Jam istirahat kali ini Dira ikut berkumpul bersama di kantin. Dan Dita bisa bernafas lega karena ia tidak menjadi wanita satu-satunya di antara Marvin dan Adit, satu lagi, Dita juga terhindar dari berbagai komentar negative dari para pengunjung kantin.
“Dira mau seblak ceu Vivin aja” ucap Dira pada Marvin yang sedang menanyakan satu-persatu pesanan mereka.
“Dita mau sama kaya Dira aja, biar si abang nggak ribet”
“Kunyuk lo mau apa?” tanya Marvin pada Adit yang masih terfokus pada handphonenya, Apalagi kalau bukan mobile legends.
“Teh manis anget aja” pandangannya tidak beralih dari game moba itu.
Dita hanya geleng-geleng kepala saat melihat Adit yang terus terfokus pada game sejak bel masuk berbunyi tadi pagi. Keanehan itu juga terjadi pada Dira, Orang yang biasanya menegur Adit saat Adit tertidur atau melakukan hal yang aneh. Tapi kini, Dira diam saja. Bahkan sejak tadi Dira tidak melakukan komunikasi dengan Adit.
“Ra—“ Baru saja Dita ingin berbicara dengan Dira, tapi pandangannya langsung beralih kepada Rio yang kini membuat kantin geger. Orang ini selalu saja membuat rusuh, tidak di kelas, tidak di kantin. Sama aja.
“Ada pengumuman baru di mading utama!” teriaknya dari pintu kantin.
Dengan cepat seluruh penghuni kantin segera pergi menuju ke mading utama, mading berukuran besar yang terpampang di tembok besar yang berada di tengah-tengah gedung, mading itu yang menjadi penengah antara gedung IPA dan gedung IPS.
Dita menangkap namanya yang berada di deretan daftar nama anak kelas XI IPA 2, pengurangan point sebanyak 25.
“Apa-apaan sih. Sekolah ini masih dipimpin sama kepala sekolah yang berotak kan?” Tanya Dita pada Marvin yang berada tepat di sampingnya.
Marvin hanya terdiam, ia mendapatkan pengurangan point sebanyak 45, tidak ada alasan untuk mengelak, ia memang anak nakal, jadi wajar saja. Toh ini juga adalah permintaannya pada sang ayah.
“Bukan gak punya otak lagi, tapi emang gak pernah punya otak” Celetuk Adit.
“Pengurangan point dipublikasiin, bahkan ditempel di mading utama. Bulan depan evaluasi lo semua yang ditempel di sini” Marvin pergi meninggalkan mading itu dengan perasaan kesal.
Perlu dijelaskan, pengurangan point sudah ada sejak dulu, itu adalah berisi tata tertib sekolah. Dan yang melanggar tata tertib akan dikenakan point. Tapi bedanya, dulu pengurangan point hanya di ketahui oleh satu pihak saja, tapi kini, malah dipublikasikan di depan umum.
Dita, Adit, dan Dira berjalan meninggalkan mading, berdiam diri di sana berarti sama saja seperti membiarkan rasa kesalnya membara hingga ke ubun-ubun dan meledak.
Di dalam kelas yang hening itu, saat guru matematika yang harusnya mengajar kini tidak masuk karena kendala macet. Ribuan syukur dipanjatkan kepada sang maha kuasa yang telah memberikan seluruh siswa kelas XI IPA 2 sebuah kebahagiaan dan ketenangan untuk menetralkan perasaannya dari rasa kesal karena pengurangan point.
Semua siswa terdiam, bahkan ada yang tertidur. Rio yang biasanya menjadi biang rusuh saat tidak ada guru, kini malah memilih untuk tertidur.
Terkejut sekaligus kesal rasanya saat terdengar ada suara bantingan besi dengan besi tepat di belakang tubuhnya. Dita menoleh, Ada Syereen yang baru saja membantingkan pintu loker miliknya sendiri.
“Siapa yang udah ngelaporin gue ke Bu Rere?” Teriaknya dari belakang Dita. Suaranya melengking membuat Dita sakit telinga mendengarnya.
“Siapa? Ngaku!!” teriaknya sekali lagi.
Dita menutup telinga sebelah kanannya, mendengarkan Syereen berteriak hanyalah membuat telinga nyeri. Mungkin setelah pulang sekolah Dita harus periksa telinga ke poli THT.
“Heh Bitch!” Siapa? Syereen kali ini berada tepat di hadapan wajah Dita.
“Gak usah pura-pura nggak tahu deh Ta, lo itu emang punya muka banyak ya,” Syereen tersenyum miring. Dita meletakan pensil yang semula ia genggam.
Pandangan mata Dita langsung mengarah ke bola mata berwarna coklat milik Syereen.
“Apa maksud lo?” Dita masih berbicara dengan nada santai, tak ada teriakan di sana. Tidak seperti suara Syereen.
“Di kelas ini Cuma lo yang sentimen sama gue, Gak ada lagi!”
“Bukan gue,” baru saja Dita ingin duduk di kursinya, tapi tangan Syereen langsung mencekalnya. Ditarik rambut Dita dan Dita juga menarik rambut Syereen.
Pertengkaran adu otot itu akhirnya dimulai. Dita yang terus-terusan mendorong tubuh Syereen sehingga ia menabrak loker dan menimbulkan bunyi yang nyaring, dan Syereen yang tak tinggal diam, ia juga membuat Dita menabrak tembok dan menjatuhkan Dita ke lantai, sehingga kursipun jatuh tepat mengenai wajah Dita. Adit yang mencoba menengahi pertengkaran itu justru malah ikut menjadi korban.
Suara teriakan, suara benturan, dan suara dari kedua pihak yang bertengkar menyatu menjadi satu yang membuat telinga menjadi ngilu.
“Stop lo berdua!!” teriak Rio yang membantingkan kursi yang menjadi tempat duduknya.
Seketika semua yang berada di ruangan sontak terdiam menatap sang pengerusuh itu angkat tangan dalam pertengkaran dua orang yang bertitle Atlet taekwondo.
“Mau jadi jagoan lo?” Tanya Rio pada kedua wanita yang kini sudah terkapar di tempatnya masing-masing.
“Dia yang ikut campur urusan gue!” Syereen bangkit. Ia berjalan ke arah Dita yang berada di belakang kursinya.
Syereen layaknya orang yang kesetanan, ia membangunkan Dita dan membuat Dita terkapar untuk kedua kalinya.
Rio menarik tangan Syereen, tapi hasilnya nihil. Tenaga wanita di hadapannya bukan seperti tenaga seorang wanita normal.
“Gue yang ngelaporin lo, sekarang lo mau apa?” Teriakan itu bukan saja membuat Syereen terkejut, tapi Dita juga. Karena orang itulah yang sudah membuat Dita terkapar seperti ini.
Suara itu berasal dari pintu. Dita mencoba untuk bangkit dibantu oleh Dira dan Rio. Setelah bisa duduk di kursi, Dita menatap ke arah pintu dan melihat orang yang menyebabkan semua kemarahaan Syereen salah sasaran. Dia adalah Marvin.
“Pukulin gue sekarang!” ucap Marvin saat Syereen sudah ada di hadapannya.
Baru saja Syereen akan menonjok pipi Marvin, tapi tangannya sudah terlebih dulu menahan kepalan tangan Syereen.
“Pukulin gue sepuas lo, tapi setelah ini lo harus siap untuk mati. Karena lo udah berani bikin Dita hampir mati di tangan lo, Siap?”
Bisa dilihat oleh Dita, Syereen menenggak ludah. Mungkin ia berpikir jika yang ia hadapi adalah Marvin, Anak pemilik sekolah, bukan anak biasa.
“Lo minta maaf sama Dita sekarang”
“Gak akan pernah”
Marvin menunjukkan sesuatu di hanphonennya, Dita tidak tahu, tapi itu membuat Syereen terdiam cukup lama, seperti ada sesuatu di handphone itu yang membuat Syereen terdiam dan memperhatikannya secara seksama.
“Lo bisa dikeluarin dari sekolah ini kapan aja, kalau vidio ini sampe di tangan bokapnya Dita”
“Lo pikir gue takut?”
“Bokap Dita direktur, donatur terbesar di sekolah ini”
“Bokap gue jaksa. Dan gue gak takut. Sama sekali”
Syereen sekilas menatap Dita dan kemudian beralih kembali menatap Marvin.
“Nyali lo cukup bagus. Gue suka. Kita lihat apa yang terjadi satu minggu kedepan.”
Marvin berjalan pergi meninggalkan kelas, dan juga meninggalkan Syereen yang masih mengoceh tanpa henti di depan kelas.
“Ta, ke UKS ya, kita obatin luka lo” Dira sudah 10 kali berbicara seperti itu pada Dita, tapi jawaban Dita masih sama.
“Gak usah, gue baik-baik aja”
Dita bukanlah orang yang mudah memaafkan seperti Dira, pertengkarannya kali ini tidak akan pernah ia lupakan, bukan Marvin, tapi Syereen. Ia jadikan ini sebagai pemula. Awalan pertarungannya bersama dengan Syereen.
***
Dira baru saja melangkahkan kakinya keluar gerbang, hari ini sama sekali tidak ada obrolan dengan Adit, semenjak kejadian kemarin, memang bukan hanya Adit yang menjauhi Dira, tapi Dira juga yang menghindari Adit. Raganya memang dekat, tapi rasanya sangat jauh. Entah kedua rasa itu berada di mana, jauh entah kemana. Mereka seakan berpencar ketempatnya masing-masing, tempat yang menjadi rahasia, dan satu sama lain tidak mengetahui letaknya.
“Diraa,” panggilan itu membuat Dira tersadar dari lamunannya.
Lupa, jika di dunia ini Dira tidak hidup hanya bersama dengan Adit, tapi ada Zali juga.
Dengan langkah yang sedikit dipercepat Dira menghampiri Zali di sebrang jalan, sengaja, tadi ia yang meminta sendiri pada Zali karena ini adalah sekolahnya, bukan sekolah Zali, dan baru-baru ini sekolah Zali dan sekolah Dira sedang berada dalam zona tidak aman. Dan jika ada Davin yang mengetahui jika Zali berada di sini lagi untuk kedua kalinya, Zali bisa dipukuli habis-habisan.
“Ayo naik, Cepetan. Nanti ada si panglima tempur itu. Kalau dia lihat bisa dihajar, udah gak bawa pasukan, sendirian, tangan kosong pula. Ayo Dir” Dira hanya tersenyum. Sebegitu parnonya Zali pada Davin. Padahal siapa sih dia? Cuma orang yang katanya panglima tempur. Dia bukan tuhan.
Setelah Dira duduk sempurna di atas motor Zali, laki-laki itu kembali melepas jaket yang semula ia pakai dan memberikannya pada Dira.
“Jaket aku mana Dir?” Tanya Zali pada saat ia memakai helm hitam.
“Nih” Dira mengambil jaket Zali yang berada di dalam tasnya.
“Jaket yang itu kamu pake. Takut di jalan hujan, soalnya udah mendung. Yang satunya lagi kamu pake kaya tadi pagi. Kita pergi sebentar nggak pa-pa kan?”
“Gak akan lama kan?”
“Jam 4 kita pulang, kamu sampe rumah sekaligus bonus aku anterin kamu ke tempat kerja”
“Iya deh”
Zali melajukan motornya dengan kecepatan lumayan tinggi, bahkan sangat kencang dan membuat Dira berkali-kali menutup mata karena ngeri melihat jalanan.
Yang ada dipikiran Dira pada saat Zali melajukan motornya dengan kencang adalah takut. Takut jika tiba-tiba ada polisi tidur yang tidak kelihatan oleh mata Zali, takut jika tiba-tiba ban motornya kehilangan keseimbagan sehingga bisa tergelintir, dan takut jika tiba-tiba rem motornya blong. Semua prasangka buruk menyelimuti Dira pada saat Zali membawa motornya seperti orang kesetanan.
Akhirnya ketakutan Dira perlahan hilang saat Zali juga perlahan memperlambat laju motornya karena kini mereka sedang berada di jalanan kecil, jalan yang lumayan rusak karena banyak bebatuan di sekitaran rumah penduduk.
Jika tadi jalan yang dilewati adalah rumah penduduk, kini yang mereka lewati adalah kumpulan pohon yang tampak seperti hutan.
“Zal, kamu nggak akan berbuat hal yang macem-macem kan?” Zali tetawa. Apa yang lucu? Pertanyaan yang diajukan oleh Dira bukanlah pertanyaan aneh, tapi ini yang Dira rasakan. Takut. Mereka ke tempat ini hanya berdua. Sepi.
“Zali nggak akan nakal kalau di depan Dira, paling nakalnya dikit”
“Apaan sih, beneran nggak akan macem-macem kan?”
“Kalau aku mau macem-macem, aku nggak usah bilang mau ngajak kamu pergi, aku nggak usah ngasih janji akan bawa kamu pulang ke rumah jam 4 sore, aku juga nggak akan ngasih kamu bonus plus buat nganterin kamu kerja.”
Dira terdiam, benar juga apa yang dikatakan oleh Zali, tapi tetap saja, Dira takut.
Zali memberhentikan motornya di pinggir jalan, bukan jalan sepertinya, ini malah tampak seperti hutan.
“Kamu pegang handphone aku, kalau aku berani macem-macem kamu tinggal telepon siapa aja di sana, pulsanya banyak, nggak di kunci juga.” Zali benar-benar memberikan handphonenya kepada Dira. Dengan genggaman handphone itu, sebagai modal bahwa ia percaya pada Zali. Dia bukan laki-laki seperti Davin. Dira yakin. Walaupun raganya belum benar-benar yakin.
Dira tidak tahu ia ada di mana, apakah ini masih di Bandung? Atau sudah berada di luar Bandung? Tapi Dira merasa motor ini sudah berjalan begitu jauh. Padahal jika dihitung mereka baru pergi selama 30 menit.
Zali menghentikan motornya, tidak tahu ini di mana yang pasti ini adalah tempat yang sejuk dan sunyi sekali.
“Ayo turun, kita nggak punya waktu lama loh” Dira baru tersadar. Jika di tempat parkir saja sudah tercipta kekaguman, apalagi di dalam.
Dan benar saja.
Ada banyak saung yang berhadapan langsung dengan sebuah danau yang indah dan di lengkapi dengan sepasang angsa juga bunga teratai yang tumbuh jarang-jarang.
Zali menarik tangan Dira menuju ke saung yang berada paling ujung. Saung yang memang mempunyai desain yang berbeda dengan saung lain.
“Mau makan gak?” Tanya Zali. Dira masih takjub dengan tempat ini, suasana tempat ini sangat tenang, jauh dari keramaian kota Bandung.
“Baru tahu kalau di Bandung ada tempat yang terpencil, tapi bagus kaya gini”
“Siapa yang bilang kalau ini di Bandung?”
“Bukan Bandung?”
“Subang”
Dira terkejut bukan main, Subang dan Bandung tidak akan mungkin bisa di tempuh dengan waktu 30 menit, terlebih lagi dari sekolah Dira. Minimal waktu yang harus di tempuh sekitar 1 setengah jam.
“Mau makan nggak Dir?” untuk kedua kalinya Zali berbicara kalimat yang sama.
“Minum aja”
“Yakin? Di sini makanannya enak banget. Nggak nyesel kamu nanti?”
“Zali mah, ngehasut aja.”
“Lah memang kenapa? Kamu lagi diet? Badan udah kecil mau diet. Kamu mau terbang?”
“Mau melayang sampe ke langit, sampe nembus pelangi” Ucap Dira yang dibarengi oleh tawa.
“Kalau nggak ada pelangi?”
“Ya nembus bintang”
“Kalau terbangnya siang-siang? Kan nggak ada Bintang”
“Yaudah, terbangnya harus malem”
“Keinginan kamu apa sih Dir?”
“Main ice skating di Winter wonderland, Yorkshire. Terus makan di restoran skyline, New Zeland. Terus mau berenang di Blue lagoon geothermal resort, Islandia. Terus mau ke air terjun Angel, Venezuela, Amerika selatan yang tingginya 979 meter.” Dira tersenyum, Zali juga. Keinginan yang sangat mustahil untuk dicapai oleh seorang Dira. Mengunjungi tempat-tempat itu layaknya sebuah mimpi. Tidak akan pernah ia capai.
“Banyak maunya ya, pantesan Adit selalu bilang, Dira itu cewe yang banyak maunya.”
“Kok kamu baik ya Zal?”
“Emang Adit nggak baik?”
“Nggak, nyebelin banget”
Walaupun memang tidak sepenuhnya nggak baik, tapi Adit lebih sering berbuat sesuatu yang menyebalkan dan membuat Dira menangis.
“Sejak kapan kamu temenan sama Adit?”
“Sejak kecil. Kami sering ketemu di kebun strawberry, almarhum ayahku dulu sering ngajak aku ke kebun strawberry punya ayahnya Adit. Dari kecil dia tuh emang Nyebelin banget. Dia suka ninggalin aku di kebun sendirian, terus juga sering nabrak aku kalau naik sepeda, dan pernah juga dia sering robek buku cerita aku. Tapi itu waktu SD, saat SMP, dia udah sedikit baik, ya Cuma tetep aja ngeselin.” Dira sedikit membuka memori lamanya, memori saat mereka sering bermain di kebun, juga Adit yang sering menimpukinya dengan lilin mainan ketika belajar di kelas, Adit yang dengan sengaja membatalkan wudhu Dira ketika ia hendak melaksanakan Shalat.
“Oh iya Zal, kamu belum mau cerita soal wajah kamu?”Zali hanya tersenyum sambil kemudian menyantap makanan yang sudah tersedia tepat di hadapannya.
“Nggak mau ah, takutnya kamu nangis dengernya”
Dira tersenyum, bahkan nyaris tertawa karena ucapan Zali. Sebenarnya tidak ada titik kalimat yang terdengar lucu, tapi ekspresi wajah Zali saat berbicara yang membuat Dira ingin tertawa.
“It’s oke. Nggak masalah. Aku tunggu kamu cerita dengan sukarela tanpa ada paksaan sedikitpun”
Tempat ini, bukan saja indah, tapi tempat sederhana yang menyajikan makanan yang sederhana namun sangat enak dan bukan sekelas makanan saung, lebih tepat seperti makanan restoran bintang lima.
Tidak mengerti kenapa Zali mengajak Dira pergi ke tempat yang jauh, dengan suasananya sesunyi ini. Bahkan restoran ini lebih terlihat seperti sebuah rumah makan sederhana yang terletak di tengah hutan. Ada apa di sini? Kenapa Zali bisa membawa Dira ke tempat sejauh ini? Padahal di Bandung pasti ada tempat seperti ini.
***
Adit baru saja memarkirkan motornya di rumah pohon, rumah yang menjadi markas sekaligus tempat menyimpan seluruh alat musik yang digunakan untuk menggelar pentas.
Dilihat dari bawah, rumah ini sangat sepi, hanya ada motor Zali yang terparkir tepat di samping motornya.
Sampai di atas rumah pohon ia langsung menangkap sosok Zali yang sedang duduk di ujung ruangan bersama dengan gitar milik mereka berdua.
Gitar yamaha akustik elektrik APX 500II merah metalik. Dulu mereka membeli gitar ini dengan uang mereka sendiri yang ditabung selama 6 bulan dengan menahan jajan setiap kali istirahat sekolah. Dari TK hingga saat ini mereka belum pernah merasakan bagaimana rasanya satu sekolah, berada di gedung yang sama. Karena ayah Zali memang selalu mencarikan sekolah yang lebih bagus dibandingkan dengan sekolah Adit.
Dari pintu rumah pohon bisa dilihat jika Zali sedang menunduk, dengan baju seragam basah yang menempel di tubunya.
Adit duduk di sebelah Zali, laki-laki di sampingnya ini belum menyadari akan kehadirannya. Adit mengambil baju yang berada di dalam tasnya lalu memberikan itu kepada Zali.
“Apa sekarang lo masih mau diem aja Zal?” Zali mengambil baju kaos yang baru saja diberikan oleh Adit. Baju basah yang menempel di tubuhnya langsung ia buka dan ia ganti dengan baju kering yang baru saja diberikan oleh Adit.
“Gue cerita saat waktunya udah tepat. Saat semesta udah nggak kuat lagi untuk ngasih apa yang gue butuhin”
“Apa yang lo butuhin?”
“Samsak, nikotin, alkohol, dan semua hal yang buat pikiran gue tenang.”
Adit terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Zali, sahabatnya kini malah bertambah buruk.
“Gue wajarin kalau lo butuh samsak, tapi gue nggak mau lo nyentuh nikotin, tembakau, apalagi alkohol. Lo sama aja kaya ngebunuh diri lo sendiri.”
Adit menghela nafas, ia membiarkan sahabatnya yang satu ini mendapatkan ketenangan yang ia cari, ketenangan yang saat ini ia butuhkan untuk mengobati dirinya sendiri yang nampak terluka, namun tidak tahu, apa penyebab luka itu datang dan Zali mencari obatnya.
“Gue baru aja ngajak Dira ke Subang, restoran di pinggiran Subang. Perbatasan Bandung sama Subang” Zali membuka suaranya saat Adit baru saja ingin beranjak.
“Restoran yang sering banget kita kunjungin sama keluarga kita, kalau mau ke sana cepet kita harus lewat hutan dan lo selalu nangis karena lo takut sama suasana sepi” Adit mencoba mengulang memorinya beberapa tahun yang lalu, saat semuanya nampak baik-baik saja, saat hidup Adit sama seperti hidup Zali, di teriaki oleh ibunya untuk segera pulang karena hari sudah menjelang malam, Dan Zali yang selalu menangis saat ia dipaksa pulang oleh bundanya.
“Gue kira hidup selalu baik-baik aja, tapi ternyata nggak. Layaknya hidup lo. Dulu semua kelihatan senang, baik-baik aja, selalu suara tawa yang keluar, tapi hingga ada waktunya, tawa itu berganti sama air mata.” Adit membulatkan matanya, mendengar ucapan Zali ada benarnya, semua tentang kehidupannya beberapa tahun silam. Dunia yang biasanya diisi oleh tawa kini malah berubah dengan air mata. Dunianya benar-benar berputar.
“Apa yang lo rasain sekarang sama kayak apa yang gue rasain dulu?” pikiran Adit kini mulai terbuka, mengingat satu demi satu kejadian yang terjadi pada diri Zali.
Berawal dari sekedar menginap untuk menemani Adit yang berada di rumah sendiri, kini malah berkelanjutan. Zali yang biasanya tidak boleh menginap bahkan tidak boleh keluar sampai larut malam, kini malah menjadi anak yang berkeliaran pada saat larut malam, Zali yang sering ke sekolah menggunakan Bus karena hukuman orang tuanya ketika Zali melakukan suatu kenakalan, tapi kini saat Zali berlaku melewati batas wajar, yaitu tawuran, ia tetap diam saja, semuanya seperti biasa-biasa saja. Berbeda dengan dulu. Dan satu lagi, Zali yang tidak menyukai pertengkaran, kini malah menjadi seseorang yang berada di barisan paling depan pada saat tawuran antar sekolah.
“Gue Cuma butuh waktu untuk cerita. Waktu buat nguatin diri gue sendiri untuk berbagi cerita yang jauh dari cerita bahagia.” Adit menghela nafas dan menghembuskannya secara kasar.
Ini adalah keinginan Zali, kalau ini yang membuatnya tenang, Adit tidak bisa memaksa Zali untuk bercerita dan berbagi kisah dengannya.
“Lo harus istirahatin tubuh lo, muka lo pucet banget.” Adit melihat Zali kembali menelungkupkan kepalanya dengan kedua kakinya.
“Gue pinjem jaket lo Dit, gue mau tidur di sini”
“Lo balik sekarang. Atau lo bisa istirahat di rumah gue. Asal jangan jadiin rumah pohon ini untuk lo istirahat malem ini”
“Gue terlalu banyak ngerepotin lo,”
“Gue juga Zal, saat bokap nyokap gue berantem dan diambang perceraian, keluarga lo yang nampung gue, keluarga lo yang nenangin gue saat gue nangis. Jangan anggap lo selalu ngerepotin gue, Gak pernah ada kata repot untuk seorang sahabat Zal”
Adit membuka jaket yang awalnya menempel di tubunnya, lalu memberikan pakaian hangat itu pada orang yang membutuhkannya, yaitu Zali.
***
Baru saja Dira sampai di gerbang sekolah, baru juga semyuman tercipta di bibir tipis milik Dira, tapi begitu melewati gerbang senyumannya menghilang karena Davin muncul tepat dihadapan Dira.
Pagi-pagi udah ngeliat setan. Lewat siangan dikit aja, gue liat jin, iblis, dedemit kali-Batin Dira.
“Jadi panglima tempur dari lentera itu pacar lo?” tanpa basa-basi atau aba-aba, orang di hadapan Dira ini langsung to the point menyampaikan tujuannya.
“Apa urusan lo?” ujar Dira acuh.
“Gue nanya,”
“Kayaknya kata-kata lo tadi gak pantes disebut sebagai pertanyaan, tapi lebih cocok disebut sebagai tuduhan.”
Dira kemudian berjalan melewati Davin yang terdiam akibat ucapan Dira.
Tapi langkah Dira tidak berlangsung jauh, Davin dengan suaranya membuat Dira menoleh ke arah laki-laki sialan bin brengsek itu.
“Kalau iya, gue nggak salah sasaran, gue tepat sasaran ngeroyokin cowo baru lo itu”
Jantung Dira berhenti berdetak untuk beberapa detik. Jadi karena ini? Karena Davin dan teman-temannya yang menyeroyok Zali sehingga wajah laki-laki itu terdapat begitu banyak lebam.
“Kenapa? Kaget? Ra, kalau cari cowo yang jantan dikit. Lawan gue aja udah kalah.” Dira tidak menghiraukan ucapan Davin. Ia terus berjalan menuju ke kelas, ini masih pagi, dan semoga saja kelas masih sepi agar Dira bisa menelepon Zali untuk mengetahui kabarnya dan kejelasan dari ucapan Zali barusan.
Dira membuka handphonenya lalu mencari tombol kontak dan mencari nama Zali. Setelah ia temukan nomor ponsel Zali, dengan segera ia menelepon Zali. Dan untung saja terhubung dengan cepat.
“Hallo?”Terdengar sekali oleh telinga Dira jika suara Zali sangat berat. Seperti orang sakit.
“Zal, aku tahu penyebab wajah kamu babak belur gitu” Dira langsung to the point menyampaikan sesuatu yang sudah ia ketahui baru saja.
“Adit yang cerita?”
“Adit tahu?” Apa? Ternyata Adit tahu apa yang terjadi pada Zali? Kenapa nggak cerita?
“Dia nggak akan mungkin cerita sama kamu Dir, kamu kan lagi diem-dieman sama dia. Jadi kamu tahu dari siapa?”
“Davin”
Terjadi keheningan yang cukup lama di sebrang sana. Entahlah apa yang terjadi, apakah dia sedang berpikir? Atau sedang melakukan suatu hal yang Dira tidak tahu. Tapi benar-benar jelas, terjadi keheningan yang lumayan lama.
“Zal? Kamu sakit ya?”
“Emm- kenapa Dir? Kamu tanya apa?”
“Nggak jadi, udah ya. Aku mau lanjutin ngerjain tugas”
Kemudian Dira memutuskan panggilan secara sepihak.
Kini pikirannya menjalar kepada Davin, Apa alasan Davin membuat Zali babak belur seperti itu, dan dia bilang panglima tempur? Apa Zali itu panglima tempur? Mana mungkin?
Apa yang sebenarnya Zali sembunyikan dari Dira? Apa yang Dira tidak tahu dalam cerita Davin dan Zali?
***
Rooftop!
Matahari bersinar cukup cerah hari ini. Sinar yang dipancarkan juga menimbulkan rasa hangat pada kulit.
Pantang sekali bagi seorang wanita bermain ke Rooftopdengan cuaca yang seperti ini. Tapi untuk kali ini, Adit menyeret mantan pacarnya ke bagian atas gedung yang berkontak langsung dengan matahari.
“Jadi lo ngaku sekarang atau gue kasih vidio ini ke wali kelas lo?” Masih terdapat nada bicara yang biasa-biasa saja, bahkan suara gertakan juga belum terdapat di sana.
“Kalo iya, kenapa? Apa masalah lo? Dia pantes ngedapetin itu dari gue. Itu sama sekali nggak ada artinya dibandingkan dengan rasa sakit gue akibat perlakuan lo ke dia” Emosi wanita yang ada di hadapan Adit sudah naik, disaat Livi menjadi api, Adit harus menjadi air untuk menghangatkan suasana ini.
“Masalah gue? Itu masalah perasaan gue sama dia. Sejak lo ngelakuin hal itu, dia semakin jauh. Lo tau karena apa? Takut!” Adit mendekatkan wajahnya ke wajah Livi yang berada tepat di hadapannya. Hanya 5 cm jarak antara kedua wajah itu. Bau parfum Livi begitu tercium oleh indra penciuman milik Adit.
“Makasih untuk pemberitahuan barunya. Jadi itu alasan lo untuk mutusin gue beberapa bulan yang lalu. Karena lo sayang dia, karena lo mau jadiin dia pacar lo?” Pertanyaan Livi yang satu ini tidak membutuhkan jawaban. Pernyataan Adit di atas bukankah sudah menjelaskan semuanya? Kenapa masih bertanya?
“Kalo bisa gue pukulin lo sekarang, akan gue pukulin lo sampe lo musnah di bumi ini.” Adit menghela nafas, menjeda ucapannya lalu berjalan satu langkah lagi ke depan Livi, mendekati wajah Livi yang tampak memerah. “Identitas lo sebagai perempuan yang bikin gue inget. Kalo adik dan kakak gue juga perempuan”
Adit berjalan pergi meninggalkan Livi, bicara dengan wanita itu tak akan pernah ada habisnya. Wanita yang keras kepala. Bisa Adit akui jika Livi adalah wanita cantik, tapi hatinya tidak secantik wajahnya. Jika wajah adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang jatuh cinta, maka hati adalah sesuatu yang membuat seseorang untuk menetap. Jadi setelah Adit mengetahui semuanya, tak ada alasan untuk Adit menetap di hati milik Livi.
“Adit!!!” panggilan itu membuat Adit kembali menoleh. Di dapatinya Livi sedang berlari ke arahnya. Adit hanya terdiam di tempat, menatap Livi yang tengah berlari ke arahnya.
“Lo jahat! Lo cowo brengsek yang pernah gue temuin. Kenapa lo buat gue jatuh cinta tapi akhirnya lo buat gue benci sama lo.” Livi mendorong tubuh Adit hingga tersungkur ke dasar Rooftop yang kasar. Dan lumayan sakit.
Adit dengan cepat bangkit dari ketersungkuran dirinya. Ia dekati wajah Livi untuk kesekian kalinya. Dari jarak dekat sangat jelas terlihat sekali jika mata Livi terdapat selaput tipis, yang tak lain adalah bendungan air mata.
“Lo belum cukup dewasa untuk menyikapi apa yang namanya Cinta, lo seharusnya bisa terima semua. Laki-laki datang karena cinta, dan laki-laki pergi karena dusta. Dan lo udah buat gue pergi karena perlakuan lo sendiri.” Adit menatap wajah Livi. Air mata milik Livi jatuh begitu saja. Sebisa mungkin Adit mencoba untuk tidak peduli, wanita di hadapannya ini adalah Aktris, dia pandai memainkan drama. Dan bisa saja ini adalah drama yang ia buat.
“Mau lo nangis darah di depan gue, sampai kapanpun keputusan gue nggak akan pernah berubah. Lo udah banyak bikin gue kecewa Liv” Adit membalikkan tubuhnya dari hadapan Livi dan berjalan dengan langkah cepat menuju ke kelas.
Mantan ya tetap saja mantan, dan Adit tidak akan mengembalikkan dirinya kepada pelukan mantan. Sebagaimanapun orang itu menangis meminta Adit kembali, ia tidak akan kembali.
Langkah kaki Adit berhenti tepat di kelasnya, di meja miliknya sudah terdapat sebuah sticky note berwarna pink yang ia yakini milik Dira.
Lo tahu kalau Zali dikeroyok sama Davin? Kenapa gak bilang?
Adit menghela nafas dan menghembuskannya secara kasar. Zali lagi? Apa sebegitu menyebalkannya diri Adit sampai-sampai Dira tidak pernah merasakan jika Adit juga merasakan hal yang sama seperti Zali. Sama-sama menyukai bahkan mencintai seorang Dira.
Apa perlu aku buat kamu sadar Ra?- Batinnya.
***
Dira menarik sepedanya yang semula berada di parkiran. Rantai sepedahnya kembali terlepas!
“Bawa ke bengkel depan aja” Ucapan itu membuat Dira menoleh. Matanya menangkap sosok Adit yang sudah berdiri tepat di belakangnya.
“Gak usah, ngerepotin.” Ucap Dira yang kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke arah sepeda. Mendorong sepeda itu hingga keluar gerbang.
“Sebegitu jahatnya gue di mata lo Ra?” Bukan lagi terkejut, Kalau orang yang mempunyai penyakit jantung, pasti saat ini ia sudah mati karena tiba-tiba makhluk ini muncul di sampingnya. Tanpa suara motor, karena motornya juga ikut didorong.
“Lo gak jahat, lo Cuma nyebelin”
Dira terus berjalan sambil mendorong sepedanya. Begitupun dengan Adit, ia terus mendorong motornya di samping Dira.
“Zali lagi sakit, Dia lagi nginep di rumah gue.” Dira sudah tahu, walaupun tadi Zali tidak memberitahu Dira jika dirinya sedang sakit, tapi jelas saja. Dira bisa tahu, karena cara berbicara Zali sudah seakan memberitahu Dira jika ia sedang sakit.
“Udah tahu,” Ucap Dira singkat.
“Sepedah lo gue taro di bengkel aja ya, lo pulang bareng gue aja”
Belum sempat Dira menjawab, Adit langsung mengambil alih sepedahnya dan langsung menggiring sepeda itu menuju bengkel yang berada tepat di depan sekolah.
Dira hanya menatap kelakuan orang itu dengan tatapan heran. Selama ini memang Adit tidak sepenuhnya menyebalkan, terkadang dia juga sering berbuat baik untuk Dira. Walaupun memang tetap saja, kejailannya yang paling banyak terhitung oleh jari Dira.
Tak lama, Adit kembali dengan tangan kosong, sepedanya ditinggal di bengkel. Sinting!
“Kenapa sepeda gue lo taro di bengkel?”
“Lo mau nungguin? Ya silahkan kalau mau. Nggak ngelarang”
Dira berjalan menuju ke bengkel tempat sepedanya berada, meninggalkan Adit sendiri di jalan itu.
Menyebalkannya tetap ada, kenapa Adit dilahirkan menjadi laki-laki yang menyebalkan? Kenapa dia terlahir menjadi laki-laki keras kepala? Apa dia kehabisan stok kepala yang lunak? Apa dia kehabisan stok sifat baik?
Dira melihat Adit melajukan motornya meninggalkan kawasan sekolah, dan itu artinya dia pulang dan tidak menunggu Dira untuk menyelesaikan sepedanya.
Kenapa? Kenapa sikap Adit berubah-ubah, kadang manis, kadang dingin, kadang menyebalkan, kadang baik, kadang pengertian, dan semuanya berubah-rubah. Dira selalu merasakan perubahan itu, apa hanya di depan Dira sikap laki-laki itu mengalami perubahan? Tapi kenapa?
Sudah 2 jam lebih, dan sekarang sudah menginjak jam 4 sore. Sepedanya belum juga selesai.
“Mas, yang ini kapan dikerjain ya?” Dira menunjuk sepedanya yang masih berada di luar. Bahkan mungkin belum disentuh karena para montir sepeda itu masih menyelesaikan banyak sepeda.
“Oh, ini yang dianterin sama si mas yang pake seragam SMA itu ya,?” Dira hanya mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan mas montir ini. “Ini baru dikerjain besok mba, soalnya si mas nya bilang besok aja dikerjainnya”
Seberapa parah menyebalkannya dia saat ini? Kenapa tidak bilang jika besok baru selesai di kerjakan? Dasar!
“Yasudah mas, kalau gitu saya permisi”
Dira meninggalkan tempat itu dengan air mata yang nyaris jatuh ke pipinya. 2 jam, ia belum sama sekali menyentuh makanan dan belum istirahat, ditambah lagi detik ini juga, Dira harus pergi ke tempat kerja.
Bukan saja lelah, tapi kesal juga menyelimuti tubuh Dira saat ini, semesta, kenapa Dira bertemu dengan laki-laki semenyebalkan ini?
Ponsel Dira berbunyi, dan menampilkan nama Adit di ujung layar, dengan cepat ia menyekat air mata yang hampir jatuh. Malu, ini jalanan.
“Masih di bengkel?” Ucap seseorang di seberang sana.
“Nggak!”
“Jangan marah sama gue, nggak ada juga yang nyuruh lo buat nunggu di sana”
“Tapi kenapa lo nggak bilang”
“Lo nggak ngasih gue waktu buat ngomong”
Dengan segera Dira memutuskan panggilan secara sepihak, masa bodoh dengan Adit yang mencoba untuk menelponnyaa lagi. Tidak peduli. Rasa kesalnya kini kian bertambah.
***
“Jail banget sih lo Dit” Ucap Zali pada Adit yang baru saja selesai menelpon.
Bisa ia yakini, seseorang yang baru saja berbicara dengan Adit adalah Dira. Siapa lagi kalau buka Dira? Hanya Dira wanita yang sering Adit ganggu sebegitu parah. Tapi hanya kepada Dira jugalah Adit selalu merasa bersalah setiap kali selesai mengganggunya.
“Dira tuh kadang butuh hiburan, ya gue kasih hiburannya” Adit beranjak dari jendela kamarnya dan duduk tepat di ujung kasur, di samping Zali.
Saat ini Zali masih berada di rumah Adit, ia belum sama sekali menginjakkan kakinya di rumah sejak kemarin. Rasanya malas, di rumahnya sekarang bukan lagi sebuah ketenangan yang Zali dapatkan. Melainkan sesuatu yang membuatnya sakit telinga.
“Lo suka sama dia kan?” Zali akhirnya angkat suara, menyampaikan apa yang sudah ada di kepalanya sejak lama.
Tentang perlakuan antara Adit dan Dira yang terlihat berbeda setiap kali bersama atau setiap kali mereka bertengkar.
“Lo ngomong apa sih Zal” Adit tidak bisa mengelak, Zali tahu itu, dari raut wajah Adit saat menatap Dira, sama seperti raut wajah Zali menatap Dira.
Bukankah jika tatapan itu sama, perasaan dalam hatinya juga sama? Rasanya memang begitu. Lagipula, mana mungkin Zali salah menebak, Zali tahu siapa Adit. Adit itu seperti bayangannya selama lebih dari 15 tahun.
“Berani lo bohong sama gue? Berani lo tanggung resiko kalau lo sekarang nggak jujur sama gue?”
Bisa disebut ini adalah ancaman, tapi ini adalah cara Zali agar sahabatnya bisa membuka mulut dan berkata jujur.
“Kalaupun iya, gue nggak akan bilang tentang perasaan ini sama Dira. Lo tau?” Adit menjeda ucapannya, ia membuat Zali bingung sekaligus penasaran dengan kelanjutan ucapannya. “Semua perasaan nggak seharusnya disampaikan. Dan gue pikir, Gue lebih cocok untuk jadi pengganggu Dira. I think, that’s enough to make me happy.”
Zali menghela nafas, ditatapnya Adit dari jarak dekat. Ia tahu, Adit masih menyembunyikan perasaannya. Kebohongan kini malah semakin terlihat, semua itu seakan terlihat jelas mendekap tubuhnya bagaikan selimut atau pelukan seseorang. Bagi orang lain mungkin tak terlihat, tapi Zali adalah sahabatnya, ia bahkan mengetahui dengan detail seperti apa orang yang ada di hadapannya saat ini.
“Gue bisa mundur kapan aja Dit, tapi kalau cara lo kaya gini, justru malah maksa gue buat mundur.”
“Nggak seharusnya lo mundur”
“Dan nggak seharusnya lo bohong sama perasaan lo sendiri”
Adit terdiam, keduanya terdiam. Menciptakan keheningan yang cukup lama, hanya ada suara angin yang berhembus melalui pohon yang ada di depan rumah Adit. Gemersiknya memecahkan keheningan. Walaupun memang keduanya masih larut dalam pikirannya masing-masing. Tapi hanya suara itu yang kini terdengar oleh telinga kedua manusia ini.
Keduanya masih sama-sama terdiam, Zali berpikir dengan alasan Adit adalah sahabatnya, bahkan saat ini juga Zali membutuhkan Adit untuk menjadi penguat baginya.
Bahkan Zali tidak ingin menjadikan Adit musuhnya, apalagi dengan alasan Cinta. Tidak mungkin semudah itu ia menghilangkan bayangan yang sudah menemani hampir sepanjang hidupnya.
“Gue tahu satu hal, satu hal yang udah lama gue lupain, tapi beberapa waktu lalu muncul lagi” Zali menghela nafas kemudian menghembuskannya secara perlahan. Helaan nafas itu seperti ancang-ancang untuk menyiapkan dirinya berbicara panjang kali lebar. “Dira itu, anak perempuan yang sering lo ceritain ke gue saat kita masih kecil kan? Dia Dira, anak perempuan yang sering lo temuin di kebun bokap lo, anak yang selalu lo bikin nangis di kebun, tapi dia selalu berlaku baik sama lo. Dia Dira kan Dit? Dira yang sekarang bikin lo jatuh cinta?”
Zali bisa melihat bagaimana ekspresi wajah Adit saat mendengar nama anak perempuan itu adalah Dira. Tidak tahu apa yang dirasakan oleh Adit saat ini, tapi tatapanya begitu terkejut saat Zali mengetahui persoalan ini.
“Lo tahu dari siapa?”
“Lo kira kisah itu milik lo sendiri? Dira juga punya sepenggal cerita yang belum selesai itu.”
“Dira udah cerita?”
“Lo laki-laki. Gue tahu dia jatuh cinta sama lo. Dia butuh lo”
“Dia sama sekali nggak butuh gue, bahkan gue itu kaya parasit di hidup dia”
“Suatu saat nanti lo bakal nyesel sama keputusan lo saat ini”
Zali beranjak dari tempat duduknya dan bejalan mengambil tasnya yang berada di meja belajar.
“Gue balik dulu, tapi gue masih boleh nginep di sini kan?” Zali menatap Adit yang masih terdiam di ujung kasur.
Sampai akhirnya ia mengambil sebuah kardus kosong yang berada di meja belajar dan melemparkan kardus itu ke arah Adit yang sedari tadi terdiam tanpa berkutik sedikitpun.
Adit yang mendapatkan serangan tiba-tiba sontak terkejut dan langsung melemparkan kembali kardus kosong itu kepada Zali.
“Istirahat lo!” ucap Adit yang hanya dibalas acungan jempol oleh Zali.
Zali melangkahkan kakinya menuju ke luar rumah, rumah Adit sama seperti rumah Zali, bahkan terlihat lebih sepi. Jika dibandingkan dengan kuburan, rumah Adit dan Zali lebih parah daripada kuburan.
***
“Udah lah Ra, jangan cengeng. Dia paling Cuma iseng sama kamu”
Revan tidak mengetahui apa yang dirasakan oleh Dira saat ini. Orang yang ia kira baik, orang yang ia kira akan menjadi pengganti ayahnya, kini malah lebih sering mengganggunya bahkan lebih sering membuat ia pusing akan kata-kata dan perbuatan yang membuat Dira bingung.
“Kenapa dia jahat sih kak?”
“Karena dia laki-laki”
Dira menatap Revan dengan tatapan bingung. Apa yang baru saja ia ucapkan? Apa hubungannya?
“Karena dia laki-laki. Dalam artian dia nggak sepenuhnya jahat sama kamu. Kadang orang yang jail itu biasanya nyimpen sebuah perasaan”
“Perasaan benci”
“Mana pernah dia benci sama kamu. Orang buta juga bisa lihat kalau dia berharap sama kamu, dia cinta sama kamu, dan cara dia mencintai kamu ya dengan cara itu, mengganggu kamu”
“Apaan sih” Dira mendorong tubuh Revan hingga ia nyaris terjatuh. “Orang buta mana bisa ngelihat”
Apa benar yang di ucapkannya barusan? Adit mencintai Dira? Apa mungkin?
Kalau benar, Itu artinya Dira tidak jatuh cinta sendirian, begitu maksudnya?
***
Selamat pagi Bandung!
Pagi ini Dira dikejutkan oleh kedatangan Adit dan Zali yang kerumahnya secara tiba-tiba. Satu sama lain tak ada yang memberitahu jika ingin datang kerumah.
Dira menghampiri Zali yang duduk di atas motor hitam bercak merah. Seragamnya ia biarkan terbuka tanpa jaket yang biasanya menempel di tubuhnya.
“Zal, kok gak bilang?” Pertanyaan Dira justru dibalas senyuman oleh Zali.
“Kalau ke sini aku gak pernah bilang dulu kali Dir”
Dira menatap Zali dengan tatapan kebingungan.
Kini ia berjalan ke arah Adit yang memarkirkan motornya tepat di belakang motor Zali.
“Lo juga kenapa gak bilang dulu?”
“Gue harus tanggung jawab, karena sekarang sepeda lo ada di bengkel karena ulah gue”
Dira terdiam, ia berdiri di tengah-tengah kedua manusia itu. Menatap satu persatu secara bergantian.
Ditatapnya Zali, orang itu pasti sudah datang lebih dulu dari Adit, tapi pergi ke sekolah bersama dengan Zali sama saja seperti mengantarkan Zali ke kandang macan. Terlebih lagi Dira sudah mengetahui dengan jelas apa penyebab lebam di wajah Zali.
Pandangannya beralih ke arah Adit. Laki-laki menyebalkan itu pasti datang sesudah Zali, Dira tidak mungkin pergi ke sekolah dengan Zali, tapi Dira juga tidak mungkin pergi ke sekolah dengan Adit, ia sedang marah pada laki ini, dan Dira juga tidak ingin menyakiti hati Zali yang sudah jelas menyukai Dira.
Dira menghela nafasnya, melihat dua laki-laki ini secara bergantian untuk ke sekian kalinya. Ditatapnya jam tangan yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kanan, sudah jam 06.35.
Tak ada pilihan lain, Dira harus menghindari keduanya.
“Kalian pergi aja, gue jalan kaki aja”
Dira berjalan meninggalkan Adit dan Zali yang terdiam tanpa kata. Dengan langkah yang dipercepat Dira sesekali menoleh ke arah belakang, ke arah kedua laki-laki itu berada.
Zali dan Adit mendorong motor besarnya itu. Entahlah apa yang ada di pikiran kedua laki-laki itu, tapi mereka berdua tetap berdiam,tanpa mengadakan kontak bicara sedikitpun.
Langkahnya kini semakin ia percepat karena 5 menit lagi bel sekolah akan berbunyi dan saat ini Dira masih berada lumayan jauh dari sekolah. Dira bukan hanya gila pagi ini, tapi Dira juga sudah kehilangan otaknya karena kedua laki-laki ini.
Sambil memikirkan gerbang sekolah, Dira juga memikirkan apakah kedua laki-laki itu akan tetap baik-baik saja setelah kejadian pagi ini?
Dira menghela nafas, ia menoleh ke arah belakang, Adit dan Zali masih tetap mengikuti Dira dari belakang sambil mendorong motornya masing-masing. Mereka tampak biasa saja, tak ada pancaran kemarahan atau kekesalan dari wajahnya. Lalu, apa alasan Dira untuk tetap panik?
Sampai di gerbang sekolah Zali pamit untuk pergi ke sekolahnya, Sementara Adit berdiam diri di samping Dira. Gerbang sudah di tutup, dan itu artinya Dira bisa masuk kelas melalui hukuman terlebih dulu.
Terjadi keheningan yang cukup lama antara Dira dan Adit, tak ada kata-kata yang Adit ucapkan, begitupun dengan Dira. Masing-masing hanya terdiam, tak ada kontak bicara yang terjadi, sampai akhirnya pak satpam membukakan pintu gerbang bersama dengan Bu Sin yang tak lain adalah guru piket.
“Ayo masuk” ucap Bu Sin halus, tapi Dira tahu, Bu Sin hanya mengambil ancang-ancang untuk memberi hukuman untuk muridnya, tapi ini adalah triknya, memperlakukan anak murid yang telat dengan halus, tapi kemudian memberikan hukuman dengan tekstur yang kasar.
“Adira 15 putaran, Aditya 25 putaran. Lakukan sekarang”
Dengan segera Dira meletakkan tasnya di pos satpam dan berlari menuju ke lapangan utama.
Bagaimanapun, orang yang melanggar harus tetap dihukum. Hukuman itu tidak pandang bulu, tidak mengingat dia wanita atau pria, muda atau tua, kaya atau miskin, hukuman adalah hukuman, pejabat tinggi saja bisa dihukum, apalagi Dira yang hanya berstatus sebagai seorang siswa.
Sudah 10 kali putaran Dira menglilingi lapangan ini, cuaca terik membuat Dira mengeluarkan keringat yang membasahi tubuhnya. Kantung mata Dira yang membesar karena kurang tidur juga menjadi salah satu faktor yang membuat Dira semakin lelah.
Di pertengahan lapangan Dira menghentikan langkahnya, tubunya seakan melayang, bukan melayang dalam artian terbang, tapi tubuhnya terasa sangat ringan, pening di kepala juga begitu terasa dan makin menjadi saat Dira merasakan ada Cairan kental yang keluar melalui hidungnya. Dira menyentuh bagian bawah hidungnya, dugaannya benar, hidung Dira sudah mengeluarkan darah kental berwarna merah.
Dira menenggakkan kepalanya ke langit, mencoba untuk mengurangi pengeluaran darah yang terus mengalir melewati hidungnya. Pandangan Dira saat ini beralih pada bayangan yang menutupi tubuhnya dari sinar matahari. Orang itu adalah Adit.
Adit menyentuh hidung Dira dan membersihkan darah yang terus mengalir di hidung Dira.
“Istirahat sana”
“Hukuman gue belum selesai” Dira menyingkirkan tangan Adit yang semula berada di hidungnya.
“Gue yang selesain” Dira hanya menoleh, kemudian langkah kakinya kembali melanjutkan hukuman yang seharusnya ia selesaikan.
Tepat di ujung lapangan, Adit berhasil menggenggam tangan Dira. Dira yang merasakan itu langsung menatap Adit dengan tatapan kesal.
“Gue bukan mau sok jagoan, gue Cuma gak mau lo sakit di sini. Ini Cuma hukuman untuk bikin lo jera, kalau lo kenapa-napa, Apa pihak sekolah mau tanggung jawab? “ Dira terdiam, Adit segera berlari menuju ke meja piket yang berhadapan langsung dengan lapangan. Entah apa yang dilakukan oleh laki-laki itu, tapi setelah dari sana Adit kembali berlari dan Bu Sin menghampiri Dira untuk menyuruh Dira segera masuk ke dalam kelas.
***
Pelajaran Bu Hida sudah dimulai sejak 45 menit yang lalu, tapi hingga kini Dira belum juga menampakkan wajahnya di hadapan Dita.
Bisa dibilang wajar jika seorang Adit yang terlambat, tapi ini Dira juga telat? Kenapa?
Setelah cukup lama Dita berkutik dengan pikirannya, Bu Sin datang bersama dengan satu orang siswa, siapa lagi kalau bukan Dira. Tapi kenapa wajah Dira terlihat begitu pucat?
“Bu Hida, anak murid ibu 2 orang telat, yang satu masih saya hukum di lapangan” Ucap Bu Sin pada Bu Hida.
“Terimakasih Bu,” setelah itu Bu Sin pergi dari kelas dan Dira berjalan menuju ke kursinya.
Setelah pelajaran Bu Hida selesai Dita langsung menghampiri Dira.
“Ra, kamu kenapa?”
“Nggak pa-pa”
Dita tahu, Dira tidaklah benar-benar baik, wajahnya pucat dan kantung matanya hitam.
Dita beranjak dari kursi yang berada di sebelah Dira, ia mengambil baju olahraga yang berada di lokernya karena sebentar lagi pelajaran olahraga akan berlangsung.
“Ra, aku tahu kamu lagi gak baik-baik aja. Kamu itu temen aku Ra, jangan ragu untuk cerita semua masalah yang kamu rasain, masalah gak akan pernah selesai kalau kamu diam aja” Ucap Dita yang kemudian beranjak pergi meninggalkan kelas karena sudah mendapatkan teriakan dari salah satu temannya.
Jika berbicara dengan Dira rasanya tak bisa bicara kasar, apalagi sekarang,. Setelah mengganti baju Dita kembali menuju ke kelas, Di koridor Dita bertemu dengan Adit yang membawa segelas teh hangat. Dita melihat Adit terlihat berbeda, dia lebih berantakan dibandingkan hari-hari biasanya.
Sampai akhirnya Dita sampai di ambang pintu, ia melihat ada pertengkaran antara Adit dan Dira. Mereka hanya berdua, dan tampaknya Adit sedang dilanda emosi yang berat pula.
“Stop kasih gue perhatian lebih, gue takut kalau-“ dengan cepat Adit memotong ucapan Dira.
“Takut apa? Takut Zali tau, takut Zali marah karena liat lo selalu sama gue iya Ra?”
“Gak gitu, gue Cuma takut kalau kalian berantem gara-gara gue.”
“Lo udah bikin gue berharap lebih sama lo Ra, tapi lo juga yang bikin harapan itu pupus dan berubah jadi angan-angan”
Dita tidak bisa diam saja, Dita segera masuk ke dalam kelas dan itu membuat Adit terkejut. Dita bisa melihat jika di wajah Adit jutaan rasa kecewa dan rasa lelah.
“Pergi lo” Ucap Dita pada Adit yang masih berdiri di hadapan Dira.
Dengan segera juga Adit pergi meninggalkan kelas, Dita terus menatap tubuh itu hingga menghilang di ambang pintu.
Dita memeluk Dira, isak tangis Dira pecah begitu saja saat elusan tangan Dita mendarat di punggung Dira. Walaupun Dita juga menyukai Adit, tapi Dita juga merasa sakit saat melihat Dira menangis karena perlakuan Adit yang tiba-tiba keras pada Dira.
“Kamu harus sadar kalau kamu punya aku Ra, kamu bisa datang kapan aja. Aku lebih suka Dira yang sering ngomong dibandingkan dengan Dira yang pendiem yang nyimpen masalahnya sendiri.”
“Aku bingung Ta, kenapa aku harus kenal sama hal yang namanya cinta di saat aku harusnya fokus sama hal lain yang lebih penting daripada Cinta” Dira melepaskan pelukannya lalu menyekat air mata yang semula mengalir di pipinya. “Semua berantakan karena cinta Ta,”
Kali ini Dita rela membolos pada jam pelajaran olahraga karena menemani Dira menangis dan bercerita tentang Zali dan Adit.
***
Basket adalah pelampiasan kekesalan Adit. Jam olahraga sudah selesai sejak 10 menit yang lalu, Kinu Adit dan Marvin masih menetap di lapangan basket. Tujuan Marvin bukanlah untuk bermain basket, tapi hanya menemani Adit yang terus-terusan membuat lelah dirinya sendiri. Adit tahu, Marvin tidak akan pergi pada saat keadaan Adit sedang kacau seperti ini.
Sambil melemparkan bola ke ring basket, pikiran Adit juga menjalar ke arah Dira. Mengingat kejadian tadi malam ternyata membuat Adit semakin kacau. Saat Adit menunggu Dira sejak jam 7 malam di bawah rintikan air hujan, tapi ternyata Zali juga menunggu Dira, dan keduanya tidak menyadari kehadiran Adit.
Ternyata mencintai seorang Dira harus sesakit ini, apakah karena masalalunya yang membuat Dira menjadi takut untuk jatuh cinta lagi? Apa yang Davin lakukan hingga Dira bersikap sebegitu takutnya pada Cinta.
“Heh! Lo kenapa?” Lamunan Adit terhenti saat Marvin melemparkan bols basket tepat kearahnya.
“Lo yang kenapa?” Adit malah membalikkan pertanyaan Marvin.
“Soal cinta? Cinta lo sama Dira?” Adit menoleh ke arah Marvin yang sedang duduk di pinggir lapangan.
Adit tersenyum miring, cinta sama Dira? Iya, tapi hanya Adit yang mencintai Dira, Dira mungkin tidak.
“Gue yang cinta dia, tapi dia nggak” Adit melemparkan bola ke dalam ring dan berjalan menuju ke pinggir lapangan tempat Marvin sedang duduk. “Ini yang gue takutin, jatuh cinta sendirian”
“Lo pikir, jadi Dira gampang? Hidup dia udah di kerumungin sama masalah, dan lo sama Zali dateng nambah masalah” pernyataan Marvin membuat Adit terdiam. Apa yang dikatakan Marvin memang benar. Dira yang hidupnya sudah dikerumungi oleh masalah kini malah diberatkan oleh masalah perasaannya juga.
“Persahabatan lo gak boleh runtuh, apalagi ini Zali, orang yang udah kaya bayangan lo sendiri” Marvin memegang bahu Adit, dan kemudian bangkit dari posisi awalnya “Kalau Zali mundur, lo maju. Dan kalau lo mundur Zali yang maju. Pilihannya Cuma di diri kalian berdua” Adit menatap Marvin yang kemudian pergi dari hadapannya.
Handphone Adit berdering secara tiba-tiba, di tatapnya layar handphone itu, tertanda ada pesan masuk dari Zali.
Zali
Gue udah di depan gerbang sekolah lo! Mau liat musuh lo terkapar kan? Dateng sama Marvin. Gue balesin dendam lo berdua.
Adit menutup handphonenya dan berlari menuju ke kelas untuk menghampiri Marvin.