowok yang sibuk menata ulang buku. Pura-pura tuli kadang sudah jadi kebiasaan Dennis jika Agus datang ke toko dan ngobrol dengan Kara. Sesekali Dennis berdeham atau batuk-batuk tidak jelas. Mondar-mandir kayak odong-odong lewat di depan Kara dan Agus.

"Dia mah gitu. Dia yang kasih tahu, dia juga yang bungkam."

Agus tersenyum, "Mungkin susah jelasinnya. Aku sendiri bingung. Kelana berhasil menulis sesuatu yang benar-benar menggambarkan kami, para cowok."

"Apa itu?" tanya Kara.

"Perasaan kami. Cinta di mata cowok berbeda dengan cewek," jelas Agus, lembut sambil menopang dagu mengamati wajah Kara belepotan debu dan sarang laba-laba tersangkut di poni cewek itu.

"Anehnya di mana?" Kara berusaha sebaik mungkin untuk tidak terpengaruh pesona Agus yang magis. Apalagi senyuman Agus yang bikin nagih. Gila. Seandainya Dennis juga punya senyum seperti Agus. Seandainya. Kara bakal double gila.

"Nggak mau spoiler. Dosa."

"Pelit. Sama pelitnya kayak Dennis." Kara manyun.

Agus terkekeh, "Toko mulai rame?"

Wajah Kara berubah girang secepat kilat, "Lumayan, ada pelanggan baru. Katanya gara-gara brosur yang disebar pengamen di taman. Tuh," Kara tersenyum menunjuk sosok sahabatnya. Masih sibuk melap. "Rencananya kami juga mau buat Vlog."

"Vlog?"

Kara menggeleng, "Aku nggak ngerti cara kerjanya. Dennis sama Feri yang tahu. Kamu mau ikut? Biar rame."

Agus mengintip. Dennis masih diam. Tidak menyahuti. Seolah tembok tebal tanpa kuping. "Boleh sama Dennis?"

Bingung, Kara menoleh ke Dennis. Sahabatnya makin giat melap sampai terdengar bunyi decitan saking kuatnya menggosok.

"Boleh," ucap Kara sambil mengunyah permen jahe.

"Kara!" Dennis memanggil. Suaranya tenang, tapi tanpa senyum. Lap basah sudah tergeletak di lantai.

Di saat bersamaan, pintu toko terbuka. Berdiri bocah ojek payung yang dulu tubuhnya basah. Sekarang, bocah itu tidak lagi gigil. Tanpa payung, justru ransel di punggung. Wajahnya terbalut keceriaan lugu khas anak-anak. Namanya Carlos, tertulis di kaus hitam kebesaran itu. Mungkin, Kara belum tanya.

"Mbak," sapanya, ragu.

"Carlos?" sapa Kara, ramah.

Bocah tersebut melirik kausnya sendiri lalu menggeleng. "Nama saya Juki."

"Oh, Juki. Mau beli buku lagi?"

Juki menggeleng lagi. "Saya mau bayar kekurangan yang waktu itu," Juki merogoh saku celana kain sobek di bagian lutut dan paha. "Ini."

"Nggak usah."

"Tapi saya harus," katanya.

"Kenapa?"

Juki menunjuk ke belakang Kara. Tepatnya pada Dennis. "Mas itu," tunjuknya.

"Ambil saja uangnya, Juki," pinta Kara.

Namun, Juki keburu kabur meninggalkan sejumlah uang di tangan Kara. Hatinya pedih teringat susahnya Juki mencari uang. Kara pun balik badan menghampiri Dennis. Cowok itu kembali meraih lap.

"Kamu tahu Juki?" tanya Kara.

"Nggak."

"Kenapa dia nunjuk kamu?"

Dennis mendesah, "Itu nggak penting."

"Penting. Aku nggak mau nerima uang ini," Kara membuka genggaman tangannya. Uang kertas lecek dan beberapa receh. "Dia lebih susah daripada aku."

"Aku cuma mau dia jujur," ucap Dennis, pelan.

"Dan, dia benar-benar jujur." Kara memasukkan uang itu ke kotak amal di samping kursi, tempat Agus duduk.

"Apa ada yang mau risol?" tawar Agus, mengangkat kotak bekal berisi risol. "Baru matang."

Kara menggeleng, "Sebelum kamu pilih buku, aku nggak mau makan risolmu."

"Beneran?"

"Iya. Aku selalu menepati janji."

Agus tersenyum, "O ya? Tapi kamu lupa janji kita."

"Janji? Janji kita?" Kara bingung.

"Ingat saat kamu kena hukuman dan minta namamu dibebaskan dari notes merahku?"

Ya ampun! Kara baru ingat. Ia menggigit bibir. Takut. Bukan takut pada Agus, tapi Dennis. Sahabatnya itu mendelik tajam. Lap sudah tergelatak di lantai. Lalu, sejak kapan senyum Agus jadi terlihat licik? Kara bergerak gelisah mendengar langkah Dennis mendekatinya.

"Aku nggak ingat," dusta Kara, mulai menggigiti kukunya.

"Apa janji kalian?" tanya Dennis, santai. Bersandar pada rak buku dengan kaki ditekuk ke belakang.

"Apa yang kamu pikirkan, Den?" Agus tersenyum menantang.

Dennis melirik Kara. Kara malah melirik kesal pada Agus. Kesal karena Agus sudah janji tidak akan cerita pada Dennis mengenai kecurangan waktu itu. Kara bahkan sampai nego agar namanya tidak masuk ke notes merah milik Agus. Dennis benci orang curang. Apalagi demi nama baik. Tapi Kara terpaksa. Demi beasiswa. Satu kesalahan akan memupus kesempatannya.

"Nonton film horor."

Tags: TWM18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
LASKAR BIRU
7899      2225     6     
Science Fiction
Sebuah Action Science-Fiction bertema Filsafat tentang persepsi dan cara manusia hidup. Tentang orang-orang yang ingin membuat dunia baru, cara pandang baru, dan pulau Biru. Akan diupdate tiap hari yah, kalau bisa. Hehehe.. Jadi jangan lupa dicek tiap malamnya. Ok?
Strange and Beautiful
4738      1298     4     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
Secret Garden
316      264     0     
Romance
Bagi Rani, Bima yang kaya raya sangat sulit untuk digapai tangannya yang rapuh. Bagi Bima, Rani yang tegar dan terlahir dari keluarga sederhana sangat sulit untuk dia rengkuh. Tapi, apa jadinya kalau dua manusia berbeda kutub ini bertukar jiwa?
The Friends of Romeo and Juliet
20240      3003     3     
Romance
Freya dan Dilar bukan Romeo dan Juliet. Tapi hidup mereka serasa seperti kedua sejoli tragis dari masa lalu itu. Mereka tetanggaan, satu SMP, dan sekarang setelah masuk SMA, mereka akhirnya pacaran. Keluarga mereka akur, akur banget malah. Yang musuhan itu justru....sahabat mereka! Yuki tidak suka sikap semena-mena Hamka si Ketua OSIS. dan Hamka tidak suka Yuki yang dianggapnya sombong dan tid...
Someday Maybe
11080      2103     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
SiadianDela
9010      2363     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
RAHASIA TONI
40802      5351     62     
Romance
Kinanti jatuh cinta pada lelaki penuh pesona bernama Toni. Bukan hanya pesona, dia juga memiliki rahasia. Tentang hidupnya dan juga sosok yang selalu setia menemaninya. Ketika rahasia itu terbongkar, Kinanti justru harus merasakan perihnya mencintai hampir sepanjang hidupnya.
AILEEN
5932      1272     4     
Romance
Tentang Fredella Aileen Calya Tentang Yizreel Navvaro Tentang kisah mereka di masa SMA
To The Girl I Love Next
404      283     0     
Romance
Cinta pertamamu mungkin luar biasa dan tidak akan terlupakan, tetapi orang selanjutnya yang membuatmu jatuh cinta jauh lebih hebat dan perlu kamu beri tepuk tangan. Karena ia bisa membuatmu percaya lagi pada yang namanya cinta, dan menghapus semua luka yang kamu pikir tidak akan pulih selamanya.
Special
1586      845     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.