Read More >>"> ADITYA DAN RA (chapter 14) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ADITYA DAN RA
MENU
About Us  

Dan kini saatnya kembali ke hari senin, Zali masih belum sadarkan diri semenjak kejadian dua hari yang lalu saat ia menelan obat depresan yang jumlahnya lumayan banyak. Zila juga, belum ada tanda-tanda jika Zila akan segera bangun.

Adit memarkirkan motornya di tempat biasa, tempat yang biasanya ia gunakan sebagai tempat bersinggahnya motor ninja hitam yang tak lain adalah kepunyaan miliknya.

Malas sekali untuk melakukan aktivitas wajib yang harus dilakukan setiap hari senin, yaitu upacara dan dilanjutkan dengan mendengarkan pelajaran bahasa Indonesia seperti dongeng yang akan diceritakan oleh Bu Rere setiap sehabis upacara.

“HITUNGAN LIMA, SELURUH SISWA HARUS BERADA DI BARISAN KELASNYA MASING-MASING”

Suara speaker yang tak lain adalah suara Pak Raharja membuat Adit melemparkan tasnya ke arah motornya berada, walaupun tak tahu tepat mengenai sasaran yang ia maksud atau tidak. Yang penting tas itu tidak menempel di tubuhnya. Adit segera berlari menuju ke lapangan upacara yang jaraknya sekitar 80 meter dari lapangan parkir.

Sangat terlihat dari jauh, seluruh siswa sudah berbaris rapih sesuai dengan kelasnya masing-masing. Adit berhenti di barisan paling dekat dengan lapangan parkir, sepertinya ini adalah kumpulan kelas sepuluh, karena wajah-wajahnya jarang sekali dilihat oleh mata Adit.

Berada di barisan paling belakang memudahkan Adit untuk manyelinap masuk ke dalam barisan kelasnya. Untung saja, semesta seakan memahami Adit, tinggi tubuh Marvin membuat Adit langsung mengenali di mana letak barisan kelasnya.

Adit berdiri di barisan paling belakang, bersama dengan Rio dan sekumpulan anak pengerusuh yang tak tahu berasal dari kelas mana.

Sebenarnya saat upacara, Adit tidak terlalu memperhatikan apa amanat yang dibicarakan oleh Kepala sekolah. Adit lebih suka memperhatikan Dira yang wajahnya berubah memerah saat terkena terik matahari. Persis seperti ini.

Dengan langkah perlahan, Adit menyelip diantara barisan para anak laki-laki yang terkenal pendiam, dan sampai akhirnya Adit berhenti di samping Dira, sebisa mungkin Adit melindungi Dira dari panasnya sinar matahari pagi ini. Tapi ada yang berbeda pada senin pagi ini, berbeda dengan senin pagi sebelumnya. Wajah yang biasanya memerah itu, pagi ini memucat. Tak usah ditanya kenapa, Dira tak akan mau menjawab.

Saat ini pertanyaan seakan bertambah mengumpul di kepala Adit. Zali yang over dosis karena meminum obat depresan, dan Dira yang tampil dengan wajah pucat, mata sembab. Semesta, apakah mereka saling berhubungan dan satu sama lain mengambil peran dalam terjadinya kejadian yang penyebabnya masih menjadi tanya?

Adit tidak bisa bertanya pada Dira, Adit tahu seberapa bencinya Dira pada Adit, karena sejak kecil Adit selalu membuat Dira menangis. Adit menampilkan sifat menyebalkannya pada Dira karena ia tidak tahu bagaimana caranya mencintai Dira. Adit sama sekali tidak memiliki nyali yang besar untuk Mengatakan isi hatinya pada Dira. Karena menurutnya, Dira bukan wanita biasa. Dira tidak suka pada laki-laki nakal Dan sejak kecil, Dira sudah mengetahui bagaimana menyebalkannya Adit dan nakalnya Adit. Walaupun Zali bilang, Dira menyukai Adit, tapi sama sekali Adit tidak percaya diri.

Beruntunglah, upacara sudah selesai dan Dira juga sudah pergi dari samping Adit, dia berjalan menuju ke kelas, dan Adit berjalan mengambil tasnya yang tadi ia lempar tak tahu kemana.

“Gimana kondisi Zali boss” Adit terkejut saat Marvin  tiba-tiba berjalan disampingnya.

“Belum sadar. Kata dokter sih 2-3 hari kondisinya bakal netral. Tapi sampe tadi pagi dia belum nunjukin respon apa-apa”

Akhirnya Adit sampai di tempat motornya diparkirkan. Ia menatap kesekeliling motornya, tak ada tas hitam dengan bercak merah miliknya.

“Lo nyari apa?”

“Tas, tadi kayaknya gue lempar ke sini deh” Adit menunjukkan tempat yang tadi ia yakini tempat bersinggahnya tas itu.

“Lo telat?”

“Lima menit”

“Udah diambil sama Kepsek lo. Dia kan selalu nyuruh Bu Sin buat keliling ke parkiran untuk ngecek apa ada anak yang telat”

“Mampus gue. Urusan sama Pak Raharja”

***

Sudah dua hari, semenjak tumpahnya air mata saat di Rumah Sakit sampai detik ini juga, Tak ada lagi pesan masuk, atau telepon dari Zali. Lanjutan dari teka-teki itu juga tidak datang lagi. Apa ini ujung permainannya? Apa Zali benar-benar menghentikan semua permainan ini.

Dilihat dari Zali yang tak kunjung datang membuat Dira berpikir, jadi benar, Zali lebih memilih dia dan meninggalkan Dira? Jadi selama ini Zali tidak sepenuhnya menggunakan hatinya saat bersama dengan Dira? Itu benarkan semesta?

Dira memasukkan bukunya ke dalam tas, kelas sudah sepi. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 20 menit yang lalu.  Dan kini hanya tinggal Dira sendiri di kelas ini. Hari ini masih ada tangis yang jatuh, Terutama saat hujan turun. Karena jujur, Saat hujan datang sakit itu semakin menjadi. Terlebih lagi, Hujan adalah saksi perjalanan Zali dan Dira.

Suara dering panggilan masuk membuat Dira menghentikan langkahnya. Hatinya terus berteriak dan berharap jika Zali yang mengirimkan pesan itu.

Perlahan Dira mengambil handphone yang ada di dalam tasnya. Berharap-harap cemas sambil memikirkan jika pesan masuk itu dari Zali, tapi nyatanya saat membuka notifikasi pesan. Semesta, kenapa bukan Zali lagi.

 

Adit

 

Kamar 756 lantai 7. Langsung masuk dan lihat siapa yang ada di dalam sana.

 

Dira langsung meletakkan handphone itu ke dalam tas, ia Berjalan menuju ke depan gerbang. Di halte hanya ada bus, dengan terpaksa. Dira berlari menuju ke gang depan sekolah dan syukurlah, ada tukang ojek oline yang sedang berhenti untuk beristirahat.

“Pak, bisa anterin saya nggak? Tapi saya nggak sempet buka aplikasi karena buru-buru” Ucap Dira pada bapak-bapak setengah tua itu.

“Ini neng Dira ya?”

“Kenapa ya pak?” Dira menatap bapak-bapak itu dengan tatapan bingung. Kenapa bapak ini bisa tahu nama Dira.

“Ini beneran neng Dira yang kerja di Swara Resto kan?”

“Iya kenapa ya?”

Dira makin tambah bingung dengan pertanyaan bapak itu yang jawabanya benar.

“Alhamdulillah Neng, akhirnya bapak bisa bertemu sama Neng Dira. Bapak udah satu bulan lebih sering mangkal di sini untuk anterin neng Dira pulang”

“Bapak salah orang kayaknya.”

“Tapi ini beneran neng Dira yang sekolah di SMA Pandu Sejahtera kan? Neng juga orang yang suka makan eskrim di kedai Mas Dere kan? Terus Neng juga di Rumah punya usaha catering kecil-kecilan kan?”

Dira mengangguk, kenapa bapak ini bisa mengenal sejauh sisi hidup Dira.

“Kalau gitu bapak teh nggak salah. Satu bulan lalu ada anak laki-laki yang datang ke tempat mangkal bapak di daerah Taman Centrum, dia nyuruh bapak untuk pindah mangkal ke sini. Dia kasih uang setiap kali ke sini, walaupun sebenarnya bapak belum menjalankan tugas bapak untuk anterin neng, Tapi dia selalu kasih uang” Dira masih menatap bapak-bapak itu dengan tatapan bingung.

Siapa anak laki-laki itu? Kenapa dia menyuruh bapak ini untuk menjemput Dira, padahal bapak ini tidak tahu Dira itu yang mana.

“Bapak kenapa bisa tahu kalau saya Dira yang anak itu maksud?”

“Karena dia bilang, anak itu tidak cantik. Hanya manis dan menggemaskan, rambutnya biasa terurai, warnanya hitam pekat. Kalau senyum, semua orang pasti ikut tersenyum. Dan dia juga kasih tahu tempat tinggal, tempat kerjanya neng. Tapi bapak nggak boleh datang ke sana. Bapak hanya boleh tunggu di tempat ini”

Dira melihat bapak itu mengambil sesuatu di balik jok motornya. Sebuah amplop berwarna putih. Masih bersih dan tidak ada lekukaan sedikitpun di sana.

“Ini titipan untuk neng dia kasih udah sebulan yang lalu, nggak tahu isinya apa Cuma dia bilang, sampaikan ini meskipun bapak akan bertemu dia itu tiga tahun lagi. Katanya seperti itu neng”

Dira meraih amplop itu dari tangan bapak yang tak tahu siapa namanya.

“Terimakasih ya pak, tapi saya harus buru-buru ke rumah sakit”

“Yasudah, saya antar ya”

Sampai di rumah sakit, Dira langsung berlari menuju ke lift dan naik ke lantai tujuh. Tapi sebentar, untuk apa Dira pergi ke sini? Apa ini teka-teki dari Zali yang diberikan melalui Adit. Apa sih? Untuk apa Dira pergi ke tempat ini? Rumah sakit selalu berisikan teka-teki yang menyakitkan. Harusnya Dira tidak usah pergi ke sini.

Tapi sepertinya harus, hati Dira terus berbicara jika ia harus bertemu dengan kamar 756 itu. Apa isinya sampai Dira harus datang ke sana, dan membuat hatinya puas dengan isi ruangan ini.

Sampai di lantai 7 Dira menuju meja perawat untuk mengetahui di mana letak kamar 756 itu. Dan beruntungnya, Dira diantar oleh perawat itu sampai ke pintu kamar 756.

“Makasih sus”

Kemudian Dira menatap nomor ruangan yang ada di atas pintu. Masih berkeliling di kepalanya, siapa orang yang ada di dalam sana. Dan untuk apa Adit menyuruh Dira untuk datang ke dalam sini?

Kenapa juga hati Dira mengantarkan Dira sampai ke sini? Kamar yang tidak tahu ada siapa di dalamnya.

Tapi oke, sudahlah. Dira harus masuk untuk mengetahui ada apa di dalam sana. Dengan rasa ragu, Dira memegang knop pintu dan membuka pintu itu secara perlahan.

Terkejutnya bukan main. Dira sampai menutup pintu itu kembali dan membawa dirinya keluar ruangan. Dira terkejut, rasanya tidak percaya.

Air mata Dira sebentar lagi akan mengalir. Jadi dia hilang karena ini? Karena dia sedang berada di sini?

“Masuk”

Suara itu membuat Dira menoleh.

“Marvin”

Kenapa dia lagi yang datang? Kenapa bukan Za-, Ah yasudahlah.

“Ayo masuk. Gue jelasin di dalem”

Marvin menarik tangan Dira untuk kembali masuk kedalam ruangan itu. Dira duduk kursi yang sudah tersedia. Dan Marvin duduk di sebelahnya. Air mata Dira sudah tidak bisa ia tahan lagi, sekarang Cairan jernih itu keluar dengan deras tanpa penghalang.

“Zali over dosis Obat Depresan. Baru kemarin dia dipindahin ke Ruangan ini, sebelumnya dia ada di Ruang ICU. Percaya nggak? Zali belum sadar sejak dua hari yang lalu”

Semakin sesak rasanya saat mendengar ucapan Marvin. Semesta,  Zali kenapa?

Seketika itu juga, Dira ingat kejadian dua hari yang lalu, saat Zali membersihkan luka Dira dan di kotak obatnya, Dira menemukan obat anti depresan. Jadi Zali berbohong? Jadi obat itu adalah miliknya? Iya?

“Buat dia bangun ya Ra, dia butuh lo sekarang. Bantu dia bangun dan sadar ya Ra”

Dira berjalan menghampiri Zali yang sedang tenang dan larut dalam tidurnya, Selang di hidungnya menempel sempurna, di tangannya juga. Dinganggamnya tangan itu.

“Kamu tuh lebih jahat kalau kaya gini! Kenapa kamu dilahirin jadi orang jahat sih Zal. Dan kenapa harus aku jadi orang yang terlahir untuk dijahatin sama kamu”

Masih tak ada jawaban. Air mata Dira kembali mengalir. Zalinya jahat. Zali sakit dan Zali tidak bangun. Padahal Dira datang.

Dira mengingat sesuatu, ia mendapatkan sebuah surat yang tadi diberikan oleh bapak tukang ojek online tadi.

           

Teruntuk kamu.

Kalau kamu sudah membaca surat ini, pasti kamu sudah bertemu dengan Pak Mulyana. Dia adalah tukang ojek online yang sengaja ku utus untuk menjemputmu pulang. Tapi tidak tahu kapan.

Kalau kamu sudah membaca surat ini, dan kamu sudah bertemu dengan Pak Mulyana, pasti sesuatu telah terjadi padaku. Iya kan?

Haii wanita manis. Jangan bersedih. Aku tahu kamu sedang menangis, pasti betul kan? Akan kukatakan satu hal. Aku selalu bersamamu, meskipun kamu tidak tahu. Jika aku pergi, percayalah aku sebenarnya tidak benar-benar pergi. Aku hanya mengistirahatkan hati ini agar sedikit tenang. Aku tidak ingin hatimu juga sakit, sama seperti aku.

Oke lah, sudah ya. Sebenarnya aku juga tidak tahu aku menulis apa. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang tidak tahu apa maksudnya. Aku selalu begitu ya Dir? Aneh. Tapi kamu perlahan akan suka padaku. Itu sih harapanku.

Anzali Putra Adrian.

 

Bandung, 17 Oktober

 

 

 

Sekarang sudah bulan Desember. Sekitar Dua bulan  Zali menyimpan surat ini. Dan hari ini adalah puncaknya. Dira menatap Zali yang masih tetap tidak berkutik pada posisinya.

Sang Adriannya kini tergeletak lemah. Jiwa pemberaninya sementara ikut beristirahat bersama dengan tubuhnya. Zali, laki-laki itu tenang tidur tanpa beban. Dan jika bangun nanti, dia akan menjalani kenyataan hidup yang tak seindah alam mimpinya.

“Pulang ya Ra, Zali akan bangun. Dan lo harus istirahat”

Dira menggelengkan kepalanya. Jika harus istirahat, Dira akan beristirahat di sini bersama dengan Zali sambil menemani Zali sampai ia bangun.

“Gue  jaga Zali, lo pulang ya Ra. Kalau Zali bangun. Gue bakal telepon lo”

“Nggak mau”

Jika sedang seperti ini, Dira akan berubah menjadi seorang wanita yang keras kepala. Wanita yang berkepala batu yang sangat Zali benci, karena katanya wanita berkepala batu adalah wanita yang menyebalkan.

“Lo pucet Ra, lo butuh istirahat di Rumah. Dan di sini bukan tempat lo”

“Lo bilang ini adalah Rumah Sakit, dan sekarang gue lagi sakit. Jadi ini tempat gue dong”

Dira tidak menoleh. Ia masih memperhatikan Zali yang masih tertidur dengan nafas normal.

Jadi ini rencanamu semesta? Rencanamu buruk. Sangat buruk. Dan Dira sangat membencinya.

***

Sudah dua jam, Adit masih tetap setia duduk di depan kamar nomor 756 menunggu wanita yang  ia cintai dan juga Zali cintai. Siapa lagi kalau bukan Dira.

Dia tidak kunjung menampakkan dirinya keluar sejak tadi. Jadi benar ya? Dira sudah berpindah ke pangkuan Zali. Jadi selama ini juga Dira tidak benar-benar mencintai Adit.

Pantas saja, Adit memang tidak pernah pantas untuk dicintai oleh Dira. Adit yang terlalu menyebalkan untuk Dira dan selalu membuat air mata Dira jatuh, padahal sejak kecil Adit selalu bilang pada Dira, Jika air matanya jatuh, Adit akan menutup seluruh toko buku di pelosok bumi ini dan akan mematikan siapapun orannya yang membuat Dira menangis. Tapi, dirinya sendiri yang sering membuat Dira menangis.

Berbeda dengan Zali, laki-laki ini memang dasarnya adalah laki-laki yang lembut. Dia selalu menghargai setiap orang. Terutama orang yang ia cintai, walaupun Adit tahu sendiri, Zali adalah orang yang dingin,Zali juga orang yang sangat sulit untuk berinteraksi dengan orang baru, dan juga sulit untuk jatuh cinta. Dira adalah cinta pertamanya setelah Zila. Wajar saja jika Zali memperlakukan Dira dengan baik, berbeda dengan Adit.

Sekarang juga, Zali ditunggu kesadarannya oleh wanita yang ia cintai. Tapi kenapa Zali tak kunjung sadar? Padahal Adit berpikir jika membawa Dira kesini akan membuat Zali sadar. Tapi ternyata, sama saja. Masalahnya justru bertambah karena setelah ini, setelah Zali sadar nanti, Adit akan dihajar oleh Zali karena telah memberitahu kondisinya kepada Dira sehingga wanita itu kini menangis deras dan tak mau pulang, padahal keadaannya saat ini jauh dari kata baik-baik saja.

“Ke depan yuk, nonton TV. Real madrid sama Barcelona lagi main” ajakan Marvin selalu ia tolak. Padahal sebenarnya sejak dulu Adit sangat menyukai club bola Real madrid dan tak akan pernah ikhlas jika ia melewatkan satu pertandingan saja.

“Sekarang ada yang lebih penting dari Real madrid. Dira yang nggak tahu kapan bakal keluar. Itu yang sekarang diutamain”

“Ya oke. Lo bisa bohongin perasaan lo sama Dira, tapi lo nggak bisa bohong sama gue Dit. Dulu lo selalu kemana-mana bareng dia dan akhirnya pada suatu hari lo berdebat hebat, dan sekarang semua terjadi. Jarak lo deket tapi lo nggak bisa ngegenggam dia seperti dulu”

“Lo ngomong apa sih? Gue nggak ngerti”

“Bukan nggak ngerti. Lo ngerti Cuma lo terlalu cemen untuk bilang kalau lo masih sayang dia. Sekalipun itu sama gue”

“Otak gue sekarang nggak bisa berpikir cepet. Jadi gue nggak ngerti apa yang lo omongin. Menurut gue, sekarang lo lagi ngomong ngawur nggak jelas. Isinya juga gue nggak paham.”

Up to you! Otak lo ajak minum kopi, biar rileks. Kurang-kurangin makan micin. Lo tambah bego.”

Adit terdiam. Ia menatap kepergian Marvin ke dalam ruangan itu, sejak Dua jam yang lalu, Adit belum sama sekali masuk ke dalam sana untuk bertemu dengan Zali.

Berada di luar, dan menjadi penonton segala drama yang sedang dimainkan. Sepertinya lebih tampak menyenangkan dibandingkan harus ikut masuk kedalam skenario drama itu.

Tapi Adit tahu, yang saat ini terjadi di depan matanya bukanlah drama biasa. Ini lebih spektakuler dari drama korea. Ini adalah kehidupan nyata, drama yang langsung dibuat oleh pembuat skenario terbaik yaitu tuhan.

Sepasang manusia yang sama-sama mencintai, tapi keduanya sama-sama terjebak di dalam sebuah teka-teki rumit yang harus ia selesaikan terlebih dulu untuk mengetahui apa maksudnya. Dira dan Zali. Adit hanya menjadi penonton. Seharusnya cerita ini tidak berjudul ‘Aditya&Ra’ tapi harusnya ‘Anzali&Ra’ karena sebagian kisah indahnya adalah milik Zali dan Dira, bukan Adit dan Dira.

***

Sinar terang perlahan mulai terlihat, mata Zali mulai terbuka. Pandangan pertama yang dilihatnya pertama kali adalah lampu yang bersinar terang, dan yang kedua adalah wanita yang sedang tertidur, dia masih menggunakan seragam sekolahnya. Dan langsung bisa Zali kenali, Dia adalah Dira.

Sudah berapa lama ya Zali tertidur? Rasanya ruangan ini begitu sepi dan tak ada satu orangpun selain Dira. Ingin minum, tapi tak mungkin Zali membangunkan Dira, dan tak mungkin juga Zali berjalan sendiri keluar untuk menemui perawat. Bersamaan dengan itu, Pintu kamar Zali terbuka. Adit datang dengan membawa selimut yang Zali yakini untuk Dira.

“Eh Zal-“ belum sempat Adit melanjutkan kata-kata, Zali sudah terlebih dulu memberikan Adit kode untuk tidak berisik.

“Gue mau minum” Zali berbicara dengan nada yang pelan dan bahkan nyaris tidak terdengar.

“Nih” Adit memberikan segelas air minum yang sebenarnya sudah ada di atas narkas.

“Sejahat apapun lo sama dia. masih tetep sama Zal, Dia nggak pernah mau liat lo kaya gini. Tepat 3 hari lo tidur tanpa kepastian kapan akan bangun. Persis mirip Zila, tapi penyebabnya lebih anarkis diri lo”

“Ajak Dira pulang, jangan di sini”

“Sekarang jam 12 malem”

Zali menatap Dira yang masih tertidur pulas dengan balutan selimut yang baru saja Adit berikan. Wajahnya pucat, Dira tampil berbeda kali ini.

“Gue masih belum paham sama kejadian ini. Dua hari yang lalu, lo tergeletak di kamar rawat Zila, dan tadi pagi, gue lihat mata Dira sembab, kantung matanya jelas banget kelihatan. Mukanya yang biasa merah saat kena sinar matahari, tadi pagi berubah jadi pucet.”

Zali masih tetap setia memandangi wajah Dira, matanya pasti disebabkan oleh kejadian saat itu, pasti. Dira menangis semalaman sampai ia lupa untuk tertidur. Dan saat ini Dira tertidur sangat pulas. Tubuhnya sejenak ia istirahatkan.

“Zila masih koma?” Zali kini menatap Adit.

“Kalau Zila udah sadar, yang ada di samping lo saat ini bukan Dira”

Tak perlu jawaban yang lebih jelas, dengan pernyataan seperti ini saja Dira sudah bisa mengerti jika Zila memang belum bangun dari tidur panjangnya.

“Kalau lo mau tidur, ya tidur aja”

“Gue balik dulu deh ya. Lo kalau perlu apa-apa pencet tombol itu aja.”Adit menunjuk ke arah tombol yang biasa digunakan untuk memanggil perawat. “Bokap gue pulang. Dan kata Kak Resty dia nyariin gue”

“Dira?”

“Tadi Kak Diana udah bawain baju di bawah narkas, ini juga selimut Dira. Sekarang dia lagi keras kepala. Jangan paksa dia”

Zali mengangguk. Setelah itu Adit pergi keluar ruangan dan hanya tinggal Dira yang sedang tertidur dan Zali yang sedang menatap Dira.

Zali memutari memorinya sekitar satu setengah tahun yang lalu, saat itu di taman musik Centrum. Saat sore yang sangat indah menemani harinya yang sudah ia jadwalkan untuk berlatih musik. Salah satu kawannya membawa tiga orang teman sekolahnya. Satu orang laki-laki dan dua orang wanita, jumlahnya tiga orang. Tapi ada satu orang yang menjadi pusat perhatiannya, wanita yang saat itu rambutnya terurai dengan kepangan kecil yang dibuat di sisi rambutnya. Tidak cantik, tapi dia manis. Tubuhnya tidak tinggi, pipinya tirus tapi sangat menggemaskan dan membuat Zali sangat ingin mencubitnya

Bersamaan saat itu pula, wanita yang menjadi pusat perhatiannya terjatuh ke dalam pangkuan Zali akibat ulah temannya,  Dita. Iris mata Dira dan iris mata Zali bertemu. Dan akhirnya aksi adu tatap itu berlangsung lumayan lama. Terhitung, mulai detik itu. Jantung Zali tidak bisa berkontraksi secara normal setiap kali menatap wajah Dira. Dan ini adalah satu hal yang biasa disebut cinta.

“Kamu akan ketemu dengan semua kejutan yang sudah aku buat. Jangan terlalu banyak menangis. Bola mata indahmu kini menjadi rusak karena air mata terus membanjirinya”

 

Zali menatap langit-langit kamar, semua teka-teki yang akan digunakan untuk Dira sudah tersebar ke seluruh pelosok Bandung. Tapi kemarin, Dira meminta untuk menyudahi permainan ini? Pikiran Zali kini sedang berdebat, kemarin ia bilang jika tak akan mau mendengar ucapan Dira, sekalipun Dira tak akan mau mengikuti segala Rules yang sudah Zali sebar. Tapi Zali juga sudah bilang pada Dira, jika ini bukan hanya permainan, tapi ini teka-teki perasaan.

“Akankah teka-teki ini akan berlanjut? Walapun akhir teka-teki itu akan ada sangat jauh. Di luar kota Bandung?”

***

Sepertinya sudah pagi.

Dira sangat berat untuk membuka matanya, tapi ia berhasil membujuk matanya untuk terbuka dan melihat dunia. Satu hal yang ia inginkan pagi ini adalah ; Terbangun dan melihat Zali juga sudah bangun. Tapi sepertinya tidak. Zali masih tertidur dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tak sadar, saat melihat Zali air mata Dira mengalir lagi. Untuk apa Dira berada di sini kalau Zali tak mau bangun dan tak mau membuka matanya. Zali lebih jahat kalau sedang seperti ini.

“Kamu kapan bangun Zal? Untuk apa aku ada di sini, di samping kamu, aku di sini  untuk lihat kamu bangun, tapi kamu nggak bangun-bangun. Sekarang untuk apa aku di sini? Untuk lihat kamu terbaring lemah kaya gini?”

“Kalo gitu, aku lebih baik pulang.”

“Kenapa sih tuhan ciptain karma? Untuk hukum aku? Semesta nggak setuju ya kalau aku mencintai kamu? Karena aku udah jahat sama kamu saat itu? Gitu ya Zal. Aku jahat ya? Mankanya saat aku mulai mencintai kamu, tuhan kasih aku luka karena ternyata kamu nggak mencintai aku. Gitu ya Zal?”

Dira menundukkan kepalanya, menangis dalam diam, tanpa ada suara tapi air matanya mengalir deras.

“Kadang aku merasa jika Semesta tidak jahat juga, aku saja yang tidak ingin mengikuti apa rencana yang sebenarnya indah yang dirancang oleh semesta. Karena itu, Semesta marah dan dia membuat semuanya jadi berbelok. Rencana yang harusnya bahagia menjadi rencana yang menyedihkan. Itu karena aku. Karena aku keras kepala saat itu.”

“Bukan Dir, jangan salahin semesta apalagi diri kamu. Nggak ada orang yang mau merasakan sakit seperti kamu”

Dira menaikkan kepalanya, ia menoleh ke arah pintu. Tak ada orang di sana. Lalu siapa yang berbicara?

“Jangan lihat ke belakang. Masa depanmu ada di depan. Bukan di pintu itu yang akan bawa kamu ke masa lalu”

Suaranya, Dira menoleh. Zalinya bangun. Zali sudah bangun? Berarti Zali sudah mendengar seluruh keluh kesah Dira tadi?

“Kamu udah bangun?”

“Kamu nggak seneng aku bangun?”

“Kapan?”

“Tadi malam, saat kamu tidur”

“Kenapa nggak bangunin aku?”

“Nggak akan pernah aku ganggu kamu tidur”

“Tapi kan—“

“Aku sayang kamu. Itu aja. Tadi malem kamu tidurnya ngorok, terus juga ileran. Aku jadi gak tega banguninnya, walaupun menganggu telingaku sih”

“Ngapain sayang sama cewe yang suka ngorok dan ileran?”

“Emang kalau mau sayang sama orang harus liat dia tidurnya ileran apa nggak, iya gitu?”

Zali selalu begitu. Cara bicaranya selalu bilang, ‘Aku sayang kamu’ tapi kepada wanita yang sedang terbaring koma juga sama saja. Bukan hanya kepada Dira ia bilang seperti itu.

“Aku ketemu sama Pak Mulyana. Kenapa kamu harus nyuruh dia?”

“Karena aku nggak yakin bisa anter jemput kamu terus. Semenjak Adit jauhin kamu, Aku lebih sensitif kalau kamu pulang pergi naik sepedah” 

Dira terdiam, Zali kenapa bisa melakukan semua itu karena alasan Dira? Semesta, Kenapa Zali sangat baik? Kenapa Zali bisa melakukan hal ini? Apa ini kebaikan yang tulus atau memang kebaikan yang akan berujung sebuah kekecewaan seperti kemarin.

“Aku tetep jadi Adrian milikmu Dir”

Apa maksudnya? Dira terdiam menatap Zali yang masih menggunakan selang di hidungnya.

“Kamu kenapa bisa overdosis obat itu? Kamu bilang itu obat Adik—“

“Itu obat aku.”

“Kenapa bisa minum obat itu?”

“Aku depresi”

“Karena?”

“Kamu nggak peka-peka. Aku mankanya kepikiran terus caranya biar kamu peka”

“Serius. Lagi sakit masih aja bercanda”

“Jangan serius-serius, yang serius banget aja nggak berakhir di pelaminan”

“Ngaco kamu”

Zali hanya tertawa pelan Ia menatap Dira dalam-dalam.

“Zal”

Sekali lagi Dira memanggil Zali, laki-laki ini memang sering melamun sekarang.

“Kenapa manggil? Kangen kamu sama aku?”

“Ih apaan sih.”

“Kalau nggak kangen, ngapain ada di sini?”

Semesta, tolong bantu Dira untuk menjawab pertanyaan Zali.

“Diem kan kamu?”

“Aku pulang deh. Nanti aku teleponin Adit biar dia ke sini”

“Cie mau CLBK ya?”

“Apa sih. Nggak jelas banget”

“Kalau nggak. Ngapain marah?”

“Bodo ah. Aku pulang”

Dira mengambil tasnya dan berjalan menuju ke pintu keluar.

“Nggak usah telepon Adit, aku takut kamu cinta sama dia lagi. Lagipula dia udah tahu kalau aku udah sadar”

Tak mau menjawab, Dira memutar knop pintu dan berjalan keluar menjnggalkan Zali sendiri di ruangan itu.

Dira melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih jam setengah enam pagi. Masih keburu untuk sekolah tidak ya?

Handphone Dira berbunyi, Ini adalah bunyi alarm yang biasanya ia gunakan sebagai pembatas antara membantu ibunya memasak dan pergi ke sekolah.

Dira mempercepat langkahnya untuk menuju ke halte yang ada di dekat rumah sakit.  Tapi belum sampai di halte, hujan sudah terlebih dulu  turun dengan sangat deras dan tanpa aba-aba.

Dan untung saja, Dira berhenti tepat di depan toko bunga yang sudah buka. Tumben sekali ada toko bunga yang buka sepagi ini?

Dira memperhatikan setiap bunga yang ada di sana. Pandangannya jatuh kepada bunga aster yang pernah Zali berikan padanya melalui kumpulan anak-anak kecil.

Bunga itu tampak indah, berwarna ungu dan pink yang sangat cerah. Jika melihat bunga Aster, Dira seketika juga mengingat Zali. Laki-laki itu memberikan bunga itu tanpa alasan, hanya karena Zali menyukai bunga Aster dan berharap Dira juga ikut menyukai bunga itu.

Padahal, berulang kali Dira bilang pada Zali jika ia sangat menyukai bunga Edelweiss. Bukan aster. Tapi karena Zali, sekarang Dira ikut menyukai bunga yang dapat bertahan pada tiga musim ini.

Hujannya makin deras. Sepertinya rencana Dira untuk pergi ke sekolah akan gagal karena hujan ini. Dan ini adalah pertama kalinya Dira menyalahkan hujan karena tidak seirama dengan keinginannya.    

“Neng Dira ya?” Dira menoleh ke arah suara itu berasal.

Dilihatnya seorang bapak tua yang sedang membereskan bunga itu kini menatap Dira. Dengan rasa ragu, Dira mengangguk dan bapak itu menghampiri Dira.

“Neng, Tunggu sebentar ya”

Kini Dira makin bingung. Bapak itu masuk ke dalam Rumahnya yang menyatu dengan Toko.

Tidak terlalu lama, tapi kedatangan bapak itu kembali membuat Dira tambah bingung. Bapak itu memberikan sekumpulan bunga Aster yang berwarna pink dan lengkap dengan surat yang dibalut amplop berwarna pink juga.

“Bapak kenapa kasih saya ini?” Dira masih ragu untuk menerima bunga itu. Bagaimana tidak bingung, bunga itu muncul entah berantah datangnya.

Lagipula, apa tidak salah Dira menerima bunga ini? Siapa tahu, bapak itu salah orang. Karena di Bandung yang bernama Dira itu banyak sekali.

“Bapak sepertinya salah orang. Saya nggak mau beli bunga aster dan saya juga nggak pernah datang ke toko ini sebelumnya”

“Tapi ini memang untuk Neng Dira.”

“Tapi yang bapak maksud buka Dira saya”

“Bapak nggak mungkin salah. Karena orang yang bayar bunga ini bilang kalau saya nggak akan sulit menemukan orang yang namanya Adira Azzahra. Katanya orang itu juga punya senyuman khas orang Bandung. Neng bener kan namanya Adira Azzahra?”

“Iya, tapi ini dari siapa?”

“Anak laki-laki yang rambutnya sedikit pirang. Dia cukup baik dia juga titip surat itu. Katanya harus di kasih saat Neng Dira datang. Walaupun nggak tahu datangnya kapan”

Dira semakin dilanda kebingungan yang cukup hebat. Laki-laki yang rambutnya pirang, siapa? Zali? Sekarang rambut Zali hitam pekat. Rambut Adit? Sama. Adit tidak pernah mewarnai rambutnya. Ada lagi, satu orang yang mempunyai rambut pirang dan masih sering mengejar cinta Dira. Davin? Tapi kenapa Davin? Sepertinya mustahil sekali jika Davin yang memberikan itu pada Dira.

“Oh iya, neng mau pulang ya? Biar supir saya antar neng Dira ya. Itu pesan dari anak laki-laki itu. Katanya kalau Neng Dira datang ke sini sendiri, saya atau supir saya harus antar”

Jika memang orang itu Davin, mana mungkin Davin sampai menyuruh bapak ini mengantar Dira. Sepertinya ini bukan Davin, tapi anak laki-laki yang berambut pirang, hanya Davin.

“Saya harus ikuti apa maunya Bapak?”

“Ini bukan keinginan saya Neng, saya hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh anak laki-laki itu”

Dengan terpaksa, Dira mengikuti langkah supir pemilik toko itu. Mobil BMW berwarna hitam itu mengantarkan Dira hingga tepat ke rumahnya.

“Makasih pak” Dira keluar dari mobil itu.

“Neng mau sekolah ya? Sekalian aja neng”   

“Tapi saya harus mandi dulu pak, belum lagi harus siapin keperluan sekolah saya”

“Nggak masalah. Itu salah satu permintaan anak laki-laki yang menitipkan surat dan bunga itu mba”

“Yasudah tunggu ya Pak”

 

***

 

Pak Cecep. Namanya adalah Pak Cecep. Dia pemilik toko bunga yang baru saja kamu kunjungi. Dia baik. Kamu bingung? Tapi kamu harus percaya, Pak Cecep yang jauh lebih bingung karena harus menemukan kamu di antara banyaknya warga Bandung.

Bunga aster. Itu bunga kesukaanku. Tapi semoga saja kamu suka. Itu yang aku harapkan.

Awalnya aku berpikir jika aku percuma saja menulis surat ini dan menyuruh pemilik toko itu untuk merangkai sekumpulan bunga aster setiap harinya. Karena aku tak akan tahu kapan kamu datang ke tempat ini. Selain karena toko bunga ini lumayan jauh dari tempat tinggalmu juga karena kamu tak akan pernah datang ke toko bunga untuk mencari bunga aster. Karena yang kamu suka adalah Edelweiss.

Tapi aku tetap yakin, rencanaku itu akan disetujui oleh semesta. Itu harapanku. Bagaimanapun caranya, kamu pasti akan datang ke toko ini dan bertemu dengan Pak Cecep.

Jika kamu sedang membaca surat ini, berarti aku harus berterimakasih pada semesta. Karena rencanaku berhasil dan tuhan menyetujuinya.

Jangan sedih karena kau tak mendapatkan edelweissmu yang abadi itu. Sekarang lihat yang tadi kau bawa. Bunga aster yang tak abadi. Namun tak kalah cantik dari edelweiss. Seperti kamu. Pokoknya aster itu seperti kamu.

 

Anzali putra adrian

 

25 juni

 

 

 

Jadi, ini pekerjaan Zali lagi? Kenapa laki-laki itu kini menimbulkan banyak misteri yang Dira tidak tahu.

Dira menutup surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

Sekarang adalah jam istirahat. Adit yang duduk di sampingnya kini sedang tertidur. Walaupun sedang tertidur, tapi rasanya sedikit risih. Terlebih lagi, saat ini di dalam kelas hanya ada Adit dan Dira. Tak ada siapa-siapa lagi.       

Sudah berapa lama ya Dira mendiamkan Adit, dan begitupun sebaliknya? Lama ya? Semesta, Dira rindu Adit saat ini. Walaupun ada Zali, tapi kenapa rasa untuk Adit tidak kunjung hilang. Padahal sudah Dira paksa untuk pergi.

Bersama dengan hujan pagi ini. Dira mengingat Adit. Saat itu Dira bertemu Zali saat menemani Adit. Dan saat ini Dira bertemu dengan Adit saat menemani Zali. Kenapa jadi terbalik?

Bukannya sejak dulu Dira sangat menyukai bahkan menginginkan Adit, tapi kenapa saat ini justru malah Dira menginginkan Zali? Tapi rasa untuk Adit itu tidak hilang. Dia masih tetap ada di ruangan khusus dan ruangan itu tertutup juga gelap.

Kenapa perasaan ini sangat aneh? Dira mencintai Zali, tapi perasaan untuk Adit kini hadir lagi. Apa sih? Kenapa cerita ini menjadi tidak karuan dan justru malah tidak masuk akal lagi?

Sebenarnya hati Dira untuk siapa? Untuk anak SMK yang hobi tawuran dan mempunyai sifat seperti malaikat, atau untuk anak SMA yang sangat menyebalkan dan mempunyai sikap yang keras. Siapa pemeran utama di cerita ini? Kenapa ceritanya justru jadi berantakan. Harusnya kan Zali itu bukan pemeran utama, Harusnya ceritanya berakhir dengan Adit dan Dira yang berbahagia. Tapi kenapa jarak Adit dan Dira yang kini semakin jauh. Rasanya akhir cerita ini akan berbelok jauh. Berbahagia bersama Zali? Dira setuju, tapi Jika perasaan untuk Adit hadir lagi, Apa Zali juga akan setuju?

Ayolah Dira, kemarin kau menangis karena Zali mempunyai cinta yang lain, tapi sekarang rasanya Dira sadar, itu hanya sebagian dari teka-teki Zali. Dan Dira harus mengikuti teka-teki itu hingga selesai. Walaupun akhirnya akan menyakitkan. Dira sudah bertekad. Setelah menemukan Pak Mulyana dan Pak Cecep kini Dira yakin jika Zali sudah banyak berkorban dan meluangkan waktunya unntuk membuat Dira senang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ENAM MATA, TAPI DELAPAN
563      352     2     
Romance
Ini adalah kisah cinta sekolah, pacar-pacaran, dan cemburu-cemburuan
I'il Find You, LOVE
5326      1404     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
Lavioster
3493      969     3     
Fantasy
Semua kata dalam cerita dongeng pengiring tidurmu menjadi sebuah masa depan
Just a Cosmological Things
776      432     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Letter hopes
852      477     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Little Spoiler
829      517     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Truth Or Dare
7602      1397     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
An Invisible Star
1687      893     0     
Romance
Cinta suatu hal yang lucu, Kamu merasa bahwa itu begitu nyata dan kamu berpikir kamu akan mati untuk hidup tanpa orang itu, tetapi kemudian suatu hari, Kamu terbangun tidak merasakan apa-apa tentang dia. Seperti, perasaan itu menghilang begitu saja. Dan kamu melihat orang itu tanpa apa pun. Dan sering bertanya-tanya, 'bagaimana saya akhirnya mencintai pria ini?' Yah, cinta itu lucu. Hidup itu luc...
Frekuensi Cinta
226      191     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.