Memasuki musim gugur, udara kembali menjadi dingin. Daun-daun hijau mulai pudar warnanya dan gugur secara perlahan. Musim panas sudah tidak tersisa lagi. Suasana di hotel juga lebih tenang. Pekerjaan yang lebih santai.
Aku menerawang jauh ke langit dari balkon kamarku. Lagu Lisa mengalun di telinga. Memikirkan banyak hal. Banyak yang terjadi. Masalah yang ku alami selama ini di sini, baik yang sudah teratasi maupun belum. Ini adalah pertama kali aku mengalami hal serumit ini. Sejak kecil sampai beberapa bulan yang lalu, hidupku selalu normal. Semua yang ku jalani terlihat sangat biasa dan mudah.
Di sini, aku berselisih paham dengan Tisha, hal yang tidak pernah ku alami dengan teman-temanku. Kami berhubungan baik, tanpa diselimuti pertengkaran. Meskipun, berselisih pendapat, kami langsung mengatasinya dengan baik. Kemudian, aku selalu melakukan kesalahan selama bekerja, hal yang tidak pernah terjadi. Semua orang selalu melihatku sebagai sosok yang sempurna dalam melakukan suatu hal. Aku agak down di bulan pertamaku karena selalu dimarahi Chief. Pertama kalinya ada orang yang membentakku, selain orang tuaku. Lalu, aku bisa berkomunikasi dengan orang lain, selain yang ku kenal. Aku bukan tipe orang yang gampang akrab dengan orang baru. Bisa dihitung jari orang-orang yang dekat denganku. DI sini, hampir dengan semua karyawan aku berbicara, meskipun tidak dalam tahap akrab, tapi aku tidak canggung dan menghindar.
Dan, yang paling membuatku frustasi adalah soal perasaanku. Aku menyukai Okuoka-san di pertemuan pertama kami. Kami menjadi dekat seiring berjalannya waktu, saling berkirim Line, berlibur bersama, mengobrol dan tertawa bersama saat bertemu. Tapi, pada akhirnya, perasaanku hanya salah paham. Aku hanya menganggapnya selayaknya seorang kakak laki-laki. Ini pertama kalinya, perasaanku bisa berubah secepat itu. Dengan pacar-pacarku dulu, perasaanku masih tetap sama bahkan sampai kami putus. Dan, yang paling tidak terduga, aku tidak bisa menolak Nobusuke-san.
Aku mendesah panjang. Sampai sekarang, aku belum bicara tentang ini padanya. Sejak karaoke waktu itu, kami tidak lagi bicara. Lebih tepatnya, dia tidak lagi kembali duduk di sampingku. Sampai acara selesai, dia tidak melihatku. Saat bekerja, kami berinteraksi seperti biasa, tapi aku bisa merasakan kalau dia menjaga jarak dariku. Sedangkan aku, enggan untuk mengajaknya bicara. Masih terekam dengan jelas di otakku suara nyanyiannya yang dalam. Kadang, aku seolah mendengarnya berbisik di telingaku. Berhari-hari, aku tidak bisa tidur karenanya.
Ku tatapi ponselku. Membaca sekali lagi pesan Line yang dikirim Jonathan. Kedatangan Jonathan sebentar lagi. Aku memang sangat antusias, tapi aku merasa bersalah dengan Nobusuke-san. Haaa, apa yang harus ku lakukan?
Curhat dengan Tisha dan yang lain juga tidak bisa membantu. Mereka memang memberikan beberapa saran, dari yang paling ringan sampai yang ekstrim, tapi tidak bisa membuatku merasa jauh lebih baik. Aku akhirnya memutuskan untuk tidak membahasnya dengan mereka. Okuoka-san juga pernah bertanya karena dia merasakan perubahan suasana hatiku, tapi aku tidak berani untuk berbicara dengannya. Mengingat aku sudah menolaknya. Aku bisa dengan mudah menolaknya, kenpaa tidak bisa melakukan hal yang sama pada Nobusuke-san? Aku bisa mengatakan dengan jelas, aku tidak punya perasaan khusus padanya.
Aku melepas headsetku kesal. Bahkan lagu favoritku tidak bisa mengurangi beban di hatiku. Kepalaku berasa mau meledak. Ku genggam erat ponselku. Hanya ada satu cara untuk memastikan perasaanku yang terombang-ambing ini. Benar. Aku hanya perlu bertemu dengan Jonathan dan memastikan semuanya. Itu ide yang bagus.
Aku berbalik akan kembali ke ruangan, tapi tubuhku langsung membeku di tempat. Mataku membelalak saat melihat Nobusuke-san berdiri di sana, menatapku. Aku mengerjapkan mataku, merasa deja vu. Kecanggungan itu langsung pecah karena Nobusuke-san tertawa.
“Memangnya aku seseram itu ya,” ujarnya setelah berhenti tertawa.
“Aku hanya kaget,” balasku mencoba untuk tenang.
“Kau lupa ya kalau kita tetangga-an? Hal seperti ini seharusnya kau sudah tahu. Apa kau akan terkejut setiap kali melihat Diana dan yang lain keluar balkon?,”
Tentu saja itu tidak masuk hitungan. Aku tidak punya masalah pada mereka sampai aku harus menghindarinya. Kasusku dengannya berbeda dengan mereka. Bahkan dengan Tisha dulu aku tidak berikap semengerikan ini. Hanya dia yang bisa membuatku ingin lari terbirit-birit setiap kali melihatnya.
“Maaf,” gumamnya pelan.
“Hai?,” tanyaku bingung dengan perubahan suasana yang mendadak ini. Dia minta maaf untuk apa? Aku tidak merasa ini adalah hal yang perlu dimaafkan atau tidak.
“Aku tidak menyangka kau akan menghindariku seperti ini,” sambungnya. “Kau bisa melupakannya. Anggap saja aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku padamu,”
Aku terdiam menatapnya. Kentara sekali dia merasa sangat bersalah dan terlihat putus asa. Membuatku juga tambah merasa bersalah. Aku akan melakukan sesuatu.
“Bisa kau menunggu sebentar lagi? Aku akan memberikan jawabanku padamu,” pintaku.
“Kau bisa melupakannya,”
“Tidak. Aku ingin melakukannya dengan benar. Mungkin, ini memang terdengar egois, tapi aku ingin kau memberiku kesempatan untuk menjawabnya. Tapi, bisa kau melakukan satu hal untukku?,” Dia menatapku serius. Aku bersyukur dia adalah pria yang baik. “Katakan padaku saat kau sudah tidak menyukaiku lagi. Kau bisa mengatakan padaku jika kau lelah menunggu,”
“Akan ku lakukan,” jawabnya yakin. Aku hanya bisa tersenyum membalas keteguhannya. Aku tidak tahu sampai kapan harus membuatnya menunggu. Tidak ada pria yang bisa menunggu terlalu lama untuk diberi harapan palsu. Tapi, aku tidak ingin melakukan kesalahan. Aku akan melakukannya dengan benar.
“Kau, mau makan ramen bersamaku?,” tanyanya, membuatku terkejut dengan perubahan percakapan yang mendadak ini.
“Di tempatmu?,” tanyaku memastikan. Dia mengangguk. Aku meringis dengan sikapnya yang tenang begitu. “Ng, mungkin kita bisa makan di tempatku. Aku akan membuatkannya untukmu,” tawarku. Akan lebih aman jika aku tetap berada di tempatku. Akan terasa canggung jika aku harus ke tempatnya. Aku bahkan tidak berani untuk membayangkannya.
“Baiklah. O-jama shimasu,” (Maaf, mengganggu) Dia langsung meloncat dari balkonnya ke balkonku. Aku hanya berteriak takut dan menutup mataku. Lalu, aku mendengar suara ‘BUK’ pelan di sampingku. Aku membuka mataku perlahan, mendapati dia yang tersenyum seolah itu bukan hal yang besar.
“Kau....,” Aku bahkan tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkan tingkahnya. Dia tanpa peduli, langsung masuk ke dalam kamarku. Tanpa urutan yang benar.
Aku bergegas mengikutinya masuk ke dalam kamar. Dia sudah duduk di samping pintu geser, dan menyalakan TV, merasa ini adalah kamarnya sendiri. Dengan cemberut, aku berjalan ke dapur, memeriksa lemari, dan mengambil dua bungkus ramen.
“Kau suka rasa apa? Aku punya_,”
“Terserah kau saja,” jawabnya tanpa melihat ke arahku. Oh, baiklah. Dia bersikap sangat berkuasa sekarang. Ouji-sama rashii (Pangeran banget).
Aku langsung merebus air dan mulai memasak. Aku akan menganggap dia tidak ada di sini. Toh, dia bilang terserah aku, jadi aku akan memasak sesukaku. 15 menit kemudian, ramen yang ku masak sudah matang. Aku mengambil dua mangkok dan sumpit, menatanya di meja. Kemudian, mengeluarkan sebotol jus apel, mengambil gelas, dan meletakkannya juga di meja. Baru, mengambil panci berisi ramen yang masih panas dan meletakkannya di tengah meja.
“Woh, umasou,” (Kelihatannya enak) seru Nobusuke-san saat panci ramen itu dibuka. Aku bangkit kembali ke dapur untuk mengambil sesuatu dan kembali lagi. Nobusuke-san menatapku heran yang tidak ku pedulikan.
Aku langsung mengambil porsi ramenku ke dalam mangkok. Mengisi gelasku dengan jus apel. Nobusuke-san juga melakukan hal yang sama. Sebelum kami makan, tidak lupa aku menaburkan ichimi – bubuk cabe – ke dalam ramen. Dengan begini, semuanya sudah siap. Aku bisa melihat Nobusuke-san yang berjengit ngeri melihat isi ramenku yang sudah berubah merah karena bubuk ichimi. Aku tidak peduli dengan tanggapannya, karena selera setiap orang berbeda.
“Itadakima-su,” (Selamat makan) seruku dan mulai makan.
“Perutmu baik-baik saja memakannya?,” tanya Nobusuke-san ngeri. Aku hanya mengangguk mantap dan melanjutkan makanku. Kemudian, mendengus tertawa, mulai menikmati ramen-nya.
Aku melirik dari balik mangkok-ku. Nobusuke-san terlihat sangat menikmati ramen buatanku. Aku tersenyum tipis karenanya. Syukurlah, dia menikmati ramen buatanku.
“Orang Indonesia memang semuanya suka pedas ya?,” tanyanya.
“Tidak semua, sih. Tapi, kami memang suka pedas. Kau bisa menemukan banyak makanan pedas di setiap rumah makan, bahkan kedai kecil sekalipun,” Nobusuke-san hanya mengangguk mengerti, menghabiskan sisa ramennya.
Detik kemudian, kami membicarakan banyak hal tentang Indonesia. Mungkin lebih tepatnya, aku yang menjawab setiap pertanyaannya seputar Indonesia. Aku berusaha menjelaskan dengan baik setahuku.
Aku bangkit dari tempatku sambil membawa mangkok dan panci sisa ramen yang sudah tandas. Langsung mencucinya supaya tidak berbau.
“Oh, ya. Aku belum mengembalikan piringmu,” ucap Nobusuke-san.
“Piring?,” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari cucian. “Oh, nasi goreng?,” ingatku. “Aku saja sampai lupa. Kau bisa mengembalikannya kapan-kapan. Aku masih banyak stok piring,”
Setelah mencuci, aku kembali bergabung dengan Nobusuke-san yang masih asik menatap layar TV. Kami diam selama beberapa menit, hanya suara TV yang menggema di ruangan. Kemudian, aku bangkit lagi menuju kulkas, mengambil coklat yang masih ada beberapa potong. Nobusuke-san menatapku aneh saat aku kembali bergabung dengannya.
“Kenapa?,” tanyaku.
“Ku pikir, kau bukan tipe gadis yang suka makanan manis,” ujarnya jujur.
“Oh, ya?,”
“Karena aku sering memergokimu minum kopi hitam di kantin. Lalu, tadi. Kau makan sebotol bubuk cabe. Saat makan ramen, kau selalu memesan rasa asin. Kau suka salad dan buah. Juga, tidak pernah ikut makan soft cream, jadi ku pikir kau tidak suka yang manis-manis,”
“Heee, kau memperhatikanku, ya,” godaku tergelak. Dia langsung menopang dagu kesal, menatap kembali ke layar TV, mengacuhkanku.
“Baru ini ada orang yang balance seperti ini. Atau, kau memang pada dasarnya rakus,”
“Hei! Tidak sopan bicara seperti itu pada seorang gadis,” protesku geli. Aku memang doyan makan sejak di sini, ng, mungkin memang dari dulu. Aku mengikutinya menatap layar TV. “Okuoka-san juga bilang begitu saat pertama kali bertemu. Saat itu, aku kesal sekali,” Aku tersenyum mengingatnya. Tidak ada respon darinya. Aku menoleh padanya dan mendapati dia sedang menatapku.
“Aku sudah dengar tentang kau dan Tsuki-san,” gumamnya.
“Apa kau menganggapku wanita jahat?,” tantangku.
“Tidak. Hanya heran, kau menolaknya. Kau terlihat sangat menyukainya,”
Aku terdiam sejenak. “Sejelas itu?,” Dia hanya mengangguk pelan.
Aku tersenyum tipis. Sepertinya, aku sudah membuat banyak masalah. Aku tidak menduga, perasaanku terlihat sejelas itu. Okuoka-san menyadarinya saja, aku sudah malu setengah mati, lalu Tisha, sekarang Nobusuke-san. Pria yang menyatakan perasaanku. Tunggu. Dia sudah tahu perasaanku, tapi masih mengungkapkannya?
“Kau, kenapa menyukaiku? Sejak kapan?,”
“Entahlah,” jawabnya sambil mengangkat bahu. Alasan apa itu? “Tapi, aku merasa kesal saat kau dekat dengan Tsuki-san. Jadi, aku memilih untuk tidak berurusan denganmu. Sepertinya, aku salah. Sejak kapan, aku tidak tahu. Aku hanya merasa terikat padamu, jadi aku berhenti menghindarimu dan menyatakan perasaanku. Aku tidak menyesal mengatakannya, tapi kau malah menghindariku. Aku frustasi selama akhir musim panas, memikirkan banyak hal supaya kau bersikap biasa lagi denganku. Kau masih tetap menghindariku apapun yang ku lakukan,”
“Gomen,” (Maaf) Aku hanya bisa mengatakan itu. Tidak bisa memberikan alasan yang jelas atas segala sikapku padanya. “Sepertinya, kau dekat dengan Okuoka-san,”
“Yeah, dia pembimbingku saat aku masuk kerja pertama kali. Kami berhubungan baik, entah sejak kapan kami sering bertengkar. Semakin parah, saat kau dekat dengannya. Benar-benar kekanak-kanakan, ya?,” ujarnya sambil mendengus. “Berkat kau juga, kami bisa kembali seperti biasa lagi,”
“Aku? Kenapa?,” Dia hanya mengangkat bahu. Entah kenapa sikap cueknya ini membuatku kesal. “AH! Kau kan punya pacar, yang waktu itu. Bagaimana bisa kau suka padaku?,” Aku baru ingat dengan wanita cantik yang menciumnya di depan mataku waktu itu. Kenapa aku baru mengingatnya?
“Dia bukan pacarku,” jawabnya. Ada nada kesal di sana. Aku mengerutkan dahi bingung.
“Bukan pacar, tapi dia menciummu,”
“Aku tidak pernah punya pacar. Wanita-wanita itu datang sendiri. Sejak kepindahan kalian, aku memutuskan hubungan dengan mereka,”
Hoo, wanita-wanita? Dasar playboy! Tapi, entah kenapa itu tidak membuatku kesal sama sekali. Entah dia bohong atau tidak tentang memutuskan hubungan dengan mereka, aku sama sekali tidak peduli. Aku bisa memastikan, dia seperti ombak pasang dan surut setiap waktu. Terbukti dengan aku yang merasa kesal padanya, kemudian merasa nyaman saat kami berbicara, lalu berubah canggung sejak dia mengungkapkan perasaannya, dan sekarang aku kembali merasa nyaman dengannya. Dia benar-benar mengendalikan dengan baik perasaanku. Pria mengerikan.
***
Mendekai akhir September, udara menjadi semakin dingin. Warna hijau sudah tidak ada lagi, menyisakan daun-daun yang berwarna merah kecoklatan. Di saat seperti ini, Momiji mulai muncul. Aku mengabadikan pemandangan tersebut dengan kamera digitalku. Merasa sangat senang hanya karena Momiji. Sesuatu yang terlihat sangat sederhana, bisa menjadi kebahagiaan terbesar untuk seseorang. Dan, aku meyakini itu. Kebahagiaan bisa datang dari hal kecil sekalipun.
Aku dan Nobusuke-san sudah tidak lagi canggung ataupun saling menghindar. Kami kembali seperti biasa. Kami juga bertukar ID Line, hal yang sangat terlambat mengingat aku sudah setengah tahun di sini. Tidak hanya itu, dia juga sering mengunjungi kamarku. Kadang ikut berkumpul dengan Tisha dan yang lain saat mereka datang berkunjung. Kami menghabiskan waktu liburan bersama. Makan di luar bersama. Dan juga karaoke-an bersama. Oh, ya jangan lupakan Okuoka-san. Tanpa disadari, kami sudah menjadi kelompok sendiri.
Tisha dan yang lain sudah tidak lagi berkomentar dengan hubunganku dan Okuoka-san ataupun dengan Nobusuke-san. Mereka juga menikmati kebersamaan kami. Puncaknya adalah saat pesta ulang tahun Yash beberapa hari yang lalu. Okuoka-san dan Nobusuke-san turut membantu dalam perencanaan pesta kejutan untuk Yash. Benar-benar menyenangkan melakukannya bersama. Ditambah dengan ekspresi Yash yang terkejut dan terharu. Rasanya begitu lengkap.
Aku keluar dari kamar mandi dan langsung berteriak saat mendapati Nobusuke-san sedang duduk manis di ruanganku.
“Hei, kau mengejutkanku! Bagaimana kau bisa masuk?,” tanyaku curiga. Apa dia melompati balkon? Tapi, pintu geser tersebut terkunci rapat. Sejak minggu lalu, aku tidak lagi membuka jendela ataupun pintu kaca tersebut, karena udara yang semakin dingin. Sebagai gantinya, aku menyalakan penghangat ruangan supaya tidak kedinginan. Jadi, tidak mungkin dia lewat balkon.
“Kau tidak mengunci pintumu. Dasar, ceroboh!,” jawabnya mencemooh.
Aku menoleh ke arah pintu. Dipikir-pikir lagi, aku memang tidak pernah mengunci pintu. Aku akan menguncinya saat akan tidur, jadi pantas saja dia bisa masuk. Lagipula, Jepang terkenal dengan keamanannya, kan? Itulah kenapa, ku pikir aku akan baik-baik saja meskipun tidak mengunci pintu. Akan sangat menyusahkan mengunci dan membukanya jika aku ingin keluar, seperti kasus pintu depan. Meskipun, Nobusuke-san pernah mengatakannya padaku, tapi aku tetap membiarkannya terbuka. Toh, dia bilang juga tidak masalah.
Yeah, untungnya aku sudah berapakaian di dalam kamar mandi. Lagi, karena udara dingin, aku tidak mau mengambil resiko kedinginan saat keluar kamar mandi dan berlari menuju kamar untuk mengenakan pakaian. Akan lebih praktis melakukannya di tempat dan waktu yang sama. Siapa yang menyangka kejadian seperti ini akan terjadi.
Aku menjemur handukku di ruangan sebelah, kemudian bergabung dengan Nobusuke-san yang entah sejak kapan sudah memakan camilanku yang tadi sudah ku buka. Dia benar-benar santai di kamar orang lain.
“Jadi, ada perlu apa?,” tanyaku.
“Tidak ada. Aku hanya bosan sendirian di kamar,” jawabnya enteng sambil masih memakan camilanku. Potato chips calbee favoritku.
Aku mendengus dengan alasannya yang sangat tidak masuk akal dan tidak bertanggungjawab itu. Kemudian, ponselku berbunyi.
“Wow!,” seruku terlalu bersemangat. Nobusuke-san menyipit padaku. “Okuoka-san mengajak kita nonton. Film yang diadaptasi dari anime yang pernah ku tonton. Aku ingin melihatnya,” cerocosku semangat. Tanpa menunggu reaksi Nobusuke-san, aku segera memberitahu Kak Diana dan yang lain lewat Line grup. Mereka langsung membalasnya dengan antusias. Lebih tepatnya hanya Kak Diana yang antusias. Karena Tisha dan Yash bukan penggemar anime, jadi mereka hanya ikut saja.
“Kapan?,” tanya Nobusuke-san.
“Sekarang. Kau, cepat pulang dan bersiap-siap. Aku juga harus bersiap-siap,” ujarku cepat dan berlari menuju kamar. Aku tidak sempat menyadari Nobusuke-san yang keluar dari kamar.
Sejam kemudian, kami sudah meluncur menuju bioskop di Obihiro. Okuoka-san menunggu di sana, jadi kami berangkat dengan mobil Nobusuke-san. Salah satu hal yang membuatku takjub. Setelah usia 17 tahun, mereka sudah mengendarai mobil. Aku saja mengendarai motor masih kagok, apalagi mobil.
Berbeda dengan di Surabaya. Pengendara motor di sini lebih sedikit, meskipun banyak yang mengendarai mobil, tapi kemacetan tidak pernah terjadi di sini. Yeah, karena di sini bukan wilayah kota besar, jadi kendaraan memang sedikit berlalu lalang, meskipun tempat parkir hotel selalu penuh. Juga, para pengendara wajib memiliki SIM. Aku juga takjub untuk yang satu ini. Jika mereka masih belum mendapatkan SIM, mereka tidak akan mengendarai apapun, berbanding terbalik dengan Indonesia, yang tetap nekat mengendarai kendaraan tanpa memiliki SIM.
Orang Jepang benar-benar taat peraturan.
Kami tiba di depan gedung bioskop 40 menit kemdian. Setelah memarkirkan mobil, kami segera ke lantai atas, dan mendapati Okuoka-san sedang menunggu di tempat duduk yang sudah disediakan untuk menunggu film dimulai. Dengan semangat 45, aku meminta Kak Diana memotretku bersama dengan poster film tersebut.
Kami akan menonton film Shigatsu wa Kimi no Uso yang diadaptasi dari anime yang berjudul sama. Aku telah menonton animenya, membuatku menangis karena ceritanya yang memang mengharukan. Aku menerka-nerka apakah cerita film ini akan berakhir sama dengan yang di anime. Ditambah, pemain film yang pria adalah aktor favoritku. Aku benar-benar tidak sabar untuk menontonnya.
15 menit kemudian, teater dibuka. Aku langsung masuk dengan semangat.
Aku menikmati parfait ku dengan riang. Filmnya benar-benar bagus. Aku menangis saat adegan terakhir yang ceritanya tidak jauh berbeda dengan animenya. Yamazaki Kento berakting dengan sangat bagus. Lawan mainnya juga bagus, meskipun aku tidak mengenalnya.
Pertama kali masuk ke dalam teater, tidak ada petugas satupun di sana. Tempat duduk juga tidak ditentukan, jadi kami bisa memilih untuk duduk di manapun yang kita inginkan. Penontonnya juga tidak terlalu banyak, hanya bisa dihitung jari. Layarnya sangat lebar, mengekspos seluruh wajah Yamazaki Kento dengan sangat jelas. Aku jadi bisa menikmati film itu dengan tenang. Setelah film selesai, kami membayar kembali Okuoka-san yang sudah membelikan tiket. Kami terkejut saat mengetahui harganya yang lumayan mahal. Apa mungkin karena ini, jadi bioskop sepi? Tapi, kami cukup beruntung. Karena Okuoka-san mendapatkan tiket itu sebagai hadiah dari salah satu majalah yang dia ikuti. Majalah tersbebut mempromosikan film ini. Jadi, kami tidak harus menggantinya. Namun begitu, aku agak curiga dia bisa mendapatkan tiket sebanyak itu.
“Kau suka filmnya?,” tanya Okuoka-san. Aku mengangguk semangat sambil masih menikmati parfait. Okuoka-san tersenyum. Kami-pun membahas film tersebut dan berencana akan menonton film yang lain bersama lagi. Rasanya sangat menyenangkan.
***
Ponselku berbunyi saat aku keluar dari hotel. Aku terkesiap saat membaca nama si penelepon. Jonathan menelponku. Aku segera mengangkatnya. Tapi, sebelum berbicara, aku sudah menutup mulutku saat mendapati dia muncul di hadapanku.
Setelah 4 tahun kami tidak bertemu, ternyata aku masih bisa mengenalnya dengan sangat baik. Aku langsung berlari memeluknya. Dia menangkapku sambil tertawa geli dengan sikap spontanku. Kemudian, dia melepaskan pelukannya perlahan.
“Kau, kapan kau datang? Aku tidak melihatmu di restoran,” interogasiku. Dia masih tertawa.
“Aku sampai beberapa jam yang lalu. Dan, aku sudah makan di luar. Ada lagi yang ingin kau tanyakan?,” kekehnya. Aku kembali memeluknya, merasa sangat senang dengan kehadirannya.
“Aku merindukanmu,” bisikku.
“Aku juga, Va,”
Dari semua orang yang ku kenal. Hanya dia yang memanggil penggalan nama depanku. Aku menganggapnya sangat spesial. Apapun yang telah terjaid di antara kami, adalah hal yang sangat spesial bagiku. Karena, dia adalah pacar pertamaku yang sangat ku sayangi sampai sekarang.
“Mereka, teman-temanmu?,”
Aku melepaskan pelukanku dan menoleh ke belakang. Oh, God! Aku melupakan keberadaan mereka. Aku merasakan tatapan Nobusuke-san yang membuatku bergidik di tempatku.
“Va?,” panggil Jonathan, membuatku tersadar.
“Ya. Teman kerjaku,” Aku mengenalkan satu per satu mereka kepada Jonathan. Aku bisa merasakan mereka yang bersikap kikuk saat bersalaman dengan Jonathan. Aku tidak bisa menebak sikap Nobusuke-san yang terlihat begitu santai berkenalan dengan Jonathan. Dia bahkan tidak melirikku. Aku merasa sedang bersama dengan bom waktu. Oh, jangan lagi! Aku harus menjelaskan secara pribadi kepadanya nanti. Aku janji. Harus.
Ini benar-benar membuatku frustasi.
“Baiklah, kau istirahatlah. Kita bertemu besok,” ujar Jonathan.
“Berapa lama kau di sini?,” tanyaku.
“Lusa aku harus kembali. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja di sini. Tapi, sepertinya aku terlalu mengkhawatirkanmu,” jawabnya sambil tertawa geli.
“Kebetulan aku libur besok, jadi aku bisa menemanimu. Tapi, aku tidak bisa mengajakmu ke mana-mana. Kau tahu kan aku buta arah?,”
Dia terkekeh. “I know. Kau tidak berubah sama sekali, ya,”
“Aku banyak berubah, tahu,” protesku.
“Bagiku, kau masih sama dengan yang selama ini ku kenal,”
“Kau juga, masih sama,”
Benar. Jonathan tidak berubah sama sekali, selain fisiknya yang sekarang dia semakin tinggi, badannya juga kekar. Dia lebih besar sekarang. Meskipun begitu, senyumnya masih sama. Tatapan hangat dan lurus yang sama. Sikap melindungi yang sama. Tidak ada yang berubah, kecuali_
Aku tergugu di tempatku. Dia masih tersenyum padaku, mengelus pipiku lembut. “Pergilah. Kita punya banyak waktu besok,” bisiknya sebelum mencium pipiku.
Aku mengangguk pelan dan berbalik pergi dengan pikiran yang telah meninggalkanku.
Tisha dan yang lain langsung masuk ke kamarku mendahuluiku, sebelum aku benar-benar membuka pintu. Aku masuk ke kamarku dengan pikiran yang melalang buana entah ke mana. Tisha dengan tidak sabar langsung menginterogasiku. Aku hanya bisa diam. Tidak memperhatikan ucapan mereka bertiga sama sekali.
***
Aku menemui Jonathan setelah jam sarapan. Dia menungguku di depan hotel. Kami menyewa sepeda. Aku mengajaknya ke sungai terlebih dahulu. Kami membicarakan banyak hal. Masa-masa SMP dulu, kegiatan kami selama 4 tahun berikutnya, dan kehidupanku selama di sini.
Jonathan memulai debutnya sebagai model saat di tahun pertengahan SMA. Seorang teman merekomendasikannya sebagai model di salah satu majalah baru saat itu. Sejak itu, dia mendalami dunia modelling. By the way, Jonathan tinggal di Adelaide, karena pekerjaan orang tuanya, mereka sekeluarga pindah ke sana. Australia dengan Indonesia memang cukup dekat, tapi kami masih bocah saat itu, menganggap berbeda negara adalah alasan terbaik yang membuat kami berpisah. Mengingatnya lagi, betapa naif kami waktu itu.
Setelah dari sungai, aku mengajaknya ke Tokachigaoka Park, bertindak sebagai fotografer dadakan dan Jonathan sebagai modelnya. Saat melihat hasilnya, aku benar-benar percaya bahwa dia memang terlahir sebagai seorang model. Begitu tampan, tinggi, berkarisma, dan mempesona. Aku yakin fans wanitanya banyak sekali.
“By the way, kau datang ke mari sendirian?,” tanyaku.
“Aku datang dengan manajer ku,”
“Hanya manajer? Yakin, itu bukan pacarmu?,” godaku.
“Aku tidak ingat kalau aku gay,” jawabnya sambil mengelus dagu, berpikir. Aku tergelak dengan ucapannya. Siapa yang menyangka bahwa manajernya seorang pria. Benar-benar deh, dia memang suka sekali bercanda. Sama sekali tidak berubah.
“Jadi, siapa pacarmu, kalau bukan manajermu?,”
Dia menurunkan tangannya, menatapku serius. Aku masih menunggu, kemudian dia mengalihkan pandangannya.
“Aku masih sendiri sejak kita berpisah,”
Aku termangu. Tanpa sempat bertanya lebih lanjut, Jonathan sudah mengajakku berpindah tempat. Aku hanya bisa menurut dan mengajaknya ke Echology Park.
Kami mengayuh sepeda mengelilingi Echology Park dan berhenti di pinggir danau. Aku mengeluarkan beberapa makanan dan minuman yang kami beli di Konbini saat melewatinya menuju Echology Park. Jonathan membicarakan hal-hal biasa, tapi aku masih kepikiran dengan ucapannya tadi. Tapi, Jonathan tidak memberiku kesempatan untuk bertanya.
“Jadi, apa dia pacarmu?,” tanyanya tiba-tiba. Aku menghentikan kunyahanku, bingung dengan pertanyaannya yang out of the blue.
“Siapa?,” tanyaku masih bingung. Percakapan apa yang sedang kami bahas sekarang?
“Pria yang kau kenalkan kepadaku semalam,”
“Yang mana?,” Aku mengingat lagi adegan semalam. Pria yang ku kenalkan pada Jonathan adalah Yash dan Nobusuke-san.
“Pria terakhir yang berkenalan denganku,” Aku langsung tersedak setelah mendengarnya. Jonathan langsung membukakan botol minuman untuku. Aku segera menenggaknya untuk meredakan sedakanku.
“Kenapa kau berpikiran seperti itu?,” tanyaku setelah sedakanku hilang.
Jonathan tersenyum. “Dia menatapku penuh cemburu,”
Aku mengingat lagi ekspresi Nobusuke-san semalam. Dia memang masih bersikap santai, jadi aku tidak terlalu tahu apa yang dipikirkannya. Tatapan matanya juga tidak bisa diartikan. Hanya saja, aku bergidik di tempatku melihat interaksi mereka.
“So?,” tanyanya lagi. Aku menimbang-nimbang untuk membicarakannya atau tidak. “Aku menyempatkan waktu datang ke mari, karena kau terdengar tidak bersemangat di telpon. Aku mengkhawatirkanmu,”
“Kau bisa tahu hanya dari suaraku?,” tanyaku takjub. Bahkan setelah 4 tahun tidak berjumpa, dia masih bisa mengetahui suasana hatiku, hanya lewat telpon. Dari dulu, aku memang tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu darinya. Aku bukan pembohong yang ulung jika berada di hadapannya.
“Kita sudah bersama hampir 3 tahun, Va. Aku sangat mengenalmu, meskipun kita sudah tidak lagi bertatap muka,”
Akhirnya, aku mengatakan semuanya. Dari awal sampai akhir. Membicarakan hal seperti ini dengan mantan, memang bukan tindakan yang bijak, tapi Jonathan berebda. Lagipula, keinginanku untuk bertemu Jonathan juga karena ingin membahas hal ini. Hal yang tidak bisa aku bahas di telpon. Hanya mendengar suaranya tidak akan cukup bagiku.
Jonathan mendengarkanku dengan saksama. Dia tidak menyela. Hanya mendengarkan. Aku terus berbicara tanpa jeda. Ku luapkan semua perasaan yang ku rasakan. Hal yang tidak bisa aku ungkapkan pada Tisha dan yang lain. Aku memang telah menganggap mereka sebagai teman baik, tapi aku merasa lebih nyaman membuka hatiku kepada Jonathan. Selain, karena kami sudah lama mengenal, Jonathan yang paling tahu bagaimana menghadapiku.
Jonathan memelukku saat aku sudah selesai bicara. Perasaan yang telah lama tertimbun, aku sudah mengeluarkan smeuanya. Tidak ada yang tersisa. Hanya kelegaan. Perasaanku menjadi ringan. Berkatnya, aku mengerti apa yang hatiku inginkan. Aku sudah memilih.
“Aku tidak tahu kau punya bakat menjadi Cassanova begini,” ujarnya meledek.
“Hei! Jangan kau juga,” seruku protes, mengingat Tisha yang pernah menagtakannya tempo hari. Jonathan tertawa geli.
“Jadi, aku bukan orang pertama yang bilang, ya. Sayang sekali,”
“Memangnya itu patut untuk dibanggakan?,” ujarku cemberut. Jonathan hanya tertawa dengan sikap merajukku. Menit kemudian, dia terdiam. Menerawang jauh ke arah danau. Aku menoleh padanya, memperhatikan raut wajahnya yang berubah. Raut wajah yang dia tunjukkan saat kami memutuskan untuk berpisah.
Kenangan 4 tahun lalu masih terpatri jelas di memori otakku. Mendekati kelulusan, Jonathan memberitahuku bahwa dia dan keluarganya akan pindah ke Australia. Aku yang masih bocah, masih naif, hanya bisa diam, karena bayangan Australia yang jauh dari Indonesia, membuat kami tidak akan bisa bertemu setiap hari. Aku mungkin masih bisa menerima jika kami berpisah kota, karena masih di negara yang sama, kemungkinan kami akan bertemu masih cukup besar. Tapi, berbeda negara adalah masalah lain.
Waktu itu, aku hanya bisa menggigit bibir dalamku, menahan diri untuk tidak menangis. Aku sudah terbiasa dengan keberadaan Jonathan di sampingku. Jonathan adalah tempat aku bernaung selama 3 tahun ini. Jika Jonathan pergi, apa yang bisa ku lakukan? Kami masih bocah. Jonathan tidak mungkin berpisah dengan orang tuanya. Aku tidak ingin melihatnya kesepian. Aku sangat yakin, Jonathan juga merasakan hal yang sama. Dia mencoba untuk tetap tegar di hadapanku meskipun, matanya terlihat sangat sedih. Kantung matanya bengkak, dia pasti menangis semalaman.
Tanpa pernyataan apapun, kami sudah tahu bahwa hubungan ini tidak akan bisa berlanjut. Kami membutuhkan satu sama lain. Jika kami tidak bersama, maka berpisah adalah keputusan yang terbaik. Aku masih ingat, kami berpisah tanpa mengatakan ‘putus’. Kami hanya mengatakan untuk menjaga diri baik-baik. Setelah itu, kami tidak lagi berhubungan. Tidak ada yang menghubungi duluan. Kami menjalani hidup kami masing-masing.
Aku tidak pernah tahu kabar Jonathan dan tidak ada niatan untuk mencari tahu. Aku menjalani hidupku seperti biasa, pasca kesedihanku yang berlangsung seminggu. Aku bersikap seolah Jonathan tidak memiliki jejak yang tertinggal di hidupku. Aku masih memakai jaket couple yang kita beli bersama. Masih mengenakan gelang yang dia beri. Masih menyimpan buku catatannya yang belum ku kembalikan. Masih memajang foto kami berdua di kamarku. Juga, tidak menghapus nomor Jonathan dari phonebook SIM Card ku, yang tidak pernah ku ganti selama 4 tahun ini. Aku membiarkan semua masih d tempatnya.
Meskipun, kami masih berteman di Facebook, aku tetap tidak tahu kabar darinya. Apalagi, Jonathan bukan tipe orang yang update di Facebook. Ditambah, sejak kuliah aku sudah meninggalkan Facebook dan beralih ke Instagram. Itulah kenapa, aku terkejut saat dia menelponku dan mengetahui bahwa aku berada di Jepang. Dia masih menyimpan nomorku dan mencari akun IG-ku, karena tidak menemukanku di list pertemanannya di Facebook. Salah satu alasan kenapa dia menghubungiku, karena entah dorongan dari mana, tiba-tiba dia ingin menghubungiku.
“Perasaanku, tidak pernah berubah sejak kita berpisah,” ungkapnya tiba-tiba.
“Kenapa kau tidak mengubungiku sejak awal?,” tanyaku.
“Karena, aku tidak ingin mengecewakanmu. Aku tidak akan punya banyak waktu seperti dulu. Kau tidak akan pernah jadi prioritas utamaku. Aku ingin kau mengenangku sebagai pria yang pernah mengisi kehidupanmu dengan kenangan indah. Aku tidak ingin merusak perasaanmu padaku, Va,” ungkapnya.
Yeah, aku memang mengingatnya sebagai kenangan indah di masa lalu. Aku tidak bisa mengingat setiap pertengakaran kami. Hanya kebaikan dan perhatiannya yang selalu ku ingat. Jika kami memaksakan diri untuk tetap berhubungan jarak jauh, aku yakin kami akan sering bertengkar, saling curiga, dan hanya akan ada kenangan pahit yang tersisa di antara kami.
“Apa kau berpikir, hubungan kita akan gagal?,” tanyaku.
“Yeah. Hanya akan ada pengorbanan. Itu bukan hubungan yang sehat,”
“Apa kau berpikir ini akan berakhir sama?,”
“Hanya kau yang bisa memutuskan. Aku akan mendukung setiap keputusanmu,”
“Apa menurutmu aku bisa?,” tanyaku ragu. Jonathan mengelus pipiku lembut dan tersenyum menenangkan.
“Kau sudah banyak berubah sekarang, Va. Kita sudah dewasa, bukan bocah SMP lagi. Aku yakin, kau tahu apa yang terbaik untukmu,”
“Kau, akan tetap bersamaku, kan?,”
Jonathan memelukku dengan hangat, memberiku kekuatan untuk memutuskan hidupku. Keputusan terbesar yang pernah ku buat dalam hidupku. Mungkin, di masa depan aku akan menyesalinya. Tapi, aku tidak ingin kehilangan lagi. Aku ingin bersikap egois sedikit.