Setelah seharian muter-muter di Thamrin City cuma buat nyari bahan sesuai pesanan ibunya, akhirnya Brian mengakhiri ekspedisinya pukul enam sore. Kakinya rasanya sudah kayak mau patah, karena daritadi siang kerjaannya hanya muter dari satu tempat ke tempat yang lain, lalu foto bahan kain yang sekiranya sesuai dengan selera ibunya yang dia kirim lewat aplikasi WhatsApp. Namanya juga ibu-ibu, Brian diminta untuk membandingkan harga dan kualitas dari satu tempat ke tempat yang lain, pastikan dia membeli bahan dengan kualitas bagus dan harganya yang miring.
Akhirnya Brian mendapatkan satu macam bahan setelah menghabiskan berjam-jam di dalam Thamrin City. Terima kasih untuk sang Ibu karena telah membuatnya membakar kalori yang sudah dia simpan selama libur semester ini.
Brian memasuki busway setelah menunggu sekitar dua puluh menit di halte Tosari untuk menunggu busway yang penumpangnya nggak terlalu banyak. Ya, tapi tetep saja, berhubung hari ini masih hari kerja dan kebetulan sedang dalam jam orang kantor pulang, untuk mencari busway yang lowong pun susah. Akhirnya Brian masuk ke dalam busway ke lima yang tiba.
Meski ujung-ujungnya dia berdiri juga, tapi setidaknya keadaan bus nggak seramai yang sebelumnya. Tangannya berpegangan kepada handle yang menggantung diatas, sambil tangannya yang satu bermain dengan ponsel.
Diam-diam dia membuka aplikasi instagramnya yang sudah nggak pernah dibuka semenjak bertahun-tahun yang lalu karena dia masih belum paham faedah dari posting-posting foto yang menurutnya cuma buat jadi ajang pamer (padahal dia aja yang nggak punya bahan buat dipamerin). Lalu, diam-diam tangannya mengetik nama seseorang di kotak pencarian, nama yang paling nggak ingin dia ingat sejak 2 tahun yang lalu dia memilih untuk pergi.
Rasa penasaran Brian akan kabar si gadis pun membunuh prinsipnya yang nggak ingin tahu lagi tentang dia, karena ya diam-diam Brian juga kangen.
Soraya Anindhita
Yup, orang yang Brian cari terdapat di pencarian paling atas dengan wajah sang pemilik yang dijadikan foto profil. Nggak pakai berpikir panjang, Brian langsung mengklik akun dari seseorang bernama Soraya ini dan langsung mendesah kecewa karena akun sang pemilik di kunci.
Dia melihat followers dari Soraya yang nggak terlalu banyak, hanya mentok di angka 100 dan following-nya yang ada 120. Tidak ada tulisan dalam kolom bio hanya ada nama lengkap tertera diatas kolom tersebut. Masih sesimpel itu orangnya, pikir Brian.
Brian yang awalnya kepo ingin tahu, akhirnya menyerah dan harus mengubur perasaan ingin tahunya itu dalam-dalam. Nggak mungkin Brian berani mengklik tombol follow. Jangankan mengklik tombol follow, kalau sekarang dia dipertemukan dengan Soraya secara tiba-tiba, pasti Brian bakal lari terbirit-birit seperti orang kesetanan karena ujungnya dia lebih memilih untuk kabur.
Sesampainya di halte Blok M, Brian turun dari busway mengikuti orang-orang di depannya berjalan. Entah dia berhalusinasi atau gimana, ekor mata Brian menangkap seseorang dengan figur yang sangat amat dia kenal berjalan nggak terlalu jauh di sampingnya. Gerak jalannya yang sangat khas itu membuat otak Brian berkata bahwa itu dia.
Brian menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap apa yang dilihat matanya itu hanya halusinasi biasa. Mungkin karena tadi habis melihat akun instagramnya jadi orangnya masih terus berputar di otaknya sampai-sampai terbawa halusinasi seperti itu.
Tapi sekali lagi, orang itu tiba-tiba berjalan di depan Brian mengenakan jaket denim yang warnanya sudah kusam dengan jalan terburu-buru seperti orang akan ketinggalan kereta. Mata Brian masih mengikuti gerak-geriknya. Terlalu mirip bahkan sama, pikirnya saat itu. Otaknya menolak mengakui bahwa itu adalah Soraya tapi hatinya tahu bahwa itu dia.
Brian masih termangu di tempatnya sampai ada seorang bapak-bapak menepuk bahunya untuk menegurnya karena berdiri menghalangi jalan.
“Eh—maaf, Pak.” ujar Brian setelah ditegur oleh bapak tersebut lalu mulai berjalan kembali dan mengedarkan pandangannya kedepan untuk mencari si gadis. Tapi ya jelas saja, pasti cewek itu sudah pergi karena tadi aja dia berjalan terburu-buru.
Demi alam semesta dan seluruh isinya, itu nggak mungkin dia kan? Nggak mungkinlah! Orang dia udah nggak di Jakarta! C’mon, Bri! Otak lo tuh di pake dong!
Karena menurut Brian dirinya sudah berhalusinasi tingkat kasasi, dia memutuskan untuk segera pulang sebelum tingkat kehaluannya ini bisa menyamai dengan orang-orang yang suka bikin thread di Twitter dengan tingkat kelogisan yang mencapai titik tidak mungkin.
.
.
Mau tahu apa yang membuat Brian gila nggak karuan malam ini sebelum manggung dengan Enam Hari?
Yup, lagi-lagi Brian berhalusinasi ada sosok Soraya di pojok kafe sedang menontonnya manggung.
Dia melihat sosok Soraya sedang menggengam gelas kopi ditangannya dengan melempar senyuman kepada Brian, berada jauh diujung ruangan dengan lampu yang remang tapi Brian masih bisa menangkap sosoknya. Rambutnya yang terlihat dikepang terlihat begitu cantik dan lagi-lagi Soraya mengenakan jaket denim kusam yang Brian lihat kemarin.
Berkali-kali Brian menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba menghapus wajah yang terus menatapnya sampai saat ini, berharap dia hanyalah sebuah ilusi semata.
Dia nggak nyata. Nggak mungkin nyata, karena dia nggak ada disini.
Kalimat tersebut sudah seperti mantra bagi Brian karena dia terus menerus merapalkannya dalam hati.
“Bri, lo sakit?” tanya Sadewa, leader dari band Enam Hari yang daritadi memerhatikan Brian menggeleng-gelengkan kepalanya terus sambil mengusap-usap matanya yang nggak berair itu.
“Enggak, Sa. Cuma pusing dikit. Gapapa, kok. Paling tadi gara-gara kebanyakan minum es,” alibinya begitu sebelum acara manggung mereka dimulai. Para anggota band-nya yang lain mulai menatapnya khawatir tapi Brian menepisnya dengan memberikan gelengan memastikan bahwa dia tidak apa-apa hari ini.
Acara pun berjalan lancar, setidaknya Brian nggak salah memainkan chord-chord lagu yang sudah disiapkan dari beberapa minggu yang lalu. Meski jumlah penonton malam ini sedikit lebih banyak dari malam-malam sebelumnya, ternyata itu masih belum bisa menutupi sosok Soraya yang masih berdiri di tempat semulanya.
Beberapa kali Brian dan Soraya melakukan kontak mata, tapi rasanya disini hanya Brian yang memancarkan rasa gusar nggak karuan karena takut bahwa ini tidak nyata atau nantinya takdir malah mempertemukan mereka berdua kembali.
Karena Brian sangat amat takut untuk bertemu dengan Soraya.
Sedangkan Soraya, hanya tersenyum simpul biasa seperti melihat Brian kembali bukanlah hal besar untuknya.
“Gue ke parkiran bentar, ya. Hape gue ketinggalan,” pamit Brian saat dia sudah duduk bersama anggota band-nya disatu meja dan menyadari bahwa ponselnya itu belum ia bawa turun dari mobil.
Sambil berjalan keluar kafe, Brian mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok Soraya, apakah dia masih ada di sekitarannya. Hampir ia melihat setiap sudut kafe, Brian nggak menemukan sosok perempuan tersebut. Berarti dugaannya benar bahwa sosok Soraya yang tiba-tiba muncul dua hari ini hanyalah ilusi semata. Nggak nyata, alias Brian cuma halu.
Padahal gue cuma ngecek instagramnya doang, efek halunya sampe ngira dia ada di sekitar gue, gerutu Brian saat berjalan di parkiran. Brian menepuk-nepuk kepalanya sambil merutuki dirinya sendiri, menyalahkan sistem tubuhnya yang masih bisa terkena efek besar dari seorang Soraya.
Membuka pintu mobilnya, Brian mengambil ponsel yang tertinggal di jok mobilnya. Saat dia hendak membalikan tubuhnya, seseorang memanggilnya dari belakang.
“Brian!”
Saat Brian berhasil memutar balikan tubuhnya, Brian hampir terjatuh ke aspal melihat siapa yang sedang berdiri di belakangnya. Berkali-kali otaknya berteriak untuk berhenti berhalusinasi, tapi berkali-kali saat itu juga hatinya berteriak bahwa ada Soraya yang saat ini sedang berdiri berjarak kurang dari sepuluh jengkal darinya.
“Sumpah! Jadi dugaan gue bener! Lo beneran Brian! Gue kira gue cuma berhalusinasi!” teriak Soraya di depan Brian dengan gembira.
Brian ingin berteriak bahwa dirinyalah saat ini yang sedang berhalusinasi. Tapi rasanya lidahnya sudah terlalu kelu untuk mengeluarkan kata-kata karena dia masih terkejut dengan kehadiran sosok perempuan yang ada di depannya. Dia masih tidak tahu bahwa ini nyata atau memang tingkat halusinasinya memang sudah menginjak tingkat kasasi.
“Lo…nggak nyata kan? Lo cuma halusinasi yang gue ciptakan malam ini kan? Cuma harapan kecil gue yang diwujudkan dengan halusinasi berwujud lo kan, Ray?” Brian akhirnya berbicara meski suaranya terlampau lirih kalah dengan deru kendaraan diluar parkiran.
Kakinya mendadak lemas seperti tidak ada energi untuk bergerak saat Soraya melangkah lebih maju sejengkal. Soraya melempar senyum lebarnya, membuat dunia disekitarnya seakan berhenti berputar.
“Nggak, Bri. Ini gue beneran. So-ra-ya.” ujar Soraya menunjukan wajah yang senang luar biasa bisa melihat Brian malam ini.
Sedangkan Brian, menggelengkan kepalanya berusaha untuk berjalan pergi meninggalkan yang dia percaya bahwa sosok di depannya ini nggak nyata sama sekali. Saat Brian hendak berjalan pergi, pergelangan tangannya ditahan. Dia menoleh, melihat tangan Soraya sedang melingkar di lengannya.
“Kok lo pergi, sih?” tanya Soraya dengan memasang wajah yang kurang senang dengan sikap Brian barusan. “Bri?” panggilnya saat melihat Brian masih termangu melihat lengannya.
“Bri? Lo kenapa sih?”
“Demi Tuhan, lo nggak nyata, Soraya!” bentak Brian akhirnya berani menatap kekedua bola mata Soraya. “Lo nggak nyata, oke? Lo cuma halusinasi yang gue buat akhir-akhir ini. Lo nggak nyata, Soraya. Jadi, stop. Gue mohon stop ganggu pikiran gue!”
Brian merasa dirinya bisa benar-benar gila setelah ini. Dia sudah memikirkan untuk segera bertemu dengan dokter yang bisa menangani hal-hal seperti ini. Sudah dua tahun dia nggak bertemu dengan Soraya tapi efeknya masih bisa sebesar ini.
“Lo ngomong apa sih, Bri? Apanya yang nggak nyata? Gue nyata, Bri. Ini gue, Soraya Anindhita.” Kedua telapak tangan Brian ditarik dan diletakkan di kedua pipi Soraya.
Nyata.
Ini beneran dia.
Tangan gue nggak mungkin bohong, kan?
Dia nyata.
Dia beneran ada di depan gue sekarang.
Tangannya tiba-tiba bergetar dan perlahan dia menariknya dari kedua pipi Soraya. Matanya yang tadi berani menatap Soraya, kini perlahan turun menatap aspal. Dirinya ingin sekali lari sekencang mungkin agar dia nggak harus dipertemukan dengan Soraya di keadaan seperti ini. Tapi mau dikata apa, takdir mengharuskan mereka bertemu dan sudah nggak ada jalan keluar untuk Brian.
“Bri?”
“Ray,” ia menghembuskan napasnya berat, masih menolak untuk melihat objek di depannya. Matanya terpaku saat melihat langkah kaki Soraya yang masih terlihat sama saat terakhir kali mereka bertemu. Rasanya luka yang sudah ia tutup rapat-rapat kini terbuka kembali dengan ditaburi garam diatasnya.
“Bri—“
“Ray, gue mohon. Kalau lo beneran nyata, tolong jangan mendekat. Gue mohon.” Brian mendongak menatap ke mata Soraya dengan rasa takut yang sudah meluap. “Gue mohon, Soraya. Gue mohon.” Matanya terlihat sangat memohon membuat Soraya menuruti sesuai permintaanya.
“Bri, I just wanna say hi.”
“Soraya…” ujar Brian lirih berjalan menjauh dari Soraya. “Bahkan untuk melihat lo senyum ke gue aja, rasanya gue ingin membunuh diri gue sendiri.”
“Bri—“
“Just—please, don’t even try to see me again, Ray. Gue nggak mau ketemu bahkan ngomong sama lo lagi.” Brian berjalan buru-buru memasuki mobilnya dan menyalakan mesinnya untuk segera melaju entah kemana destinasinya malam ini.
Yang dia lihat untuk terakhir kalinya malam itu adalah wajah kecewa Soraya yang lagi-lagi terpasang karenanya. Karena Brian Dirga Utomo yang lagi-lagi lebih memilih untuk menjadi budak rasa takutnya.
===