“Jantung gue serasa mau copot, gila,” kata Lala saat mereka bertiga sudah berada di ruang kelas Marsya.
Marsya tidak menanggapi perkataan Lala karena dia masih menetralkan detak jantungnya. Begitu juga dengan Fira. Mereka berdua seperti tidak mempunyai tenaga untuk menanggapi perkatan Fira.
“Serem banget, sumpah,” ucap Fira setelah ia merasa dirinya sudah tenang.
Marsya menanggapi ucapan Fira dengan sebuah anggukan.
“Lo udah dapet fotonya?” tanya Lala.
Marsya menggeelengkan kepalanya. “Waktu gue mau foto, suara gila itu tiba-tiba datang. Jadinya gue gak sempat.”
“Gue gak berani lagi ke sana,” kata Fira.
“Kayaknya semenjak gak dipakai gedung D jadi serem gitu deh,” ucap Lala.
Marsya dan Fira menganggukkan kepala mereka pertanda mereka setuju dengan ucapan Lala.
“Lo berdua gak penasaran sama tulisan itu?” tanya Marsya yang tiba-tiba saja teringat akan tulisan yang tertempel di mading gedung D.
“Gue penasaran, Sya, banget malah, tapi gue takut buat ke sana,” jawab Fira.
“Sama, gue juga,” timpal Lala.
“Kok gue ngerasa tulisan itu bukan sekadar tulisan biasa, ya?” tanya Marsya.
“Menurut gue, ada sesuatu yang berbeda dari tulisan itu,” kata Lala.
“Astaga,” ucap Fira dan berhasil membuat Marsya serta Lala menatap ke arahnya.
“Kenapa, Fir?” tanya Marsya.
“Gue rasa tulisan itu ada supaya kita memperhatikan orang yang ada di dalam tulisan itu,” jawab Fira.
“Darimana kita tau orang yang ada di dalam tulisan itu kalau orang yang nulis tulisan itu gak ngasih tau ciri-ciri orang itu?” tanya Lala.
“Dia ngasih tau ciri-ciri orang itu, La,” jawab Marsya.
“Dia menggambarkan orang itu sebagai orang yang sempurna, orang itu cerdas, cantik, dan selalu tersenyum,” kata Fira.
“Jangan-jangan itu lo, Fir,” kata Lala.
“Apaan, sih? Gue gak gitu kali,” bantah Fira.
“’Gimana kalau kita balik ke sana besok?” usul Lala.
Fira menganggukkan kepalanya.
“Untuk sementara waktu, gue rasa kita gak usah ngasih tau soal itu ke yang lain dulu. Tunggu sampai kita tau kepastian tulisan itu,” kata Marsya.
Fira dan Lala menganggukkan kepala mereka.
“Ini kita udah selesai, ‘kan?” tanya Lala.
Marsya menganggukkan kepalanya. “Lo berdua kalau mau balik, balik duluan aja. Gue masih mau ke perpustakaan.”
“Ya, udah, gue sama Lala balik duluan, ya, Sya?” pamit Fira sembari mengambil tasnya.
Marsya kembali menganggukkan kepalanya.
“Hati-hati lo sendiri di sini,” pesan Lala lalu ia mengambil tasnya.
“Alay lo,” kata Marsya walaupun pada kenyataannya, dia sedikit takut dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
“Bye, bye, Marsya,” ucap Fira dan Lala bersamaan lalu mereka melangkahkan kaki mereka keluar dari kelas Marsya.
Marsya yang tinggal sendiri di kelasnya pun memutuskan untuk duduk sebentar di tempat favoritnya, yaitu kursi guru, sembari memikirkan kembali apa yang baru saja ia alami bersama dengan kedua sahabatnya.
“Oh, iya,” ucap Marsya tanpa sadar saat ia mengingat sesuatu yang sempat terlupakan olehnya dan juga Fira serta Lala.
Marsya baru ingat kalau ada sebuah inisial yang dicantumkan oleh penulis itu. Tetapi, Marsya lupa apa inisial itu. Marsya juga baru ingat kalau dia belum mengunci gembok pagar itu.
“Apa gue harus balik ke sana?” tanya Marsya kepada dirinya sendiri.
“Tapi, gue takut.” Marsya menjawab pertanyaannya sendiri.
Marsya pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada Fira untuk meminta saran.
Marsya Nadhifa: Gue baru inget klo ada inisial nama di kertas itu
Fira Shallita: Lo serius?
Marsya Nadhifa: Kayaknya gue bakal balik ke sana deh fir
Marsya Nadhifa: Gue jg baru ingat klo gue blm kunci gemboknya
Fira Shallita: Lo yakin mau balik ke sana?
Marsya Nadhifa: Yakinn
Fira Shallita: Sya
Fira Shallita: Karna gue sm lala khawatir sama lo
Fira Shallita: Tlg banget, lo ke sana bawa teman
Fira Shallita: Siapapun itu
Fira Shallita: Tpi lo jgn bawa dia smpe ke mading
Marsya Nadhifa: Yaampun fir
Marsya Nadhifa: Gue aman kok
Marsya Nadhifa: Kalo ada yg gue kenal bakal gue ajak kok
Fira Shallita: Hati hati ya sya
Fira Shallita: Doa gue sm lala menyertai lo
Marsya membalas pesan dari Fira dengan ucapan terima kasih dan setelah itu dia menyimpan ponselnya ke dalam saku roknya lalu mengambil tasnya.
Kalau Marsya boleh jujur, sebenarnya ia sangat takut untuk kembali ke gedung D. Namun, takdir menyuruhnya untuk kembali ke gedung D agar Marsya tahu siapa orang yang dimaksud oleh penulis kertas itu.
Dengan segala keberanian dan kemampuan yang Marsya punya, ia pun melangkahkan kakinya keluar dari kelasnya dan menuju pagar pembatas gedung A dan C dengan gedung D.
Sesampainya Marsya di pagar itu, ia dikejutkan dengan posisi gembok yang sudah terkunci dengan kunci yang sudah tak lagi tertanam di gembok itu.
“Lha? Kok ini udah ke kunci, sih?” tanya Marsya dengan panik.
Ia mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, bermaksud untuk mencari seseorang yang bisa ia tanya. Tetapi hasilnya nihil. Marsya tidak menemukan seorangpun untuk ditanyai.
Marsya pun mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Fira.
“Fira, mati gue,” kata Marsya setelah teleponnya sudah tersambung dengan Fira.
“Kenapa? Lo ketemu setan?”
“Bukan. Kunci gemboknya hilang.”
“Hah? Lo serius? Siapa yang ngambil?”
“Gue gak tau, sumpah, ya ampun, Fir, ‘gimana ini?” tanya Marsya dengan sangat panik. Ia takut jikalau kunci tersebut telah berada di tangan orang yang salah.
“Sya, lo tenang, sekarang coba lo ke pos satpam terus tanya sama satpam di mana penjaga sekolah sekarang.”
“Oke, Fir, ‘makasih, ya,” ucap Marsya sebelum ia menutup sambungan teleponnya.
“Lo nyariin kuncinya?” tanya seseorang dari belakang Marsya.
Marsya pun langsung menoleh ke belakang dan mendapati seseorang yang sangat tak ia duga kedatangannya.
Marsya menganggukkan kepalanya.
“Udah gue balikin ke penjaga sekolah,” kata Arsen.
Ya, Arsen adalah orang yang bertanya kepada Marsya.
“Kok bisa lo yang balikin?” tanya Marsya.
“Tadi gue lihat pagarnya kebuka, ya, gue tutup, terus gue kunci dan gue kasih ke penjaga sekolah,” jawab Arsen.
“Oh, gitu, ‘makasih, ya, Sen,” ucap Marsya. “Gue balik duluan, ya?”
Marsya pun langsung melangkahkan kakinya melalui Arsen dan kembali ke kelasnya. Marsya sebenarnya sangat ingin mempunyai durasi percakapan yang panjang dengan Arsen. Akan tetapi Marsya sadar, ia tak seharusnya mempunyai keinginan seperti itu dan tak seharusnya ia berbicara dengan Arsen.
Akibat percakapan singkatnya dengan Arsen, Marsya gagal kembali ke mading gedung D. Ia malah melangkahkan kakinya untuk keluar dari sekolah.