Lima bulan kemudian.
Malam yang panjang di salah satu ruang di rumah sakit jiwa di Surabaya. Nhay yang tengah memakai cardigan merah, tampak sibuk merapikan selimut di atas ranjang pasien. Dia juga mengatur meja kecil di sampingnya agar terlihat lebih cantik dengan buket mawar merah. Juga tak lupa, dia taruh sepasang kaos kaki dan syal tebal di samping bantal.
Dia terlihat menikmati kegiatannya tersebut. Bahkan sedari tadi senyuman tak pernah hilang dari wajahnya. Tak peduli ada atau tidaknya orang yang melihatnya, tampak jelas jika dia tengah berbahagia.
Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari Ezha yang sontak membuatnya tersenyum semakin lebar. “Aku baru saja akan meneleponmu! Apa kau sudah di depan?” tanyanya riang. Segera dia ambil tasnya dan dia masukkan beberapa barang miliknya. “Aku sudah selesai membersihkan ruangan Nao. Kata perawat yang bertugas, ia sudah mulai membaik dan sudah mau tidur di tempat tidur.” Nhay melirik ke pojok ruang dimana Nao tengah melamun di sana. “Tapi tetap saja ia tak merespon keberadaanku.”
“Mungkin belum saatnya. Lagian itu tak semudah yang kau pikirkan.” kata Ezha yang terdengar mempertegas. “Aku sudah di depan. Keluarlah!”
“Aku akan keluar setelah melihat ibumu sebentar.” kata Nhay pelan yang kemudian memutuskan sambungan. Dia pun langsung mengalungkan tasnya dan mendekat ke sosok Nao yang masih sibuk dengan lamunannya. “Aku akan kembali besok. Tidur yang nyenyak!” katanya sembari menepuk pundak Nao pelan.
Dia pun langsung keluar menemui Ezha yang ternyata sudah berdiri di samping mobilnya dengan setelan jas yang terlihat rapi. Membawa sebuket bunga dengan senyuman manis di wajahnya. Yang kemudian, setelah melihat sosok Nhaya yang baru saja keluar dari rumah sakit, Ezha langsung membukakan pintu mobil untuknya.
Nhay yang melihatnya langsung semringah dibuatnya. Dia bahkan memilih untuk menunda langkahnya sejenak guna mengamati senyuman itu dari jauh. Menikmati pemandangan indah di matanya dengan jantung yang mulai berdetak lebih cepat.
Dua bulan yang lalu ia datang kembali menemuiku. Ia jelaskan lagi semuanya hingga aku bosan mendengarnya. Ia bahkan membawa sebuah buket yang cukup besar untuk membujukku. Juga secangkir cappucino untuk menyuapku.
Aku yang tadinya masih ragu, tiba-tiba memutuskan untuk kembali bersamanya. Bukan karena buket bunga yang besar atau secangkir cappucino yang diberikannya, tetapi karena kedua mata itu yang terlihat jujur padaku. Memang sangat asing karena Ezha tak pernah menatapku atau tersenyum seperti itu. Tapi justru karena ini pertama kalinya aku melihatnya membujukku dan menyikapiku seperti itu... aku luluh. Aku bahkan kesulitan untuk tidur dan terus memimpikan wajah hangatnya itu.
Meski pada kenyataannya ketakutan itu masih ada. Bagaimana jika aku harus menunggunya lebih lama lagi atau bagaimana jika aku harus menahannya lebih keras lagi... aku masih tak sebegitu yakin. Namun seperti yang ia katakan saat itu, ‘Biarkan aku yang membuktikannya! Kau tak perlu terluka dan tetaplah ada di tempatmu untuk melihatku. Karena apapun itu, aku yang akan bertindak. Jika ada yang harus tersakiti, itu bukan kau tapi aku!’
Maka bukan tidak mungkin jika Tuhan menakdirkan alur yang lebih baik lagi, kan? Bukan yang tersembunyi atau penuh teka-teki... tetapi yang terlihat tanpa harus menyakiti.
-------------------
“Kau akan membawaku ke mana?” tanya Nhay yang mulai bingung karena Ezha melewati jalan yang tidak mengarah ke apartemen Nhaya ataupun apartemennya.
“Ke sebuah tempat yang kau suka.” kata Ezha tanpa harus melirik ke arah Nhay. Terus mengemudikan mobil dengan mimik dinginnya yang yah... terkadang ia kembali ke sikap biasanya. Namun meski begitu, Nhaya tetap merasa nyaman. Karena bagaimanapun itulah Ezha. Nhay sudah terbiasa melihat mimik dingin itu dari tahun-tahun yang lalu.
“Oh ya, katamu kau sudah pulang dari sore tadi. Tapi kenapa baru sekarang menjemputku? Apa kau mampir ke tempat temanmu dulu tadi?”
“Tidak.” Ezha mulai menepikan mobilnya di depan sebuah rumah yang tertutup pagar cukup tinggi. “Sudah saatnya kau pulang ke rumahmu. Jadi tadi aku menemui papamu dan berusaha membantumu agar bisa berbaikan dengan papamu. Kau bahkan bukan anak kecil lagi.” tambahnya sembari bersiap untuk keluar.
“Kau serius?!” Nhay tampak terkejut. Dia bahkan sempat melotot ke arah Ezha sebelum akhirnya ikut keluar dari mobil setelah Ezha mendahuluinya. “Jawab aku! Apa kau serius menemui papa? Apa kau tidak apa-apa? Apa papaku mengatakan sesuatu?” Nhay langsung mengalungkan tangannya ke lengan Ezha sembari terus bertanya. Ikut berjalan masuk ke dalam rumah itu dengan rasa penasarannya yang tinggi. Namun meski dia sudah membuat bising dan terus menempel meminta jawaban, Ezha justru menunjukkan sikap cueknya dengan terus membawanya masuk ke dalam rumah yang terlihat kosong itu.
“Ayolah, jawab!!” Nhay tak mau menyerah dan terus memaksa Ezha untuk menjawab pertanyaannya. Namun bukannya menjawab, Ezha justru menyuruhnya untuk diam di ruang tamu. “Aku ke atas sebentar. Kau lihat-lihatlah di sini dulu!” katanya kemudian yang langsung meninggalkan Nhaya sendirian di lantai 1.
“Ada apa dengannya?!” gerutu Nhay yang mulai dibuat kesal. “Lagian ini rumah siapa juga!” tambahnya. Namun akhirnya, dia pun terbawa suasana. Karena desain rumah itu yang klasik minimalis, Nhay menyukainya. Dia amati tiap perabotan rumah itu yang terlihat lucu dan antik baginya. Juga bentuk rumah itu yang tak sebegitu besar namun membuat nyaman. Bahkan ada piano di ruang tengah. Juga ada perpustakaan kecil dengan gaya klasik yang kuat.
Nhay pun tak henti-hentinya berdecak kagum. Siapapun yang memiliki rumah ini, pasti sangat bahagia. Sama sepertinya yang hanya menikmatinya sejenak itu.
“Nhay!” Tiba-tiba suara teriakan Ezha memanggilnya. Nhay pun segera mendongakkan kepalanya ke atas guna mencari keberadaan Ezha. Namun dia tak melihatnya.
“Aku di halaman belakang. Kesinilah!” teriak Ezha lagi yang kali ini memberi petunjuk. Nhay pun segera berjalan ke halaman belakang dan segera menemukan jendela kaca yang cukup besar menjadi sekat antara ruang keluarga dengan taman belakang rumah.
“Waw...” Dia kembali terkagum sesaat setelah melihat taman kecil yang dipenuhi lampu-lampu itu. Dia pun segera keluar dan menuju taman itu. Dan ternyata, taman itu menghubungkannya dengan kolam renang besar yang di tengahnya terdapat gazebo kecil yang dihiasi lampu-lampu cantik. Dia pun makin terperangah. Apalagi setelah mendapati sosok Ezha yang sudah berdiri di tengah gazebo itu dengan seuntas senyuman manis dan pandangan yang lurus ke arah Nhaya.
“Sejak kapan ia di situ?” gumam Nhay yang sedikit merasa aneh karena yang dia tahu Ezha ada di lantai atas. Namun dia pun tak mau ambil pusing. Segera dia berjalan mendekat ke kolam renang dengan masih melihat sekelilingnya yang tampak cantik. Dia pun menunda langkahnya. Tepat ketika didapatinya sebuah lukisan besar yang terbuat dari potongan-potongan puzzle yang disatukan. Namun bukan itu yang membuatnya terperangah. Melainkan lukisan itu yang tak lain dan tak bukan adalah lukisan wajahnya. Sangat indah. Apalagi dengan tambahan lampu-lampu kecil di sekitarnya membuat lukisan itu memancar cantik ke arah kolam renang yang mengelilingi gazebo. Nhay pun hanya bisa terdiam mengamati dengan tanda tanya besar di wajahnya mengingat jika bagaimana mungkin ada lukisan wajahnya di rumah orang lain.
“Apa kau suka?” Tiba-tiba Ezha berteriak. Nhay pun sontak menatapnya dengan kedua mata yang mulai mengundang air mata. Teramat senang dan terlalu menyentuh. Dia pun tak henti-hentinya tersenyum manja di hadapan Ezha.
“Karena sudah menyakitimu dan membuatmu sering menangis... aku minta maaf. Karena sudah sering menomorduakan perasaanmu dan membuatmu menunggu... aku juga minta maaf. Kau mungkin tak menyukai kata-kata ini tapi Nhay,” Ezha melebarkan senyumannya sesaat sebelum akhirnya meneruskan, “aku minta maaf!”
“Meskipun aku menghiraukanmu, tapi kau tetap ada di sampingku dan berusaha menghiburku. Aku rasa delapan tahun ini Tuhan begitu mencintaiku. Amat sangat mencintaiku hingga membuatku tak bisa menoleh ke kehidupan yang lain selain denganmu.”
Nhay tersenyum dengan air mata yang terjatuh berulang-ulang tanpa harus merasa sedih. Sebaliknya! Senyuman dan air mata yang tengah tumpah di kedua pipinya itu mampu membuat jantungnya berdegup melebihi biasanya.
“Saat ini, di hari ini... aku ingin mengatakan sesuatu. Mungkin aku hanya akan mengatakannya satu kali ini saja. Itu juga yang membuatku tak pernah mengatakannya padamu selama ini. Karena aku butuh waktu. Butuh keyakinan yang besar untuk mengatakannya padamu dan bertanggung jawab atas itu. Jadi Nhay, apapun yang kau lihat di diriku atau apapun yang kau dengar atas diriku... jangan pernah lupakan jika aku mencintaimu. Tak peduli apapun yang terjadi nanti, tapi kenyataan bahwa aku mencintaimu itu benar. Dan karena aku mencintaimu itulah, selama ini aku kesusahan menghadapimu. Melihat wanita yang kucintai selalu memedulikan aku dan bekerja keras untukku sedangkan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya, itu sangat membuatku kesal. Setiap kali kau menanyaiku tentang perasaanku atau menangis di depanku, aku sangat ingin menjawabnya dan menghapus keraguanmu padaku. Tapi setiap kali aku ingin melakukan itu, kenyataan bahwa aku belum bisa memberikan apa-apa padamu membuatku ragu. Karena itu aku akan menahan diriku lebih keras lagi setiap kali ingin memelukmu.” Ezha menjatuhkan air matanya tiba-tiba dengan senyuman yang masih belum hilang. Lalu perlahan, ia mulai menggerakkan kakinya melangkah mendekat ke arah Nhaya. Namun sebelum itu, ia ambil salah satu potongan puzzle dan membawa itu ke hadapan Nhaya.
“Tapi untuk saat ini dan seterusnya, aku tidak akan ragu lagi. Aku tidak akan membuatmu terlihat bodoh atau menyedihkan lagi padaku. Karena seperti aku yang dulu memohon agar aku bisa menggantungkan masa depanku padamu, saat ini aku tengah memohon agar kau mau menggantungkan masa depanmu padaku. Karenaku selama ini kau mengorbankan masa depanmu sendiri. Tapi sekarang, mulai saat ini... aku masa depanmu! Semua yang aku dapatkan dan semua yang aku miliki, itu milikmu! Jadi mulai saat ini bergantunglah padaku! Seperti kau yang selalu memperjuangkan masa depanku, kali ini aku yang akan memperjuangkan masa depanmu... dengan caraku.”
Lalu ditunjukkannya potongan puzzle itu di hadapan Nhaya. Tak ada makna yang spesial di potongan itu memang. Namun ketika potongan puzzle itu di balik, ada sebuah cincin yang melekat di sisinya. Nhay pun sontak terkejut dengan air mata yang semakin deras berjatuhan. Terus memperlihatkan mimik terkejutnya dengan keharuan cinta yang semakin jelas.
Ezha pun mengambil cincin itu. Lalu perlahan diraihnya tangan kiri Nhaya dan dipasangnya cincin cantik itu di jari manisnya. Sangat lembut. Dan tampak sangat cantik ketika cincin itu benar-benar terjaga di jari manis Nhaya.
“Dimulai dari rumah ini, aku akan memberikan kebahagiaan untukmu setiap harinya. Kita akan terus bertemu, makan malam bersama dan tidur bersama di rumah ini. Selamanya. Hingga tak ada satu pun alasan untuk kita mengharapkan kebahagiaan.” kata Ezha lembut yang kemudian langsung memeluk hangat tubuh Nhaya. Nhaya pun balas memeluknya dengan air mata kebahagiaan dan rasa syukur yang teramat banyak.
Sedangkan jauh dari rumah itu, Nao masih melamun di ruangannya. Duduk di pojok ruang dengan kedua mata yang mengarah ke jendela di samping atasnya. Tak berubah. Sedari dulu ia selalu melamun seperti itu. Entah apa yang dilihat dan didengarnya sebenarnya, namun kali ini ada seuntas senyuman hangat di wajahnya. Ia tersenyum dengan terus menatap ke arah jendela. Tanpa memalingkan wajah atau menggerakkan anggota tubuhnya sedikit pun, dia seolah melihat sesuatu. Meskipun hanya di alam delusinya, tapi apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar terasa begitu nyata. Dan ia menyukainya.
“Nhaya... pacarku.” gumamnya pelan dengan terus melebarkan senyumannya penuh arti. Karena ternyata, ada Nhaya di dunianya yang sekarang. Meskipun takdir menyuruhnya untuk memiliki dunia yang lain dari orang normal pada umumnya, namun di dalamnya dia masih bisa bahagia. Seperti yang diharapkan Nhaya, Nao memang bisa bahagia. Dan ternyata, ia memang bahagia... bahagia karena memiliki Nhaya di dunia delusinya.
-------------------
Terkadang alur yang kita pahami, tak selamanya bermakna benar jika cinta tak turut membenarkannya. Terkadang juga sisi yang selalu kita persalahkan, tak selamanya bermakna salah jika cinta tak turut menyalahkannya. Karena seperti secangkir cappucino... kita hanya bisa menikmatinya ketika itu masih hangat. Namun jika terlanjur dingin, entah harus tetap meminumnya atau justru membuangnya... semua keputusan ada di tangan si peminum. Karena Tuhan hanya memberikan rasa dan waktu untuk menikmatinya. Sedangkan jika waktu itu terbuang sia-sia, maka jangan salahkan rasa jika itu berubah menjadi luka.
Ketika semua orang meragukan dan meremehkan cinta, aku bekerja siang malam untuk membiayai kuliahnya. Ketika semua orang menomorduakan atau bahkan melepaskan cinta, aku berlari sejauh tiga kilo meter untuk membawakan bekal dan membersihkan kamar kosnya. Dan ketika semua orang merasa tertekan dan tersakiti oleh cinta, aku kembali ke rumah... aku berdiri di depan jendela dengan secangkir cappucino yang masih hangat di tanganku. Lalu dengan pelan dan dengan nyaman aku mulai mengingat semuanya. Tentang cinta dan kebahagiaan... aku mengingat semuanya. Tentang dicintai maupun mencintai... aku mengingat semuanya. Karena dengan begitu, besoknya aku bisa kembali bekerja. Aku bisa kembali berlari dan membersihkan kamar kosnya. Bahkan jika harus menghabiskan waktu lebih dari delapan tahun untuk menunggu, aku akan lakukan itu. Seperti seorang Nao yang menungguku di balik jendela itu... aku juga akan menunggu Ezha seperti itu. Karena pada akhirnya, aku akan bahagia. Kami akan bahagia. Ezha... Nao... dan aku sendiri.