Read More >>"> ADITYA DAN RA (chapter 15) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ADITYA DAN RA
MENU
About Us  

“Ngapain kamu ada di sini?” teriak seorang wanita yang tak lain adalah bunda. Ibu Zali.

“Kamu yang ngapain? Ini semua karena kamu. Zila koma dan Zali depresi. Itu karena kamu. Semua sebab kamu.” Kini ayahnya yang berbicara.

“Semua nggak akan terjadi kalau kamu nggak main perempuan di belakang saya”

“Saya sudah bilang. Saya nggak main perempuan di belakang kamu. Karena sikap kamu yang keras kepala! Anak-anak kita jadi korbannya.”

“Sikap saya? Kamu bilang sikap saya? Harusnya kamu mikir! Semua ini terjadi karena kamu!”

“Saya nggak akan main belakang kalau kamu nggak bersikap seperti ini, dan kamu harus ingat, Zila jatuh dari tangga itu semua karena kamu. Sekarang salahnya saya di mana?”Ayah tak ingin kalah dari bunda.

“Malam itu kita bertengkar karena kamu! Jelas sekali di mata saya kamu sedang membelanjakan wanita itu, apa sekarang mata saya salah lihat?”

Zali menutup mata dan telinganya, Entah sudah berapa kali Zali menonton aksi adu mulut ayah dan bundanya ini. Biasanya di Rumah, tapi kini malah di Rumah Sakit. Dan lebih parahnya lagi, di depan Zila.

“Lo lihat sendiri kan Dit?”

Adit yang ada di belakang Zali hanya terdiam.

Jika tahu Zali akan terbangun dan melihat seluruh aksi pertengkaran adu mulut ini, Zali akan memilih untuk tidak bangun dan akan seperti Zila saja. Untuk apa Zali bangun? Hanya untuk melihat semua ini? Semesta seakan tidak mempunyai  rencana yang lebih baik untuk Zali? Semuanya hanya berisi tentang seluruh rasa sakit dan nyeri.

Zali ingin hidup seperti Adit, walaupun  orang tuanya sudah berpisah, kini hidupnya tidak senyeri hidup Zali. Tapi, Zali tak akan pernah mau jika kedua orang tuanya berpisah hanya karena kesalahpahaman yang sebenarnya masih dapat diatasi dengan kepala dingin.

“Lain kali aja kita lihat Zila, sekarang lo balik ke ruangan lo ya. Akan ada gadis lo yang dateng”

“Gadis lo kali”

“Sekarangkan dia punya lo”

“Terus nanti punya lo gitu?”

Adit hanya tertawa pelan. Ia mendorong kursi roda yang Zali duduki hingga ke ruang perawatan.

Sampai di Ruang Perawatan, Zali melihat Dira yang sedang membereskan tempat tidur Zali. Diranya sudah datang, dia masih menggunakan baju seragam. Sama seperti kemarin.

“Gue keluar ya” Bisik Adit pelan. Zali mengangguk. Ia menjalankan sendiri kursi rodanya ke arah Dira.

“Habis dari mana?” Tanya Dira.

“Kamar 576”

Bisa Zali lihat, ekspresi wajah Dira yang awalnya sumringah, kini malah menunduk lagi.

“Masih mau maik teka-teki?”  Akhirnya, Zali menawarkan Dira untuk memilih melanjutkan atau mau berhenti cukup sampai di sini.

“Sebenarnya, I Think  I can’t. Tapi sepertinya kamu simpen banyak rahasia di sana”

Zali tersenyum. Semua teka-teki yang sudah tersebar di penjuru Bandung berarti tak akan berujung pada sebuah kekecewaan.

“Aku ketemu sama Pak Cecep Zal, Dia baik banget” Ucap Dira sambil menunjukan senyum kebahagiaannya.

Zali hanya tersenyum. Ia senang melihat Dira tersenyum bahagia seperti ini.

“Kamu nggak mau jelasin?” Tanya dira.

Zali menggeleng.

“Kenapa?”

“Nggak ada yang perlu dijelasin”

“Mau aku bacain suratnya?”

“Boleh”

Zali melihat Dira mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah kertas dan kotak makan yang ia yakini adalah kue coklat.

“Aku mulai ya” Dira sudah memegang kertas itu dan sedang bersiap untuk membacanya. “Anzali Putra Adrian. Lahir di Solo pada tanggal 12 september, tahunnya sengaja tidak kusebutkan. Yang pasti, saat ini ia berusia 17 tahun. Sekolah di SMK Lentera jurusan teknik Robotik. Saat ini, ia sedang menyiapkan suatu teka-teki untuk Adira Azzahra, tapi saat ini ia malah jatuh sakit, menyebalkan ya? Aku sangat kesal. Dia membuat aku terkejut saat pulang sekolah karena dia menyiapkan seorang bapak pengemudi ojek online yang sudah ia pesan sejak satu bulan yang lalu. Dan yang kedua, dia sudah membuat aku hampir jantungan karena telah menyuruh seorang bapak pemilik toko bunga memberikan sekumpulan bunga aster yang jumlahnya sangat banyak kepadaku.  Gratis! Tanpa bayar ditambah lagi aku diantar keVrumah dan diantar pergi ke Sekolah. Wahai Zali, kejutan apa lagi yang akan kau berikan padaku? Nggak masalah kalau masih banyak. Asal semuanya tidak membuat aku jantungan karena terlalu terkejut”

Isinya, itu bukan isi dari surat yang Zali tulis. Zali menggelengkan kepalanya. Senyuman di bibirnya kini kian abadi saat Dira membacakan surat itu. Dira yang menyebalkan. Tapi kini malah menggemaskan.

“Semua akan membuat kamu jantungan. Karena kejutan akan selalu membuat seseorang terkejut”

But Why?

“Nggak punya alasan yang tepat. Aku hanya senang melakukan sebuah hal yang membuat kamu senang”

Zali bangun dari kursi roda yang sejak tadi ia duduki. Ia berjalan ke arah narkas, mengambil sesuatu didalam tasnya.

“Teka-teki selanjutnya” Zali memberikan amplop berwarna pink yang langsung diraih oleh Dira, tentu saja senyuman selalu terukir di bibir Dira.

“Buka jangan?” Dira memperhatikan amplop yang terlihat lucu itu.

Zali aneh ya? Memberikan Dira sebuah amplop yang berwarna pink dan Zali juga tahu, sekarang Dira tidak terlalu  menyukai warna merah muda itu.

“Buka aja”

Tak butuh waktu lama, Senyuman yang semula terukir indah kini berubah menjadi lekukan rasa kecewa.

“Besok kita berangkat ke sana, kamu perlu jawaban. Karena aku juga nggak akan mau air mata kamu turun lagi”

“Kamu kan masih dirawat”

“Besok pagi aku akan antar kamu ke sekolah”

“Aku nggak percaya”

“Bukan aku yang antar langsung”

“Tadi kamu bilang”

“Tadi katamu, kamu nggak percaya.”

“Ih nggak jelas”

“Kamu yang buat aku jadi manusia nggak jelas seperti ini”

“Gom—“

“Sudah kubilang, aku nggak suka kata-kata itu.”

***

Segelintir orang di Rumah Sakit kini sedang berlalu lalang melewati koridor Rumah Sakit, wajar saja saat ini adalah jam besuk jadi suasana koridor Rumah Sakit kini tak jauh berbeda dengan suanana koridor di Sekolah Dira.

Tapi, kenapa dari sekian banyak orang yang berlalu lalang, kenapa harus Adit yang menabrak Dira? Semesta, kali ini aku akan bertanya lagi, Apa ini rencanamu?

Sekarang, Dira berada di salah satu kursi yang berada di depan koridor bersama dengan Adit, tentu saja. Sebenarnya, untuk apa Dira berada di sini? Sejak beberapa menit yang lalu yang ada hanya suara keramaian orang yang berlalu lalang, bukan suara obrolan Adit dan Dira.

“Ternyata semua berubah saat kita beranjak dewasa”           

Adit bicara pada siapa? Dira? Tapi kenapa wajahnya tidak mengarah ke Dira.

“Kamu bicara sama aku?”

“Sama keramaian”

“Keramaian nggak akan denger suara kamu yang pelan”

“Aku akan pergi ke Sumedang Semester depan. Aku Cuma mau ngasih tahu itu”

Kenapa rasanya ikut nyeri ya? Padahal itu yang Dira inginkan, Adit menjauhi Dira, dengan begitu Dira bisa menerima perasaan Zali tanpa harus menyakiti  hati Adit.          Tapi kenapa hati ini sakit saat Adit langsung pergi setelah mengucapkan kalimat itu? Kenapa? Semesta, bisa bantu Dira untuk menjawab kebingungannya? Rasanya tidak. Semesta selalu begitu, jika ditanya tak pernah menjawab, justru malah memberikan pertanyaan baru yang lebih membingungkan. Termasuk teka-teki berikutnya dari Zali. Adit dan Zali sama saja.

Dira melangkahkan kakinya meninggalkan Rumah Sakit, tujuannya kini adalah Restoran tempatnya bekerja. Bersama dengan hujan rintik-rintik ditemani awan mendung,  Dira berlari ke arah halte dan memesan ojek online untuk menuju ke restoran.

Sampai di Restoran, Dira melihat Revan dan Ravin sedang sibuk membantu Pak Tisna memasang spanduk di depan Restoran.

“Kiri Van, eh kanan deh” teriak Ravin dari bawah. Revan kini sedang berada di ujung tangga. Karena memasang spanduk itu membutuhkan tangga.

“Kakak Revan awas jatoh. Tuh Kak Ravin nggak pegangin tangganya” Teriak Dira yang sukses mendapatkan tatapan tajam dari Revan.

Boleh diketahui, Revan adalah orang yang sangat takut pada ketinggian. Termasuk ketinggian 2 meter seperti ini.

“Tumben dia mau naik ke atas sana kak” Tanya Dira pada Ravin yang kini berdiri tepat di samping tubuhnya.

“Dipaksa Pak Tisna. Kalau nggak dipaksa juga dia nggak akan mau”

Tak mau berlama-lama di sana, Dira melangkahkan kakinya menuju ke dalam Restoran.

“Selamat sore Kak Anni”

“Sore Adikku”

Satu pelukan mewarnai sore ini. Kebiasaan Anni dan Dira memang seperti ini setiap sore dan setiap malam. Berpelukan layaknya dua manusia yang berpisah lama, padahal sebenarnya hanya terpisah hitungan jarum jam saja.

Terlalu melakonis memang, tapi inilah yang terjadi. Andira dan Keranni yang tak terpisah jika berkerja dan mempunyai kebiasaan aneh. Yaitu berpelukan.

“Kamu udah makan?” Tanya Anni pada Dira yang kini sedang menggantungkan jaketnya di ruang pegawai.

“Sudah, tadi aku bawa kue coklat. Kakak mau?”

“Mau”

Boleh di ketahui, Anni adalah orang yang menyukai coklat. Sama seperti manusia normal lainnya. Minuman coklat, kue coklat hampir semua olahan coklat sudah pernah Anni sentuh.

“Ini tuh coklatnya enak banget. Aku suka mankanya kalau Cuma segini, kurang”

“Kecanduan sih kakak mah”

“Bukan kecanduan lagi, aku udah jadi temennya coklat. Bahkan ya, coklat itu udah jadi temen hidup aku”

“Kakak aku mau cerita”

“Apa?”

Dira mengambil nafas panjang, ia berpikir panjang untuk menceritakan keseluruhan kejadian yang sudah ia alami beberapa hari yang lalu.

“Yang pertama, tukang ojek online yang udah diutus sama dia satu bulan yang lalu. Yang kedua, penjual bunga yang nyediain bunga aster selama 5 bulan lebih. Tapi kak, dia ngenalin aku sama separuh jiwanya. Dia bilang, wanita koma itu cinta pertamanya. Dan dia malah ngasih aku foto ini.” Dira menunjukan sebuah foto yang tadi siang Zali berikan.

Foto seorang wanita dan seorang laki-laki dengan pose yang berbeda. Wanita itu menggunakan baju seragam berwarna putih dan rok Kotak-kotak berwarna merah.  Wanita itu adalah wanita yang terbaring lemah. Dia wanita yang koma.

“Ikutin aja apa maunya dia. Semoga sih nggak ngecewain. Dan sepertinya juga nggak akan mengecewakan. Karena apa? Dia itu sayang kamu. Dia itu Zalimu.”

“Tapi kak, perasaan ini aneh. Tadi sore belum genap satu jam. Perasaan itu berubah jadi aneh. Adit, dia bilang kalau dia akan pindah ke Sumedang semester depan[m1] . Kenapa rasanya aku nyesek ya? kenapa hati aku sakit juga?”

“Kamu masih cinta dia. Itu aja yang bisa aku bilang sekarang”

“Tapi Zali, aku juga sayang dia kak”

“Bagimu, Zali hanya pengganti dari Adit. Salahnya, kamu tidak membuang Adit jauh-jauh. Kamu hanya menyembunyikan Adit di suatu Ruangan yang sangat jauh di hati kamu. Dan ini adalah saatnya, dia kembali datang, tapi bukan untuk kembali menetap tapi untuk pergi menjauh. Dan kali ini adalah nyata”

Diam. Itu adalah hal yang saat ini hanya bisa Dira lakukan. Perkataan Anni memang benar, Dira tidak sepenuhnya menghilangkan Adit dari hatinya. Dira hanya menyembunyikan Adit agar hatinya bisa terfokus pada Zali, orang yang jelas-jelas mencintainya dengan terang-terangan dan berani berkorban.

Rasanya seperti tidak Adil jika Dira hanya menganggap Zali sekedar teman padahal segala kebaikan dan segala kejutan dari Zali, selalu Dira dapatkan hampir setiap hari.

Adrianku,

Dunia itu adil. Iya kan?

Adrian adalah anak laki-laki yang pemberani. Itu kamu kan Zali?   

Kamu perlu tahu, aku sudah mencintaimu sejak…

Sejak kapan ya? Nggak tahu, tapi perasaan ini muncul begitu saja.

Tapi kamu boleh tahu tidak? Perasaan untuk Adit, kini hadir lagi. Zali, aku jahat ya? Aku jahat sama kamu kan Zal? Iya aku jahat sama kamu.

Zali aku mau kamu. Bolehkan? Tapi bagaimana perasaanku pada Adit? Aku ingin bersikap tidak peduli. Agar kamu tidak usah tahu.

Tapi rasanya tidak bisa. Apalagi setelah satu kalimat yang membuat Aku hampir kehilangan fungsi jantungku. Kamu tahu kan? Itu karena Dia.

***

Membuat Zali lupa pada pertengkaran orang tuanya, itu adalah tugas Adit saat ini sebelum pergi ke Sumedang.

Sahabatnya ini harus kembali pada akal sehatnya seperti dulu. Tapi Hanya di depan Dira, Zali dapat berlaku normal layaknya orang biasa yang tidak memiliki masalah.

Suasana tadi siang, berbeda dengan suasana malam ini,  lebih banyak murung dan terdiam. Ia larut dalam lamunannya yang tak tahu berisi apa.

Dokter bilang, jika kondisi Zali tak berubah sampai dua minggu lagi, dengan terpaksa. Zali akan berkonsultasi dengan Psikiater bukan Psikolog lagi. Satu tingkat lebih tinggi dari saat ini.

“Lo makan dulu Zal”

Bahkan, makanan yang sudah tersedia sejak tadi sore, sampai saat ini belum sama sekali disentuh oleh Zali. Laki-laki itu masih tetap melamun.

“Zali, semua nggak akan berubah jadi lebih baik dengan cara lo yang kayak gini. Please, come on! Ayo Zal, bangunin Adrian lo”

Masih tak ada jawaban. Zali jika sendiri ya menjadi laki-laki yang seperti ini. Seperti orang gila. Dan penyakit gila itu juga menular kepada Adit. Karena berbicara dengan Zali, sama seperti berbicara pada rumput yang bergoyang. Jawabannya adalah hembusan angin saja.

“Besok gue harus pulang. Gue harus selesain teka-tekinya sebelum lo pindah”

“Yang penting lo sehat dulu”

Setelah itu, tak ada lagi jawaban dari Zali. Ia kembali terdiam dan menatap langit-langit kamar yang berwarna dasar putih.

Rasanya melihat Zali yang seperti ini, lebih sakit dibandingkan harus dipukuli oleh puluhan orang.

Sejak kecil, Zali adalah orang yang tidak senang berbicara banyak. Zali adalah orang yang tidak suka bercerita tentang hidupnya kepada orang lain. Zali yang penakut, ia takut dengan banyak hal, termasuk suasana sepi, gelap, dan anjing. Zali yang selalu berteriak setiap kali bertemu dengan preman yang sering berkunjung ke Rumahnya. Padahal, preman itu adalah teman ayahnya yang sama sekali tidak jahat. Zali yang tak akan bisa tidur saat Rumahnya sedang ramai. Dan itu adalah Zali. Sepenggal sifatnya yang saat ini sudah perlahan menghilang dari diri Zali yang sebenarnya.

Harapan ayahnya Zali agar Zali  menjadi seorang anak laki-laki yang bernama Adrian, perlahan mulai terwujud. Zali yang pemberani dan senang bersikap anarkis tanpa berpikir panjang lagi. Zali yang kini malah sering membuat Adit darah tinggi karena sikap keras kepalanya.

Semesta kini merubah Zali. Kini bukan Zali. Tapi Adrian.

Adit mengambil tasnya di dalam narkas. Ia mengeluarkan handphonenya yang semula ada di dalam tas. Sudah beberapa hari ini Adit meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari harinya. Apalagi, kalau bukan Mobile legends. Games andalannya.

“Gue mau tidur Dit. Gimanapun caranya besok gue harus pulang”

Adit menghentikan permainannya, ia menatap Zali yang kini sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Untuk apa sih Zal? Untuk apa pulang cepat? Untuk apa memaksa pulang? Dia ya? Sudah bisa ditebak, dia memang selalu jadi prioritas utama untuk seorang Zali.

Adit kembali menatap layar handphonenya. Permainan kali ini tak berlangsung baik, pikirannya masih mengarah pada Zali. Kondisinya belum terlalu baik, bahkan selang oksigen masih melingkar di hidung Zali. Hanya dari sana, Adit bisa memastikan kondisi Zali tidak benar-benar baik. Dia membutuhkan banyak ketenangan. Tapi jika menolak keinginan Zali, itu sama saja secara tidak langsung Adit telah memperparah keadaan jiwa Zali. Ketenangan Zali ada pada Dira. Dan itu artinya, Zali harus pulang. Ia harus menemui sumber ketenangannya yang masih tersisa saat ini.

“Adit, kamu belum pulang?”

Menyebalkan. Kali ini padahal puncaknya. Dan Adit dengan  terpaksa harus menghentikan permainannya.

Suara itu berasal dari arah pintu, Adit melihat seorang wanita paruh baya, usia sekitar 30’an ke atas, masih lumayan muda. Dan Adit kenal betul siapa wanita ini.

“Eh bunda,” itu adalah bundanya Zali. Tapi Adit juga memanggilnya dengan panggilan ‘Bunda’ karena semenjak ibunya pergi, Bunda adalah orang yang selalu menjadi sandaran Adit. Tapi semua berubah saat Adit dan Zali beranjak dewasa. Sekitar kelas 2 SMP. Keluarga Zali pindah dan itu sama artinya Adit kehilangan  wanita yang ia panggil ‘bunda’ juga.

“Besok nggak sekolah?”

“Sekolah kok bun, Cuma ya gini. Adit udah biasa bergadang kalau di rumah. Jadi nggak masalah”

“Tapi nggak pernah kesiangan kan?”

“Alhamdulillah. Kadang” Ucapan Adit yang terdengar polos membuat bunda sedikit tertawa pelan.

Andai, bundanya Zali adalah ibunya. Andai juga, ibunya seperti bundanya Zali. Tak akan pernah ada air mata yang mengalir deras 8 tahun yang lalu. Tapi Adit percaya, tuhan selalu menyiapkan segala sesuatu yang akan berada di luar jangkauan pikiran umatnya. Ya walaupun sudah 8 tahun berlalu, Adit masih belum paham apa yang terjadi dan apa sesuatu yang indah yang disiapkan oleh tuhan.

“Oh iya, bunda inget sesuatu” Bunda seperti merogoh sesuatu di dalam tasnya. Tampaknya sedikit sulit, dan membutuhkan waktu yang lumayan lama.

“Ceritanya, Tiga tahun yang lalu bunda ketemu sama ibu kamu. Kita ketemu di kawasan Cikole dan saat di sana, ibu kamu sempet nulis surat ini untuk kamu” sebuah amplop berwarna putih yang sudah terlihat sedikit lusuh. Tapi tulisan di atas kertas itu masih tetap terlihat jelas.

           

Untuk anak ibu. Resty, Adit, dan peri kecil ibu, putri.

 

Adit tak sanggup untuk membuka surat itu di depan bundanya Zali. Rasanya jangan, Adit butuh Ruangan sepi agar air matanya bisa tumpah dengan leluasa saat membaca surat ini.

“Kenapa bunda baru kasih sekarang?”

“Kamu pasti tahu kondisi keluarga bunda 3 tahun terakhir ini ”

Adit mengangguk.

“Ibu sama siapa bun?”

“Seperti keluarga barunya. Tapi yang pasti saat itu ibumu bercerita tentang kerinduananya pada kamu dan kakak adikmu.”

Adit terdiam. Ia membeku. Ibunya sudah memiliki keluarga baru? Begitu? Kenapa rasanya cukup nyeri. Antara terima dan tidak, tapi ini adalah kenyataan yang tak bisa Adit ragukan kebenarannya.

“Bun, Adit pamit pulang dulu ya. Soalnya ayah lagi nggak ada di rumah. Kasihan Putri takutnya dia Cuma berdua sama Mbak Ratih”

Setelah anggukan halus dari bundanya Zali, Adit melangkahkan kakinya menuju keluar Ruangan. Ia berjalan ke arah parkiran dan masuk kedalam mobilnya. Bukan mobil yang sepenuhnya milik Adit.  Tapi mobil yang dipinjamkan oleh ayahnya untuk Adit pergi selagi ayahnya berada di Rumah.

Sebenarnya, sang ayah sedang ada di Rumah. Adit menggunakan  alasan  itu agar ia dapat keluar Ruangan itu dan bisa membaca surat ini dengan leluasa. Padahal, Tak masalah juga jika Adit membaca surat itu di depan bunda, justru itu adalah pilihan yang terbaik karena jika Adit menangis, akan ada sentuhan tangan di bahunya yang akan membuat dirinya sedikit tenang.

Dan di sini adalah tempatnya, di kursi pengemudi yang berhadapan langsung dengan kaca gelap. Adit membuka surat itu dan mulai membaca keseluruhan isinya..

 

Ibu percaya, yang membuka surat ini pasti Adit. Anak laki-laki kesayangan ibu. Benar kan?

Ibu sudah lama sekali tidak melihat wajah anak-anak Ibu. Pasti kalian sudah dewasa dan cantik-cantik juga tampan-tampan.

Percayalah nak, ibu baik-baik saja. Ibu merindukan kalian. Ibu ingin bertemu, tapi itu sama saja seperti bunuh Diri.

Melihat kalian, Ibu takut rasa bersalah itu hadir lagi. Nak, silahkan benci ibu. Karena memang seperti itu yang harusnya kalian lakukan. Ibu yang meninggalkan kalian tanpa membawa salah satu dari kalian.

Beberapa tahun ini. Ibu tinggal di Bandung tentu saja bersama dengan suami baru ibu. Ibu juga sering memperhatikan Adit dan Resty, walaupun dari jauh. Ibu tahu, anak laki-laki ibu yang semula nakal. Kini perlahan berubah menjadi anak baik dan pendiam. Ibu sangat suka nak.

Kenapa ibu banyak menulis tentang Adit? Karena ibu yakin, hanya Adit yang akan sudi untuk membaca sepenggal curahan hati ibu yang ditulis di kertas sekecil ini.

Jika diukur, tentu saja secarik kertas tak akan pernah cukup untuk menjelaskan cerita selama apa kita berpisah. Ibu sayang kalian. Tapi ayah dan ibu harus berpisah karena tuhan seperti tidak setuju. Dan saat dewasa nanti kalian mungkin akan paham dengan apa yang terjadi antara ibu dan ayah.

Ibu tinggalkan alamat rumah baru ibu di Jakarta. Karena setelah menulis surat ini, ibu harus segera ikut dengan suami dan anak ibu.

 

Perumahan mekar jaya Jl.Kemanggisan No. 55 Jakarta pusat.

 

 

 

Bundanya Zali bilang jika surat ini diterimanya sejak 3 tahun yang lalu. Dan itu artinya sebelum tiga tahun yang lalu, ibu selalu berada di dekat Adit dan itu artinya ibu tak pernah jauh? 

Air mata Adit mengalir begitu saja. Jika sudah menyangkut segala seuatu yang berkaitan dengan ‘Ibu’ Adit tak akan pernah kuat untuk menahan air matanya. Walaupun hanya setetes. Dan mobil ini adalah saksi, Adit menangis di dalam mobil dengan frekwensi air mata yang terbilang deras.

***

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ENAM MATA, TAPI DELAPAN
563      352     2     
Romance
Ini adalah kisah cinta sekolah, pacar-pacaran, dan cemburu-cemburuan
I'il Find You, LOVE
5326      1404     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
Lavioster
3493      969     3     
Fantasy
Semua kata dalam cerita dongeng pengiring tidurmu menjadi sebuah masa depan
Just a Cosmological Things
776      432     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Letter hopes
852      477     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Little Spoiler
829      517     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Truth Or Dare
7602      1397     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
An Invisible Star
1687      893     0     
Romance
Cinta suatu hal yang lucu, Kamu merasa bahwa itu begitu nyata dan kamu berpikir kamu akan mati untuk hidup tanpa orang itu, tetapi kemudian suatu hari, Kamu terbangun tidak merasakan apa-apa tentang dia. Seperti, perasaan itu menghilang begitu saja. Dan kamu melihat orang itu tanpa apa pun. Dan sering bertanya-tanya, 'bagaimana saya akhirnya mencintai pria ini?' Yah, cinta itu lucu. Hidup itu luc...
Frekuensi Cinta
226      191     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.