Marsya mengoyakkan kertas yang baru saja ia tulis untuk yang kesekian kalinya. Saat ini, Marsya sedang berada di perpustakaan untuk menulis artikel untuk dikumpul pada hari Jum’at. Namun sayangnya, Marsya tidak memiliki sesuatu yang menarik dan anggota divisi reporter tidak ada yang memberikan konten artikel kepadanya.
Marsya sempat berpikir untuk menjadi peristiwa Yuri sebagai bahan untuk artikelnya. Akan tetapi, Marsya langsung tersadar itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya dibicarakan di media.
Ketika Marsya sedang melihat kesekelilingnya untuk mencari ide, matanya tak sengaja menangkap Kenzo yang sedang berdiri di bagian novel misteri.
Marsya sedikit tidak menyangka ia akan menemukan Kenzo di sebuah tempat yang bernama perpustakaan. Marsya tak menyangka bahwa Kenzo adalah tipe siswa yang mau ke perpustakaan untuk membaca novel.
Marsya terus memperhatikan Kenzo sampai Kenzo mendapatkan novel yang ia cari dan duduk di kursi yang letaknya sedikit jauh dari kursi yang diduduki oleh Marsya.
Sadar bahwa memperhatikan Kenzo dari jauh adalah hal yang membuang waktu berharganya, Marsya pun kembali fokus dengan artikel yang hendak ia tulis.
“Lo udah ada artikelnya?” tanya Fika sembari duduk di kursi yang berada di meja yang sama dengan meja Marsya.
Marsya tersentak dari lamunan singkatnya ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Fika.
“Lagi nyari bahan?” tebak Fika.
Marsya menganggukkan kepalanya. “Hal yang berkaitan dengan realita itu susah banget, Fik.”
Marsya berkata seperti itu dengan maksud agar Fika memberikannya keringanan dan mengembalikan tema artikel yang akan ia tulis ke tema artikel yang lama.
“Hidup penuh tantangan, Sya, dan menulis artikel yang berkaitan dengan realita itu adalah salah satu dari tantangan. Jadi, itu adalah hal yang wajar,” kata Fika. “Lo seharusnya senang ditunjuk jadi penulis artikel. Banyak yang punya keahlian kayak lo atau mungkin lebih daripada lo, tapi mereka gak bisa mendapatkan kesempatan itu. Jadi, lo harus bersyukur, bukannya ngeluh.”
Marsya terdiam. Sebenarnya dia ingin melawan perkataan Fika, tetapi mengingat Fika tidak pernah salah, Marsya pun memutuskan untuk berdiam diri.
“Ya udah, gue mau balik ke kelas, lo harus inget apa yang gue bilang, kalau lo gak sanggup, gue bisa bantu lo buat bilang ke Bu Rania,” kata Fika lalu dia beranjak dari kursinya dan berjalan menjauhi Marsya yang masih terdiam.
“Diomelin?” tanya Cindy sembari duduk di kursi yang tadinya diduduki oleh Fika.
Marsya mengangkat kedua bahunya.
“Lo sabar aja, ya, Sya, siapa tau omongan Fika itu bisa buat lo termotivasi di hari yang akan datang,” kata Cindy.
“Gak bakal,” balas Marsya.
“Oh ya, itu si Kenzo, ‘kan?” tanya Cindy.
Marsya menganggukkan kepalanya.
“’Gimana kalau lo buat artikel tentang dia,” usul Cindy.
Marsya menggelengkan kepalanya. “Kalau gue buat artikel tentang dia dan banyak orang yang tau dia, bisa-bisa saingan gue makin banyak.”
“Lo samarin aja dia,” kata Cindy. “Lo buat tema artikel lo itu cowok ganteng tersembunyi. Jamin deh, pasti banyak yang baca.”
Marsya terdiam sejenak. Tidak, ia tidak sedang memikirkan usulan dari Cindy. Tetapi, ia sedang memikirkan betapa jahatnya dirinya karena tetap menyukai Arsen di saat Arsen dan Cindy berpacaran. Walaupun sebenarnya Marsya tidak dapat disalahkan sepenuhnya, Marsya tetap merasa dirinyalah yang salah.
“’Gimana? Bagus, ‘kan?” tanya Cindy.
“Gue coba deh, tapi nanti harus lo koreksi, ya,” jawab Marsya.
Cindy menganggukkan kepala. “Aman itu mah.”
***
Seusai bel pertanda pembelajaran di sekolah telah selesai, Fira dan Lala langsung berjalan ke kelas Marsya. Sejak beberapa hari yang lalu, kelas Marsya telah resmi menjadi markas mereka bertiga untuk membahas tentang mading di gedung D.
“Lo udah duplikasi kuncinya, ‘kan?” tanya Fira kepada Marsya untuk memastikan.
Kemarin, mereka bertiga sepakat untuk menduplikasikan kunci pagar agar mereka tidak dicurigai oleh penjaga sekolah. Dan yang bertugas untuk menduplikasikannya adalah Marsya.
Marsya menganggukkan kepalanya. “Yuk, kita ke sana.”
Mereka bertiga pun melangkahkan kaki mereka menuju gedung D.
Kalian selalu melihat orang yang memiliki wajah yang rupawan
Kalian selalu melihat orang yang memiliki otak yang cerdas.
Kalian selalu melihat orang yang memiliki uang yang banyak.
Kalian selalu melihat orang yang memiliki kepopuleran yang luar biasa.
Tapi, pernahkah kalian melihat dia, dia yang tidak memiliki satupun kelebihan yang ada di atas?
Jika kalian tidak pernah, maka tolong, lihat dia, serta jangan lupa untuk peduli dengannya.
Karena dia, dia juga manusia,, dia ingin mempunyai banyak teman.
Tapi sayang, dia tak tahu bagaimana cara berteman saat dia tidak memiliki kelebihan.
Untukmu, L, bersabarlah. Mungkin mereka bisa menemuimu secepatnya.
Jika kau adalah pembaca tulisanku ini, kuharap kau bisa bersabar sampai mereka datang.
“L untuk Lacita Lathifah,” kata Marsya setelah ia selesai membaca tulisan yang tertempel di mading.
“Sembarangan lo, Sya,” bantah Lala. “Kalau gue yang dia maksud, gak mungkin lo berdua kenal sama gue.”
“’Gimana cara kita tau orang itu?” tanya Marsya.
“Kayaknya gue tau siapa yang dimaksud sama penulis ini,” kata Fira.
Fira sedaritadi diam karena dia merasa ada seseorang yang sangat berkaitan dengan tulisan yang baru mereka baca. Dan orang itu adalah teman sekelas Fira.
“Siapa?” tanya Lala.
“Lo berdua tau Lena, ‘kan?” tanya Fira.
Marsya dan Lala menganggukkan kepala mereka.
“Gue gak bermaksud buat ngerendahin Lena, tapi dia cocok banget sama tulisan ini,” kata Fira.
“’Gimana cara kita mewujudkan apa yang ditulis sama penulis ini?” tanya Lala.
“Kayaknya cuma lo yang bisa, Fir,” kata Marsya. “Gak mungkin gue sama Lala tiba-tiba sok kenal sama dia, ngajak dia main bareng.”
Fira menganggukkan kepalanya . “Iya, gue yang bakalan deket sama dia.”
“Tapi, lo harus pelan-pelan, Fir, lo gak bisa sendirian ngelakuin ini, karena kalau lo sendirian, teman-teman sekelas lo pasti bingung,” kata Marsya. “Lo harus ngajak teman sekelas lo buat mulai peduli sama dia, setidaknya menganggap dia sebagai bagain dari kalian. Gue yakin, pasti banyak teman lo yang belum pernah ngomong sama dia.”
“Termasuk gue,” kata Fira.
“Lo serius?” tanya Lala.
Fira menganggukkan kepalanya. “Jujur, gue takut kalau lihat orang yang sifatnya kayak Lena, tapi, mulai saat ini, kayaknya gue harus menghilangkan rasa takut itu.”
“Memang lo harus,” ucap Lala.