Aku membanting tray dengan kesal, membuat semua orang menatapku, yang sama sekali tidak ku pedulikan. Aku beralih ke Bar dan menata gelas yang sudah kering setelah dicuci. Bisa ku dengar bisik-bisik dari yang lain, tapi aku tidak ingin sedang berbicara dengan siapapun. Jika, aku sedang sibuk seperti ini, mereka tidak akan menggangguku dengan sekedar bertanya apa yang sedang terjadi padaku. Bahkan, Chief yang selalu memperhatikan gerak-gerikku tidak menegurku sama sekali.
Kak Diana menghampiriku, lebih tepatnya dia sedang membersihkan sisa buah mangga yang tadi ditaruh di meja Bar. Aku masih sibuk menata gelas dan membersihkan Bar. Kak Diana masih sibuk dengan pekerjaannya. Aku mencoba untuk tetap sibuk, segera membereskan semuanya dan pulang. Berendam di air panas, kemudian tidur di balik futon adalah yang sangat ku butuhkan sekarang. Mungkin, aku juga butuh es krim untuk mendinginkan kepalaku. Ku ingat-ingat lagi apakah aku masih punya persediaan es krim di kulkas.
Aku langsung berpamitan setelah pekerjaan selesai dan Chief menyuruh kami pulang. Setelah cek jam pulang, aku bergegas keluar hotel menuju asrama. Kak Diana berjalan dalam diam di sampingku, Yash berjalan di depan kami, dan Tisha masih di belakang. Kami berjalan pulang dalam diam dan canggung. Saat sudah di lantai kamar kami, tidak ada satupun yang mengucapkan sesuatu meski hanya sekedar selamat malam. Aku duluan yang masuk kamar, berjalan menuju keran dan minum. Berada dalam keheningan dan keremangan membuatku jauh lebih baik.
Aku menghela nafas panjang, bergerak pelan menyalakan lampu, kemudian mengisi air hangat di bath thub. Sembari menunggu, aku mengecek ponselku. Ada banyak notifikasi; Line grup alumni sekolahku dulu, pemberitahuan e-mail, game, dan iklan-iklan yang tidak penting. Aku mengecek Line grup, hanya sekedar membuka tanpa membacanya, pasti hanya obrolan receh. Kemudian, beralih ke aplikasi game kesukaanku. Lumayan untuk menghabiskan waktu menunggu bath thub penuh.
Aku bermain game sampai memenangkan 10 ronde. Benar-benar lupa dengan bath thub. Ku letakkan ponselku di atas meja dan berlari menuju kamar mandi. Air sudah hampir penuh. Aku bersyukur lega karena tidak harus membuang air terlalu banyak.
Aku merasa segar setelah mandi dan berendam air hangat. Ku bungkus rambutku yang basah dengan handuk, berjalan menuju kulkas, mengambil es krim melon, dan duduk di depan laptop. Membuka folder anime yang baru rilis musim sebelumnya yang sudah ku kumpulkan. Setiap musim, Jepang akan merilis beberapa anime, dan aku selalu me-list anime yang menurutku bagus dan harus ku tonton. Setelah lengkap semua episode-nya, barulah aku tonton. Anime yang ku pilih kali ini adalah season ke-2 dari anime Ansatsu Kyoushitsu. Anime yang ku tunggu-tunggu setelah menonton yang pertama.
Aku sangat tertarik dengan anime ini karena ceritanya yang bagus. Dengan tokoh-tokoh yang tidak biasa, mengusung genre action dan juga comedy, dan dengan latar sebuah SMP. Kadang, dari anime aku sering mendapatkan motivasi, dan juga ilmu pastinya membuat kosa kata bahasa Jepang-ku bertambah.
Bel pintuku berbunyi saat aku sedang menonton episode 2. Aku menekan space dan bangkit menuju pintu. Terkejut melihat Kak Diana dan Yash di sana. Aku menghela nafas panjang, bisa menebak apa tujuan mereka ke mari.
***
Sakura sudah benar-benar mekar beberapa hari kemudian, setelah kejadian aku bertemu dengan Okuoka-san tanpa sengaja di Tokachigaoka Park. Okuoka-san mengantarkanku pulang ke asrama dengan mobilnya, yang awalnya ku tolak dengan sepenuh tenaga, tapi akhirnya ku terima juga, karena dia dengan lancang menyeretku masuk ke mobilnya. Aku hanya bisa pasrah menerimanya. Okuoka-san langsung pergi setelah aku berpamitan dengannya.
Saat berbalik, aku mendapati tetangga sebelah yang sedang berdiri di bawah tangga, sedang membeli minuman di jidouhanbaiki. Dia menatapku tajam. Aku merutuki diriku yang bisa-bisanya bertemu dengan dua pria ini sekaligus. Sepertinya, Tuhan sedang menghukumku.
Aku berjalan pasti, tidak menghiraukan keberadaannya yang masih mengikuti gerakanku dengan mata tajamnya. Ku anggukkan kepala sedikit saat berada di hadapannya dan langsung menaiki tangga.
“Apa kau bersenang-senang dengannya?,” tanyanya tiba-tiba, membuatku menghentikan langkah saat berada di undakan ketiga. Aku menoleh padanya, dia dengan santainya membuka tutup botol minumannya dan meneguknya.
“Apa maksudmu?,”
Dia menatap tajam kepadaku, membuatku bergidik. Bisa ya membunuh orang dengan tatapannya saja? Ku tatap balik setajam yang dia berikan. Aku sudah cukup kesal dengan tingkahnya yang seenaknya, tidak masalah kan, jika aku juga bertindak yang sama. Toh, dia yang memulainya duluan.
Kami saling menatap tajam satu sama lain selama beberapa detik sampai pada akhirnya dia mengalihkan pandangan. Kali ini aku yang menang.
“Jangan bilang kau suka padanya,” ujarnya sambil mendengus.
“Hah?,” Aku hanya melongo saat dia menanyakannya. Yang dia maksud sekarang ini adalah aku dan...Okuoka-san? “Kenapa kau berpikiran seperti itu? Lagipula, itu bukan urusanmu, kan?,”
“Ck, kau pikir kau sedang apa di sini? Mencari jodoh?,”
WHA-T? Apa dia sekarang sedang menceramahiku? Dan, apa katanya? Mencari jodoh? Yang benar saja!
“Aku tidak peduli dengan apapun yang kau pikirkan. Aku hanya kebetulan bertemu dengan Okuoka-san dan dia menawarkan untuk mengantarku pulang. Dan, soal mencari jodoh, aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal sepele seperti itu. Pekerjaan sudah cukup membuatku stres. Terutama, kau. Kau selalu saja membuatku kesal,” cecarku kesal. Aku menarik nafas panjang setelah mengucapkan semuanya. Detik kemudian, aku menyesalinya. Kenapa aku harus berbicara padanya tentang hal ini? Aku menatapnya, menemukan ekspresi terkejut di matanya. Tapi, hanya sebentar.
“Memangnya, apa yang ku lakukan sampai membuatmu kesal?,” tanyanya polos.
Oh, dia benar-benar tidak tahu atau hanya pura-pura?
“Kau... Ugh, kau pria menyebalkan yang suka seenaknya. Kau tidak pernah tersenyum di tempat kerja. Kau tidak pernah bicara baik-baik padaku. Kau bahkan bersikap seolah-olah kita tidak pernah berbicara sebelumnya. Dan, sekarang kau mengomentari apa yang ku lakukan. Kau pikir, kau ini siapa?,”
Dia hanya terdiam, menatapku penuh arti. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan setelah aku mengatakan hal seperti itu. Dan, mulutku benar-benar harus ku kendalikan untuk tidak lepas kendali seperti ini.
“Kau ingin aku tersenyum dan berbicara manis padamu?,” tanyanya. Mataku langsung membulat saat dia menanyakan hal yang terdengar sangat memalukan itu, tapi ekspresi wajahnya terlihat serius, tidak ada kesan dia sedang bercanda. Oh, sadarlah Moza! Membayangkan dia tersenyum dan berbicara manis denganku membuat bulu kudukku meremang. Meskipun, aku pernah melihatnya tertawa saat kebetulan kami berada di balkon, tapi jika lebih dari itu, mungkin bukan ide yang bagus.
“Mungkin, tidak. Maafkan atas sikapku. Lupakan saja apa yang sudah ku katakan,” ujarku dingin. Akhirnya, aku mendapatkan kewarasanku.
“Aku sudah terlanjur mendengarnya. Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan,” balasnya sambil berbalik pergi.
Tubuhku langsung lemas seketika. Tanganku langsung menggapai tembok, menekankan dahiku ke tembok untuk menenangkan diri. Hari ini aku sudah terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Liburanku yang seharusnya menyenangkan. Bahkan, aku tidak bisa menemukan kenangan menyenangkan ku tadi bersama Okuoka-san. Aku menggerutu pelan dan menaiki undakan tangga satu per satu.
Saat berada di kamar, aku masih terngiang-ngiang ucapannya tadi. Apa maksudnya dengan aku yang tidak akan mendapatkan apa yang ku inginkan? Apa ini tentang dia yang tersenyum dan berbicara manis padaku atau tentang aku yang menyuruh melupakan apa yang telah ku katakan? Semakin ku pikirkan, bukannya jawaban yang ku dapat, melainkan kepalaku yang berdenyut. Aku harus beristirahat. Lupakan saja semuanya.
Malamnya, saat aku bersiap untuk tidur. Ponselku berbunyi. Aku mengecek sebentar siapa yang mengirim Line padaku. Saat membaca notifikasi yang muncul di layar, aku langsung berteriak dan melempar ponselku begitu saja. Aku mengerjapkan mataku berulang kali, kemudian menyalakan lampu. Mungkin karena gelap jadi aku salah melihatnya. Aku menoleh ke sekeliling. Ku harap tidak ada yang mendengar teriakanku tadi.
Aku kembali menatap ponselku yang tergeletak di atas selimut. Mengambilnya perlahan sambil menutup mataku rapat-rapat. Ku buka satu mataku perlahan, aku benar-benar membacanya dengan benar. Ku buka mataku yang satu lagi, kali ini aku memastikan dengan kedua mataku, bahwa aku memang tidak salah lihat. Aku tidak salah lihat. Tidak salah baca juga.
Okuoka-san mengirim pesan padaku.
Ku buka chat darinya, lalu muncul beberapa foto. Fotoku.
Fotoku yang diambil Okuoka-san di Tokachigaoka Park siang tadi. Total ada 6 foto. Banyak sekali. Ku buka satu foto, menampakkan wajahku yang gugup. Ini pasti saat aku dimintai tolong menjadi objek fotonya. Aku sangat gugup saat itu. Foto kedua, wajahku lebih rileks dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Foto ketiga, wajahku menunduk. Foto keempat, wajahku yang terkejut menatap kamera. Tanpa dikendalikan, wajahku sudah memerah, karena ini pasti saat aku mulai terpesona dengan sosok Okuoka-san di seberang sana. Foto kelima, saat rambutku berkibar ditiup angin, lalu foto terakhir adalah foto yang telah ku lihat. Kemudian, datang chat dari Okuoka-san.
Aku menyukai fotomu yang terakhir J
Wajahku berasa panas sekarang. Bibirku langsung merekah. Ada perasaan hangat yang membuncah di hatiku. Getaran-getaran aneh yang menenangkan. Sesak nafas yang menyenangkan. Detak jantung yang berdegup cepat dan teratur. Dunia terlihat begitu menakjubkan sekarang. Hanya dengan satu kalimat, mampu menjungkir balikkan perasaanku sekarang.
Foto yang bagus. Terima kasih J
Setelah membalasnya, aku langsung beranjak tidur.
***
Keesokannya, tidak terjadi apapun dengan aku dan tetangga sebelah. Dia masih bersikap seperti biasanya, mendiamkanku dan mengacuhkanku. Jadi, pertanyaanku terjawab sudah. Dia tidak akan pernah menjadi baik denganku.
Setelah tamu pulang, dan kami sudah membereskan semuanya, akhirnya bisa makan juga. Selain gaji, kami juga mendapatkan jatah makan untuk siang dan sore. Setelah jadwal di pagi hari dan saat jeda bekerja di siang hari. Seperti biasa, aku langsung mengambil croissant yang masih tersisa. Roti yang paling enak yang pernah ku makan. Aku pernah membeli roti yang sama di Konbini dan supermarket, tapi tetap tidak bisa mengalahkan rasa enak yang di sini. Karena rasanya yang enak dan menjadi favorit menu sarapan, croissant selalu habis lebih dahulu, meskipun bersisa, jumlahnya hanya sedikit, jadi siapa cepat dia dapat. Sisa menu sarapan akan ditaruh di kantin untuk sarapan karyawan hotel yang lain. Favoritku selain croissant adalah susu, jus buah, tamagoyaki – telur goreng dan tomat ceri. Tanpa mereka, aku tidak akan bisa menikmati sarapanku. Jadi, aku selalu berharap mereka selalu bersisa.
Saat makananku sudah separuh ku makan, tiba-tiba Okuoka-san muncul. Dia menyapa kami sambil tersenyum. Aku yang sedang memakan tamagoyaki langsung tersedak karenanya. Kak Diana segera menyodorkan air putih padaku. Aku langsung menenggaknya cepat, meredakan sedakanku sejenak, meskipun jantungku berdegup kencang dan udara terasa sesak di kantin.
“Kau tidak apa-apa? Maaf mengagetkanmu,” ucap Okuoka-san merasa bersalah.
“Ah, tidak. Aku baik-baik saja,” balasku cepat. Okuoka-san tersenyum lega mendengarnya. Diapun duduk di hadapanku. Sejak kapan kursi depan kosong?!
Sekejap, aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku melanjutkan sisa makanku perlahan, menunduk dalam, menghindar untuk menatap Okuoka-san yang tepat berada di hadapanku.
“Oh, ya Moza. Apa aku mengganggu tidurmu semalam?,” Aku langsung mendongak kaget menatapnya. Dia menatapku lurus. Bagaimana bisa dia menanyakan hal itu di sini? Di depan banyak orang?!
Moza, rileks. Kau harus bisa mengatasi ini. Bersikaplah biasa.
“Kenapa kau berpikiran seperti itu?,” tanyaku, bersuara sesantai mungkin.
“Ng, karena kau cukup lama membalasnya, jadi ku pikir kau sudah tidur. Jadi, aku tidak membalasnya lagi,”
Benar-benar. Pria ini tidak bisa membaca situasi. Tanpa menoleh pun, aku sudah tahu Kak Diana dan yang lain menatapku penuh minat. Aku harus segera kabur jika mereka sempat bertanya. Aku tidak akan bisa bersikap santai jika sudah membuka mulut.
“Aku sedang di toilet waktu itu, jadi agak lama membalasnya, karena aku baru melihatnya saat masuk kamar,” Hanya ini alasan yang ku punya, dengan waktu yang singkat, otakku tidak akan bisa berpikir jernih.
“Oh, begitu. Syukurlah kalau aku tidak mengganggumu,” Aku hanya membalasnya dengan senyuman, melanjutkan makanku.
Okuoka-san beranjak mengambil makanan. Akhirnya, aku bisa bernafas lega. Ku perhatikan Okuoka-san yang sedang berdiri di pinggir meja, memegang piring di tangan kirinya dan sumpit di jari kanannya. Dia seperti sedang berpikir. Mataku mengerjap pelan, sepertinya aku telah melewatkan sesuatu.
Ku perhatikan dengan seksama Okuoka-san. Dia mengenakan setelan jas yang rapi, rambut yang ditata rapi, dan....KACA MATA. That’s it! Kemarin, saat bersamaku dia tidak mengenakan kaca mata. Kenapa aku baru sadar sekarang? Apa kaca mata itu hanya fashion atau dia mengenaka soft lens saat tidak bekerja? Tapi, tunggu. Setelah dilihat-lihat lagi, dia memang berpenampilan berbeda. Sikapnya juga agak berbeda dibanding saat pertama kali bertemu. Dia juga banyak tersenyum. Cara bicaranya juga, lebih sopan. Tidak ada nada sinis. Apa cuma perasaanku atau memang sifat aslinya lebih baik dari yang ku bayangkan? Sepertinya, aku telah menarik kesimpulan yang keliru tentangnya. Kesan pertama memang tidak sepenuhnya menunjukkan sifat asli seseorang. Mungkin, kata ‘malaikat’ cocok untuknya.
Okuoka-san kembali duduk di hadapanku dan tersenyum. Aku membalas dengan tersenyum juga. Perasaanku lebih baikan sekarang. Lalu, tiba-tiba Okuoka-san meletakkan karaage di atas piringku. Aku hanya bisa menatapnya bingung dan juga shock.
“Kau harus banyak makan daging, supaya kau kuat saat bekerja,” jelasnya
“Ah, iya. Terima kasih,” ucapku rikuh. Ku pandangi karaage yang berjumlah cukup banyak itu, memakannya satu. Okuoka-san tersenyum saat aku memakannya.
Aku bisa melihat Yash yang menaik turunkan alisnya dan tersenyum menyebalkan padaku. Begitu juga dengan Kak Diana dan Tisha. Membuatku malu. Lalu, Okuoka-san mengajak kami mengobrol, meskipun aku lebih banyak diam, berusaha menghabiskan karaage berjumlah banyak itu.
Setelah benar-benar habis, aku bergegas menuju tempat cuci piring, bersamaan dengan Okuoka-san yang berdiri. Aku menatapnya terkejut, piringnya benar-benar sudah bersih. Cepat sekali dia makan.
Dia berjalan mendahului menuju tempat cuci piring, aku menyusulnya kemudian. Yash langsung bersiul meledek padaku. Aku langsung melotot padanya, tapi dia malah terkekeh.
“Biar ku cuci. Kau mengelapnya saja,” ujar Okuoka-san tiba-tiba. Aku hanya bisa mengangguk, benar-benar tidak paham dengan apa yang sedang terjadi. Kenapa dia perhatian sekali padaku? Atau jangan-jangan.... Aku harus menghentikan pikiranku yang selalu berprasangka buruk padanya. Bisa saja perhatiannya memang tulus, bersikap sebagai senpai – senior – yang baik.
Aku-pun memberikan piring dan gelasku padanya. Dia menggelung lengan jasnya dan mulai mencuci, kemudian memberikannya padaku. Aku mengelapnya sampai kering dan menumpuknya.
“Aku punya beberapa foto pemandangan yang bagus. Mau lihat?,” ucapnya di sela-sela kesibukannya mencuci piring.
“Tentu saja,” jawabku bersemangat.
“Aku akan mengirimkannya nanti,” Aku mengangguk semangat, membuat Okuoka-san tersenyum geli. Aku harap senyum itu tidak pernah hilang dari bibirnya.
“Hei, Dai! Kau sudah mau pulang?,”
Aku menoleh ke belakang, ke arah Okuoka-san sedang menyapa seseorang. Dan, dia berdiri di sana. Si tetangga sebelah.
Dia menatapku lebih tajam dari yang sebelum-sebelumnya. Membuat udara di sekitarku berasa sedingin es. Aku bergidik karenanya.
“Kau pengangguran sekali ya, menghabiskan waktu dengannya,” sindir Dai masih menatapku tajam.
“Kau selalu saja begitu. Pantas saja kau tidak populer,” balas Okuoka-san.
“Kau tidak sadar umur ya? Lolicon sepertimu lebih baik cepat mati saja sana,” balas Dai lagi. Kali ini dia tidak menatapku.
“Sepertinya, kau harus belajar sopan santun, bocah,”
Ng, situasi apa yang sedang di hadapanku sekarang? Aku seperti melihat kilatan petir yang menggelegar di antara tatapan tajam mereka berdua, seperti yang biasa ku lihat di anime. Apa hubungan mereka buruk? Dan, aku yang berada di tengah-tengah mereka berasa telah diseret ke tempat yang tidak sepatutnya.
“Lihatlah dirimu sendiri,” Dai lagi-lagi membalas dengan sindiran yang lain. Aku melirik Okuoka-san yang masih bersikap tenang dengan senyum yang masih menempel di bibirnya, meskipun tatapan matanya sangat menusuk, kentara sekali dia sangat terganggu dengan ucapan Dai barusan.
“Mungkin, sebaiknya kau cepat menyingkir dari hadapanku, bocah,”
“Mungkin kau yang harus sadar diri, pak tua,”
Okuoka-san mengepalkan tangannya. Detik kemudian, dia akhirnya melangkah pergi setelah membawa tumpukan piring dan gelas yang telah ku lap. Dia berjalan melewati Dai dan masih sempat menatapnya tajam untuk yang ke sekian kali. Dai membalas dengan tatapan yang sama. Aku menatap mereka sambil menahan nafas, baru bisa bernafas lega saat Okuoka-san menjauh dari hadapan Dai. Sekarang, aku yang menjadi sasaran Dai. Memangnya dia tidak bisa gencatan senjata dulu barang sejenak?
“Seleramu payah sekali,” bisiknya sambil berlalu. Aku, lebih baik tidak menggubrisnya dan kembali ke kantin.
Okuoka-san berpamitan setelah meletakkan piring dan gelas di lemari. Kami-pun berjalan keluar hotel menuju asrama. Di sanalah, interogasi terjadi.
“Sejak kapan kau dekat dengan ‘malaikat’ kita?,” tanya Yash menggoda.
Aku sudah tidak heran dengan julukan tersebut. Sejak hari pertama bekerja, semua orang di hotel menyebut Okuoka-san sebagai malaikat, karena sikapnya yang lembut, ramah dan baik hati kepada siapapun. Hal yang selalu ku curigai dari awal. Yash yang memang dekat dengan karyawan pria, lebih sering berinteraksi dengan Okuoka-san. Jadi, wajar jika dia bertanya, karena aku sama sekali tidak pernah mengobrol dengan Okuoka-san sejak soubetsukai waktu itu.
“Kemarin, aku bertemu dengannya di Tokachigaoka Park,” jawabku singkat.
“Hoo, romantis sekali,” timpal Kak Diana menggoda. Aku hanya memutar bola mataku jengah.
“Hanya begitu? Kalian juga sepertinya saling berkirim pesan, Line mungkin,” timpal Tisha.
Kami berempat tidak pernah membicarakan hal se-pribadi ini. Hanya tentang pekerjaan. Bahkan Yash saja yang dekat dengan beberapa orang, tidak pernah membicarakannya. Apalagi Kak Diana, yang memang lebih banyak diam. Namun, saat giliranku, kenapa mereka bersemangat sekali? Tisha yang tidak peduli dengan orang lain, bahkan ikut nimbrung.
“Yeah, kami bertukar ID Line. Dia hanya mengirimiku pesan sekali,” Aku tidak berbohong soal ini. Okuoka-san hanya mengirimiku pesan sekali semalam. Kami tidak saling berkirim pesan lagi.
“Apa yang kalian bicarakan?,” tanya Kak Diana penasaran. Ini pertama kalinya, Kak Diana tertarik akan sesuatu selain tentang hal-hal berbau Jepang. Ah, Okuoka-san di sini masih ada unsur Jepang-nya. Dia orang Jepang.
Akhirnya, mulutku membuka tanpa berhenti. Menceritakan semuanya tentang kejadian kemarin. Se-mu-a-nya. Hanya tentang Okuoka-san. Setelah bicara, mereka bertiga menatapku datar.
“Ng, Moza, jangan bilang, kau suka padanya,” ujar Tisha pelan, curiga.
Saat itulah, aku berasa dibangunkan secara paksa. Apa aku menyukai Okuoka-san? Suka yang ‘itu’? Bukan hanya tertarik, tapi suka?
“Kau tidak menyadarinya, ya?,” sahut Kak Diana. Aku bengong menatapnya.
“Kelihatan sekali kalau kau suka padanya. Bisa jadi, Okuoka-san juga tahu,” tambah Yash.
“ARGH!!!,” teriakku. Mereka bertiga langsung menutup telinga karena teriakanku yang tiba-tiba. “Apa kelihatan sekali? Benarkah? Aku bahkan tidak tahu kalau aku suka padanya. Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia menyadarinya? Apa yang harus ku lakukan? Aku harus bersikap bagaimana?,” cecarku panik.
“Itu hanya perkiraanku sih. Aku tidak tahu apa Okuoka-san sadar atau tidak,”
“Yeah, lagipula sikapmu masih bisa dibilang biasa kok,” tambah Kak Diana
“Entahlah, ya. Kalau kau setiap hari bertemu dengannya, apalagi kalian saling berkirim Line. Aku yakin dia pasti menyadarinya,” Tisha menambahi, yang semakin membuatku panik.
“Kalian, sangat tidak membantu,” protesku. Mereka bertiga hanya terkekeh. Menyebalkan.
Kami-pun sampai di lantai kami. Kami berpisah setelah mereka mengatakan supaya aku bersemangat. Aku yakin itu hanyalah sindiran. Bercerita kepada mereka tidak membuat menjadi lebih baik.
Aku mengganti pakaianku setelah mencuci tangan, kaki, dan muka. Menyalakan playlist lagu kesukaanku dan berbaring nyaman di futon. Ku pandangi langit-langit kamar, memikirkan segalanya. Setelh dipikir-pikir, aku memang terpesona pada Okuoka-san. Aku mengakuinya. Okuoka-san sangat menawan. Sepertnya, dia juga cukup populer. Pasti banyak orang yang menyukainya. Aku hanya salah satu di antaranya. Yeah, bukan berarti aku ingin lebih dekat dengannya, tapi mungkin benar apa kata Tisha. Semakin aku dekat dengannya, mungkin saja perasaan terpesona ini bisa bergerak ke arah yang lebih dalam.
Ku pejamkan mataku kuat-kuat. Aku tidak ingin memikirkannya. Kapan terakhir kali aku menyukai seseorang? Aku putus dengan mantanku saat awal masuk kuliah, jadi mungkin hampir setahun aku jomblo. Setelah itu, aku tidak dekat dengan pria manapun. Sekarang, Okuoka-san.
Moza, sadarlah. Kau hanya kagum padanya. Ini bukan suka. Kau hanya orang asing di sini, jangan berharap yang terlalu berlebihan.
Benar. Itu tidak akan pernah terjadi.
Perlahan, kesadaranku mulai menghilang, saat playlist laguku sedang memutar lagu Unravel.
***
Sorenya, kami kembali bekerja. Menyiapkan menu untuk makan malam. Membuka restoran. Menyambut tamu. Mengantar pesanan. Membersihkan meja. Beres-beres restoran. Di saat itulah, terjadi hal yang sangat besar. Dan juga gawat.
Entah siapa yang memulai. Entah bagaimana awalnya. Entah tentang apa. Dai bertengkar hebat dengan Chief. Chief bahkan sampai menggebrak tembok pembatas yang terbuat dari kayu. Sedangkan, Dai masih dengan sikap tenangnya berbicara keras pada Chief.
“Apa yang terjadi?,” tanyaku pada Yash yang dibalas dengan angkatan bahu, bahwa dia juga tidak mengerti.
Lalu, dari kejauhan, Hayami-san menghampiri mereka. Hayami-san adalah wanita yang baik dan ramah, juga cantik. Lebih tua beberapa tahun dariku. Tipe wanita yang dewasa dan hangat. Karyawan di restoran sangat menghormatinya, bahkan Chief seringkali memujinya. Aku juga sering kali ditolongnya, benar-benar wanita idaman.
Hayami-san berbicara kepada mereka berdua. Chief dan Dai masih terlihat saling beradu mulut, tapi akhirnya bisa diredakan. Hayami-san mengatakan sesuatu kepada Dai, membuat Dai menundukkan kepala, sepertinya meminta maaf. Kemarahan Chief juga mulai mereda. Benar-benar tindakan yang sangat heroik. Ternyata, tokoh utama di dunia nyata memang benar-benar ada, tidak hanya dalam anime dan novel saja.
Chief meninggalkan restoran. Hayami-san mengatakan sesuatu sambil tersenyum kepada Dai yang hanya mengangguk singkat, kemudian pergi. Lalu, Hayami-san menyuruh kami untuk segera pulang.
“Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Nobusuke-san. Dia berani sekali mendebat Chief. Benar-benar hebat,” puji Yash saat kami sudah keluar hotel.
Nobusuke Dai. Benar-benar pria yang tidak bisa ditebak. Hanya dia yang berani mendebat Chief, selain Hayami-san, dalam artian tertentu. Nobusuke-san – karena aku tidak tahu nama marganya, dan karena aku mendengar Okuoka-san memanggilnya Dai, aku jadi menyebutnya seperti itu. Memanggil nama belakangnya terkesan sangat tidak sopan, apalagi aku tidak dekat dengannya – memiliki sikap yang acuh. Nobusuke-san, pekerjaannya sangatlah bagus. Dia melayani tamu dengan baik. Bekerja dengan cepat dan teratur. Tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Tipe perfeksionis. Itulah kenapa, rasanya mengejutkan melihatnya berdebat dengan Chief.
Nobusuke-san juga jarang berbicara dengan orang lain. Tidak pernah menunjukkan ekspresi yang beragam. Berbicara seperlunya. Sangat mengherankan, mengingat dia pernah tertawa di hadapanku, dan kemarin dia saling menyindir dengan Okuoka-san. Aku benar-benar tidak memahami sikap orang-orang di sini.
“Apa kau tidak dekat dengannya?,” tanyaku pada Yash yang notabene-nya dekat dengan hampir semua karyawan hotel, khususnya pria.
“Aku sudah mencoba, kau tahu. Tapi, temboknya terlalu tinggi. Jadi, aku menyerah,”
Oh, benar.Memangnya siapa yang tahan dengan sikapnya yang seperti itu?
“Tapi, dia cukup populer loh di kalangan karyawan wanita. Mereka bilang kalau Nobusuke-san sangat baik. Bahkan, menyebutnya Ouji-sama,” timpal Kak Diana.
“Oh, ya?,” Mungkin, dia punya sisi lain yang baik.
“Kenapa Ouji-sama?,” tanya Tisha
“Ng, karena dia masih muda. Jadi, julukan itu lebih cocok untuknya. By the way, Okuoka-san juga dijuluki Ou-sama, karena dia lebih dewasa,” jelas Kak Diana
Hee, selain malaikat, dia juga dijuluki Raja, dan Nobusuke-san sebagai Pangeran. Yeah, ku rasa itu julukan yang cocok dengan mereka berdua. Melihat sikap mereka yang saling berkebalikan. Okuoka-san terlihat lebih kalem dan hangat, sifat dasar seorang Raja. Sedangkan, Nobusuke-san tipe pemberontak, cuek dan suka seenaknya. Benar-benar Pangeran. Jika, Okuoka-san dijuluki malaikat, itu berarti Nobusuke-san adalah Iblis. Hm, cocok sekali.
Apa itu sebabnya mereka berselisih? Aku mendengus geli, memangnya alasan kekanak-kanakan itu bisa dijadikan alasan? Rasanya tidak mungkin.
“Oh, ya. Memangnya umur mereka berapa?,” tanyaku penasaran.
“Nobusuke-san 20, Okuoka-san 30. Tahun ini,”
“HAH?!,” seru kami bertiga.
Okuoka-san 30? Sama sekali tidak terlihat kalau dia sudah setua itu. Dibandingkan denganku yang masih berusia 18 tahun, dia termasuk sudah tua. Orang-orang sini mengerikan. Dan, aku menyukai pria berusia 30 tahun. Ini rekor pertamaku. Di masa lalu, aku hanya menyukai pria yang maksimal 2 tahun di atasku. Sekarang? Jarak usia kami terpaut 12 tahun. Oh, God!
“Bagaimana kau tahu?,” tanya Tisha curiga
“Sumber informasiku sangat bisa dipercaya,” jawab Kak Diana bangga
Oh, ya tentu saja. Selain Yash, Kak Diana juga dekat dengan karyawan wanita. Mengorek sedikit informasi akan sangat mudah baginya. Aku jadi teringat saat Okuoka-san dan Nobusuke-san berselisih tadi. Okuoka-san memanggil Nobusuke-san bocah, dan Nobusuke-san memanggilnya pria tua, bahkan menyebutnya lolicon. Itu menjawab pertanyaanku.
“Hei, kalian. Mau minum-minum di tempatku?,” seloroh Yash
“TIDAK,” jawab kami bertiga serempak dan berjalan menuju kamar masing-masing, meninggalkan Yash yang kecewa.
Sepertinya, hal yang biasa bagi orang Bali minum-minum. Awalnya, aku terkejut saat Yash dan Tisha minum alkohol. Ku pikir, ada batas usia untuk itu. Apalagi Yash yang seusia denganku, tergolong masih muda untuk bisa minum-minum. Aku sendiri, tidak ada niat untuk melakukannya. Baunya saja sudah cukup membuatku ingin muntah, apalagi meminumnya. Belum lagi akibatnya, mabuk dan bersikap gila. Tidak, terima kasih.
***
Sesuai janji, Okuoka-san mengirimiku beberapa foto pemandangan. Sepertinya, itu pemandangan di sekitar daerah sini. Bahkan ada foto Hanadokei juga. Apa itu foto yang dia ambil kemarin? Aku melirik jam yang menunjukkan hampir tengah malam. Bukankah orang kantor pulang lebih awal, ya?
Aku menyimpan foto-foto tersebut. Apa aku harus membalas pesannya? Aku tidak tahu harus membalas apa supaya tidak terkesan terlalu formal ataupun terlalu dekat. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak membalas dan memilih tidur.
Esoknya, saat terbangun. Aku menatap keluar jendela dan berseru girang. Sakura telah bermekaran.
Aku langsung meraih ponsel dan mengirim pesan ke grup. Yash yang pertama kali membalasnya, kemudian Kak Diana, lalu Tisha. Aku tersenyum lebar melihat balasan mereka. Saatnya kita bersiap.
Aku berangkat kerja dengan perasaan ringan. Sangat gembira. Senyum tidak luntur dari wajahku. Hal yang tidak pernah ku lakukan sebelumnya. Akibatnya, pipiku menjadi kram. Selain itu, aku bebas dari omelan. Aku tidak melakukan kesalahan dan bekerja dengan baik. Nobusuke-san bahkan sampai berbicara padaku. Ini pertama kalinya dia berbicara denganku saat kerja, bukan sindiran ataupun mengejek. Benar-benar berbicara.
“Kau terlihat senang sekali, apa ada hal yang baik?,” tanyanya saat kami sedang bertugas memindahkan sisa makanan.
“Yeah, karena Sakura bermekaran. Apa lagi?,”
“Polos sekali,” ujarnya sambil terkekeh. Oh, dia bahkan tertawa, tidak hanya tersenyum. Benar-benar hari yang indah, bukan?
Setelah selesai dan sarapan. Aku langsung pulang, berganti pakaian dan berdiri di depan pintu Kak Diana, yang keluar tak lama kemudian. Kami berjalan sumringah menuju Konbini, berbelanja beberapa makanan dan minuman. Hari ini hanya aku yang masuk pagi. Kak Diana dan yang lain masuk nanti sore, jadi masih ada waktu sampai nanti sore.
Hari ini, kami akan melakukan Hanami – acara menikmati bunga Sakura sambil piknik.
Yash dan Tisha yang bertugas menyiapkan tempat. Aku memilih Tokachigaoka Park. Sangat pas untuk ber-hanami. Setelah berbelanja, aku dan Kak Diana menyusul mereka berdua.
Kami menikmati piknik kami. Aku bahkan menyelendupkan beberapa makanan dari hotel, sisa menu sarapan. Membaginya bersama mereka. Kami mengobrol banyak hal, tentang kehidupan kuliah masing-masing, hobi, dan foto-foto. Sampai di penghujung acara, acara sebenarnya dilaksanakan.
Yash bergerak-gerak gugup di tempatnya. Aku dan Kak Diana hanya tertawa geli melihat kegugupan Yash. Aku tidak pernah sesemangat ini. Aku melirik Yash, dengan kedipan mata aku menyuruhnya untuk melakukan sekarang, tapi dia hanya menggeleng sambil melirik was-was ke arah Tisha. Aku langsung memelototinya supaya dia segera bertindak. Dia terlihat lesu, kemudian mengambil nafas panjang dan bertekad untuk melakukannya. Aku dan Kak Diana melihatnya, juga ikutan gugup.
“Ng, Tisha. Aku ingin mengatakan sesuatu,” ucap Yash mengawali. Pembukaan yang cukup bagus. Tisha menoleh padanya, menunggu. “Aku...me-menyukaimu. Aku yakin kau sudah tahu,” Yash akhirnya mengatakannya. Aku dan Kak Diana langsung bernafas lega setelah menahan napas, menunggu momen tersebut.
“Kalian sengaja, ya?,” tanya Tisha dingin. Menatapku tajam dan terlihat sangat kecewa. Aku dan Kak Diana saling tatap tidak mengerti. “Apa maksud kalian melakukan hal ini, hah?! Aku kan sudah bilang, kalau aku tidak suka dengannya. Kau juga, memangnya tindakanku masih kurang menunjukkan kalau aku tidak suka denganmu?!,” Tisha menatap kami satu per satu dengan marah. Dia benar-benar serius marah. “Ku pikir, kau berpihak padaku,” desisnya.
“Tisha, dengarkan aku_,”
“Aku tidak ingin mendengarkan apapun darimu. Aku kecewa padamu. Aku benci padamu!,”
Aku menatap Tisha yang menatapku marah. Mungkin, aku sedikit keterlaluan, tapi menurutku tidak seharusnya dia semarah ini. Aku hanya membantu Yash, terserah dia mau menerimanya atau tidak. Aku sangat tahu kalau Tisha tidak tertarik pada Yash, tapi seharusnya dia bisa kan bicara baik-baik. Berasa aku penjahatnya di sini.
“Tisha_,”
“Jangan bicara padaku!,” ketus Tisha pada Yash yang langsung diam. Kak Diana juga ikut diam. Aku-pun diam. Kami semua diam.
Ku hela nafas panjang, mencoba untuk mendinginkan kepala dan juga meringankan emosiku. Kalau aku juga ikutan emosi, ini tidak akan pernah berakhir.
“Tisha_,”
“Jangan_,”
“Tutup mulutmu. Dengarkan aku saja!,” bentakku membuat Tisha terdiam. Aku sendiri terkejut dengan nada suaraku yang meninggi. Aku langsung berdeham untuk memecahkan kecanggungan. “Aku tahu kau tidak suka pada Yash, tapi dia menyukaimu. Dia sudah tahu kalau kesempatannya nihil, tapi dia masih ingin mengungkapkannya. Dengan begitu, dia bisa menerima dengan lapang setelah kau tolak. Aku harap kau bisa menghargainya. Aku minta maaf jika terkesan ikut campur. Aku memang tidak punya hak sih sebenarnya, aku hanya membantu Yash,” Aku terdiam. Tidak ada yang berbicara.
“Tapi, aku masih kecewa padamu. Aku bukan tipe orang yang bisa memaafkan semudah itu,” balas Tisha dingin.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Terima kasih sudah mau mendengarkanku,”
Kamipun kembali diam, suasana canggung menyelimuti kami. Hhh, aku tidak membayangkan akan separah ini kejadiannya. Ternyata, Tisha lebih keras dari yang ku duga. Setelah ini, apa yang harus ku lakukan jika berdua saja dengannya? Kita pasti akan sering berinteraksi di tempat kerja. Jika saling ngambek begini, pasti tidak akan nyaman saat bekerja. Hah, membayangkannya saja sudah membuatku sesak nafas.
Pikiran itu benar-benar terjadi.
Tisha bersikap sangat menyebalkan dari biasanya. Bahkan lebih menyebalkan dari Nobusuke-san. Sangat memperlihatkan kalau dia sedang berperang denganku, karena semua karyawan hotel bertanya pada kami apa yang terjadi di antara kami. Aku bingung harus menjawab apa untuk masalah ini. Hanya membalas dengan senyum canggung. Tidak tahu, Tisha beralasan apa.
Puncaknya hari ini. Tisha dengan terang-terangan menyerangku.
Baiklah, aku memang bersalah. Tapi apa ini perbuatan benar dia memperlakukanku seperti ini? Dia menyenggolku dengan keras, menatapku penuh kebencian, menyindirku, dan perbuatan lain yang tidak ingin ku ingat. Lama-lama kesabaranku benar-benar habis karenanya. Aku dengan sengaja langsung membanting tray saking kesal dan marahnya, menatap tajam kepada Tisha. Memangnya hanya dia yang bisa memperlakukanku seperti ini?
***
Aku menyodorkan jus apel kepada mereka berdua. Sedikit merasa bersalah karena melibatkan mereka dalam pertikaianku dengan Tisha. Suasana di antara kami malah semakin canggung, lebih parah dari pertama kali. Padahal, kami sudah lebih dekat, tapi jadi seperti ini.
“Maaf, ini salahku,” ujar Yash menyesal. “Seharusnya, aku mendengar saranmu waktu itu,”
“Tidak perlu menyalahkan diri sendiri begitu. Aku juga yang mendukungmu,”
“Aku juga ikut andil,” tambah Kak Diana
Kami menghela nafas panjang bersamaan. Berpikir keras, mencari cara supaya bisa berbaikan lagi dengan Tisha. Aku yang sudah menjelaskan baik-baik saja tidak bisa membuat Tisha lebih baik, malah lebih parah. Apa lagi yang bisa ku lakukan?
“Mungkin, lebih baik kita bersikap biasa saja,” ujarku pasrah.
“Lalu, bagaimana sikapnya denganmu? Dia bertindak semakin parah,” sahut Yash khawatir.
“Aku akan mengurusnya sendiri. Jangan khawatir,” Aku tidak yakin.
“Kalau sudah begini, apa kau masih suka padanya?,” tanya Kak Diana sarkastis.
“Entahlah. Sepertinya, aku hanya terobsesi padanya. Aku sudah menjaga jarak darinya,”
“Bagus. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia,”
Yash tersenyum, menatap kami bergantian, merasa bersyukur. Aku juga merasa bersyukur ada mereka di pihakku. Aku mungkin kehilangan Tisha, tapi aku mendapatkan mereka berdua. Aku akan berusaha untuk mendapatkan Tisha lagi di pihakku. Aku tidak tahan bersikap marah-marahan seperti ini. Bukan sikap orang dewasa.
Ponselku berbunyi. Aku langsung mengeceknya, dan tersenyum. Ah, hanya menerima pesan singkat seperti ini saja sudah membuat perasaanku jauh lebih baik. Yash langsung berdehem menggodaku, disusul dengan Kak Diana yang menatapku menggoda. Aku hanya bisa tersenyum malu-malu. Berikutnya, kami hanya membahas tentang orang yang mengirim Line.