Dua jam setelahnya aku duduk didepan tv sambil menikmati makan yang sudah nenek siapakan. Rasanya aku terlalu egois menyiksa diri hanya karena laki-laki itu. Beberapa kali aku mengangi chanel karena memang tayangan yang ada membosankan.
Tak lama seseorang membuka pintu dan masuk kedalam rumah.
'Assaalamualaikum'
'Walaikumussalam' aku berbalik, menoleh kearahnya setelah dia berada di dekatku. Mengulurkan tangan dan segera menyalaminya.
'Kamu gak marah lagi kan sama nenek?'
Aku hanya mampu menggelengkan kepala pelan dan kembali berbalik. Kembali mengambil piring makan dan melanjutkan suapan berikutnya.
Dia meletakkan sesuatu diatas meja sebelum duduk di sampingku. Tatapanku memandang lurus kedepan sambil menyuapkan makanan kedalam mulut. Kami tidak saling bicara membuat keadaan terasa hambar, hanya terdengar audio televisi yang memenuhi kesunyian.
Saat aku hendak beranjak dia menahan gerakanku. Membuat tubuh yang tadinya berdiri kembali duduk. Wajahnya tampak pasrah 'Sya. Kalo kamu gak mau melangsungkan proses ta'aruf. gak papa biar nenek yang bantu bicara sama umi kamu'
Aku tak menggubris dan lebih memilih diam. Beberapa saat setelahnya aku kembali berdiri dan membawa piring kotor kedapur. Mencucinya dan meletakkannya di rak.
Langkahku terhenti ketika aku berada diantara ruang keluarga dan kamarku. Nenek masih dalam posisinya. Duduk bersandar di sofa sambil menatap lurus layar kotak itu. Aku hanya bergeming, saat otakku kembali memutar apa yang barusan dia ucapkan.
Merasa diperhatikan lantas nenek berbalik melihatku sedang melamun. 'Sya?' panggilnya.
Aku membalikkan tubuh dan melanjutkan langkah. Saat tanganku sudah memegang kenop pintu aku kembali terhenti untuk kedua kalinya. Bismillah. Aku menarik nafas dalam-dalam dan bicara tanpa menolehkan pandangan kearah nenek.
'Nek aku mau menuruti apa umi mau. Melangsungkan proses ta'aruf, tapi jika aku tidak cocok tolong jangan paksa aku melangsungkan pernikahan' kalimat itu dengan lancar ku ucapkan. Segera ku putar knop pintu dan masuk kedalam kamar.
Didalam ruangan ini aku berdiri memandangi sesuatu yang tertempel didinding. Sejumlah foto dengan berbagai ukuran disusun secara abstrak. Beberapa foto dibingkai dengan frame putih dan sisanya hitam. Sekilas tampak biasa dan simpel, tapi aku suka dengan pemandangan ini. Kamar ini memang bukan murni kamar yang dibuat untukku, melainkan kamar anak bungsu nenek yang ku tempati.
Satu tahun lalu Tante Sari melangsungkan pernikahan. Moment yang sangat menyenangkan dalam hidupnya. Tante Sari memang tidak pernah melangsungkan ta'aruf sebelumnya. Laki-laki yang menjadi suaminya sekarang bahkan langsung mengkhitbahnya kala itu. Namun rasanya Tante Sari dengan mudah menerimanya dan hidup bahagia sekarang.
Berbeda dengan ku, setiap laki-laki susah sekali aku terima. Harusnya aku bisa bersyukur dengan ta'aruf ini, karena dengan begini aku bisa mengenalnya lebih dulu sebelum menikah. Ah ya menikah. Dulu aku sempat menginginkan mendapatkan seorang imam yang bisa membimbingku dan membuatku mengenal kembali kebahagiaan.
Tapi keadaan sekarang berubah, aku bahkan tak lagi meminta seorang laki-laki dalam doaku. Semua ini karena Alwan. Dia berhasil membuatku menyamakan semua laki-laki. Laki-laki keterlaluan. Seenaknya memainkan wanita.
'Assalamualaikum'
.........
'Alhamdulillah. Aisya sudah mau menerima proses ta'aruf ini.' nadanya tampak senang.
Aku yakin nenek sedang berbicara via telepon dengan seseorang sekarang. Suaranya terdengar jelas ditelingaku, membuatku yang tadinya tidak menghiraukan menjadi menyimak.
'Syukurlah seperti itu. Nanti kalo ada yang perlu kamu tanyakan tentang Aisya, jangan sungkan untuk menghubungi nenek ya'
........
'Terimakasih kembali. Nenek titip Aisya ya. Jangan kecewakan dia'
.......
'Ah ya nanti nenek sampaikan.'
.........
'Walaikumussalam'
***
Sebagian orang beranggapan hari ini adalah hari yang membosankan dan menyebalkan. Sebuah hari dimana setiap orang harus memulai kembali rutinitas yang terjadwal rapi setelah seharian penuh bersantai. Ya itulah hari Senin. Bangun pagi bahkan lebih pagi untuk bekerja ataupun sekolah.
Tapi mungkin tidak bagiku, karena aku memang terbiasa bangun pagi. Aku selalu berusaha memulai setiap harinya dengan semangat dan berharap bisa melakukan kebaikan dihari tersebut.
Semua barang yang ku butuhkan sudah ku masukkan kedalam tas. Ada tiga mata kuliah yang harus aku ikuti hari ini. Aku siap pergi setelah menyematkan benda kecil ditangan kiriku.
Cleckkk
Aku membuka pintu kamar sebelum menutupnya lagi. Seperti biasa, nenek sudah duduk manis disofa sambil menikmati hangatnya secangkir teh. Menghabiskan waktu pagi dengan menonton siaran favoritenya. Sambil menyampirkan tali tas dibahu, aku berjalan menghampiri wanita itu.
'Nek aku berangkat kuliah dulu ya' seraya mengulurkan tangan untuk menyalaminya.
'Kamu hari ini selesai kuliah jam berapa?' tanyanya sebelum menyerahkan tangan kanannya untuk ku cium.
'Mungkin sekitar jam 5 nek. Habis kuliah Aisya ada kegiatan tambahan soalnya'
'Kamu kapan bisa pulang lebih awal?'
Aku menggeleng pelan dengan sedikit senyuman. Hal itu membuatnya tampak kecewa tanpa jawaban. Ah ya aku teringat sesuatu. 'Sabtu kayanya deh nek. Aisya gak ada kelas, hanya karena persiapan pensi aja aisya harus ke kampus. Kalo nenek mau nanti Aisya izin aja minggu gak ikut organisasi'
'Yah. Kalo Sabtu ini kita kan harus kebandung resepsi Ilham' Dia mengehempaskan punggungnya kebelakang sambil kembali fokus menatap layar kotak itu.
Aku menepuk pelan jidatku, astagfirullah aku lupa. Pak Ilham akan menggelar resepsinya minggu ini. Sebenarnya sedikit aneh. Dia kini tinggal diyogya, istrinya juga katanya disini. Tapi resepsinya malah dibandung. Entahlah. Mungkin juga karena Umi.
'Emang nenek minta temenin kemana sih?' ucapku lagi dengan nada curiga. Pasalnya, jika nenek sudah menanyakan masalah waktu pulang sama artinya dia meminta waktuku untuk menemaninya.
'Ya sudah minggu depan aja deh'
'Penting gak sih nek. Nanti biar Aisya usahain sehari pulang awal. Gak ikut kerja buat karya ilmiah' Tawarku lagi dengan sedikit memelas sambil memeluknya dari belakang.
'Ah gak usah. Itu kan lomba Sya. Kamu butuh banyak waktu bersama mereka buat bisa nyelesainnya kan.'
Aku sedikit mengedikkan kepala, merasa bingung dengan ucapannya. Sejak kapan tugasku dia anggap lebih penting dari menemaninya. Biasanya juga sebaliknya.
'Ngapain masih disitu. Katanya mau berangkat'
'Iya Aisya berangkat sekarang' aku kembali mengulurkan tangan untuk kedua kalinya .
'Kan udah tadi?' Jawabnya sambil menatapku tanganku bingung
'Sekali lagi nek. Biar afdhol'
Dia berdecak sambil menggelengkan kepala. Aku kembali mencium punggung tangannya untuk kedua kalinya.
'Assalamualaikum Nek'
'Walaikumussalam. Hati-hati Sya'
'Siap bos ku' jawabku sambil berjalan keluar penuh semangat.
'Sya. Ilham janjinya jemput kamu kuliah mulai harini.' ucap nenek dengan nada lebih keras karena jarak kami sekarang memang cukup jauh.
Apa yang nenek katakan barusan? Pak Ilham menjemputku. Aku seolah menjerit tak percaya Apa?!!! Sontak aku langsung memutar badan mengarahkan pandangan pada nenek yang sudah dulu menatapku.
'Katanya apartemennya tak jauh dari sini. Kalo kekampus malah akan akan melewati rumah kita. Lagian lumayan kan Sya kamu gak capek nunggu angkutan umum atau ojek. Biar irit juga.' jelasnya.
'Pak Ilham?'
'Iya Ilham. Katanya kalian satu kampus. Dia dosen kamu kan?'
'Istrinya gimana?'
'Gimana apanya? Dia kan Kakak kamu Aisya. Ya wajarlah kalo dia jemput.' Ralat, Kakak tiri tepatnya.
Aku bergeming sejenak, memikirkan sesuatu sambil memegang tali ransel. Kenapa kehidupanku berubah seperti ini. Kemarin ta'aruf, sekarang kakak tiri, lalu besok?
***
Hari ini awal pertama aku kuliah dijemput dari rumah, biasanya juga aku sendiri yang datang kekampus. Konyol, kenapa nenek harus memaksaku untuk menerima semua ini. Bisakah aku hidup tak diatur. Bukan hal yang mudah bagiku menyesuaikan diri. Tapi tidak dengan seseorang yang duduk disebelahku. Sedari tadi dia tak hentinya membuatku membuka mulut. Berbicara banyak menjawab sederetan pertanyaan yang dia ajukan. Mendadak aku jadi narasumber yang lagi diwawancara waktu itu.
'Sya kamu panggil aku mas aja ya kalo diluar kampus.'
Aku menatapnya nanar. Mas? Apa semudah itu kah aku akan menerima kehadiran keluarganya. Aku saja belum bisa menerima Ayahnya sebagai Abi bagaimana mungkin harus memanggilnya dengan sebutan Mas sebagai kakak.
'Kenapa? Ada yang salah? Kitakan keluarga'
Aku memilih membungkam mulut, hanya mendengarkan dan kembali menatap lurus kedepan.
Dia menghembuskan nafas pelan sebelum kembali bicara 'Sya kamu sekarang juga jadi tanggungan jawabku. Jadi kalo ada apa-apa cerita ya. Kalo perlu uang ngomong' ucapnya lagi.
Selama beberapa tahun terakhir, hidupku memang ditanggung nenek. Makan, pakaian, dan uang jajanku. Tapi aku bisa dianggap tidak terlalu memberatkan. Nenek tidak ku bebankan untuk biaya kuliah yang bisa dibilang berat. Jelas aku mahasiswa undangan, aku mendapat beasiswa full sampai akhir.
Belum sempat aku menjawab, mobil pak Ilham lebih dulu berhenti diparkiran kampus, tepatnya parkiran dosen. Aku segera melepas seatbetl lalu bergegas keluar. Buru-buru manaiki anak tangga, berharap tak ada mahasiswa yang melihat kalo aku diantar pak Ilham. Apalagi Rara, dia pasti akan melemparkan banyak pertanyaan kepadaku. Dan ini bukan waktu yang tepat untuk membuka identitasnya, masih banyak hal yang harus aku kerjakan.
'Aisya!!!' panggil seseorang.
Aku menoleh, suara itu berasal dari mobil yang baru saja aku tumpangi. Saat itu dia memang belum keluar dari mobil. Ku lihat kaca mobilnya sudah turun.
'Kamu pulang jam berapa? Biar aku tungguin. Kita pulang bareng' tanyanya dengan sedikit berteriak.
'Gak usah. Aisya bisa sampe sore dikampus. Ada hal lain yang harus dikerjain' jawabku kemudian sebelum kembali menaiki tangga.
***
Selesai makan siang di kantin aku memutuskan untuk langsung meluncur lagi ke fakultas kedokteran. Satu jam yang lalu Reina sudah membombardir kan handphoneku dengan serentetan pesannya. Memintaku segera menemuinya dengan mengatasnamakan kata penting.
'Iya Reina Hantara Putri :P Udah depan fakultas nih. Aku tunggu disini ya' pesan singkat yang ku kirim lewat WhatsApp
5 menit 10 menit pesanku tak kunjung dibalas. Hanya dua ceklist berwarna abu-abu yang bisa ditangkap, padahal status anak itu sedang online sekarang. Beberapa kali aku mencoba menyambungkan telepon namun hasilnya sama, tidak ada jawaban.
Ingin menemui Rico sekarang, dia masih ada praktik. Andra juga baru akan sampai disini sekitar 30 menit lagi. Merasa bosan menunggu sendirian, ku putuskan untuk menunggu diperpustakaan. Setidaknya disana aku bisa browsing atau membaca Alquran walau tidak menyentuh buku medis.
lorong ini sudah biasa bagiku, melalui beberapa tempat agar bisa sampai keruangan itu. Tapi rasanya baru kali ini, aku berminat membaca setiap nama yang terpasang di atas ruangan. Tidak terlalu buruk.
Brakkk
Seseorang yang berjalan sambil membaca menambrakku dari sisi belakang. Buku itu terjatuh dan isinya berceceran.
'Astagfirullah maaf mbak. Saya gak liat tadi'
'Iya gak papa.' Aku ikut menjongkok membantunya memungut kertas yang berhamburan dilantai.
Sambil berdiri menyerahkan beberapa kertas mataku menangkap sebuah lambang dibajunya. Dia menggunakan baju familiar yang membuatku teringat Reina. 'Maaf. Kenal sama Reina?'
'Reina mahasiswa semester 5 itu?'
Aku mengangguk setelah merasa pas dengan yang dimaksud
'Iya kenal. Dia temen satu kelasku.'
Masyallah dunia terlalu sempit memang. 'Liat dia gak?'
'Tadi sih masih dike-las... Ahhh tuh dia.....' dia menunjuk seseorang diujung sana. Jarak jauh membuat aku harus menyimpitkan kedua mata. Alhasil, karena aku tidak mau memeriksa ke dokter mata aku menjadi kesusahan saat melihat jarak jauh.
'Makasih' ucapku. Dia mengangguk sebelum kembali berjalan ke arah yang berlawanan.
Didepan sana Reina terlihat sibuk, kewalahan dengan banyak buku ditangannya. Ada seseorang yang berjalan lebih dulu sebelum Reina. Dia menoleh ke arahku sejenak saat kami berpapasan sebelum kembali fokus kedepan.
Astagfirullah. Akbar!!!
'Aisya' teriak Reina
'Hey kamu kemana aja Rei. Aku hubungin susah banget.' decakku kesal saat Reina benar-benar berhenti didepan ku.
'Maaf Sya. Aku ada tugas tambahan' jawabnya sambil menoleh kedepan.
'Jangan bilang kamu kena detensi lagi?'
'Hehe' dia terkekeh, setelah melihat wajah kesalku bertambah.
'Hey jangan malah ngobrol. ayo cepat! Saya tidak punya banyak waktu.' seseorang didepan sana berhenti dan meneriaki kami. Reina tepatnya.
'Iya pak'
'Kamu ikut aku aja. Detensinya di perpustakaan. Gak lama deh.' bisik Reina.
Aku menuruti, kami berjalan berdampingan. Sedangkan Akbar jalan lebih dulu didepan.