Sinar mentari pagi yang lewat melalui celah-celah jendela, membuat Dira sedikit pening. Kepalanya terasa berat karena semalaman menangis dalam balitan selimut, lambungnya juga terasa sangat perih karena ternyata sejak kemarin pagi Dira sama sekali belum menyantap makanan. Hanya kopi dan Dira tahu, kopi sama sekali tidak baik untuk kesehatannya.
Dira masih ingat kejadian kemarin, saat Dira mendatangi rumah Zali, Dira tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari Zali, dan hanya luka karena Zali tak menginginkan kehadirannya itu yang Dira rasakan. Pulang dengan rintikan air hujan, padahal ketika di Bandung dulu, Zali adalah orang yang sangat melarang keras Dira untuk terkena rintikan air hujan. Zali juga adalah orang yang sangat melarang keras Dira untuk menangis. Semaunya berubah, 6 bulan tidak bertemu sudah merubah semuanya, bahkan mungkin perasaan untuk Dira kini sudah hilang. Dan selanjutnya, Air mata mengalir lagi.
“Ra!” Suara teriakan dari luar dan suara ketukan pintu membuat Dira tersadar dari lamunannya.
“Wait”
Dira meyingkirkan selimutnya, membangunkan tubuhnya sekaligus mengumpulkan kesadarannya.
Dira memutar knop pintu, Di Sydney orang yang selalu mengganggunya hanya Davin. Hanya Davin yang selalu membangunkannya di setiap pagi, dan bahkan Davin juga yang selalu membawakan Dira secangkir kopi dan sepiring roti.
“Ya ampun Ra. Lo kenapa? Muka lo pucet banget,”
Jangan banyak bicara, jangan juga banyak tanya. Dira sedang pusing. Jangan ditambah pusing, bisa pecah kepala Dira.
“Bisa izin nggak?” Tanya Dira.
“Untuk lo, selalu bisa”
“Makasih”
“Nanti gue balik lagi. Sekarang gue mau nyari sarapan yang cocok untuk lo”
“Makasih banyak ya vin”
“Sama-sama”
Setelah Davin pergi, Dira kembali menyembunyikan dirinya di dalam asrama. Menutupi dirinya dengan selimut dan kembali memikirkan Zali.
Semesta membuat rencana yang sangat luar biasa, rencana yang sukses membuat Dira menangis bahkan lupa pada segalanya, termasuk pada dirinya sendiri.
Jika dipikir-pikir lagi, sekarang semuanya memang telah berakhir. Kini tujuan Dira di Sydney sudah berbeda dengan tujuan Zali di Syedney. Dira yang berharap bisa bersenang-senang saat tahu keberadaan Zali, tapi Zali sepertinya berbeda. Raut wajahnya tidak mengartikan jika dia benar-benar senang dengan kehadiran Dira.
Ternyata benar, semuanya sudah berakhir di Bromo. Dira kehilangan Zali karena Adit, Dan sekarang Adit juga pergi karena telah lelah berjuang. Dira terlalu jahat pada laki-laki ya? Maaf sekali, tapi maksudnya bukan itu.
Zali bilang di bukunya jika Dira adalah wanita yang plin-plan. Itu memang benar, seperti sekarang.
Dira seperti ingin kembali ke Rumah. Dira ingin pulang ke Bandung, bertemu ibu, memeluk ibu, dan mengadukan semua perlakuan dingin Zali.
Ternyata, Rasanya berjuang itu lelah, dua orang laki-laki bahkan seperti tampak menyerah dalam memperjuangkan sesuatu yang namanya “Cinta” Salahnya, Dira membiarkan mereka berjuang sendirian, Dira tidak membantu, dan justru kini Dira yang menikmati rasanya berjuang sendirian. Kini Dira merasakan bagaimana rasanya diabaikan, kini Dira juga merasakan seperti apa itu lelah dan sakit hati, walaupun sebelumnya, Dira juga sudah merasakan hal ini, dari orang yang ia cintai. Davin.
Tak terasa, waku berjalan dengan cepat, Davin belum juga datang. Padahal sudah 1 setengah jam Davin pergi. Belum ada juga tanda-tanda jika ia akan datang.
Sepertinya, belum genap satu menit Dira memejamkan matanya, tapi suara ketukan pintu di luar membuat Dira kembali mengurungkan niatnya untuk kembali tertidur.
Davin selalu menganggu Dira. Saat Dira membuka pintu, ternyata bukan Davin yang ia temui. Tapi sebuah bunga Aster yang tergeletak di lantai.
Bunganya hanya setangkai, tapi cukup membingungkan. Mata Dira mengelilingi keadaan sekitar, semuanya sepi. Karena para penghuni asrama sedang mengikuti program di akademi.
Setelah menunggu selama 5 menit di depan pintu, ternyata Dira tidak menemukan petunjuk siapa yang mengirim bunga aster berwarna ungu ini. Pada akhirnya, Dira masuk ke dalam asramanya, meletakkan bunga itu di atas narkas dan baru saja Dira duduk di kasur, suara ketukan pintu itu terdengar lagi.
Dengan segera, Dira berjalan menuju ke arah pintu dan membuka pintu itu dengan kecepatan kilat. Dan kini di hadapannya berdiri sorang laki-laki yang wajahnya di tutupi oleh sebucket bunga aster yang beragam warnanya.
“Nggak usah sok romantis deh lo!” Entah kenapa, pikiran Dira jatuh kepada Davin. Karena posur tinggi dan tubuhnya yang kurus, mirip seperti Davin.
Dira mengambil bunga itu dari genggaman manusia yang menutupi wajahnya itu, Dan saat Dira menatap wajah itu, Ternyata, wajahnya, bukanlah wajah Davin.
“Zali?”
“Kenapa?”
“Aku kaget, aku kira”
“Kamu kenapa sakit?”
“Karena terlalu banyak minum kopi dan lupa untuk makan nasi sepertinya”
“Boleh aku masuk?”
“Boleh”
Asrama ini terdapat sebuah ruangan kecil yang dikhususkan untuk tamu, jadi wajar saja, Dira berani mengajak Zali masuk ke dalam Asramanya, toh Davin juga sering masuk ke dalam sini.
“Aku ambil minum dulu ya”
“Nggak usah, aku bawa”
“Bawa apa?”
“Bubur buatan bunda”
“Untuk?”
“Kamu”
Zali mengeluarkan sebuah tempat makan dari dalam tasnya, dan ternyata benar, isinya adalah sebuah bubur ayam yang sangat Dira rindukan. Di sini, Dira kesulitan utnuk mencari makanan yang benar-benar mirip seperti makanan Bandung, jadi ya wajar saja, kerinduan terhadap makanan sering sekali datang.
“Kalau aku tahu kamu akan sering sakit karena kopi, nggak akan pernah aku biarin kamu kenal sama cairan hitam itu”
“Zal, kenapa kamu beda?” tiba-tiba saja Dira ingin membahas hal yang menjadi tujuan pertamanya sejak Zila berbicara tentang sakitnya Zali.
“Bedanya?”
“Ya kamu beda”
Sambil mengaduk-aduk bubur, Zali berbicara pada Dira.
“Bedanya, sekarang aku sakit, kalau dulu aku sehat. Hanya itu”
“Aku mau kamu transplatasi hati”
“Nggak akan pernah Dir”
“Kenapa? Kamu nggak mau kita bareng-bareng lagi?”
“Kalau nanti hati itu isinya bukan kamu gimana? Hati ini saksi perjalanan kita Dir”
“Yang jadi saksi bukan Cuma hati Zal, ada Otak, Mata, tangan, Mulut, hidung, telinga, dan saat hati kamu lupa sama aku, semuanya akan ngingetin kamu lagi. Otak akan ngasih tahu apa memori yang udah kita lewatin, mata akan ngasih tahu apa aja yang udah kamu lihat bareng aku, tangan kamu bisa kasih tahu kemana aja dia menyetir motor untuk membuat aku senang, mulut akan mengingatkankamu tentang semua hal yang udah pernah kamu ucapin ke aku, hidungmu sudah hapal dengan bau parfumku, telinga sudah menangkap semua yang aku ucapkan untuk kamu, dan semuanya nggak akan lupa. Hati aja nggak akan berpengaruh banyak Zal”
“Aku Cuma takut, operasinya gagal”
“Kamu percaya tuhan itu ada, dia sayang sama kamu.”
“Dir,”
“Zal, kita buat kisah indah lagi. Aku mau main teka-teki sama kamu”
Zali meletakkan bubur itu di atas meja, menatap Dira dan tersenyum.
“Kamu tahu nggak? Kehadiran kamu di sini membuat aku yakin, semua akan baik-baik aja. Walaupun tidak sepenuhnya aku percaya, tapi kamu, alasan yang kuat untuk aku bertahan”
“Kamu mau transplatasi?”
“Bismillah, aku akan bilang sama ayah”
Dira bisa tersenyum lega, Zali. Semoga setelah ini, tidak ada kisah sedih lagi. Semoga semuanya telah usai. Kisah sedihnya sudah berakhir dan tidak akan ada kisah sedih selanjutnya lagi.
“Zal?”
“Hmm—”
“Hubungan kita?”
“Mengungkapkan hanya membuat semuanya menjadi jelas, setelah jelas, semuanya akan lebih sulit lagi, bukannya lebih mudah. Aku rasa seperti ini cukup, dan umur kita baru menginjak 17 tahun, masih terlalu muda untuk bicara tentang Cinta, apalagi tentang jodoh. Alur tuhan tidak pernah mengecewakan. Kalau kamu jodohnya nggak sama aku ya itu berati kita bukan takdir, kita hanya disatukan utnuk sama-sama membahagiakan, tapi hanya sementara. Tapi kalau kamu jodoh aku, itu adalah takdir, takdir yang membahagiakan sekali”
Ya ampun Zali, padahal kamu sudah pernah menyatakan perasaanmu pada Dira. Tapi sykurlah, Sekarang Zali sadar. Dira tidak suka berada di dalam lingkaran sebuah hubungan “Pacaran” seperti kemarin, Dira kehilangan Adit pacaranya sekaligus kehilangan Adit sahabatnya, dan itu sama menyakitkan.
“Jangan minum kopi terlalu banyak. Cepat sehat. Dan kita akan keliling Sydney”
“Kamu juga, cepat operasi, cepat sehat. Aku rindu teka-teki membingungkan itu.”
“Kamu sadar tidak, kalau ada satu bab yang belum kamu baca di buku biruku”
“Iya?”
Akhirnya, kini Dira bisa menikmati senyuman Zali, senyuman yang sekadarnya tapi terlihat tulus, terlihat manis. Dan senyuman ini adalah sebuah senyuman yang Dira rindukan sejak beberapa bulan yang lalu, Di Bandung.
“Adit bagaimana Dir?”
“Satu hari sebelum aku pergi ke Sydney, Hubungan kami berakhir. Lumayan menyakitkan karena saat itu aku mulai berhasil mencintai dia. Tapi untung saja, Ada bukumu Zal, Aku lebih mudah untuk melupakan dia”
“Dia sahabatmu, jangan dilupakan”
“Iya, aku lupa”
“Nih makan, aku bawa obat juga tadi” Zali memberikan mangkuk yang berisi bubur itu pada Dira.
“Kamu tahu aku sakit?”
“Jangan kira aku bener-bener cuek sama kamu, Kemarin aku lihat kamu jalan di bawah rintikan salju, jaket kamu juga nggak terlalu tebal, sebenernya aku khawatir, tapi aku hindari rasa itu dan tadi pagi Davin telpon aku, katanya kamu sakit”
Dira menyantap bubur itu, sambil sesekali juga menatap Zali yang juga memperhatikannya.
“Rambutmu berbeda Dir, sedikit bergelombang diujungnya, tapi cantik. Cantik sekali”
“Gomb—”
“Aku tidak suka kata itu, sudah kubilang kan?”