"Kok muka lo sedih banget gitu, Sya?" tanya Cindy saat ia dan Marsya sedang menyantap makan siang mereka di kantin sekolah.
Marsya hanya menggelengkan kepalanya, ia masih tak yakin untuk menceritakan kesedihannya kepada Cindy.
"Lo ada masalah apaan, Sya?" tanya Cindy.
Marsya menghela napasnya. Ia sedikit tidak tega melihat Cindy penasaraan dengan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting. "Gue takut, Cin."
"Takut kenapa?" tanya Cindy kebingungan. Ia tak menyangka seorang Marsya yang selalu terlihat gembira dan bersemangat bisa mengalami rasa takut.
"Mulai minggu depan, gue disuruh buat nulis artikel tentang fenomena-fenomena yang ada di sekolah ini. Gue takut gue gak bisa menyajikan berita yang benar dan gue takut orang-orang akan memandang gue sebagai orang yang suka ikut campur masalah orang lain," jawab Marsya.
Kemarin, sewaktu ekskul jurnalis melakukan diskusi secara online, seluruh anggota membicarakan tentang konten artikel yang akan dituliskan oleh Marsya dan mereka semua setuju dengan usulan dari Fika. Bahkan beberapa anggota yang bukan divisi reporter bersedia mencari informasi untuk artikel yang akan ditulis oleh Marsya.
Saat itu juga Marsya merasakan dua perasaan yang sangat bertolak belakang. Marsya merasa senang karena akhirnya para anggota dapat lebih aktif dan Marsya juga merasa sedih karena ia sebenarnya tak yakin dengan usulan Fika.
Tapi, apa boleh buat? Marsya tak bisa memaksakan kehendaknya karena dia hanyalah seorang penulis dan bukan anggota ekskul jurnalis. Lagian suaranya tidak akan menang karena hanya dialah orang yang kurang setuju dengan usulan Fika.
"Maksud lo isinya kayak gosip gitu?" tanya Cindy.
"Sebenarnya gue rasa artikel itu bakalan jadi gosip, tapi mereka bilang mereka bakalan mencari informasi seakurat mungkin. Jadi, ya, kayaknya itu bukan gosip," jawab Marsya.
Cindy mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda ia mengerti apa yang dimaksud oleh Marsya. "Sya, menurut gue gak seharusnya konten artikel itu diubah. Mau seakurat apapun informasi itu atau mungkin mereka akan menggunakan inisial, tetap aja itu gak pantes buat disebar ke satu sekolah."
Pernyataan Cindy membuat Marsya merasa bersalah. Pernyataan Cindy yang terlihat seperti membelanya membuat Marsya merasa bersalah karena ia menaruh perasaan kepada pacar Cindy. Pernyataan Cindy juga berhasil membuat Marsya merasa dia harus segera menghilangkan perasaanya kepada Arsen.
"Kok lo malah diam gitu sih, Sya?" tanya Cindy yang sedikit kesal karena Marsya menanggapi pernyataannya dengan sebuah keheningan.
Marsya pun tersadar dari lamunannya. "Maaf, Cin, gue bener-bener lagi takut."
"Kayaknya lo harus nyari gebetan deh, Sya," saran Cindy.
Ingin rasanya Marsya menjawab kalau sebenarnya dia sedang menyukai seseorang. Tetapi, Marsya sadar jika dia jujur mengenai hal itu maka dunianya akan runtuh. Tidak akan ada lagi Cindy yang selalu memberikannya motivasi jika harinya sedang buruk.
"Bentar biar gue cariin," kata Cindy sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin.
Setelah beberapa detik mencari, akhirnya pandangan Cindy tertuju kepada seseorang yang sedang mengantre bubur ayam di kios yang letaknya tak jauh dari tempat ia dan Marsya makan.
"Sya, kayaknya gue udah dapet orang yang harus lo gebet," kata Cindy setelah ia mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.
"Siapa coba?" tanya Marsya.
"Arah jam sebelas," jawab Cindy.
"Arah jam sebelas lo atau gue?" tanya Marsya.
"Arah jam sebelas lo," jawab Cindy.
Marsya langsung melihat ke arah pukul sebelas dan mendapati sosok lelaki itu. Lelaki yang dua hari lalu menjemputnya di kelas.
"Yang rambut hitam itu?" tanya Marsya.
"Ih, lo ada gila-gilanya, ya? Mereka semua rambut hitam kali, Sya," jawab Cindy dengan rasa kesal yang sedikit meluap.
Marsya hanya tertawa kecil. Membuat Cindy dan orang lain kesal adalah hobi Marsya.
"Lo mau tau satu hal gak?" tanya Marsya.
"Apaan?" tanya Cindy.
"Gue berencana buat gebet dia sejak dua hari yang lalu," jawab Marsya.
Cindy terlihat terkejut, ia sedikit tak menyangka orang yang ditawarkannya adalah orang yang memang sedang diincar oleh Marsya. "Lo udah tau namanya?"
Marsya menggelengkan kepalanya. "Tapi, gue rasa dalam waktu beberapa menit gue bakalan tau namanya."
Cindy menganggukkan kepalanya. Ia tahu dan yakin Marsya akan mengetahui nama lelaki itu hari ini juga.
Marsya pun bangkit dari kursinya. "Bentar, ya, Sya."
Cindy menganggukkan kepalanya untuk kedua kalinya lalu kenbali menyantap makanan miliknya yang terabaikan selama beberapa menit karena dirinya terlalu fokus dengan pembicaraannya dan Marsya.
Marsya memutuskan untuk masuk ke kios itu agar ia bisa melihat badge nama yang terjahit di seragam putih lelaki itu. Untung saja Marsya mengenal pemilik kios ini jadi dia bisa memasuki kios ini tanpa harus melalui berbagai rintangan.
"Neng Marsya bukannya udah mesan bubur tadi?" tanya Bu Erti, pemilik kios Bubur Ayam Jago.
"Marsya lagi pengin ke sini aja, Bu, sejak kelas dua belas Marsya 'kan udah jarang ngapelin kios ibu," jawab Marsya dengan sedikit bumbu kebohongan.
"Bahasa kamu itu, Sya," ucap Bu Erti seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya udah, kamu duduk aja di situ."
Marsya pun duduk di kursi yang berada di dekatnya, tak lupa Marsya mengarahkan pandangannya ke antrean para pembeli.
"Eh, Nak Kenzo, tumben kamu ke sini langsung," ucap Bu Erti saat lelaki itu hendak mengatakan pesanannya.
Rasa senang serta gembira menyelimuti Marsya. Akhirnya ia mengetahui nama lelaki itu dan itu artinya dia sudah selesai melaksanakan tugasnya. Agar ia tidak terlihat sedang mengincar Kenzo, Marsya memutuskan untuk tetap duduk di kursi sampai orang yang berada di belakang Kenzo selesai membeli.
“Gue udah tau namanya,” ucap Marsya ketika ia sudah kembali duduk di hadapan Cindy.
“Siapa, Sya?” tanya Cindy.
“Kenzo,” jawab Marsya.
“Nama panjangnya?” tanya Cindy sembari mengambil ponselnya yang berada di saku roknya. Cindy bermaksud untuk mencari akun Instagram milik Kenzo.
“Kenzo Benedict,” jawab Marsya.
Cindy dengan segera menuliskan nama Kenzo di bagian pencarian dan muncullah akun milik Kenzo. Cindy pun langsung memberikan ponselnya kepada Marsya. “Nih, lo stalk akunnya gih.”
Marsya menerima ponsel dari Cindy. Tidak ada foto yang diunggah oleh Kenzo di laman Instagramnya, bahkan tak ada foto yang menandai akun Kenzo.
“Kayaknya dia tipe cowok pendiam deh, Cin,” kata Marsya setelah ia memeriksa akun-akun yang diikuti oleh Kenzo serta akun-akun yang mengikuti Kenzo. “Dia cuma nge-follow keluarga sama teman sekelasnya aja.”
“Berarti kesempatan lo buat deket sama dia banyak, Sya. Dia ‘kan gak terlalu terkenal,” kata Cindy.
“Dia memang gak terlalu terkenal, Cin, tapi kalau misalnya dia lagi deket sama cewek atau udah punya cewek, mau gimana?” tanya Marsya.
“Iya juga, ya,” jawab Cindy. “Ya udah, berarti itu artinya, kalau lo mau naruh perasaan ke dia, lo harus tunggu sampai lo tau dia. Setidaknya lo tau tentang sikap dia di sekolah.”
Marsya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang hal itulah yang akan dilakukan olehnya. Marsya tidak mau sakit hati hanya karena sesuatu yang semu.