Read More >>"> ALUSI (Rahasia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ALUSI
MENU
About Us  

            Seharian ini Nhay sibuk konsultasi ke beberapa psikiater yang dia kenal. Dia juga sudah mendatangi rumah sakit jiwa di Surabaya untuk menanyakan keadaan spesifik dari Nao dan mampir ke panti asuhan untuk melihat keadaan adiknya Nao. Namun sayangnya adiknya saat itu tengah sekolah. Jadi Nhaya tak bisa melihatnya secara langsung.

            Dulu saat orang tuanya Nao masih ada, Nhaya memang sempat bertemu dengan adiknya. Namun saat itu adiknya Nao masih sangat kecil. Jadi kemungkinan besar, saat ini dia sudah tumbuh dengan banyak perbedaan.

            “Apa kau tidak mau makan?” Tiba-tiba Ezha yang tengah duduk di depan Nhaya menegurnya. Mereka memang tengah makan malam bersama saat ini. Karena tidak seperti biasa, seharian ini Ezha terus-terusan menghubungi Nhaya dan memaksa untuk bertemu. Namun karena sejak pagi hingga sore Nhaya sibuk, jadi mereka baru bisa bertemu dan makan bersama sekarang.

            Nhaya pun segera mengambil sendok dan garpu yang ada di depannya. Lalu dengan sedikit tak bersemangat, dia gerakkan kedua benda itu untuk melahap makanannya.

            “Apa yang kau pikirkan?” Ezha kembali bertanya. Seolah terganggu dengan sikap Nhaya malam ini, ia bahkan tak berpikir untuk menghabiskan makanannya.

            “Aku sudah bilang tadi siang, kan? Kalau aku sedang tidak enak badan. Jadi makan saja jangan khawatirkan aku.” jelas Nhay sembari mendekatkan piring yang berisi lauk ke sisi Ezha. Dia juga mengisi penuh gelas Ezha dengan jus jambu yang tadi dibuatnya. Lalu kembali melamun diam dengan wajah pucatnya yang semakin ketara.

            Aku tak tahu pasti kenapa diriku menjadi seperti ini. Kenapa keadaan Nao sangat membebaniku atau kenapa keadaan Nao sangat menyakitiku, aku tak tahu pasti. Hanya saja ini benar-benar sangat menekanku. Rasanya sulit tuk baik-baik saja dengan pikiran yang tak pernah berhenti memikirkannya. Entah hanya rasa bersalah atau sebuah penyesalan, namun yang pasti aku cukup menderita.

            Seharusnya di saat seperti ini aku senang. Seperti yang kulihat, Ezha tiba-tiba saja menunjukkan kecemburuannya yang selama ini belum pernah dia tunjukkan. Ia juga tak berhenti menghubungiku hanya untuk bertanya tentang keberadaanku. Bahkan ketika sibuk pun, dia sempatkan waktunya untuk sekedar makan malam di apartemenku padahal tengah malam nanti dia harus kembali ke rumah sakit.

            Tapi kenapa untuk tersenyum di depannya saja terlalu sulit?! Justru yang ada adalah air mata yang kutahan hingga membuat kedua kantung mataku terasa berat. Lengkap dengan mimik wajahku yang tak bisa kubohongi.

            Apa aku tengah goyah?

            Jujur, delapan tahun ini memang ada waktu dimana aku merindukannya. Karena bagaimana mungkin aku bisa melupakan seseorang yang dulunya selalu bersamaku? Yang tak pernah absen menungguku di depan gerbang sekolah hanya untuk bisa pulang bersama. Yang selalu berteriak bodoh dan sibuk dengan obsesinya yang terlewat batas. Yang juga suka membelikanku secangkir cappucino, meskipun ia harus menyisihkan uang jajannya. Ia yang tak pernah bisa diam jika melihatku menangis atau tengah mendapat masalah, yang akan memelukku hangat dan terus memelukku meski sejujurnya kedua lengannya sudah lelah.

            Semua itu begitu indah. Kenangan-kenangan yang aku dapatkan, segala khayalan bodohnya yang sering membuatku kesal, semua itu sangat berarti. Namun meski begitu, dulu aku terlalu kalah dengan egoku. Ketimbang balik memedulikannya, dulu aku lebih memilih untuk bersikap angkuh, seolah tak membutuhkannya.

            Ketika ia berlari ke arahku dengan senyumannya yang tak pernah menciut, aku justru memalingkan wajah dan berpura-pura tak melihatnya. Bahkan ketika ia tak mengikuti study tour akhir semester hanya untuk menemaniku yang saat itu tengah sakit, aku justru tak memedulikannya dan sibuk mengusirnya agar menjauh dariku. Aku yang sebenarnya menginginkannya melebihi dirinya sendiri, justru menunjukkan sikap labilku yang lebih sering membuatnya terluka. Namun walau begitu, satu kali pun dia tak pernah protes. Walaupun aku sering marah-marah tak jelas atau bersikap yang menjengkelkan, namun dia tak pernah ikutan marah. Ia hanya akan terus menggodaku dan membuatku kembali tertawa karena candaannya.

            Yah... terkadang apa yang dinamai ‘masa lalu’ adalah apa yang dikatakan ‘penyesalan’. Entah ini hanya konflik batin sesaat atau justru sebuah perasaan yang sebelumnya tersembunyi diam-diam, aku tak sebegitu mengerti. Aku juga tak ingin terlalu mengerti demi Ezha yang tengah berada di depanku. Dan sekalipun aku memang tengah goyah, setidaknya aku masih ingin memegang tangan Ezha dan mempertahankan hubungan ini sebesar cinta yang selama ini aku perjuangkan. Meskipun Nao sama berartinya, namun aku tak ingin ceroboh. Demi cinta yang sudah aku besarkan dengan segala usahaku, aku tak boleh goyah secepat ini. Untuk Nao sekalipun.

            “Apa kau sedang menghukumku?” Ezha kembali bertanya. Namun kali ini dengan pertanyaan yang tidak dimengerti Nhaya. “Aku sudah bilang sebelumnya, kan? Aku tidak suka melihatmu khawatir berlebihan karena lelaki lain. Jadi stop memasang mimik menyedihkan seperti itu di depanku!” jelasnya.

            “Aku juga ingin bertanya padamu.” Tiba-tiba Nhaya membuka mulutnya. Yang pasti dengan tatapan sayu dan mimik muramnya. Yang kemudian, dia pun melanjutkan, “Aku tahu kau tak suka dengan pertanyaan semacam ini. Tapi asal kau tahu, semua orang membutuhkan jawaban dari pertanyaan semacam ini. Jadi untuk lelaki yang ada di hadapanku sekarang, yang tidak suka melihatku khawatir berlebihan karena lelaki lain... apa kau mencintaiku?”

            Ezha diam dengan masih menatap Nhaya kaku. Membiarkan detik berjalan beberapa saat sebelum akhirnya ia menaruh sendok dan garpunya ke atas piring. Lalu mengambil selembar tissu dan mengusap bibirnya sesaat. Entah akan menjawab atau tidak, namun Nhaya terus menatapnya dan berharap jika Ezha akan menjawabnya.

            “Pepesnya enak. Aku akan menghabiskannya lain waktu.” kata Ezha kemudian yang segera beranjak bangun dari duduknya. Nhaya pun sontak mendecak pelan dengan kepala yang menunduk tiba-tiba. Dia menangis. Sebelumnya dia pikir ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya tentang itu melihat mood Ezha yang sepertinya tengah baik. Namun ternyata pemikiran itu salah. Entah karena apa, pertanyaan seperti itu tak pernah bisa diterima dengan baik oleh Ezha.

“Aku tak paham tentang jalan pikiranmu. Sungguh! Aku tak mengerti lagi apa yang harus aku mengerti tentangmu! Aku benar-benar lelah! Aku tak bisa seperti ini terus, Zha!” kata Nhaya pelan dengan isakan yang mulai terdengar berantakan. Ezha pun menunda gerakannya dengan mimik gelapnya yang mulai terlihat. Seolah mendengarkan, ia terus berdiam dan memang tengah mendengarkan.

“Sebenarnya aku tak yakin ini sebatas kasihan atau makna yang lainnya. Aku benar-benar tak yakin tentang itu! Namun yang bisa aku pastikan adalah aku yang mulai goyah! Tidak seperti biasanya, kali ini aku mulai goyah! Dan semua itu aku tidak inginkan!! Aku tidak ingin mengkhianatimu sedikit pun, jujur aku tidak ingin! Aku tidak mau menjadi beban pikiranmu atau membuatmu khawatir, aku tidak mau, Zha! Aku hanya ingin ini sebatas rasa kasihan yang akan berakhir jika aku sudah membantu Nao dan menyembuhkannya! Karena aku ingin memiliki ending yang bahagia dan itu kamu!! Itu kamu, orang yang selalu aku perjuangkan... Tapi melihatmu yang selalu labil, itu sangat melelahkan! Itu sangat membuatku ragu! Membuatku takut setiap kali memikirkannya!”

Perlahan Nhaya mulai mengangkat kepalanya. Menatap ke arah Ezha yang berdiri di depannya dengan kedua matanya yang sudah buram karena air mata. “Apa salahnya mengatakan ‘aku mencintaimu’? Huh?” tanyanya pelan dengan garis-garis di wajahnya yang memperlihatkan sebesar apa keputusasaannya saat ini.

“Kita sudah bersama delapan tahun lebih. Kita sudah saling melihat, saling mengenal dan menyimpan banyak kenangan yang tak terhitung banyaknya. Kita sudah sangat jauh, Zha! Jadi apa salahnya mengatakan ‘aku mencintaimu’? Huh?! Apa salahnya?! Atau, apa kau tak pernah mencintaiku? Apa selama ini yang kau inginkan hanya uangku?! Begitu?!! Huh?!!! KATAKAN!!!”

“Nhay!”

“Aku sudah lelah. Aku benar-benar sudah lelah, Zha!!!” Nhaya terus menatapnya sayu dengan sisa kekuatannya. Sedangkan Ezha hanya menatapnya ragu dengan aura gelap yang entah menjelaskan tentang apa.

“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini. Tapi Zha! Lelaki yang tengah membuatku goyah adalah ia yang tak pernah membuatku terluka. Lelaki itu... adalah ia yang selalu membuatku merasa tenang, merasa nyaman. Ia adalah pelukan yang tak pernah dingin terhadapku. Ia selalu hangat. Ia selalu mewanitakan aku tanpa merendahkanku sedikit pun. Jadi jika saat ini aku goyah karena lelaki seperti itu, apa kau sama sekali tak merasa takut? Huh? Apa kau tak ingin mengatakan ‘aku mencintaimu’ seratus kali hingga aku tak merasa goyah lagi?!!! Jika kau hanya mengatakan ini itu tanpa bisa mengatakan perasaanmu, apa aku salah jika aku semakin goyah?! Karena tidak seperti dulu, saat ini aku tidak setakut sebelumnya, Zha.”

“Apa itu sangat penting bagimu?!” bentaknya tiba-tiba yang sontak, Nhaya menganga tak percaya. Dia bahkan mendecak keras-keras dengan air mata yang tertunda beberapa detik lamanya.

Bagaimana bisa Ezha bertanya seperti itu setelah mendengar dengan jelas apa yang harus ia dengar? Nhaya bahkan menangis dan terisak di depannya seperti itu namun bukannya menenangkan, Ezha justru membalikkan semuanya dengan satu pertanyaan yang benar-benar menyakitkan. ‘Apa itu sangat penting bagimu?!’

“Aku benar-benar tak mengerti sekarang.” kata Nhay pelan dengan tatapannya yang masih setia dengan keterkejutannya. Namun saat itu juga Ezha justru langsung mengambil tas dan jaketnya guna bersiap untuk pergi. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Nhaya dari jauh dan berkata, “Aku mengatakan itu atau tidak, yang terpenting aku bersamamu! Jadi hentikan melodramamu itu!! Kau tahu sendiri jika aku tak suka mengatakan sesuatu seperti itu jadi hentikan semua itu!”

Nhay yang mendengarnya sontak menghela napas berat. Dia benar-benar tak bisa berpikir dengan bijak saat ini. Benar-benar sulit untuk dipikirkan dan dimengerti.

“Berulang kali Zhia memarahiku karena kebodohanku. Begitu juga dengan keluargaku. Mereka semua menganggapku tolol! Bodoh! Satu pun dari mereka tak mau mendengarku jika itu tentang kamu!! Tapi apa kau tahu apa yang aku lakukan? Huh? Apa kau tahu?!!” Nhay menatap Ezha dengan tatapan yang lebih dalam lagi yang seolah tengah memohon untuk dimengerti. “Aku tak pernah lelah membelamu dan membenarkanmu setiap kali mereka menyalahkanmu!! Satu kali pun aku tak pernah menyerah meski mereka mengataiku bodoh dan terlalu lemah di hadapanmu!! Karena aku cinta! Meskipun dengan sadar aku tahu bahwa kau memulai hubungan ini bukan karena dasar cinta tapi aku selalu yakin jika suatu saat kau akan mencintaiku! Aku meyakini itu sebesar aku ingin terus bersamamu! Meskipun kau menyakitiku dan membuatku menangis berkali-kali tapi aku tetap yakin bahwa akan ada ending yang bahagia dimana cinta itu ada untukku darimu! Aku yakin itu! Dan selama ini aku melalui hari-hariku dengan keyakinan seperti itu.” Nhay diam sejenak guna membiarkan dirinya untuk bernafas sedikit lebih lega. Melepaskan beberapa tetes air matanya kembali sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya.

“Tapi Zha, ada saat dimana si bodoh memahami kebodohannya. Ada saat dimana si bodoh ingin terlihat pintar meski itu sangat menyakitkan. Aku tak tahu kapan itu terjadi tapi jika memang itu harus terjadi,” Nhaya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat seolah ingin menguatkan diri sendiri sebelum akhirnya berkata, “aku tidak akan menjadi Nhaya yang gila karena kebodohannya. Jika memang Tuhan menyuruhku untuk menjadi si pintar, melepasmu pun aku akan lakukan. Aku sudah memberikanmu semua yang menjadi keinginan dan kebutuhanmu. Kau sekarang sudah menjadi dokter seperti yang kau impikan, begitu juga dengan kehidupanmu. Jadi jika bukan karena cinta, tidak ada alasan lagi kan untuk menahanmu di sini? Aku sudah terlalu sadar jika selama ini aku membuatmu tersiksa karenaku. Kau tidak bisa bersama dengan orang yang kau cintai dan setiap saat selalu dihantui olehku. Iya, kan?”

Seperti menit sebelumnya, sekarang pun masih sama. Ezha hanya diam menatap Nhaya dengan aura gelapnya yang semakin ketara. Entah apa yang ada di pikirannya. Namun sepertinya itu sama kacaunya dengan Nhaya. Seakan ada sesuatu yang ingin dikatakan namun tertahan oleh sesuatu yang lain. Dan sesuatu itu pula yang membuatnya sedikit terlihat sama menyedihkannya dengan Nhaya. Seolah ingin berlari memeluknya, namun dia menahannya sekeras yang dia bisa. Itulah Ezha.

Hingga beberapa detik kemudian, dia memutus tatapan itu. Dia buka tasnya dan diambilnya sebuah kantong plastik yang di dalamnya ada beberapa macam obat lengkap dengan penjelasannya. Lalu dia taruh kantong itu di meja di sebelahnya dan kembali melirik ke arah Nhaya sejenak sembari berkata, “Cepat makan dan minum obat. Setelah itu istirahat dan jangan pikirkan yang lainnya. Aku pergi lebih cepat karena ada barang yang harus aku ambil di apartemen.”

Ezha pun pergi dari apartemen Nhaya.

-------------------

Banyak orang bertanya, kapan batas akhir sebuah cinta. Kenapa cinta lebih sering berakhir dengan menyakitkan dan kenapa setiap orang harus mengenal rasa sakit itu. Bahkan untuk orang sekaya apapun, sesuatu yang dinamakan cinta sanggup membuatnya miskin semiskin perasaannya yang menderita karena cinta.

Yah... nasib mungkin jauh lebih menakutkan dari takdir itu sendiri. Karena seperti sebuah apel, jika sudah tergigit tidak akan kembali sempurna selain busuk tanpa ada yang ingin menghabiskannya. Entah harus terbuang sia-sia atau menghilang karena waktu yang sanggup mematikan perasaan, namun siapapun itu dan apapun itu, akan ada waktu dimana Tuhan menyebutnya dalam keadaan yang lebih membahagiakan. Entah kapan. Tapi Tuhan ada dengan keyakinan yang melebihi nasib itu sendiri, bukan?

-------------------

Nhaya menangis dalam keheningan malam. Terus terisak dengan susahnya dan irama yang semakin menyedihkan untuk didengar. Dia bahkan tak sungkan untuk menjerit beberapa saat. Menekan dadanya yang semakin sesak dengan bibir pucatnya yang tak kunjung sembuh.

Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Semua kekuatan yang dia miliki sudah habis termakan oleh rasa sakitnya tiap kali harus menangis gila seperti ini. Tiba-tiba saja kepercayaan dirinya luntur tanpa sisa dan membuatnya ambruk dengan sisa keyakinan yang sebenarnya sudah tiada. Dia bahkan ingin mencaci diri sendiri dan menampar pipinya sekeras rasa sakit yang sedang menderanya. Dia tak habis pikir jika Ezha akan terus bersikap seperti itu dan membuatnya menangis seperti ini. Sama sekali tak menyangka jika dia harus melewati keadaan seperti ini lebih lama lagi. Seolah delapan tahun ini belum cukup juga untuk menjadi akhir semua penderitaan tentang cinta yang tak kunjung membuat bahagia. Dan bahkan lebih busuk dari sebelumnya! Lebih memuakkan dari yang dipikirkan!

Cinta?! Hah.. Sebenarnya apa itu cinta?! Kenapa wanita sebodoh Nhaya terus diperbudak oleh sesuatu yang dinamakan cinta?! Apa tidak ada pintu yang lebih luas dan tidak menyesakkan seperti ini? Apa tidak ada cinta yang lain yang lebih mampu untuk menghidupinya dengan senyuman bukan tangisan gila macam itu?! Karena jika dia terus menangis dan menggila karena rasa sakit yang tak kunjung membaik di hatinya, bukankah dia akan mati terkapar dengan kedua mata sembab dan bibir pucatnya itu?!

Dia hanya wanita biasa yang lemah akan cinta! Dan selama ini dia hidup dengan kelemahan yang dia punya itu... kelemahan tentang cinta yang selalu dia banggakan untuk Ezha.

“Tidak.” gumam Nhaya tiba-tiba. Dia tekan jari jempolnya ke jari yang lainnya dengan air mata yang mulai mereda. Lalu menelan ludah dengan susahnya sebelum akhirnya berkata, “Aku tidak akan selemah itu lagi. Ya! Sebelum Ezha benar-benar melepasku, aku tidak akan selemah itu lagi!” Nhay kembali menangis dengan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Semakin menahan emosinya dan berteriak, “SELAMA EZHA BELUM MENINGGALKANKU,” Nhay menahan napasnya sejenak dengan kekuatan yang berusaha dia dapatkan. Memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya melanjutkan, “aku akan menahannya. Aku akan melanjutkan kebodohanku... satu kali lagi. Ya! Satu kali lagi!”

Dengan hitungan detik, dia pun segera beranjak dari duduknya. Menghapus air matanya secara asal sembari berlari mengambil kunci mobil. Lalu segera keluar dari apartemennya tanpa harus berganti pakaian atau menggunakan sepatu yang lebih pantas. Sebaliknya! Dia membiarkan dirinya keluar dan masuk ke dalam mobilnya dengan masih memakai hot pants dan kaos oblong. Dia bahkan tak sempat memilih sandal yang bagus dan hanya memakai secara asal.

Tanpa berlama-lama, Nhaya langsung melajukan mobilnya dengan cepat. Dia pertunjukkan bakatnya dalam menakhlukkan jalanan Surabaya yang yah, meski tak seramai Jakarta namun tetap saja ada beberapa jalan yang cukup padat. Nhay bahkan sibuk memainkan klaksonnya dan berusaha mendahului tiap kendaraan di depannya. Seolah tak ada kata takut, dengan sadarnya dia menerobos lampu merah dan semakin mempercepat laju mobilnya ketika jalanan cukup sepi.

Dengan sangat sadar dia tahu bahwa kebodohannya terlalu berlebihan. Tapi baginya, jika dia tak seperti ini, sama saja dia membodohi diri sendiri. Beberapa menit yang lalu dengan mudahnya dia mengatakan hal-hal yang semestinya tak berani dia katakan. Dia umbar kata ‘tak sanggup’ atau kata ‘lelah’ yang delapan tahun ini berusaha dia tahan. Dia bahkan berhasil dengan mudah mengatakan kata ‘lepas’ yang sejujurnya setiap saat kata itu yang membuatnya ketakutan. Dia merasa dirinya tak waras! Mengatakan sesuatu seperti itu sama saja membunuh dirinya sendiri pelan-pelan. Karena jika bukan Ezha yang dilihatnya, dia tak memiliki apa-apa lagi. Dia sudah korbankan semua yang dia miliki untuk Ezha. Dia bahkan rela tidak pulang agar papanya tidak ikut campur dengan urusan Ezha. Semua itu dia lakukan semata-mata karena ingin selalu memiliki Ezha... selalu bersamanya apapun kondisinya. Entah akan terus mengundang air mata atau tidak, itu adalah nomor kesekian baginya. Karena yang terpenting adalah Ezha yang masih memegangnya dan masih ingin bersamanya. Cukup itu! Maka tidak ada yang tidak mungkin jika Nhaya harus bertahan satu kali lagi... bodoh satu kali lagi... dan mencintai lebih keras lagi.

-------------------

Beberapa menit kemudian Nhaya sudah sampai di apartemen Ezha. Setelah memarkir mobilnya, dia pun segera berjalan cepat masuk ke dalam gedung dan menuju nomor apartemen yang Ezha tinggali. Tak membutuhkan waktu lama. Dia pun sampai dan segera menekan beberapa nomor di papan sandi untuk membukanya.

Sebelum masuk ke dalam, Nhaya berusaha menenangkan dirinya terlebih dahulu. Dia juga memikirkan apa yang akan dia lakukan. Haruskah dia meminta maaf atau hanya mengatakan yang sejujurnya bahwa dia ingin menarik perkataannya tadi.

Setelah dirasanya tenang, dia pun mulai membuka pintu dan masuk ke dalam apartemen milik kekasih tersayangnya itu. Ada perasaan was-was sebenarnya. Namun dia berusaha menahan itu sebesar keinginannya untuk bertemu dengan Ezha saat ini.

Dari arah dapur, terdengar suara orang mematikan kompor dan suara langkah kaki yang seakan mendekat. Nhay pun hanya diam, berdiri di depan pintu sembari menunggu Ezha muncul dan mengetahui kedatangannya. Namun setelah beberapa detik menunggu, bukannya Ezha yang dia lihat tetapi justru sosok Vivita Ballard yang muncul dengan memakai celemek biru yang sontak mengejutkannya.

“Kenapa kau baru dat,” teriaknya yang terputus seketika tahu jika yang datang bukan Ezha melainkan Nhaya. Dia pun langsung tercengang beberapa saat dengan tatapannya yang berubah sinis.

Sedangkan Nhaya yang berdiri tak jauh darinya, masih saja menatapnya kaku dengan kedua telapak tangan yang tergenggam seolah menguatkan. Seperti sebuah perang, seolah dia tengah tertusuk pisau tepat ke jantungnya. Membuat seluruh sarafnya mati perlahan dan menghilang seperti raga tanpa adanya jiwa. Karena kalaupun dia memiliki cukup senjata, bukankah ketika jantung yang diserang maka tak akan ada lagi kekuatan untuk melawan? Yah... entah ini sebuah mimpi atau memang kenyataan yang harus dihadapi, namun yang pasti Nhaya hanya ingin bernapas sedikit lebih tenang. Meskipun pisau itu sudah mengoyak jantungnya, namun setidaknya dia ingin bernapas satu kali lagi... dan menerima apa yang terpampang di depannya ini dengan satu rasa sakit lagi.

“Kenapa kau di sini?” Tiba-tiba Vivi membuka pembicaraan. Seolah tanpa beban, dia mulai mendekati Nhaya dengan tatapan sinis dan senyumannya yang semakin memojokkan Nhay.

“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau di sini!” kata Nhay yang berusaha dengan keras. Ia bahkan kehilangan kendali atas dirinya sendiri yang mulai gemetar menahan rasa sakit bercampur marah yang menggerogoti tubuhnya.

Namun Vivi masih bertahan dengan sikap sinis yang seperti itu. Dia bahkan terkikik pelan dan terus tersenyum memperlihatkan kekuasaan yang dia miliki.

“Aku tak tahu jika Ezha tak memberitahumu. Tapi tak apa. Karena mungkin Ezha malas memberitahumu, jadi aku saja yang kasih tahu.” Dia terus mengeluarkan kata dengan sikap santainya. Seolah tak ada perasaan bersalah atau gugup sedikit pun, dia bahkan menunjukkan aura tercantik yang pernah dia punya. Dan ini adalah sekakmat mematikan bagi Nhay! Sangat mematikan hingga ingin rasanya meludah bahkan menampar sosok Vivita Ballard yang tak tahu diri itu!

“Mulai pagi tadi, aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Namun karena Ezha masih khawatir, jadi dia menyuruhku untuk tinggal bersamanya di sini.” kata Vivi. Nhay yang mendengarnya pun semakin dibuatnya terkejut dan tak habis pikir. Serasa akan gila, pukulan demi pukulan itu terus mengarah ke Nhaya tanpa mengijinkannya untuk bernapas sedikit lebih lega. Terus saja mengoyak raganya dengan kesakitan yang semakin tak tertahan. Menamparnya berkali-kali dengan perasaan kacau yang tak ada ujungnya. Dan tepat saat itu juga, tiba-tiba nada dering dari ponsel Vivi berbunyi. Dia pun seketika meninggalkan Nhaya yang masih tak bisa menerima kenyataan dan segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Namun setelah itu, dengan senyuman cantik dia melirik ke arah Nhaya sejenak dan berkata, “Ini Ezha.” Dia pun kemudian mengangkat panggilan itu.

“Kenapa kau lama sekali?! Buah? Daripada buah, lebih baik kau belikan aku bunga aja. Apartemenmu cukup pengap jadi aku butuh wangi-wangian. Oh ya, apa kau bisa mampir ke minimarket bentar? Aku lupa belum beli sikat gigi. Terus sama pastanya ya soalnya aku nggak cocok sama pastamu. Bentar-bentar aku mikir dulu! Apa lagi ya,”

Ketika Vivi asyik mengobrol dengan Ezha di telepon, Nhaya memilih untuk keluar dari apartemen itu. Meskipun sangat susah menggerakkan kakinya, namun akhirnya dia berhasil keluar. Karena jika harus mendengar percakapan seperti itu, dia akan lebih kesusahan lagi untuk membawa tubuhnya. Seakan ingin mati, jika saja Tuhan tak mencintainya lagi dia akan memilih untuk itu.

-------------------

Aku bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan orang pintar pada umumnya ketika tahu jika kekasihnya tinggal dengan wanita lain yang bukan keluarganya. Aku juga ingin tahu, apa benar orang bodoh sepertiku hanya diam membisu dengan kegilaan hati dan pikiran seperti ini. Atau, orang bodoh pun akan melakukan seperti orang pintar pada umuumnya. Dia menampar, dia memukul, dia membanting barang-barang yang ada di sekitarnya lalu dia usir pelacur itu! Dia jambak rambutnya dan dia dorong tubuhnya hingga tersungkur ke tanah! Dia keluarkan kata-kata kotor dengan nada keras dan menakutinya dengan ganas! Lalu ketika pelacur itu masih bersikukuh untuk tinggal, dia ambil barang-barangnya dan dia buang semuanya keluar! Apa seperti itu?

Jika iya, maka aku ini apa? Bukan orang pintar tapi juga bukan orang bodoh, lalu aku ini siapa? Si idiot?! Ah... si idiot memang.

Aku adalah wanita idiot yang sibuk berharap tentang sesuatu yang tak pantas dan mustahil untuk terjadi. Aku mengeluarkan banyak uang lalu menjadikannya senjata untuk mendapatkan orang yang aku cinta. Aku menggunakan kekuasaanku untuk menahannya meski tahu jika tidak ada cinta sedikit pun di hatinya untukku. Namun dengan semangat idiotku, aku terus yakin dan meyakini itu sepanjang waktu. Yah... aku si idiot memang. Aku hidup dengan keidiotanku itu.

-------------------

Nhaya diam di dalam mobilnya dengan pikiran awut-awutan. Melamun kosong dengan wajah pucatnya yang semakin membuatnya terlihat menyedihkan. Apalagi dengan bibir mungilnya yang memutih seperti itu. Bahkan seekor nyamuk pun tak akan tega menggigit kulitnya meski harus mati terkapar malam ini.

Dia tak berpikir jika kakinya sanggup menancap gas untuk pulang ke apartemennya. Dia juga tak berpikir jika dirinya sanggup berdiam seperti ini dengan air mata yang tak kunjung mencair. Seperti bongkahan es, kali ini dia kesulitan mengeluarkannya ketika diri ingin menangis gila malam ini.

Namun tak lama setelah itu, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Vivi yang semakin membuatnya tertekan dan ingin mengakhirinya malam ini. Yah... dia juga manusia. Si idiot Nhaya juga manusia...

“Apa lagi?! Huh?! APA LAGI?!!” Nhaya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dia membentak, dia melotot dan dengan sedikit rasa lega dia memejamkan kedua matanya dengan rasa pilu yang semakin mendramatisir.

“Aku sudah melakukan segalanya. Aku sudah membuang masa depanku! Aku kerja sana-sini untuk mendapat uang! Aku memilih hidup di luar rumah ketika papa melarangku berhubungan dengan Ezha! Aku nomorduakan kuliahku bahkan memilih absen satu tahun dan seluruh waktuku itu hanya untuk mendapatkan uang!! Aku urus semuanya! Aku bersihkan kamar kosnya setiap hari di sela kesibukanku! Aku mengantarkan sarapan pagi bahkan setelah semalaman bekerja di minimarket!! Aku berusaha sekeras mungkin untuk menjadi punggung yang tak pernah lelah! Aku akan lari meski sudah melebihi tengah malam hanya untuk memegang tangannya dan menepuk pundaknya hingga tertidur! Aku sudah melakukan semua itu!!! AKU MENCINTAINYA BAHKAN LEBIH DARI DIRIKU SENDIRI!! Aku menghidupinya selayaknya seorang istri yang takut suaminya tergigit nyamuk. Aku yang menyelimutinya! Aku yang memeluknya!! Aku juga yang menghapus kekhawatirannya!! Aku yang,”

“Aku mohon!” Satu penekanan yang baru saja diucap Vivi itu mampu membuat Nhaya diam seketika. “Karena selama ini kau yang menjaganya, kau yang membantunya untuk meraih impiannya, aku mohon! Aku tahu kau bukan orang jahat. Kau adik kelasku yang tak pernah sekali pun membuat masalah denganku. Kau orang yang periang. Kau senyum ke semua orang tanpa pilih-pilih. Bahkan ketika kepala sekolah terbukti korupsi, kau tetap menjenguknya sejam setelah kecelakaan. Jadi Nhay, aku mohon padamu. Biarkan Ezha bahagia. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku sangat bersyukur kau mau membantu Ezha selama ini. Aku akan sembuh dan mulai mendapatkan uang lagi. Dengan begitu aku akan membayarmu kembali. Jadi aku mohon, Nhay! Tolong lepaskan dia... ijinkan dia berbahagia dengan orang yang benar dia cintai. Dan dengan begitu kau juga akan bahagia dengan hidupmu yang pernah kamu nomor duakan itu.”

Nhaya yang mendengarnya hanya bisa diam dengan kepala yang semakin menunduk. Seolah makin tertusuk dalam, hati itu sudah berdarah terlalu banyak. Dia bahkan belum bisa mengeluarkan air mata yang sesungguhnya sangat ia butuhkan. Karena keadaan yang sedang dia hadapi ini, sanggup membekukan air matanya berkali-kali lipat dengan kesakitan yang semakin mematikan saraf motoriknya.

Namun meski Vivi tahu jika Nhaya tengah tertekan saat ini, dia justru kembali meneruskan omongannya. Seakan tanpa lelah dan tanpa takut sedikit pun, dia tunjukkan pedang terbaik untuk mengiris hati yang sudah separuh terluka itu.

“Perlu kau tahu, Ezha tak akan melepasmu meskipun dia ingin bersamaku. Ezha tak akan meninggalkanmu meskipun setiap saat dia tersiksa karena keadaan yang tak kunjung seperti yang dia ingin. Jadi selama kau menahannya, dia akan tetap bersamamu tanpa jujur atas perasaannya. Karena dia terlalu berutang padamu. Dia tidak mungkin meninggalkan orang yang sudah susah payah membantunya hingga menjadi dokter seperti sekarang ini. Sama sekali tidak mungkin! Dia akan memilih untuk hidup tersiksa dan menahan perasaannya sebagai bentuk terima kasihnya padamu, Nhay! Jadi jika bukan kau yang melepasnya, dia tidak akan bahagia. Apa yang kau inginkan itu?”

“Apa yang kau maksud, selama delapan tahun ini Ezha tak pernah bahagia bersamaku? Begitu?”

“Tak usah aku jawab, kau pastinya lebih paham. Jadi berpikirlah! Aku akan menunggu sampai saat itu tiba!”

Setelah itu, Vivi langsung memutus panggilan. Nhaya pun membuka kedua matanya dan langsung menyandarkan kepalanya ke bantalan kursi. Seolah tengah mencari kekuatan, dia tarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya dengan berat.

Tuhan...

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
13165      2317     8     
Inspirational
Petualangan delapan orang pemuda mengarungi Nusantara dalam 80 hari (sinopsis lengkap bisa dibaca di Prolog).
Mahar Seribu Nadhom
4231      1428     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
Sejauh Matahari
480      286     2     
Fan Fiction
Kesedihannya seperti tak pernah berujung. Setelah ayahnya meninggal dunia, teman dekatnya yang tiba-tiba menjauh, dan keinginan untuk masuk universitas impiannya tak kunjung terwujud. Akankah Rima menemukan kebahagiaannya setelah melalui proses hidup yang tak mudah ini? Happy Reading! :)
Today, I Come Back!
3220      1041     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
As You Wish
348      239     1     
Romance
Bukan kisah yang bagus untuk dikisahkan, tapi mungkin akan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil. Kisah indah tentang cacatnya perasaan yang biasa kita sebut dengan istilah Cinta. Berawal dari pertemuan setelah 5 tahun berpisah, 4 insan yang mengasihi satu sama lain terlibat dalam cinta kotak. Mereka dipertemukan di SMK Havens dalam lomba drama teater bertajuk Romeo dan Juliet Reborn. Karena...
Begitulah Cinta?
14890      2167     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Unknown
183      149     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
Dunia Tiga Musim
2652      1110     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
ATHALEA
1152      490     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Hunch
31172      4148     121     
Romance
🍑Sedang Revisi Total....🍑 Sierra Li Xing Fu Gadis muda berusia 18 tahun yang sedang melanjutkan studinya di Peking University. Ia sudah lama bercita-cita menjadi penulis, dan mimpinya itu barulah terwujud pada masa ini. Kesuksesannya dalam penulisan novel Colorful Day itu mengantarkannya pada banyak hal-hal baru. Dylan Zhang Xiao Seorang aktor muda berusia 20 tahun yang sudah hampi...