Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam, masih terlalu awal untuk menyapa bintang maupun sang rembulan. Karena tak seperti malam sebelumnya, malam ini ada setitik kehangatan yang mulai tercipta dengan jelas, seolah menyuruh diri untuk berdoa dengan hati yang lebih tenang dan lebih ikhlas.
Saat ini Ezha tengah memasak di apartemennya. Memakai celemek biru yang tiga bulan yang lalu baru saja dibelikan oleh Nhaya. Dia juga melipat lengan kemejanya dengan rapi. Menyampirkan handuk kecil di pundaknya dengan sesekali menggunakannya untuk mengelap keringat. Sangat keren. Seolah ia terlahir dengan wajah dan keterampilan yang luar biasa.
Sedangkan untuk Nhay, sedari tadi dia hanya duduk di meja makan dan menunggu makanan siap. Seakan tak ada pikiran untuk membantu Ezha karena memang Ezha tak mengijinkannya untuk itu.
Sebenarnya pikiran Nhay masih terganggu dengan permasalahan tentang Nao. Namun meski begitu, saat ini Nhaya ingin menyimpan pemikiran itu sendirian. Sangat jarang Ezha memiliki waktu untuknya jadi dia tak ingin memasukkan topik lain di malam yang panjang ini.
“Sejak kapan kau terlihat lebih tampan kalau pakai celemek seperti itu?” teriak Nhaya yang mulai memperhatikan Ezha dengan lebih seksama. Dia bahkan tersenyum manis dan terus tersenyum seindah itu. Seolah menggoda, dia bahkan tak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Perlahan dia mulai menidurkan kepalanya di atas meja dengan terus memandangi pacar kesayangannya itu.
“Apa kau tak akan kembali ke rumah sakit malam ini?” tanyanya lembut yang terdengar seperti tengah memohon agar Ezha tak meninggalkannya dan memiliki waktu lebih lama untuknya. “Lusa aku sudah berangkat ke Bali. Aku ingin bersamamu lebih lama. Apa tak bisa?”
Saat mengatakannya, aku meyakinkan diri sendiri sebanyak yang aku butuhkan. Yah, bahwa pada nyatanya dia milikku. Dia pacarku dan aku memiliki hak untuk menahannya seperti itu.
“Sudah lama aku tidak melihatmu tidur. Apa tak bisa?” tanyanya lagi dengan nada yang semakin terdengar memohon. Ezha pun menghentikan gerakan tangannya dan beralih untuk memandang ke arah Nhaya. Namun ia hanya diam. Hanya menatapnya dalam tanpa mengeluarkan satu pun kata.
“Why? Apa aku melakukan kesalahan lagi?” Nhaya masih mempertahankan nada lembutnya. Seperti anak kecil, seolah dia tengah berhadapan dengan ibunya. “Aku hanya ingin melakukan seperti yang biasa kita lakukan. Aku hanya ingin,” Nhay menunda kalimatnya sejenak guna menyunggingkan sebuah senyuman cantik yang menawan. Menahan beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan, “kita tidak sekaku ini. Aku tidak terbiasa jika terus seperti ini. Jadi aku mohon, ayo kita lakukan seperti biasa. Meski itu sangat kekanakan, tapi aku lebih nyaman jika melakukannya bersama.”
Ezha yang masih menatapnya, tiba-tiba memasang mimik lembutnya tanpa aba-aba. Ia bahkan tersenyum tiba-tiba yang itu berarti, ia mengiyakan semua pertanyaan Nhay.
Yah, tidak terjadi apa-apa selama ini. Aku hanya ingin menganggapnya seperti itu. Bahwa memang tak ada yang terjadi. Semuanya masih sama. Seperti delapan tahun yang lalu, semua masih sama. Dia masih milikku dan dia masih ingin bersamaku.
Nhay pun segera berdiri dari duduknya. Mulai berjalan pelan ke arah dapur sambil sesekali tersenyum sangat cantik.
“Untuk apa kau ke sini? Duduk saja di sana!” Ezha meliriknya dengan tatapan terganggu. Namun ia segera melanjutkan memasaknya tanpa memedulikan Nhaya yang tengah melihatinya dari dekat.
“Zha?”
“Huh?”
“Ezha?!”
“Huh?!”
“Aku percaya kamu.” kata Nhay lirih yang langsung membuat Ezha menghentikan gerakan tangannya. Ia memang tidak bodoh dan apa yang dikatakan Nhay padanya barusan adalah apa yang sangat ia pahami.
Nhay pun perlahan memeluknya dari belakang. Mempertemukan kedua tangannya di depan perut Ezha dan merekatkannya sangat erat. Lalu dia mulai menyandarkan kepalanya di punggung Ezha dengan kedua mata yang sudah tertutup sempurna.
“Aku minta maaf karena sudah meragukan kamu beberapa hari ini. Aku juga sudah membuatmu marah dan melakukan sesuatu yang kekanakan. Aku minta maaf! Dan selanjutnya aku tidak akan melakukannya lagi. Aku akan lebih mempercayaimu dan tidak berpikir macam-macam. Aku janji.” ujarnya pelan dengan nada yang terdengar jujur. Seolah melupakan semua yang telah terjadi dan membiarkannya kembali mempercayai Ezha sebesar dia mencintainya. Karena memang seperti itu adanya. Rasa cinta yang dia punya, sanggup mendorongnya untuk terus mempertahankan hubungannya apapun yang terjadi. Terus menguatkannya meski hatinya sudah beribu-ribu kali terluka.
“Mari melihat satu sama lain lebih jauh lagi. Karena meskipun kita sudah bersama selama ini, namun aku yakin kau masih menyimpan banyak fakta dariku. Jadi mari kita melihat satu sama lain lebih dalam lagi. Mari saling mencintai dan menghargai satu sama lain. Seperti sebuah dongeng, aku ingin memiliki kisah lebih indah lagi denganmu.”
“Aku sudah sangat menyakitimu, bukan?” Tiba-tiba Ezha bertanya dengan suara yang terdengar tegas. Berhasil membuat Nhaya tertegun sesaat dengan kedua mata yang kembali bangun. Namun kemudian segera Nhaya menggeleng pelan sembari merekatkan kembali pelukannya yang sempat merenggang.
“Kita hanya kurang komunikasi. Itu yang membuat hubungan kita menjadi kaku dan banyak salah paham. Jadi selanjutnya, kita harus lebih baik lagi.” terangnya kemudian dengan masih memeluk Ezha erat.
“Aku mencintaimu, Zha. Sangat!”
---------------------------
Lagi-lagi cinta menunjukkan kekuatannya. Seakan begitu mudah dan tanpa memikirkan setiap tetes air mata yang kemarin terjatuh dari dua matanya, Nhaya membuktikan cinta yang begitu besar di dirinya. Lalu seperti mimpi buruk, dia bangun tanpa penyesalan lalu memilih untuk melupakan semua itu. Kembali bersih dan tak lagi memikirkan yang sebaliknya. Kembali yakin dan kembali mencintai Ezha apa adanya. Ah, sangat lucu bukan? Cinta yang diindah-indahkan memang selalu indah di mata Nhay. Namun bukankah itu terlalu munafik? Seperti seorang pengecut, untuk yang kesekian kalinya Nhaya ingin mempercayai Ezha yang sudah menyakitinya.
Namun biarkan saja! Biarlah alur berjalan sesuai keinginan. Entah akan semakin membaik atau justru memburuk, biarlah Nhaya merasakannya. Biarlah Tuhan menunjukkan ending-nya.
Sebuah kebahagiaan, atau hanya angan-angan terabaikan.
----------------------------
Nhay duduk di samping Ezha yang sudah tertidur. Dia pandangi wajah tampan itu dengan kasih sayang yang terlalu ketara. Sesekali tersenyum bahagia dengan tangan yang masih menggenggam tangan Ezha. Erat. Dia menggenggamnya dengan amat erat.
Dulu setiap kali Ezha mengalami hal-hal sulit di kampus atau rumah sakit, malamnya ia selalu menyuruh Nhaya untuk menungguinya seperti ini hingga tertidur. Pada awalnya ia tahu jika tak sepantasnya ia menyuruh Nhaya melakukan itu ketika tahu jika ia belum bisa memberikan hatinya padanya. Namun berjalannya waktu, ia semakin mudah menyuruh Nhaya melakukannya. Dan bahkan, ia mulai terbiasa untuk tidak memikirkan apa ia mencintai Nhaya atau tidak. Ia hanya melakukan apa yang ia inginkan. Melakukan apa yang bisa mereka lakukan.
“Apa kau sudah tidur?” tanya Nhaya pelan yang seakan ingin memastikan. “Sebenarnya tadi di rumah sakit aku bertemu dengan Nao. Apa kau masih mengingatnya?” Nhaya tersenyum pelan sembari mengingat apa yang dulu pernah terjadi.
“Sekarang dia mengalami depresi berat. Skizofrenia atau apa itu, aku belum tahu jelasnya. Namun yang pasti aku sangat terkejut. Sudah delapan tahun aku tidak mendengar kabarnya dan tiba-tiba saja aku bertemu dengannya dengan keadaan seperti tadi. Dia benar-benar bukan Nao yang aku kenal dulu. Aku sangat kasihan melihatnya.” Nhaya mulai menunjukkan mimik sedihnya. Dia tahu jika Ezha sudah tertidur dan tak akan mendengarnya. Namun justru dia nyaman dengan itu. Karena jika Ezha sadar dan mendengarnya bercerita tentang Nao, Nhaya takut membuatnya tak nyaman. Apalagi kalau bukan karena hubungan Ezha dengan Nao dulu tidak baik.
“Meskipun Nao tak tahu malu dan sering membuatku kesal, namun dia orang baik. Dia teman yang tak pernah membiarkan aku merasa sendirian. Sangat bodoh. Tapi juga sangat memedulikanku.”