Gara-gara Dennis, Kara penasaran. Siapa Kelana Samudra? Kok bisa-bisanya pemilik toko buku tidak hafal penulis beken dengan sejuta penggemar? Pasti bukunya laku keras. Lalu, kenapa buku Kelana Samudra belum masuk ke tokonya? Kara bingung.
Kadang, Kara lebih memilih memasok banyak buku laris ketimbang buku baru. Secara realistis, Kara mencari untung. Penulis dengan banyak penggemar mendatangkan laba membengkak. Secara idealis, Kara ingin lebih banyak memasok buku dari penulis baru meski kadang bikin migrain.
Sedang Kelana Samudra? Mungkin Agus tahu. Cowok penjual risol di kelas sekaligus pelanggan tetap di toko buku Kara, rajin sambang tiap akhir pekan. Entah ada buku baru atau tidak, Agus akan datang sambil membawa sekotak risol. Kara bisa saja pura-pura oon tentang sikap Agus padanya. Bisa saja pura-pura mati rasa, padahal Kara tahu benar maksud Agus selama ini. Tapi, selama Agus masih bungkam, Kara akan terus oon.
"Kata siapa?" tanya Agus.
"Dennis."
"Udah cek Google?"
Kara menggeleng sambil memutar-mutar ponsel Nokia di meja kasir. "Ponselku jadul."
Agus tersenyum semanis gulali sampai kedua matanya hilang. "Kalau nggak salah, dia penulis sekaligus komikus."
"O ya? Kok bukunya nggak masuk ke toko?"
"Nggak tahu. Emang karya dia selama ini dijadikan buku?" Agus balik tanya. Pasang tampang culun andalan. Muka polos dilengkapi sebaris senyum legit. Kara jadi ingin memilikinya. Egois rasanya.
"Mana kutahu. Aku aja baru tahu semalam dari Dennis. Maksud aku tanya tentang dia bukan karena nge-fans, tapi cari untung."
"Untung?"
"Iya. Kamu pernah baca karyanya? Bagus?"
"Bagus. Nggak jelek."
"Nah, katanya dia punya penggemar banyak. Kalau dia benar nerbitkan karyanya dan aku jual bukunya, kan, aku bisa untung, Gus."
Agus terkekeh, "Tumben cari untung. Biasanya sibuk kasih diskon."
"Lagi butuh duit buat nambal atap yang bocor sama lantai yang mulai banyak cuil. Kata Dennis, tokoku mirip rumah hantu. Beneran?"
Mata kecil Agus menjelajah sudut demi sudut. Dibangun tahun 90-an dengan dana terbatas, Toko Buku Makmur belum pernah mengalami renovasi total. Ayah Kara beberapa kali cuma ganti cat dan menambal keretakan dinding. Itu pun menggunakan dana dari ganti rugi akibat pembangunan apartemen di samping toko. Tidak mirip rumah hantu, tapi mirip rumah kontrakan pinggir jalan dengan dua jendela di kedua sisi pintu.
Saat umur Agus enam tahun dan untuk pertama kali diajak ayahnya jalan-jalan karena nilai rapornya bagus, dia salah memilih tempat sekaligus awal mula mengenal seorang cewek bergigi cokelat. Agus merengek minta masuk ke sebuah bangunan dari kayu. Agus pikir rumah kayu itu akan banyak menjual mainan dari kayu seperti yang sering ayahnya buat. Tapi, pertama kali masuk, Agus langsung merengek minta keluar. Tidak ada mainan dan dia benci buku. Sialnya, ayahnya telanjur kesal mendengar rengekan Agus yang menjengkelkan. Agus dibiarkan mengeluh, sedangkan sang ayah sibuk mengobrol dengan pemilik rumah kayu, Ayah Kara.
Dulu, Toko Buku Makmur masih ramai. Di setiap deret rak, selalu ada pelanggan mencari buku dengan kusyuk. Agus sampai heran apalagi dengan seorang gadis kecil berkucir kuda sedang duduk makan cokelat sambil membaca dengan keras-keras. Gadis itu sadar kehadiran Agus, menawarkan sisa cokelat yang ada bekas gigitannya. Dengan polos, gigi cokelatnya membuat Agus tertawa. Semenjak itu, dia tak pernah lupa pada cewek bergigi cokelat. Entah apakah cewek bergigi cokelat di depannya ingat atau tidak dengan cowok tukang merengek yang disodori cokelat bekas gigitan. Agus malu jika ingat.
"Lampunya perlu ditambah. Cat ulang lagi dengan warna cerah," usul Agus.
"Dennis juga bilang gitu, tapi Ayah suka warna cokelat seperti ini. Warna kayu. Warna kehidupan, katanya."
"Sudah pasang iklan di Internet?"
Lagi-lagi Kara menunjuk ponsel Nokia di meja kasir. "Nanti minta bantuan Dennis. Biar dia yang pasang iklan. Aku nggak ngerti gitu-gituan."
"Kalau ini," Agus mengangkat kotak bekal putih berisi risol ke meja. "Ngerti risol buatan Agus, nggak?"
"Janjimu. Tiap kotak risol ditukar satu judul buku. Pilih sana."
"Untuk kali ini gratis, Ra."
Bukan kali ini saja kamu sebut gratis. Akan ada lain kali kata gratis yang makin sulit kuterima, Gus.
***
"Lama amat, Den. Aku hampir gosong nunggu kamu di sini," keluh Feri, mengelap keringat di sekitar kening lebarnya. "Yang lain pada pergi duluan."
"Tadi nge-print sebentar," Dennis mengeluarkan harmonika dari saku celana. "Ayo."
Mereka mulai berjalan di sepanjang pedestrian. Mencari lokasi baru untuk mengamen. Biasanya taman akan menjadi tujuan. Tentunya butuh nyali. Ngamen identik dengan stigma negatif dan Dennis ingin mengubahnya. Apalagi Feri. Cowok berambut kribo yang jago main biola. Karena hobi bermusiknya ditentang ayahnya, Feri memilih mengasah kemampuannya di jalan. Bertemu banyak orang. Sesama pengamen dari yang ecek-ecek sampai intelek. Tidak sekadar mencari uang, tapi menjajal kemampuan. Apa salahnya jika dimulai dari jalanan?
Grogi? Pasti. Mereka awalnya cuma berdiri di tengah taman dan mulai memainkan alat musik. Fals, banget. Namun, Kara yang saat itu nongol di antara kerumunan, membuat semangat Dennis melonjak. Baginya senyum Kara segalanya. Omelan cewek sok tegar itu baterai tercanggih. Hampir setahun mengamen, Feri bisa membeli biola baru, sisanya disumbangkan. Dennis tidak memerlukan uang itu. Tugasnya hanya menemani Feri mengamen agar temannya itu tidak grogi.
"Ada Lala. Incaranmu," Feri menyikut lengan Dennis. "Nggak malu ngamen ada dia?"
Di mana? Dennis mencari sosok tinggi ramping berwajah judes itu. Pasti Feri salah lihat. "Fokus ngamen, Fer."
"Lagu andalan?"
Dennis mengangguk. Mereka berdiri bertolak belakang saling menempelkan punggung. Ketika sentuhan lembut gesekan biola Feri melantun di udara, Dennis menyiapkan napasnya dan mulai memainkan harmonika tuanya. Sebuah lagu ciptaan Ibu Sud, Tanah Airku.
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak 'kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan halamanku
Di sanalah ku merasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Selesai, pertunjukan kecil mereka dihadiahi tepukan samar. Tidak meriah seperti biasanya. Dan, Dennis tidak peduli berapa banyak tepukan tangan yang dia dapatkan. Matanya sedang mencari-cari. Ketemu. Mata Dennis menangkapnya. Cewek judes itu memang ada di sana. Berdiri tak jauh darinya. Terselubung kerumunan orang dengan pakaian mencolok. Serba ungu. Sampai sepatu pun ungu. Dennis bisa paham kenapa di sekolah cewek itu dijuluki Putri Ungu. Saat lagu selesai dimainkan, Dennis berjalan membagikan selebaran brosur. Bukan minta uang seperti biasanya. Feri sampai bingung. Saat langkah Dennis tiba di depan cewek itu, ia tak segan-segan menyerahkan brosur. Awalnya Lala menolak, tapi Dennis memaksa. Menangkap tangan mungil itu.
"Kalau senggang, datang ke sini. Aku tahu kamu hobi baca." Dengan santainya Dennis berjalan mundur tanpa melepas pandangannya. Lala, kamu akan kudapatkan. Jangan sok nggak mau segala! batin Dennis, tersenyum sinis.
Sedangkan Lala hanya berdecak muak sambil meremas brosur lalu dimasukkan ke kantong celana jins-nya. Paling tidak, di diri Lala, Dennis menemukan kesadaran diri untuk menghargai orang lain. Tidak seperti kebanyakan orang ketika diberi brosur cuma dilihat sekilas lalu dibuang. Dennis terpaksa memungut kembali brosur yang dibuang.
"Uangnya mana? Kok sebar brosur?" Feri bertanya. Bingung dengan kantong brosur yang dipegang temannya. Biasanya Dennis minta duit menggunakan topi favoritnya itu. Topi keberuntungan.
"Uang saku dari ayahmu kurang?" sungut Dennis. "Ini untuk Kara. Demi tokonya."
Feri ngakak, "Aku cuman tanya. Dia yang minta sebar brosur?"
"Dia nggak tahu."
"Ah..." Feri terkikik. "Kenapa Lala masih di situ? Kayaknya tadi dia eneg banget lihat mukamu."
Dennis melirik sekilas. Lala masih menatap tajam ke arahnya. Bukan tatapan kagum atau mendamba seperti kebanyakan cewek. "Dia sama aja kayak cewek lain. Sok jaim."
"Yang aku dengar dari salah satu teman sebangkunya, Siti, Lala memang anti cowok."
"Lesbi?" Dennis bergidik ngeri.
"Bukan. Anti cowok model kamu maksudnya," Feri garuk-garuk kepala. "Siti yang bilang. Aku cuman perantara doang."
Bibir Dennis melengkung sinis lagi. "Jangan sebut Dennis kalau belum bisa buat tuh cewek mau sama aku."
Cewek kayak Lala lebih seru bagi Dennis. Menantang. Tidak mudah ditaklukkan. Perlu taktik. Tidak asal-asalan. Semua hanya trik. Tidak ada kata suka apalagi cinta. Sama sekali tidak ada.
"Siti bisa jadi sumber informan paling top," ucap Feri.
"Kalian pacaran?"
"TTM."
"Friendzone."
"Daripada kamu. Pacar Dikejar Deadline."
Dennis terkekeh. Apa pun sebutannya, Dennis tidak keberatan. Terserah apa kata dunia.
"Eh, Lala ke sini," bisik Feri.
Gerakan Lala penuh emosi. Ambisi, tetapi tetap anggun dan terkontrol. Dennis nyengir.
"Feri, tolong bilang ke temanmu itu, kalau main harmonika, napasnya dikontrol. Ada nada yang terdengar fals. O ya, kapan-kapan aku mampir ke tokonya."
Feri angguk-angguk sambil garuk-garuk kepala. Mendadak bingung bagaimana cara menyahuti omongan Lala. Dennis cuma menyilangkan kedua tangan di dada. Tersenyum simpul. Tetap diam. Hanya mengamati sampai sejauh mana Putri Ungu ini memainkan permainannya.
"Itu bukan toko Dennis, tapi toko sahabatnya. Kara. Tahu, kan?" Akhirnya Feri mencoba menjelaskan.
"Kara Asmira?"
"Betul. Dia gila baca. Tau apa aja segala buku. Mampir, ya," kata Feri, menampilkan senyum.
"Oke. Sampaikan ke temanmu itu, kalau kasih brosur ke orang pake senyum. Jadi, orang senang lihatnya. Dah, Fer." Lala hampir berbalik ketika tangannya dicekal. Dennis. Lala tahu sudah memancing cowok itu.
"Kamu udah nantang aku, La-La."
Semua cewek sama. Kecuali satu orang. Dan, aku nggak mau menyakitinya.
04 Maret, malam hari pukul satu dini hari. Buku harian Dennis.