Tidak pernah terasa, sekarang 5 bulan sudah berlalu dan kisah Aditya&Ra hampir selesai. Buku catatan Dira tentang seluruh kisah ini sebentar lagi akan habis, tinggal tersisa beberapa lembaran lagi.
“Ra pejamin mata lo, tarik nafas panjang, ikhlasin semuanya yang akan terjadi. Tenangin diri lo” sekarang, Adit sedang berjalan bersama dengan Dira, menuju ke mading sekolah.
Hari ini pengumuman pemenang seleksi akan diumumkan di mading utama. Jadi, hari ini akan menentukan keberuntungan Dira. Usaha beberapa bulan yang lalu sudah akan berakhir dengan hasil yang tidak Dira ketahui.
Sampai di depan mading, Dira memejamkan matanya dalam-dalam. Membiarkan dirinya ikut tenang bersama dengan suasana yang sebenarnya sangat ramai.
Perlahan, Dira membuka matanya dan melihat papan berukuran besar di depannya. Matanya mengelilingi papan itu, mencari-cari namanya dan..
“Selamat Dira. Congratulations Dira” Belum sempat Dira membaca keseluruhan dari namanya, tapi suara Marvin sudah terlebih dulu mengisi ruang ini. Berisik karena Marvin yang tak henti-henti mengucapkan selamat.
“Minggu depan lo akan ada di Sydney. Jangan malu-maluin sekolah loh Ra” Ucap Dita setelah memeluk Dira.
“Akan berapa lama lo di Sydney?” tanya Adit.
Ini adalah bagian sedihnya, Tidak tahu Adit akan menerima keputusannya atau tidak. Tapisebenarnya, ini bukanlah sepihak keputusan Dira, karena ini adalah program sekolah. Ini adalah keputusan sekolah.
“Sampai kelulusan, gue akan lulus di sana Dit”
Dira bisa melihat jika Adit sedikit kecewa. Ada raut kesedihan di wajah Adit. Dan itu semua karena Dira. Karena Dira akan pergi.
Ketika Dira sibuk untuk membalas segala ucapan selamat dari semua orang yang ada dihadapan mading ini, tiba-tiba juga Adit hilang dari pandangannya. Ia pergi tak tahu kemana.
“Ra selamat ya” Suara itu muncul di belakang tubuh Dira. Dira menoleh dan melihat Davin berdiri tepat di belakangnya.
“Lo juga, selamat ya”
Iya, Davin juga ikut pergi ke sana. Davin mengikuti program pertukaran pelajar hingga menginjak kelas 12 nanti, sedangkan Dira, Dira akan menghabiskan masa SMAnya di Sydney.
“Jangan benci sama gue lagi ya Ra”
“Bahkan gue udah lupa sama semuanya. Gue salut sama lo Vin, lo selalu bisa menang di setiap kegiatan akademik, dari SMP lo selalu menangin olimpiade dan itu selalu jadi motivasi untuk gue”
“Lo juga hebat. Gue kaya gini karena lo, karena dulu gue mikir, karena sebelum gue ketemu sama lo, gue adalah orang yang nakal, bodoh dan malas belajar. Tapi semenjak ketemu sama lo, saat gue tahu lo itu adalah anak yang pinter banget, gue selalu berpikir, gua yang nakal nggak akan pernah cocok bersanding sama lo yang pinter banget.” Suasana di depan mading ini sudah mulai sepi, hanya ada Dita yang setia berada di samping Dira. Marvin juga sudah pergi semenjak Adit pergi tak tahu kemana.
“Langkah yang lo lakuin itu bener. Tapi niat lo salah, karena lo jadiin gue alasannya. Tapi itu cukup baik, nggak terlalu buruk.”
Karena saat ini Dira sedang senang, Jadi Davin juga ia perlakukan dengan baik. Tidak kasar dan tidak menggunakan emosi lagi untuk menghadapi orang ini.
Davin sudah berubah menjadi orang yang baik. Tidak suka lagi tawuran, dan jabatannya sebagai panglima tempur sudah ia berikan kepada seseorang yang ia anggap lebih pantas.
“Saat itu gue baca sebuah kata-kata yang dipaparkan oleh Oscar Wilde dia bilang Genius itu dilahirkan bukan dibeli dan gue lakuin itu, dengan usaha tentunya”
Iya, Jika Davin seperti ini sikap setannya hilang begitu saja. Pandangan Dira juga berubah jika sikap Davin seperti ini. Baik sekali, lembut sama seperti dulu.
Adit!!
“Vin, gue duluan ya. Ada urusan”
***
Bukan lagi Rooftop yang menjadi tempat Adit. Tapi sejak dulu Adit bukanlah Dira yang suka menyembunyikan diri di atas Rooftop Adit lebih suka berada di sebuah tempat sepi, yang jarang dihinggapi oleh manusia di sekolah ini.
Sudah beberapa bulan ini, Adit senang berada di musolah sekolah bersama dengan anak-anak yang mengikuti ekskul kerohanian islam yang menjadi pengurus musolah sekolah juga. Rasanya memang tenang berada di sini, ini semua karena Zali.
Karena Adit menemukan sebuah buku catatan mengajinya bersama dengan Zali saat masih kecil dulu. Di buku itu tertulis sebuah catatan yang Zali tulis menggunakan tangannya, tulisan yang Zali tulis saat mereka kelas 4 SD.
Adit jangan lupa shalat. Kata pa ustad teman yang baik itu yang mengingatkan temannya. Zali mau ketemu sama Adit lagi di surga. Dan kata bunda juga, anak yang baik nanti di sayang sama allah.
Dan di sini tempat Adit, bersama dengan Al-Qur’an kecil yang akhir-akhir ini selalu ada bersamanya.
“Zal, biasanya gue ngaji sama lo, Bandung ngasih lo kejahatan apa sih Zal? Sampe lo pergi sejauh ini”
“Kadang ucapan lo selalu benar, cinta gue ke lo lebih besar dari pada cinta gue ke Dira. Lo bener, gue orang yang paling sedih saat lo hilang”
Kini, Dira akan segera pergi, jauh dari Adit dan ia akan pergi ke tempatnya. Tempat di mana ada seseorang yang menjadikan hidupnya seperti mimpi.
“Adit!”
Adit melihat jendela musolah, Ada Dira yang terlihat di kaca jendela itu.
Dasar Dira! Nyariin mulu heran
Iyalah Adit! Dira kan pacar lo, lupa apa gimana?
“Sini keluar”
“Nggak mau”
Adit hanya memunculkan wajahnya di dekat jendela. Wajah mereka terhalangi oleh kaca jendela.
“Ayo keluar”
“Mau ngapain?”
“Dicariin Davin”
Ngapain Davin nyariin? Dia mau apa?
Adit akhirnya berjalan ke luar musolah, ia menghampiri Dira yang kini sudah ada di depannya.
“Mana Davin?”
“Masa iya harus bawa-bawa nama Davin dulu baru kamu mau keluar”
Apa sih Ra. Ngikutin mulu hidupnya.
“Ikut yuk”
Belum sempat Adit menjawab, ia sudah terlebih dulu menarik tangan Adit. Ia membawa Adit ke halaman sekolah, pada saat ingin duduk di kursi panjang di halaman, Alqur’an yang tadi Adit masukan ke dalam saku, tiba-tiba jatuh.
“Ih Adit. Dosa tau Alqur’an kok dijatuhin”
Adit meraih Alqur’an yang semula jatuh itu, Adit langsung memasukkannya ke dalam tas. Ia menatap Dira yang kini sedang menatapnya juga.
“Gara-gara kamu sih, aku tadi punya wudhu, kamu narik-narik aja. Jadi batal kan”
“Ih maaf, lagian kan gue nggak tahu kalau lo sekarang suka baca alqur’an.”
“Semua orang berhak berubah. Dan ini pilihan gue”
“Dit”
“Hmm?”
Adit tetap menatap lurus ke arah sekolah yang sedang ramai, halaman ini adalah halaman yang langsung berhadapan dengan sekolah, ini bukan halaman belakang sekolah yang terpencil. Ini halaman yang lumayan ramai.
“Lo kenapa tiba-tiba pergi?”
“ Lo juga kenapa pergi sejauh itu dan selama itu juga”
Terlihat Dira menghela nafas, kemudian ia menatap Adit.
“Lo inget nggak? Lo pernah bilang kalau hidup ini harus punya pilihan. Dan kadang, pilihan kita itu malah menyakiti hati bahkan perasaan orang lain, inget nggak?”
Iya, ingat. Belum lama juga Adit berbicara seperti itu pada Dira.
“Mungkin gue Cuma takut kehilangan lo ya Ra? Gue juga takut sendiri karena lo pergi”
“Jangan lebay. Zali pernah bilang, kalau dia pergi jauh dan gue sendiri, sebenernya gue nggak perlu nangis. Karena tuhan nggak pernah ngebiarin gue sendiri. Buktinya, saat lo dulu pergi tuhan kasih Zali untuk ngegantiin tawa gue, dia mengajarkan gue banyak hal, terutama tentang berharganya seorang wanita, juga tentang air mata yang tidak boleh terlalu sering jatuh”
Zali memang lebih mengerti semuanya dari pada Adit. Zali memang selalu jadi yang paling terbaik.
“Jadi, sekarang gue harus ikhlas? Sesuai dengan keinginan lo?”
Dira tertawa pelan, ia menatap Adit. Tawanya saat ini, nanti jika ia pergi Adit akan benar-benar merindukan itu.
“Adit, pejamin mata lo, tarik nafas panjang, ikhlasin semuanya yang akan terjadi. Tenangin diri lo” Dira makin tertawa. Itu adalah kata-kata yang tadi Adit ucapkan saat mengantar Dira ke depan mading.
“Ngeledek lo? Iya?” Adit mengelitikkan pinggang Dira dan berhasil membuat wanita itu tertawa terpinggkal-pingkal.
Dira, kalau bisa jangan lagi tertawa. Tapi jangan juga menangis. Dengan cara tertawa dan cara menangismu, akan membuat aku lebih sulit untuk melepasmu.
“Udah, Udah”
“Ahh udah ih”
Akhirnya Adit menghentikan aksinya, ia menatap Dira yang kini sedang menghabiskan sisa tawanya. Nafasnya tak beraturan karena kelelahan tertawa. Manusia di samping Adit ini selalu tampil apa adanya, tapi sangat disukai oleh banyak orang.
“Gini ya Adit, kalau lo nggak bisa ikhlasin gue pergi untuk belajar, nanti di sana gue nggak bisa tenang, dan yang ada nanti gue malah cari pelarian. Lo mau itu terjadi?”
“Ya nggak lah. Masih waras gue juga. Masih cinta apalagi”
“Ya mankanya, sulit tapi kan harus dijalani. Bukannya gue tega, lo tahu sendiri. Ini mimpi gue yang jadi kenyataan. Masa iya nggak mau ngedukung gadismu ini sih Dit?”
Bukan itu yang menjadi ketakutan Adit. Yang ingin Dira kunjungi adaalah Sydney, dan Sydney ada di Australia. Itu artinya..
“Lo jamin bisa jaga hati lo di sana?” Pertanyaan Adit malah membuat Dira tertawa.
Apanya yang lucu? Aneh sekali wanita ini. Tapi, sekejap saja Dira tertawa, setelah itu ia menatap Adit dengan tatapan yang tajam.
“Jadi lo nggak percaya sama gue?”
Dasarnya ratu baper. Dira memang ratunya baper. Salah ngomong dikit, Dia akan marah besar.
“Gue Cuma nanya Queen baper”
“Itu artinya lo nggak percaya King Manggo”
“Gue manusia bukan mangga Dira!”
“Bodo amat, gue suka panggilan itu. King Manggo”
Itu semua tercipta karena saat itu Dira meminum King Manggo di dekat Ciwalk dan akhirnya dia bilang jika rasanya manis, dansetelah itu, semenjak hari itu Dira senang memanggil Adit dengan sebutan ‘King Manggo’
“Ra, kalau lo baca buku biru Zali. Lo akan tahu semua ketakutan gue Ra”
“Lo udah baca buku itu?” baru kali ini, Dira menampakkan wajah seriusnya lagi. Setelah bersedih-sedihan dan melupakan Zali dalam-dalam, hidup Dira selalu penuh dengan tawa akibat leluconnya yang ia buat sendiri. Tapi kini, wajah yang hilang selama lima bulan terakhir ini datang lagi.
“Bukan baca, tapi gue tahu hampir semuanya”
“Kenapa nggak bilang?”
“Inikan rahasia Zali”
Seketika itu juga, Dira meminta untuk pulang. Sudah bisa Adit tebak, Dira ingat lagi pada Zali. Ia menginginkan Zali lagi. Dan terlebih lagi sekarang, Dira sudah lolos seleksi, itu tandanya, Dira bisa membaca buku itu dan mengetahui apa maksudnya.
***
Selamat!
Aku sudah tahu kalau kamu akan menjadi pemenangnya. Ini adalah hadiahnya, jangan terlalu sering menangis ya, walaupun aku tahu, jika kamu mengingat aku, Air mata akan selalu mendominasi setiap kejadian hari ini.
Lembaran pertama hanya itu, Jadi Zali sudah tahu jika Dira akan menang? Tapi tidak, buku ini kan mudah sekali dibuat. Terlebih lagi saat itu Zali bilang jika Dira hanya boleh membuka buku ini saat Dira lolos seleksi. Jika tidak, ya tidak boleh dibaca.
Sekarang, Dira sedang berada di kamarnya. Sendiri. Tanpa Adit dan tanpa siapapun. Yang ada hanya keheningan malam dan suara decitan jangkrik daritetangga sebelah yang memelihara burung.
Dira menatap jam di dinding kamarnya, sudah genap pukul 12 malam. Besok Dira masih harus sekolah, karena kurang dari seminggu lagi Dira akan berangkat ke Sydney. Terlalu cepat dan tadipun, Dira sudah melihat bagaimana rekasi Revan saat ia tahu, orang yang selama ini ia ganggu akan pergi dalam jangka waktu yang lumayan lama dan dalam jarak yang terbilang jauh pula.
Dira membuka lembaran selanjutnya, tulisan Zali yang menggunakan tinta hitam pekat itu terlihat oleh mata Dira. Meskipun ini sudah malam.
Dira. Teka-tekiku bagaimana? Sudah jelaskah? Apa masih membingungkan. Maaf, aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Kamu saat ini masih sedang mengikuti kepingannya, tunggu saja. Bersabarlah. Aku sudah berjuang, jadi kamu yang harus bersabar.
Hari ini, aku menyelipkan teka-teki di kedai kopi. Itu di Ciwalk. Walaupun sebenarnya, aku sempat mendapatkan tentangan dari Gazza karena dia bilang “Buat apa sih lo simpen teka-teki di kedai kopi? Seharusnya lo simpen itu di kedai es krim, Karena setidaknya walaupun Dira nggak ngerti dengan isi teka-teki itu dia bisa menikmati es krim yang manis, bukan kopi espresso yang pahit” tapi aku tidak peduli dengan apa yang diucapkan Gazza. Buktinya, aku benar-benar membawamu ke sana kan. Kalau perasaanmu kepada kopi? Aku tidak perlu tahu, itu cukup menjadi rahasia mu. Benar?
Dira menutup buku itu, ia meletakkan buku Zali di atas meja yang ada di samping tempat tidurnya.
Sudah malam, dan Dira harus tidur.
***
“Nanti sore main ke taman yuk” Tumben sekali Dira mengajak Adit main ke taman, biasanya juga dia akan mengajak Adit pergi ke Toko Buku, atau Kedai es krim mas Dere, atau bahkan pilihan yang paling terakhir adalah makan di Rumahnya sendiri.
“Tumben, mau ngapain?”
“Ya main aja”
“Taman mana?”
Karena di Bandung, banyak sekali beragam jenis taman, mulai dari taman Musik, Taman Fotografi, Taman Vanda, Taman Lansia, Taman Merpati, Taman Film, Taman apa lagi ya, Adit lupa. Taman di Bandung terlalu banyak sampai Adit lupa, taman apa saja yang dekat dengannya dan dengan Dira.
“Taman komplek deket Rumah aku aja”
Sudah memikirkan berbagai tempat taman, tapi pilihan Dira malah jatuh ke Taman dekat Rumahnya. Inilah Dira. Wanita yang kian hari kian menyebalkan dan kian hari kian sulit untuk ditebak.
“Iya, gue ke ruang musik bentaran ya, ke kelas duluan aja”
“Mau ngapain?”
“Kepo”
Setelah mengantarkan Dira ke kelas, Adit melangkahkan kakinya menuju ke Ruang Musik. Di ruangan itu, ia bertemu dengan Livi. Sejak tadi malam, Livi ingin bertemu dengan Adit, tapi tadi malam Adit sibuk membuat dekor kamar adiknya, karena putri kecilnya itu sangat menginginkan dekorasi kamar yang dibuat oleh tangan Adit.
Tidak sampai ke dalam Ruangan Musik, hanya di depan Koridor Ruang Musik yang ada di dekat Gedung IPS lantai 2, Ruangan yang terpojok dan sedikit sepi jika pagi hari. Di sini tempat Adit bertemu dengan mantan kekasihnya.
“Ada apa?” Adit duduk di samping Livi yang kini terlihat berbeda. Polesan merah yang biasa ada di bibirnya kini hilang, bedak yang biasanya tebal,kini hanya terlihat sekadarnya, alis yang biasanya tercipta sangat tebal dan hitam kini menunjukan bentuk yang sebenanrnya, tipis namun masih tetap indah.
Penampilan Livi pagi ini benar-benar berubah. Sekarang Livi menjadi wanita yang benar-benar apa adanya, natural namun tak kalah cantik dengan wanita lain yang menggunakan make up.
“Dit, Davin mutusin gue karena dia mau pergi”
“Terus?”
“Ya gue nggak mau lah bego banget sih lo”
Jika Adit tahu datang ke sini hanya untuk menjadi bahan pelampiasan emosi Livi, Adit tak akan pernah datang untuk menemui Livi di sini.
“Ya terus ngapain bilang sama gue, kalau nggak mau putus ya bilang sama Davin lah”
“Nggak peka banget sih jadi cowo” Livi memukul bahu Adit. Lumayan, Nyeri.
“Lah gue punya pacar, ngapain juga peka sama lo. Lagian salah lo sendiri, pacaran sama brondong. Udah tahu kalau brondong itu pikirannya masih labil”
“Emang pikiran lo udah dewasa?”
“Iyalah, kalau gue nggak dewasa, nggak mungkin juga gue ke sini, iya kan?”
Bagian sakit hati kayak gini aja, lari ke Adit. Dulu, waktu masih bahagia kemana aja. Dasar…..
“Lo juga putus sama Dira?”
“Kaga lah”
“Dia kan pergi”
“Terus? Lo pikir gue harus pergi juga? Maaf ya Livi, gue masih waras, masih cinta juga sama Dira”
Livi memukul bagian depan topi yang Adit gunakan, itu sontak membuat Adit menoleh ke arahnya.
“Sebenernya lo nyuruh gue ke sini buat ngapain sih?”
“Curhat aja”
“Telpon juga bisa, pake ketemu segala. Nanti kalau ada orang yang ngeliat bisa salah paham”
Iya lah, ini adalah tempat yang lumayan sepi, jika ada orang yang melihat Adit dan Livi berduaan di sini, takut nanti akan ada yang salah paham.
Livi menyandarkan bahunya di bahu Adit. Dan itu sukses membuat Adit menaikkan kepalanya, ia melihat Livi yang terdiam di bahunya.
“Biarin gue sebentar ada di sini ya Dit”
Adit tidak menjawab. Ia membiarkan Livi terus berbicara. Sekali ini, Adit membiarkan wanita yang tengah berada di keterpurukannya itu memiliki sandaran, walaupun hanya sebentar.
“Dulu, gue itu sering berpikir kalau gue adalah wanita yang paling beruntung karena gue bisa bersanding sama lo, orang yang dikenal baik dan ramah. Orang yang disebut-sebut harmoninya Pandu Sejahtera. Tapi lo biasa aja, lo selalu ngerasa kalau lo itu anak yang biasa aja. Salut, kalau inget itu, rasanya gue pengen sama lo terus Dit”
Adit terseyum miring, ia mengelus halus rambut Livi, rambut yang dulu sering menjadi sasaran kejailannya, karena Adit selalu mengacak-acak rambutnya dan pada akhirnya, Livi marah, seharian.
“Gue pikir, pacaran sama seorang panglima tempur, itu adalah hal yang membanggakan, tapi nyatanya. Sama lo, gue lebih merasa dihormati”
Biasa aja Livi, dihormati? Adit bukan anak pemilik sekolah seperti Marvin. Adit hanya anak yang senang bermain musik, itu saja.
“Maafin gue Liv, gue sering bikin emosi lo jadi naik, gue bikin tensi lo tinggi karena kejailan gue saat lo berantem sama gue”
Nggak tahu kenapa, tapi Adit benar-benar mengucapkannya pada Livi.
“Udah, jangan nangis lah.” Adit menatap Livi yang kini sudah berpindah dari sandaran Adit. Adit bangkit dan jongkok dengan satu lutut yang bertumpuan pada lantai di depan Livi, ia menatap ada sisa air mata yang mengalir di pipinya.
Diraihnya pipi Livi, dibersihkan semua air mata yang mengalir, mulai dari mata hingga pipinya, “Lo akan terlihat lebih cantik kalau penampilan lo kayak gini, setiap hari.”
“Makasih”
Adit beralih posisi menjadi berdiri, ia menatap Livi sekali lagi, sebelum akhirnya pergi menuju ke kelas. Memastikan wanita itu benar-benar sudah berhenti untuk menangis.
“Gue ke kelas ya, jangan nangis lagi”
***
Dira hanya menoleh saat Adit duduk di sampingnya. Laki-laki itu terdiam, sesekali juga mata Dira dan mata Adit bertemu. Tapi Adit masih tetap diam.
Sampai pulang sekolahpun, Adit masih tetap diam. Tak ada kata yang ia keluarkan yang menurut Dira penting. Ia hanya berbicara, ‘Sudah makan?’ Dan paling terakhir apdalah bertanya tentang pelajaran yang dijelaskan oleh Bu Hida. Tak ada yang penting.
Dira memasukkan bukunya sedikit lambat, ia membiarkan Adit pergi terlebih dulu ke parkiran. Dira masih menunggu Adit berbicara satu hal yang penting, mungkin tidak di Sekolah, mungkin nanti di Taman.
Tapi ternyata, Dira salah. Adit tetap diam saat sudah sampai Taman.
“Ra, lo kenapa diem aja dari tadi?” dia malah bertanya.
Padahal Dira membutuhkan jawaban, bukan pertanyaan yang terus-terusan Adit lontarkan sejak kepulangannya dari Ruang Musik.
“Lo yang kenapa, lo nggak merasa kalau ada yang harus dijelasin diantara kita?”
Adit menggeleng. Seperti orang lugu, orang yang tidak melakukan apa-apa.
“Sekarang lo pulang deh, gue mau main di taman ini sendiri”
“Lo kenapa sih Ra?” Suara Adit sudah mulai tinggi, dan itu terasa nyeri hingga ke ulu hati Dira.
“Gue mau lo pergi, gua mau main di sini sendiri”
Dira membalikan tubuhnya, baru satu langkah kaki Dira melangkah, tapi tangan Adit berhasil meraih pergelangan tangannya.
“Hey Ra! Lo kenapa? Sikap lo aneh, sejak tadi, kenapa sih? Lo tahu Ra, gue bukan cenanyang ataupun paranormal yang bisa baca pikiran lo”
“Siapa juga yang bilang kalau lo itu cenanyang atau paranormal? Gue Cuma mau lo ngerti apa kesalahan lo, tanpa harus gue kasih tahu. Gue mau lo sadar karena lo udah ngelakuin hal yang salah, salah di mata gue”
“Apa sih? gue nggak bikin kesalahan apa-apa”
“Jujur atau lo kehilangan gue?”
“Gue nggak suka ancaman!”
“Gue nggak ngencem lo, gue Cuma mau lo bicara terus terang apa yang lo lakuin di belakang gue. Nggak akan ada kebakaran kalau nggak ada apinya”
Ya, Dira kira di dunia ini hanya wanita yang merasa paling benar, tapi manusia di depannya ini juga. Bahkan dia tidak merasa bersalah dengan perbuatannya tadi pagi. Berbohong dan terkesan mengendap-ngendap saat pergi.
“Saat gue mulai bisa terima kehadiran lo lagi, tapi lo malah balik ke pelukan mantan lo, apa sih maksudnya ini? Gue sebentar lagi bakalan pergi jauh Dit, gue belum pergi aja lo udah berani ngelakuin itu sama dia, gimana gue pergi, lo bakal balikan sama dia lagi?”
“Ra, Gak gitu—”
“Nggak gitu gimana? Yang bener itu lo beneran akan balikan sama dia setelah gue pergi nanti, gitu, iya gitu yang bener?”
“Jaga omogan lo!”
“Omongan apa yang harus gue jaga, kalau itu kenyataannya gimana?”
“Gue bisa jelasin, kalau lo lihat semua kejadian tadi pagi, itu nggak sesuai sama pikiran lo, semua salah Ra”
“Yang bener gimana?” Air mata Dira sudah berada di puncaknya. Tinggal menetes, tapi sebisa mungkin Dira tahan. “Sekarang gue mau lo pergi”
“Gue mau kita putus”
Seperti disambar oleh petir, telinga Dira tidak salah menangkap suara kan? Itu benar suara Adit kan?
“Nggak ada yang bisa gue kasih sama lo selain air mata. Gue nenangin mantan gue, sementara pacar gue sendiri nangis. Bener apa kata temen-temen gue, Zali selalu punya cara bikin lo bahagia, Zali punya cara tersendiri untuk mencintai lo dengan baik, bukan seperti gue yang selalu ngasih lo air mata bahkan bikin tensi darah lo naik terus”
Dira terdiam, ia menangkap nama Zali di kalimat yang baru saja Adit ucapkan.
“Sejak awal, gue tahu di sini Cuma gue yang berjuang. Setiap chattingan kita atau setiap obrolan di telepon, selalu gue yang nyari topik, gue selalu nanya, tapi lo nggak pernah nanya balik, awalnya gue masih sabar, gue masih ngerti kalau lo butuh waktu untuk nerima gue lagi. Nyatanya, sampe sekarang, itu nggak pernah terjadi. Puncaknya kemarin Ra, saat lo ternyata harus pergi, dan itu artinya usaha gue juga akan berakhir. Gua nggak mau nyerah, tapi kejadian hari bikin gue berpikir dua kali untuk terus bertahan. Lo lebih mudah bilang kata pergi, dengan itu juga gue mudah bilang kata putus, karena gue tahu, keduanya udah nggak ada lagi keinginan untuk bertahan. Lo yang nggak mau terus gue ganggu, dan gue juga udah kelelahan untuk ganggu lo”
“Hari ini gue mau bilang kalau gue udah cinta lagi sama lo, tapi karena udah lo bilang kata itu, rasa itu nggak mungkin lagi bisa gue ucapin dengan senyuman yang seharusnya. Inget satu hal Dit, seseorang cemburu karena tanda sayang, seseorang marah karena sayang. Lo nggak tahu gimana perasaan gue saat lihat orang yang gue sayang malah jadi sandaran mantannya, lo ngehapus air mata dia, berduaan bareng dia. Gue nggak mau suudzon, Gue tunggu lo untuk jelasin semuanya, tapi sampai detik ini, kalau gue nggak marah, lo nggak akan mungkin jelasin. Gue terlalu bodoh untuk nyimpulin kalau lo bener-bener sayang sama gue, gue terlalu bodoh untuk bilang kalau lo itu seperti Zali. Gue bodoh karena berhasil masuk jebakan lo yang bego ini”
“Lo anggap kisah ini jebakan? Makasih. Pergi dengan tenang, jangan biarin kisah ini ikut sama lo sampe ke Sydney. Gue udah tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Makasih untuk kecemburuan yang berhasil tercipta, walaupun dengan kecemburuan itu juga semuanya berakhir”
Adit membalikkan tubuhnya, ia melangkahkan kakinya sampai benar-benar hilang dari pandangan mata Dira.
Air mata Dira akhirnya turun dengan sangat deras. Mewakili sebuah perasaan yang sudah tercipta, tangis ini menimbulkan sebuah penyesalan. Adit memang bukan yang terbaik, dia berusaha menjadi yang terbaik, tapi dia gagal. Dira tidak suka Adit! Dira tidak suka laki-laki yang seperti Adit. Dira lebih suka Zali. Hanya Zali yang mengerti bagaimana keinginan Dira.
Hembusan nafas, kini diiringin dengan isak tangis, di kursi panjang taman ini Dira menangisi semuanya. Ending kisah Aditya dan Ra, Ending yang lebih tragis dari pada kisah Dira dan Zali yang sama-sama menyedihkan dengan Zali yang hilang secara tiba-tiba.
Hari ini, Adalah hari terakhir Dira sekolah, dan lusa Dira harus segera pergi ke Sydney. Padahal hari ini Dira ingin memberitahu Adit, tapi kisahnya sudah berakhir sebelum Dira memberitahu hal ini.
“Hay Kak[1] !”
Dira menaikkan pandangannya, ia melihat ada anak laki-laki yang kini sudah duduk di samping Dira. Dia adalah Riko, anak yang saat itu sering main bersama dengan teman-temannya di taman, anak ini juga yang dulu memberikan surat untuk Dira dari Zali.
“Hay kamu” Dira menyekat air matanya, mencoba sedikit tenang di depan anak sekecil ini.
“Kakak kenapa nangis?”
“Nggak apa-apa, Cuma tadi kelilipan aja”
“Masa kelilipan nangisnya lama sih kak”
Dira, anak kecil ini sudah tidak bisa lagi di bohongi. Sudahlah, sudah. Jangan menangisi yang pergi.
“Kamu nggak main sama temen-temen?”
“Ini lagi nunggu temen-temen”
“Ohh”
“Kakak, waktu itu aku ketemu sama kak Zali. Dia badannya kurus banget, katanya dia bilang kalau dia lagi sakit”
“Sakit?”
“Sakit hati katanya”
Dira tertawa pelan. Zali bisa saja membuat anak-anak itu tertawa dengan jawabannya. Dia menyenangkan. Sekali. Sangat.
Anak kecil ini selalu bertemu dengan Zali, tapi kenapa Dira tidak pernah bertemu dengan Zali. Semesta mengapa menjauhkan Dira dan Zali begitu jauh, kenapa Zali tidak pernah datang ke Rumah lagi untuk menemui Dira. Kenapa?
Dira tak memiliki usaha untuk mencari Zali. Karena, jejak Zali tidak sama sekali Dira ketahui, Zali pergi, tidak tahu kemana, yang pasti jauh.
“Kak Zali nggak titipin surat sama kamu?”
Anak laki-laki itu tampak berpikir sejenak, kemudian ia tersadar.
“Kata Kak Zali, Kak Dira udah nggak butuh surat lagi. Katanya juga penanya sedang bersedih jadi dia nggak mau menari di atas kertas”
“Menari di atas kertas?” Dira sedikit bingung dengan apa yang diucapkan oleh anak itu.
“Pena itu adalah Kak Zali, dan Kertasnya adalah Kak Dira, kakak berdua itu saling berikatan, kalau pena menulis di atas kertas, itu artinya dua-duanya sama-sama sedang bahagia, tapi kalau kertasnya nggak kecoret sama pena, itu artinya hanya pena yang sedih, kertasnya sedang bahagia. Katanya gitu”
“Aku titip salam kalau kamu ketemu sama Zali, aku mau pergi jauh”
“Kak Zali juga pergi jauh”
Aku hanya tersenyum, tak bisa membayangkan kini sudah sejauh apa jarakku dengan Zali, tak tahu lagi mencari dia kemana. Aku hanya ingin Zali baik-baik saja dan masih mengingat aku di dalam hatinya.
“Kakak, aku pergi ya, teman-temenku udah datang”
“Iya”
Dira mengambil buku biru Zali yang ada di dalam tasnya. Membaca kelanjutan isi dari lembaran yang ia baca tadi malam.
Selanjutnya adalah nama Adit. Tanyakan saja pada Adit, apa arti namanya.
Tidak bisa! Dira dan Adit sudah putus. Tapi Dira juga tahu, Aditya artinya adalah matahari, sedangkan Rhazes, adalah ilmuan timur tengah yang terkenal sebagai peracik obat atau bapaknya ilmu kedokteran.
Ya kalau gitu, sepenggal kata “Ra” tanyakan apa arti “Ra” pada Adit. Kalau kamu sudah menemukan arti kata itu, kamu akan mengerti teka-teki ini dengan cepat.
Langsung saja ya, selanjutnya adalah kita bertengkar hebat. Kamu sih yang marah, bukan aku. Tapi ini adalah buku yang aku tulis pada saat aku sadar dari tidur panjangku selama 3 Hari. Kamu marah karena mendengar aku dan Adit memperdebatkan satu wanita yang sama, dan kamu merasa tersisih, padahal dia adalah saudara kembarku. Kamu terlalu terburu-buru menyimpulkan, kamu tidak sabaran. Padahal ada teka-teki berikutnya. Tapi kamu malah marah. Dan aku kesal, kutelan saja obat itu, agar kamu tahu, agar kamu menangis saat menemukan aku tergeletak seperti korban kecelakaan.
Kamu itu jahat sekali Zali! Dira membuka lembaran berikutnya, melihat sebuah tulisan sangat panjang yang Zali tulis menggunakan tangannya sendiri
Saat aku membuka mataku, benar? Kamu ada di sampingku, sedang tertidur dengan seragam putih abu-abumu yang sangat membosankan itu. Ada Adit juga saat itu, aku menyuruh dia untuk membawamu pulang, tapi dia menolak. Dia bilang jika biarkan saja kamu di samping aku. Dira, malam itu aku menunggu kamu bangun, hingga subuh, aku sholat, kemudian kamu terbangun tepat saat aku juga baru saja membaringkan tubuhku.
Tapi aku membohongimu, aku pura-pura jika aku masih belum sadarkan Diri. Saat itu, kamu berbicara, menyalahkan semesta kemudian berbicara lagi jika semesta tidak salah. Kamu orang yang tidak teguh pada pendirianmu. Itu benar, atau hanya perasaanku saja?
Kamu juga harus tahu, saat ternyata aku di rawat di sana, aku senang, karena salah satu titik kejutanku di kota Bandung, mungkin akan segera kamu temukan.
Dan ternyata aku benar, kamu benar-benar menemukan Pak Cecep penjual bunga yang berada di dekat rumah sakit. Dia memperlakukanmu dengan baik kan? Iya, harusnya begitu, karena aku tahu dia asli Bandung yang sikapnya sangat ramah sekali. Dia ramah kepada semua orang, kecuali sama maling, dia akan beringas.
Dia kira Pak Cecep itu macan? Beringas segala.
Hari ini selesai dulu, aku lanjut besok. Ceritanya tentang dua foto manusia yang berbeda seragam itu kan? Sudah kau dapatkan fotonya Dir
Ngapain nunggu besok kalau hari ini juga bisa, Dira membuka lembaran berikutnya, isinya juga sederet kata-kata yang terdiri dari beberapa paragraf, tapi satu lembar kertas itu terisi penuh.
Selanjutnya tentang foto itu, di balik foto itu tertera nama sekolah, itu adalah sekolahku dengan sekolah wanita yang ada di sampingku. Kamu tahu dia siapa?
“Sudah tahu, saudara kembar mu”
Awalnya aku akan bertemu denganmu, aku akan mengajakmu ke sekolah itu, tapi sayangnya, kamu marah lagi, dan lagi-lagi karena kamu salah paham lagi.
Kamu tidak tahu ya, aku kabur dari Rumah Sakit dan akhirnya menemukan kamu sedang menenggak air mineral di warung pinggir jalan, karena kamu kelelahan mendorong sepedahmu yang entah dirusak oleh siapa.
Sebelum ke intinya, boleh aku bertanya? Pasti boleh iya kan?
Dira, kenapa kamu suka naik sepedah? Padahal banyak orang yang mengganggu mu, padahal ada Adit yang akan mengantarmu, padahal juga ada abang ojek online yang sudah kuperuntukkan untukmu, dan padahal juga banyak bus kota yang melintas melalui gerbang sekolahmu, dan kata barusan seharusnya aku coret. Aku lupa, kamu trauma pada bus kota yang membuatmu kehilangan ayahmu. Maaf aku membahas ini sedikit dan membuat kamu ingat lagi dengan tragedi itu.
Kubilang ya Dir, jika ada aku, kamu tidak perlu naik sepedah, dan orang-orang yang menganggumu tidak perlu mengotorkan tangannya untuk sekedar melepaskan rantai sepedahmu atau mencopot pedal sepedahmu. Kubilang, orang yang melakukan itu sangat rajin, tangannya sangat kreatif, Otaknya hilang, begitupula dengan akal pikirannya. Aku ingin berkata kasar, tapi tidak boleh. Itu dosa.
Oh iya, soal sepedahmu. Saat itu aku lihat sepedahmu dicuri orang. Aku kejar sekuat tenagaku, dengan bekal ilmu bertengkar yang entah aku dapatkan dari mana, tapi aku berhasil mendapatkan kembali sepedahmu. Aku datang ke tempat kamu bersinggah tadi, tapi kamu hilang. Yasudah, aku jalan sendiri ke Rumahmu. Tidak jalan sih sebenarnya, aku naik sepedahmu dan di jalan aku bertemu dengan kakakmu, setelah itu kamu sudah tahu apa ceritanya, pasti kakakmu sudah menceritakan semuanya. Tapi kenapa kita tidak bertemu di jalan ya? Aku masih bingung dengan perihal itu.
Dan akhirnya, kamu tiba di Rumah, aku kira kamu akan senang jika sepedahmu kembali, tapi aku salah, kamu marah, kamu membentakku, dan kamu mengusirku.
Aku pergi, setelah itu ya seperti itu. Aku pulang, dan aku pingsan di jalanan. Itu cerita Adit yang katanya ditelepon oleh pihak Rumah Sakit, aku di temukan oleh warga tergeletak di pinggir jalanan, aku kira aku akan menjadi gembel atau diangkut oleh orang-orang yang akan mengambil organ tubuhku. Tapi aku salah, di Bandung ternyata masih banyak orang baik.
Dira sedikit tersenyum, ia terus membuka lembaran berikutnya.
Kamu bertemu dengam bundaku ya? Syukurlah, si bunda bertemu juga dengan orang yang selama ini selalu dia tanya, sampai-sampai bunda pernah mengintipi aku sedang menata fotomu, foto itu aku letakkan di laci. Bunda cerita soal itu kan ya? Dan kamu juga bercerita jika aku mengajakmu bermain teka-teki, dan bunda memberitahu wanita itu kepadamu.
Jujur saja, awalnya aku kesal karena bunda berani membocorkan teka-teki itu padamu. Tapi yasudahlah, hanya soal Zila. Tidak begitu penting untuk teka-teki ini.
Dan setelah bertemu dengan bunda, kamu tidak pernah datang ke Rumah Sakit lagi setelah itu. Aku tunggu, tapi kamu tidak pernah datang, sampai akhirnya aku pulang dari Rumah Sakit, kamu juga tidak datang. Puncaknya, aku datang ke Sekolahmu, mengendap-endap melihatmu masuk melalui gerbang sekolah diantar oleh Pak Mulyana, aku sedikit lega. Saat pulang sekolah juga begitu, tapi hari itu, kamu mampir ke toko bunga Pak Cecep. Aku tahu, kamu mencari bunga aster. Tapi tidak ada, bunganya sudah kuborong untuk Zila. Maaf ya.
Dari sana aku tahu,kamu pasti akan datang ke Rumah Sakit, kamu ingin menjenguk aku, jadi, aku putuskan untuk mengikutimu dari belakang dan berhenti di belakangmu pada saat ternyata kamu mengetahui jika di dalam ruangan itu bukanlah aku.
Terkejut ya?
Saat kamu melihat aku, sepertinya aku sedang ditatap oleh seorang peneliti. Kamu meneliti pakaianku dari ujung sampai ujung, seperti heran, tapi aku juga tidak tahu apa yang ada di otakmu saat itu.
Aku minta hari itu kamu menemani aku, seharian. Karena apa? Aku rindu dengan wanita yang plin-plan dan tidak teguh pendirian sepertimu.
Satu tetes air jatuh di buku Zali, Dira menatap ke arah langit, sudah mendung, air hujan juga sudah turun. Dan itu artinya, Dira harus pulang. Nanti bertemu lagi dengan buku harian Zali, buku biru yang menyimpan jawaban teka-teki Zali.
Dira menuup buku biru itu, ia melangkahkan kakinya keluar dari taman dan berjalan menuju ke Rumah dengan langkah yang sedikit ia percepat.
***
Swara resto, pukul 21.02 WIB.
Kini air mata sedang mendominasi Ruangan ini. Ruangan kecil yang berisi sebuah lemari kecil yang biasa digunakan untuk meletakkan beberapa barang kecil dan baju seragam.
Kursi kayu panjang kini menajdi sakai betapa derasnya air mata Dira yang mengalir untuk Revan, Anni, dan Ravin. Ini tentang perpisahan yang akan berlangsung sebentar lagi.
“Lo nggak boleh nangis. Dira Cuma pergi sebentar Ann, tahun depan juga dia bakal balik lagi” Ucap Revan yang mencoba membuat Anni tenang, karena Anni dan Revan sudah berpacaran.
“Berisik lo Vanjul!!” bentak Anni pada Revan.
Dira yang sejak tadi tak lepas dari pelukam Anni hanya tertawa pelan.
“Kak, nanti kalau aku pulang, aku akan datang ke sini kok, lagian di sana Cuma sebentar. Cuma satu tahun” Ucap Dira.
“Gue ngerasa kehilangan juga sih, tapi ya mau gimana lagi, gue tahan juga nggak bisa. Lo bukan pacar gue sih Ra” Revan terus berbicara, tak henti walaupun sudah diberikan kode untuk berhenti oleh Ravin.
“Bacot lo ngomong mulu” Akhirnya, Anni mencubit pinggang Revan.
“Doain semoga aku baik-baik aja ya kak, semoga ilmu yang aku dapat di sana juga bisa bermanfaat buat aku kuliah nanti”
“Kalau ada bule cantik, bawain ya dek”
Dasar Revan, padahal pacarnya kini sedang menangis sedu karena Dira akan pergi, kini malah dia berbicara yang membuat pacarnya tambah sedih. Persis Adit.
***