Memasuki bulan Agustus. Puncak dari liburan musim panas. Hotel berubah sangat kacau dengan kesibukan yang mencekik. Kami harus bekerja lembur dengan hari libur yang terbatas. Pihak hotel akan meletakkan jatah hari libur kami setelah musim panas berakhir. Aku hanya bisa berusaha keras supaya tidak drop selama bulan ini. Menyingkirkan sejenak pikiran-pikiran yang mengganggu. Harus fokus pada pekerjaan.
Pekerjaan di restoran membuatku melupakan beberapa hal. Aku yang biasanya ditugaskan di hall, juga harus membantu mengeluarkan makanan dan juga membuat minuman. Aku memang sudah mempelajarinya dan kadang-kadang melakukannya, tapi melakukannya dalam satu waktu di antara kesibukan yang mencekik ini, membuatku sedikit kewalahan. Tidak ada waktu untuk meminta tolong yang lain. Ini pekerjaan individu.
Saat pulang-pun, aku hanya mandi dengan air hangat, tidak ada waktu dan tenaga untuk berendam, memilih langsung tidur. Rasanya benar-benar lelah. Bahkan jam istirahat di hotel-pun, kami makan dengan buru-buru. Aku harap ini cepat berakhir. Musim panas benar-benar melelahkan.
Tapi, ada satu hal yang menyenangkan di musim panas.
Festival dan kembang api.
Minggu terakhir bulan Agustus, Obihiro mengadakan festival dan pertunjukan kembang api. Semua tamu hotel dan karyawannya mengikuti acara tersebut. Aku menyambutnya dengan semangat. Aku jadi bisa memakai yukata-ku dan menikmati perayaan musim panas. Hal yang sering ku lihat di anime. Aku tidak sabar.
Aku, Kak Diana, dan Tisha berkumpul di kamar Tisha untuk berdandan. Saling membantu mengenakan yukata. Kak Diana dan Tisha juga membeli yukata. Yukata Tisha berwarna biru gelap dengan motif bunga dandelion berwarna putih dengan obi berwarna biru muda. Milik Kak Diana, berwarna ungu pucat dengan motif bunga matahari dan obi berwarna ungu gelap. Kami berdandan dengan semangat karena pertama kali mengenakan yukata ke festival.
Kami berkumpul di depan hotel, karena hotel menyiapkan fasilitas bus untuk karyawan yang ingin pergi ke festival. Yash menatap kami takjub saat bertemu di depan hotel. Nobusuke-san dan Okuoka-san juga berada di sana.
“Niatteru. Bijin da,” (Cocok sekali. Kau cantik) puji Okuoka-san. Aku hanya tersenyum dengan pujiannya. “Nee, Dai?,” Jantungku langsung berdegup kencang saat Nobusuke-san menatapku menilai.
“Ng, cantik,” pujinya singkat, masih menatapku.
Aku langsung mengajak Kak Diana dan Tisha naik bus. Aku tidak sanggup berlama-lama dengan mereka berdua. Karena, kejadian piknik di sungai waktu itu, aku masih belum bisa berbicara dengan Nobusuke-san, juga dengan Okuoka-san. Aku merasa bersalah kepada mereka berdua. Sejak kapan aku menjadi wanita jahat begini?
Wajahku memanas setiap kali mengingat kejadian tersebut. Kami tidak lagi bicara setelah Nobusuke-san mengungkapkan perasaannya. Aku hanya bisa mematung di tempatku, sedangkan dia bersikap tidak terjadi apa-apa. Mengajak pulang setengah jam kemudian, setelah dia menghabiskan 3 kaleng bir. Benar-benar canggung. Tidak ada perbincangan di anatara kami, bahkan tidak ada kata perpisahan di depan pintu. Nobusuke-san langsung masuk ke kamarnya tanpa melihatku. Aku memikirkannya semalaman sampai tidak bisa tidur.
Sudah hampir 3 minggu sejak saat itu. Kami tidak pernah membahasnya. Selain karena sibuk di restoran, tidak ada kesempatan kami hanya berdua saja. Dia tidak menghindariku. Hanya bersikap seperti biasanya. Aku jadi enggan untuk membahasnya. Sampai sekarang, aku tidak tahu dia benar-benar serius atau tidak. Pernyataannya terasa mimpi bagiku. Aku sendiri tidak berani mengatakannya kepada yang lain. Jadi, aku menganggap itu adalah ungkapan sepihak darinya. Apa ini tindakan yang benar?
Dan, dia memujiku tadi. Entah kenapa pujiannya terasa berbeda dengan Okuoka-san saat memujiku. Aku bisa bersikap biasa saja saat Okuoka-san memujiku, tapi tidak saat dia yang memujiku. Apa benar perasaanku sudah terpengaruh? Apa aku benar-benar berubah haluan meenyukai Nobusuke-san? Lalu, bagaimana dengan Okuoka-san? Apa aku benar-benar salah paham dengan perasaanku sendiri? Lalu, Jonathan?
Ah, kenapa aku bisa galau hanya dengan perasaan yang membingungkan ini? Selama ini, aku bisa mengerti perasaanku sendiri. Aku akan menerima pria yang memang benar-benar aku suka, dan menolak jika tidak suka. Tapi, aku tidak bisa menolak Nobusuke-san, dan juga tidak ingin berhubungan lebih dari teman dengan Okuoka-san. Lalu, aku ingin bertemu dengan Jonathan.
Benar-benar sikap wanita yang tidak tahu diri.
Bagaimana caranya aku bisa memastikan perasaanku sendiri?
Kepalaku pening memikirkannya.
Bus berhenti. Aku sampai tidak sadar bahwa kami sudah tiba, karena memikirkan hal tersebut sepanjang perjalanan. Kami turun dari bus. Hayami-san membimbing kami menuju tempat festival. Banyak orang yang datang. Rasanya aneh, melihat keramaian ini di tempat yang biasanya selalu sepi. Seolah-olah, semua orang keluar dari tempat persembunyiannya secara bersamaan.
Kami berjalan mengikuti arus, menuju lapangan luas. Rasanya aku tidak pernah melihat tempat ini. Ini Obihiro sebelah mana? Mungkin, aku memang tidak pernah tahu tempat ini. Saking banyaknya orang yang berkumpul, aku jadi tidak bisa melihat selain kerumunan manusia. Aku menggandeng tangan Kak Diana supaya tidak tersesat di anatara kerumunan ini. Akan sangat merepotkan jika itu terjadi. Setelah berjalan cukup jauh, kami berhenti di bawah pohon rindang. Tak jauh dari tempat ini, berdiri beberapa stand yang berjajar rapi di tengah lapangan. Orang-orang sudah duduk rapi menutupi lapangan.
Hayami-san, dibantu oleh Nobusuke-san, menggelar karpet lebar dan meletakkan beberapa kotak keranjang. Aku berasa deja vu dengan pemandangan ini. Ku alihkan pandangan ke tempat lain saat Nobusuke-san melirikku. Wajahku pasti sudah memerah sekarang.
“Kau baik-baik saja?,” tanya Okuoka-san di sampingku. Aku hanya tersenyum, mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja. Tapi, aku merasa sedikit sesak di anatara orang sebanyak ini. “Mau jalan-jalan?,”
Aku menerima tawaran tersebut dan berpisah dengan yang lain. Okuoka-san mengajakku ke tempat yang lebih lapang. Aku merasa bisa bernafas normal sekarang. Okuoka-san menyodorkan sebotol air mineral padaku. Aku menerimanya dan langsung menenggaknya. Merasa jauh lebih baik.
“Rasanya sudah lama kita tidak ngobrol berdua seperti ini,” ucapnya menerawang, menatap ke arah kerumunan manusia yang menutupi lapangan.
Langit mulai gelap. Lampu-lampu stand mulai menyala satu per satu. Tidak hanya itu, kerumunan manusia itu juga menyalakan cahaya, sepertinya dari cahaya ponsel atau light stick berwarna warni yang mereka bawa. Tapi, aku bisa melihat wajah Okuoka-san dengan jelas karena pencahayaan lampu yang dipasang di atas lapangan. Kami berada di bagian atas, karena lapangan ini menjorok ke bawah. Karenanya, aku bisa melihat suasana di lapangan dari atas sini.
“Yeah,” jawabku singkat. Aku mulai tidak nyaman dengan suasana ini.
Keheningan mengelilingi kami. Tidak ada percakapan dari Okuoka-san ataupun dariku. Hanya suara berisik dari kerumunan yang memecahkan suasana. Okuoka-san masih menerawang jauh ke depan. Tatapannya sudah tidak lagi menatap kerumunan. Aku hanya duduk diam di sampingnya, bahkan aku berhati-hati saat bernafas, supaya tidak mengganggunya.
Waktu berjalan sangat lambat sekarang. Tetap tidak ada yang berbicara di antara kami.
“Apa perasaanmu sudah berubah?,”
Aku menoleh padanya terkejut. Dia menatapku lurus, terlihat putus asa. Aku membuka mulut dan menutupnya kembali. Meskipun, sekejap, aku bisa mendengar jelas ucapannya di antara kebisingan ini. Pertanyaan itu juga ku pertanyakan untuk diriku sendiri selama beberapa minggu terakhir. Apa benar perasaanku telah berubah?
“Kau, tahu kalau aku menyukaimu?,” tanyaku pelan. Tanpa dijawab pun, aku sudah menduganya. Foto waktu itu sudah menjelaskan semuanya. Hanya orang buta yang tidak menyadarinya. Perasaanku terpampang dengan jelas di foto itu.
Aku selalu berpikir bahwa pria Jepang tidak memiliki kepekaan. Di anime, para pria Jepang tidak menunjukkan perasaannya dengan terbuka. Bahkan tidak menyadari saat ada wanita yang menyukainya. Tapi, kaum pria juga menyembunyikan perasaannya di depan wanita yang disukainya. Bersikap cuek, seolah-olah tidak terjadi apapun. Sulit untuk mengerti pemikiran kaum pria Jepang. Di anime dan manga, kebanyakan yang mengungkapkan perasaanya adalah wanita. Pria jarang mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Itu juga salah satu alasan yang membuatku terkejut saat Nobusuke-san mengungkapkan perasaannya.
Sekarang, Okuoka-san sedang membahas perasaanku. Dia menyadari perasaanku sejak awal. Bersikap manis dan hangat. Memperhatikanku setiap ada kesempatan. Kedua pria ini sangat jauh dari tipe pria Jepang pada umumnya. AH, aku pernah menemukan tipe seperti ini di salah satu manga yang ku miliki. Atau bisa saja bukan. Si pria bersikap sadis dan terkesan membuli untuk menutupi perasaan sukanya. Saat mereka sudah resmi pacaran, si pria benar-benar bersikap cuek pada si wanita, sampai membuat mereka berpikiran buruk dan bertengkar. Akhirnya, bisa diluruskan saat mereka membicarakan perasaan masing-masing. Tidak ada tipe yang cocok dengan kedua pria ini.
Apa karena aku orang asing? Sepertinya, itu tidak ada hubungannya.
Sekarang, apa yang harus ku lakukan dalam menghadapi situasi ini? Apa yang harus ku jawab? Tiba-tiba, aku mendengar suara ledakan membelah langit, lalu muncul cahaya kembang api yang berwarna-warni dan berbentuk sedemikian rupa. Cahaya kembang api terlihat sangat menyilaukan di langit, tapi hanya bertahan sekejap. Cahayanya menghilang.
Seperti perasaanku.
“Aku memang pernah menyukaimu,” ucapku setelah kembang api padam, menatap Okuoka-san dengan yakin. Ekspresinya berubah menjadi sedih, di balik senyumannya. Aku harus menyampaikannya. “Sekarang, bagiku kau adalah teman yang sangat baik,”
Kembang api kembali menyala, diiringi dengan seruan kekaguman dari kerumunan orang-orang di bawah. Kemudian, senyap.
“Sepertinya, aku sudah sangat terlambat, ya?,” ujarnya sambil mendengus, menertawakan diri sendiri. Aku menatapnya terkejut, dia tersenyum sedih. Jangan bilang_ “Seperti yang kau duga. Aku memang menyukaimu. Sejak pertama kali bertemu. Aku tidak menyangka akan mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama di usiaku yang setua ini,” jelasnya, kembali mendengus. “Tapi, karena usia kita yang terpaut jauh, aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan diri. Orang-orang akan melihatnya sebagai kejahatan, sedangkan kau adalah orang asing. Tidak akan ada yang bisa menerimanya. Aku yakin kau tidak ingin terlibat masalah selama di sini,”
“Bagaimana bisa....? Kau...aku...,” Aku tidak tahu apa yang ingin ku katakan.
“Itulah. Aku sendiri juga heran. Pertama kali bertemu denganmu, pikiranku saat itu adalah, bagaimana bisa ada gadis semungil dan semenarik ini? Aku langsung terpikat saat kau dengan lancar berbicara bahasa Jepang. Kau terlihat nyaman dengan dirimu sendiri, tidak mempedulikan bagaimana orang lain melihatmu. Juga, betapa rakusnya dirimu. Kau terlihat sangat bahagia,”
Aku teringat dengan bisikannya waktu itu. Dia menyebutku ‘rakus’. Aku tersenyum geli mengingatnya. Saat itu, aku begitu kesal karenanya dan bersikap memusuhinya. Itu, adalah momen yang menyenangkan saat diingat dengan perasaan kebas seperti ini.
“Aku merasa senang saat menyadari bahwa kau juga memiliki perasaan yang sama denganku. Aku tidak pernah sebahagia itu sebelumnya. Pertemuan kita saat itu, sampai sekarang aku menganggapnya sebagai takdir. Aku merasa nyaman saat bersamamu. Tapi, aku tidak seberani itu untuk jujur padamu. Aku berpikir, berada di sampingmu sudah lebih dari cukup. Sampai, aku menyadari bahwa perasaanmu sudah berubah,”
“Soal itu, aku_,”
“Tidak apa-apa, Moza. Aku tidak menganggapnya sebagai kesalahan. Aku meyakinkan diriku, bahwa sampai kapanpun, kita tidak akan bisa bersama. Aku yakin kau juga berpikiran seperti itu,” Aku mengangguk pelan. Dia tersenyum lega. Lalu, menatapku dengan serius. “Apa aku masih diijinkan untuk berada di sampingmu?,”
Aku tersenyum tulus dan mengangguk. “Tentu saja. Kau memiliki peran yang penting bagiku. Maaf, atas ketidak stabilan perasaanku,”
“Jangan meminta maaf. Tidak ada yang bisa mengendalikan perasaan, bahkan Tuhan sendiri juga tidak akan sanggup,” ucapnya bijak.
Aku hanya bisa berterima kasih atas perhatiannya. Dia benar-benar pria yang baik. Aku mengutuk diriku sendiri karena sudah mengecewakannya. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaannya. Dengan begitu, aku bisa memaafkan diriku sendiri.
“Baiklah, ayo kita kembali. Mereka pasti khawatir,” Okuoka-san bangkit dari duduknya. Aku menurut. Kami-pun kembali ke tempat yang lain berada. Berjalan beriringan di antara kilauan kembang api dan suara ledakannya. Seperti perasaanku, yang selama ini tertimbun dan akhirnya meledak. Membuatku jauh lebih ringan.
Layaknya kembang api ini.
***
Hubunganku dengan Okuoka-san masih berjalan seperti biasa. Bahkan, mungkin lebih dekat dari yang sebelumnya. Kami sering menghabiskan liburan bersama. Okuoka-san mengajakku ke berbagai tempat. Tentu saja, dengan yang lain juga, jika kebetulan kami libur di hari yang sama.
Kami pergi ke taman lavender. Hamparan berwarna ungu yang sangat luas, indah dan wangi. Dengan diiringi kerumunan bunga yang lainnya. Kemudian, kami pergi ke ladang bunga matahari. Bentuknya besar dan lebih tinggi dariku, berwarna kuning keemasan yang berkilau. Bunga-bunga yang indah ini hanya akan bisa terlihat saat musim panas. Aku agak kecewa karena tidak bisa melihatnya lagi tahun depan. Sebagai gantinya, Okuoka-san mengambil foto yang sangat banyak sebagai kenang-kenangan.
Aku merasa sedih mengingat waktu kami di sini tinggal 7 bulan lagi. Hampir setengah tahun kami tinggal di sini. Di sini, aku mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Teman-teman yang baik. Pekerjaan dan liburan yang menyenangkan. Suka dan duka kami alami. Aku meringis dengan sikap sentimentalku. Ini masih 5 bulan, belum lagi jika waktu kepulangan kami semakin dekat. Aku mungkin akan menangis.
Aku berjengit saat Okuoka-san menempelkan sebotol air dingin di pipiku. Dia tertawa dengan responku yang terkejut. Aku langsung cemberut karena ulah isengnya. Ku terima botol tersebut dan menenggaknya. Minuman yang sering Okuoka-san beli di jidouhanbaiki. Aku jadi ingat dengan pertemuan kami beberapa bulan yang lalu. Aku tertarik dengan air mineral yang dia beli waktu itu.
CKREK
Aku menoleh cepat. “Hei! Sampai kapan kau mau mengambil fotoku?,” seruku sambil berusaha meraih kameranya yang langsung dijauhkan dariku olehnya. Dia tergelak, merasa puas karena telah membuatku cemberut.
Okuoka-san sangat hobi foto. Aku baru tahu kalau dia juga menyambi pekerjaan menjadi fotografer lepas, dan memposting hasil fotonya di blog. Bisa dibilang, dia seorang blogger juga. Tidak hanya pemandangan, dia memotret apapun yang dia pikir bagus. Makanan, tempat, benda, ataupun orang. Orang adalah objek terbarunya. Sejak dia memotretku waktu itu. Tapi, sepertinya dia hanya memotretku. Aku merasa tersanjung tentu saja, tapi kadang kesal juga jika dia memotretku setiap ada kesempatan. Malamnya, dia akan mengirim hasil foto-foto tersebut lewat Line.
Terkadang, dia juga mengajariku beberapa hal dasar tentang fotografer. Bagaimana mengatur diafragma, ISO dan fokus pada kamera, juga mengambil angle yang bagus. Untuk mengatur-ngatur supaya hasil foto menjadi lebih bagus, bagiku agak susah. Begitu juga dengan mengambil angle. Selama ini aku hanya asal jepret saat memotret lewat kamera digitalku. Anggaplah itu bagian dari ilmu yang bermanfaat.
Akhirnya, aku menyerah. Akibat dari tinggi kami yang lumayan jauh, aku tidak bisa mengambil kameranya, meskipun aku melompat sekuat tenaga. Aku juga tidak mau memberi kepuasan lebih banyak dari ini untuknya. Aku-pun memilih untuk melangkah menjauhinya. Dia berteriak di belakangku dan segera menyusulku dengan mudahnya, meskipun aku sudah berlari. Kaki panjangnya benar-benar membuatku kesal.
Kedekatan kami yang sangat kentara membuat semua karyawan hotel curiga aku dan dia berpacaran. Dikuatkan dengan kejadian aku pergi berdua dengannya saat festival kembang api waktu itu dan kembali saat acara hampir selesai. Mereka dengan terang-terangan menanyakan kepada kami berdua. Dengan riang, kami menjawab ‘tidak’. Tapi, mereka tidak percaya. Aku hanya bisa nyengir kuda setiap kali bertatapan mata dengan Okuoka-san saat salah satu dari kami diinterogasi.
By the way, aku sudah melaporkan seluruh kejadian kepada Tisha dan yang lain. Jadi, saat tidak puas dengan jawaban kami, mereka bisa meyakinkan jawabanku. Tisha hanya diam saat aku menceritakan semuanya. Kak Diana dan Yash hanya mengatakan kalau mereka mendukungku. Mereka merasa bahwa keputusanku sangat disayangkan, tapi tidak bisa memaksa karena aku sudah memutuskannya. Aku bisa mengerti, bagi mereka Okuoka-san adalah pelindung, juga panutan mereka. Dan, itu yang ku sadari sekarang. Aku menganggap Okuoka-san layaknya seorang kakak laki-laki, yang membuatku merasa nyaman dan terlindungi. Apalagi, aku anak pertama di keluargaku, jadi tidak pernah merasakan memiliki seorang kakak.
Aku merasa bersyukur karena pernah menyukainya. Merasa bangga, karena aku pernah menyukai pria yang baik sepertinya. Dia tetap berada di sampingku, tanpa meminta imbalan apapun. Membuatku merasa nyaman, meskipun aku sudah menolaknya. Tetap berhubungan baik denganku. Pria dewasa yang keren. Aku menyayanginya. Aku berharap dia bisa menemukan kebahagiaan secepatnya.
“Kau ingat, kan kalau akhir pekan ini kita akan karaoke-an,” ujarnya di sampingku. Aku mengangguk.
Kami telah melewati Agustus dengan aman. Kehidupan yang tenang akan menyambutku setelah ini. Musim panas berganti dengan musim gugur. Musim yang paling ku sukai, karena di musim ini Momiji bermunculan. Aku tidak sabar menyambutnya. Sebagai bentuk terima kasih atas kerja keras kami selama Agustus, pihak hotel akan mengadakan acara karaoke di hotel untuk merayakannya. Saat mendengarnya, aku sangat bersemangat, karena aku tidak pernah karaoke sebelumnya. Aku bisa menyenyikan lagu yang ku suka. Kelihatannya sangat menyenangkan.
Aku mengayuh sepedaku, keluar dari Echologi Park, disusul dengan Okuoka-san di belakangku. Kami kembali ke hotel untuk mengembalikan sepeda yang kami pinjam. Setelah itu, kami berpisah. Aku melewati jalan memutar supaya tidak harus melewati kamar Nobusuke-san. Aku masih belum bicara padanya.
“Jadi, kapan kau akan bicara dengan Nobusuke-san?,” tanya Tisha yang sedang mengupas jeruknya. Aku menghentikan kegiatanku mencuci piring.
“Aku masih belum tahu jawabannya,” jawabku pelan, melanjutkan kembali aktifitasku.
“Kau, bisa menolak Okuoka-san, kenapa kau tidak bisa melakukannya juga dengan Nobusuke-san? Sudah berapa lama kau menghindarinya?,”
“Sebulan lebih,” cicitku. Aku bisa mendengar Tisha yang menghela nafas lelah. Lalu, Yash dan Kak Diana membuka pintu. Meskipun sejenak, aku merasa lega dengan kedatangan mereka.
“Apa yang kalian bicarakan?,” tanya Kak Diana.
“Apalagi, pasti masalah Moza,” jawab Yash ringan. Aku hanya cemberut, seolah-olah pembahasan tentangku adalah makanan sehari-hari mereka. Dari kami berempat, memang aku yang sering membuat masalah. Jika itu bisa dibilang masalah. Hanya aku yang mengalami kisah percintaan yang rumit.
Kehidupan kami di sini terlihat sangat normal. Bekerja, jalan-jalan, berkumpul dan menceritakan banyak hal, yang hampir kami lakukan setiap hari. Kebersamaan kami, terlihat sangat natural, seolah-olah kami sudah mengenal lama. Aku jadi agak pesimis, aku bisa merasakan yang seperti ini saat pulang nanti. Meskipun, aku dan Kak Diana masih bisa bertemu di kampus, tapi tidak dengan Yash dan Tisha karena mereka di Bali, aku di Surabaya. Aku hanya bisa berdoa hubungan kami tetap terjalin dengan baik untuk seterusnya.
“Aku masih menyayangkan kau tidak berpacaran dengan Okuoka-san, padahal kalian malah bertambah dekat,” ucap Kak Diana.
“Kedekatan kalian membuatku curiga dengan hubungan yang hanya sebatas teman itu,” tambah Yash, menyipitkan mata padaku.
Aku mendengus. “Memangnya kau berhak bicara seperti itu?,” protesku sambil melirik ke arah Tisha. Dia langsung mengelak. “Jangan samakan dengan kami,”
“Aku tetap menyayangkannya. Memangnya apa yang kurang dari Okuoka-san? Kau, kan menyukainya,” cecar Kak Diana.
“Oh, ayolah guys. Aku hanya sebatas kagum padanya. Aku sangat menikmati hubungan ini dengan Okuoka-san. Terima kasih untuk Tisha yang sudah menyadarkanku,”
“Aku menyesal mengatakannya,”
“Oh, c’mon. I’m happy. I wish you are happy too,”
“Mungkin, kita bisa hentikan pembicaraan ini,” lerai Yash akhirnya. Kami-pun diam dan tida kmembahasnya lagi.
Ponselku berbunyi memecah kesunyian. Mataku langsung berbinar-binar saat membaca nama dari penelepon. Aku langsung mengangkatnya, berbicara penuh semangat selama 10 menit dengan penelepon.
Aku menoleh ke arah mereka bertiga dengan mata berkaca-kaca. Aku ingin menangis saking bahagianya. Mereka menatapku khawatir.
“Kenapa? Apa yang terjadi? Siapa yang menelpon?,” tanya Tisha, yang paling panik di anatara mereka.
“Jo, dia....akan, kemari. Jonathan akan ke sini!,” seruku bersemangat sambil melompat-lompat. Mereka bertiga hanya mematung di tempatnya. Aku tidak sempat untuk mempedulikan ekspresi mereka, karena aku sangat senang. Setelah sekian lama, akhirnya saat ini tiba juga.
Aku akan bertemu dengan Jonathan. Di Jepang.
***
Sejak kabar kedatangan Jonathan, aku menjalani hari-hariku dengan terlalu bersemangat. Okuoka-san menanyakan sebab aku begitu sangat bahagia seperti ini. Aku hanya tersenyum manis sebagai jawabannya, karena Tisha sudah mewanti-wantiku untuk tidak mengatakan apapun tentang Jonathan kepada Okuoka-san dan juga pihak hotel. Biarkan semua mengalir. Dengan begitu, aku bisa lebih bersemangat menyambut hari tersebut tiba.
Sebelum itu, aku harus fokus dengan acara karaoke ini.
Aku baru tahu jika hotel memiliki fasilitas ruang karaoke, karena saat pertama kali mengelilingi hotel, kami tidak ditunjukkan tempat ini. Ternyata tempat karaoke ini berada di depan restoran. Hal yang tidak ku sadari selama 5 bulan di sini. Yang memiliki ruangan yang luas dengan fasilitas Bar.
Makanan sudah tertata memenuhi meja saat kami datang. Kami kembali ke asrama terlebih dulu untuk mengganti pakaian setelah pulang kerja. Karyawan yang lain sudah berkumpul di sana, begitu juga Okuoka-san, Hayami-san, Chief, Yofune-san, bahkan Nobusuke-san. Okuoka-san melambai pada kami sebelum kembali mengobrol dengan karyawan yang lain. Aku duduk di pojok, di kursi yang kosong. Yash bergabung dengan Okuoka-san, dan Kak Diana bergabung dengan karyawan restoran. Hanya Tisha yang masih berada di sampingku.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Bersenang-senanglah,” ucapku padanya, karena aku tahu Tisha ingin bergabung dengan karyawan yang lain. Karena aku tidak terlalu nyaman di kerumunan orang seperti ini, lebih baik aku diam di pojokan.
Awalnya, aku memang bersemangat menyambut acara ini. Tapi, saat memasuki ruangan yang remang-remang dengan lampu berwarna-warni yang berputar, dengan beberapa orang yang cukup banyak, aku yakin aku tidak akan tahan di sini lama-lama. Karena penerangan yang lumayan gelap, aku jadi bisa menghindar dari kerumunan. Aku sangat menghargai perhatian Tisha, tapi dia juga berhak untuk bersenang-sennag.
Acara pertama diawali dengan sambutan dari beberapa orang, Chief juga berbicara, betapa Beliau sangat menghargai kerja keras kami selama musim panas ini. Kemudian, dilanjutkan dengan bernyanyi. Aku berseru takjub saat Chief bernyanyi dengan penuh semangat. Bergantian dengan yang lain. Meskipun, aku tidak tahu lagu tersebut, tapi sangat menyenangkan saat mereka menampilkannya dengan penuh semangat. Ada yang berteriak-teriak, melompat dan juga menari. Aku tertawa melihat setiap penampilan dari mereka, sampai perutku sakit, dan membuatku mengeluarkan air mata.
Yash memiliki gilirannya. Dia menyanyikan lagu barat yang cukup populer. Karena dia memang tidak terlalu tahu tentang lagu Jepang, begitu juga dengan orang Jepang ini yang sepertinya asing dengan lagu barat. Mereka hanya bertepuk tangan saat Yash menyanyikannya, yang kebetulan adalah lagu melow. Aku pun mengikuti lirik lagu, ikut bernyanyi sambil bertepuk tangan. Aku berasa melihat konser. Aku takjub mendengar suara Yash yang sangat merdu itu.
Kali ini, sepertinya Yash tidak mabuk. Dia kelihatan masih waras dan tegak. Menyanyi dengan penuh penghayatan, membuatku terpesona. Dia terlihat sangat keren. Aku melirik ke arah Tisha, tersenyum penuh kemenangan saat mendapati Tisha tidak melepaskan pandangan dari Yash. Perlahan, Yash telah memikat Tisha tanpa Yash sadari.
Nyanyian Yash berhenti. Kami bertepuk tangan serempak, membahana di seluruh ruangan. Yash membungkuk penuh penghormatan dan nyengir sebelum turun dari panggung. Kemudian, giliran Kak Diana menyanyi. Dia menyanyikan salah satu lagu dari Idol grup kecintaannya, yang aku sama sekali tidak tahu. Dan, ternyata lumayan banyak yang mengetahuinya, terbukti dengan paduan suara yang mengiringi Kak Diana menyanyi.
Tisha melewatkan gilirannya dan memberikannya padaku. Aku yang belum meilih lagu, hanya menatapnya tajam. Tapi, akhirnya aku tetap memilih untuk bernyanyi. Aku memilih lagu Tomohisa Sako yang berjudul Bokutachi no Uta. Aku menyukai lagu ini setelah menonton anime Zetsuen no Thempest. Lagunya bernada riang dan terkesan romantis. Aku tidak sempat memperhatikan penontonku karena terlalu terbawa suasana dengan lagunya. Saat selesai menyanyi, aku mendengar tepukan tangan mereka.
“Suaramu bagus. Kau melakukannya dengan sangat baik,” puji Tisha saat aku kembali ke tempat dudukku. Aku bisa melihat Okuoka-san yang mengangkat kedua jempolnya padaku, yang ku balas dengan cengiran lebar. Saat aku sudah duduk di tempatku, aku tidak menyadari jika Nobusuke-san juga duduk di sana.
“Tidak sia-sia, kau menyanyi setiap hari,” bisiknya sambil meminum bir kaleng, tanpa meilirik padaku.
“Aku anggap itu sebagai pujian,” balasku. Aku bisa mendengar dia mendengus geli di sampingku. Aku tersenyum. Perasaan nyaman saat bersamanya telah kembali. Hanya dengan satu kalimat, penghalang di antara kami menguap begitu saja. Dan, selama sebulan ini aku telah bersikap bodoh karena telah menghindarinya, karena tidak bisa menentukan perasaanku.
“Lihat aku,” bisiknya sebelum bangkit untuk gilirannya menyanyi. Mataku mengikutinya, tidak paham dengan apa yang dia maksud.
Dia berdiri di panggung sambil menatap lurus padaku, sebelum beralih ke arah lain. Musik mulai mengalun pelan. Aku langsung menutup mulutku saat menyadari lagu yang dia akan nyanyikan. Lagu Hitomi no Juunin milik L’Arc en Ciel. Lagu yang populer di masanya, bahkan sampai sekarang. Meskipun, aku tidak terlalu sering mendengarkan lagu band ini, tapi aku sangat mengenal lagu ini. Lagu romantis yang menjanjikan kebahagiaan untuk orang yang dicintainya.
Nobusuke-san menatapku lembut dan hangat saat menyanyikan intro. Dalam kegelapan, dan kebisingan, mata dan telingaku bisa merasakan dengan jelas keberadaan Nobusuke-san. Tubuhku terasa panas di bawah tatapannya. Jantungku berdegup kencang mendengar suranya yang menggema di telingaku, seolah berbisik. Aku ingin menangis.
Apa yang sudah ku lakukan, Tuhan?