“Pengumuman kepada siswi bernama Marsya Nadhifa, Fira Shallita, dan Lacita Lathifah ditunggu kehadirannya di ruang BK. Sekali lagi, kepada siswi bernama Marsya Nadhifa, Fira Shallita, dan Lacita Lathifah ditunggu kehadirannya di ruang BK. Sekarang. Terima kasih.”
Pengumuman dari pengeras suara sekolah itu membuat Marsya menghentikan kegiatannya, yaitu mengerjakan tugas Fisika yang baru saja diberikan oleh gurunya.
“Marsya, kamu bisa keluar sekarang,” ucap Pak Firman, guru Fisika di Marsya, mempersilakan Marsya untuk keluar kelas.
Marsya pun menganggukkan kepalanya lalu ia beranjak dari kursinya dan berpamitan kepada Pak Firman. Setelah itu, Marsya langsung berjalan menuju ruang BK. Marsya sengaja tidak menunggu Fira ataupun Lala karena Marsya menduga mereka berdua sudah berada di ruang BK.
Dugaan Marsya benar, Fira dan Lala sudah berada di dalam ruang BK.
“Sebelumnya saya minta maaf telah menganggu waktu belajar kalian,” ucap Bu Bertha sembari berjalan ke arah Marsya, Fira, dan Lala yang sudah duduk di sofa yang tersedia di ruang BK. “Saat ini, saya sangat butuh kejujuran dari kalian bertiga. Tenang saja, jika kalian jujur, kalian akan tetap aman karena interview ini bersifat rahasia dan terbatas.”
“Kejujuran tentang apa, Bu?” tanya Lala.
“Kejujuran tentang keempat murid yang dimaksud oleh artikel yang ada di gedung A,” jawab Bu Bertha sembari duduk di sofa yang berada di hadapan Marsya, Fira, dan Lala.
“Kami memang murid yang dimaksud oleh penulis itu, Bu,” ucap Fira.
“Bagus, saya apresiasi kejujuran kalian,” ujar Bu Bertha, “Yang satu lagi siapa?”
“Arsen, Bu,” jawab Fira.
“Arsen Nicander?” tanya Bu Bertha.
Fira menganggukkan kepalanya.
“Kalian tunggu di sini sebentar, biar saya yang panggil dia,” ujar Bu Bertha lalu beranjak dari sofa yang beliau duduki dan kemudian berjalan keluar dari ruang BK.
“Kenapa langsung kita yang dipanggil, ya?” tanya Lala.
“Kayaknya karena gue sama Fira terlibat dalam kasus Nadya yang waktu itu,” jawab Marsya.
Fira menganggukkan kepalanya. “Dan karena kita biasa bertiga, makanya lo juga dipanggil, La.”
“Silakan duduk.”
Suara itu membuat Marsya, Fira, dan Lala memberhentikan obrolan singkat mereka dan melihat ke arah sumber suara.
“Saya ingin kalian jujur kepada saya,” ujar Bu Bertha saat beliau sudah kembali duduk di tempat duduknya tadi. “Apakah kalian tau penulis artikel yang ada di gedung A dan juga gedung D?”
“Tidak, Bu,” jawab mereka berempat hampir bersamaan.
“Sekadar informasi untuk kalian berempat, sebenarnya pihak sekolah tidak mempermasalahkan tulisan yang ada di gedung D bahkan pihak sekolah menyetujui adanya tulisan itu agar kita semua bisa berhati-hati,” ujar Bu Bertha, “Tapi, saya sangat ingin mengetahui siapa penulis artikel yang ada di mading gedung A dan mading gedung D. Dan hanya kalianlah yang mungkin bisa membantu saya mencarinya.”
“Kami memang sedang dalam proses mencari penulis itu, Bu,” ucap Arsen.
“Bu, menurut saya, Fira, dan Lala, penulis mading di gedung A dan gedung D adalah orang yang sama, Bu,” jawab Marsya.
“Kenapa kalian berpikiran seperti itu?” tanya Bu Bertha.
“Kami bertiga merasa kalau penulis itu ingin karya miliknya yang di gedung D dilihat oleh orang banyak, tapi sayangnya yang lihat cuma kami berempat. Jadi, dia nulis artikel yang seperti itu di gedung A agar pembaca penasaran dan mulai membaca tulisannya yang ada di gedung D,” jawab Marsya.
Bu Bertha mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut beliau, teori yang diberikan oleh Marsya cukup masuk akal. “Baiklah, kalau memang dia adalah orang yang sama, saya akan memanggil penanggung jawab mading di gedung A. Adakah di antara kalian anggota ekskul jurnalis?”
“Saya bukan anggota jurnalis, tapi saya tau siapa penanggung jawabnya, Bu,” jawab Marsya, “Penanggung jawabnya adalah Jenny kelas XII MIPA 1.”
“Arsen, tolong kamu panggilkan dia, ya,” pinta Bu Berha kepada Arsen.
Arsen menganggukkan kepalanya lalu ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari ruang BK menuju kelas XII MIPA 1.
“Bu, kalau pihak kepolisian tau berita ini apakah kami akan kembali dipanggil?” tanya Fira.
Bu Bertha menggelengkan kepalanya. “Kalian tenang saja, semua yang menyangkut Nadya dan Pak Minro sudah selesai karena kedua pihak juga sudah berdamai.”
“Saya mau tanya, Bu, kalau misalnya kita udah tau penulisnya, Ibu mau ngapain?” tanya Lala.
“Saya hanya ingin tahu dia mendapatkan itu semua dari mana karena menurut saya, tidak semua yang ia tulis merupakan sebuah prediksi masa depan,” jawab Bu Bertha.
“Maksud Ibu tulisan tentang Lena?” tanya Fira.
Bu Bertha menganggukkan kepalanya. “Ya, itu yang saya maksud, tidak mungkin itu adalah sebuah prediksi. Dia pasti tahu sesuatu tentang Lena, tapi bukan berarti dia satu kelas dengan Lena. Dan saya yakin, penulis itu senang memperhatikan gerak-gerik orang lain. Dia ada di mana-mana dan jika kalian tidak mau kisah kalian dituliskan olehnya, maka kalian harus bersikap biasa saja.”
Marsya menganggukkan kepalanya. Dia memang sudah bersikap biasa saja selama ini karena dia sangat takut penulis itu akan menuliskan sesuatu tentang dirinya.
“Pagi, Bu.”
Suara itu membuat Bu Bertha, Marsya, Fira, dan Lala menoleh ke sumber suara dan mendapati Arsen dan Jenny sedang berjalan ke arah mereka.
“Silakan duduk, Jen,” pinta Bu Bertha.
Jenny menganggukkan kepalanya lalu ia duduk di sofa yang berada di dekatnya, begitu juga dengan Arsen.
“Saya langsung to-the-point saja, ya? Siapa yang menulis artikel itu?” tanya Bu Bertha.
“Saya gak tau, Bu, waktu hari Jum’at saya gak ikut kegiatan ekskul dan saya meminta tolong kepada Fika untuk mengurus mading gedung A,” jawab Jenny.
“Fika tidak ada memberitahukan penulisnya kepada kamu?” tanya Bu Bertha.
Jenny menggelengkan kepalanya. “Saya sudah tanya ke Fika, tapi Fika bilang kalau dia gak tau siapa yang nulis. Fika bilang artikel itu terdapat di folder yang sama dengan artikel yang diberikan oleh Bu Rania. Seharusnya minggu ini artikel yang ditempel adalah artikel Bu Rania, cuma karena Fika merasa akan lebih menarik jika artikel aneh itu ditempel, makanya dia nempel yang itu, Bu.”
“Siapa yang menyerahkan folder artikel Bu Rania kepada kalian?” tanya Bu Bertha.
“Anak kelas sepuluh, Bu, katanya dia disuruh Bu Rania,” jawab Jenny.
“Dia ngasih ke kamu terus kamu kasih ke Fika?” tanya Bu Bertha.
Jenny menganggukkan kepalanya.
“Ibu tidak yakin dia adalah penulis itu,” ucap Bu Bertha, “Penulis itu pasti sudah kelas dua belas atau kelas sebelas karena murid kelas sepuluh tidak mengetahui keberadaan mading gedung D. Kamu masih ingat wajah anak kelas sepuluh itu?”
Jenny menggelengkan kepalanya.
“Baiklah, nanti saya akan bertanya kepada Bu Rania mengenai anak kelas sepuluh itu dan kalau saya sudah mendapatkan sesuatu yang berguna, saya akan kembali memanggil kalian berempat,” ujar Bu Bertha. “Untuk Jenny, saya ucapkan terima kasih atas informasi yang telah kamu berikan.”
“Sama-sama, Bu,” balas Jenny.
“Ya sudah, sekarang kalian berlima bisa kembali ke kelas kalian,” ujar Bu Bertha kepada mereka berlima.