Jam istirahat sudah berbunyi sejak tadi, saat ini Dira sedang berjalan menuju ke Rooftop gedung lama. Langkahnya seakan ragu, ingin berbalik, tapi ini sudah sampai di tangga bawah. Hanya tinggal naik ke atas sana Dira akan sampai di Rooftop. Dira mencoba untuk menetralkan rasa tegangnya menjadi sebuah ketenangan. Tapi masih belum bisa ia dapatkan apa keinginanya itu, kenapa sesulit ini mencari sebuah ketenangan?
Akhirnya, walaupun rasanya belum tenang, Dira melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga, Dan pada saat di persimpangan tangga ternyata semua rasa tegang tadi menemukan sebuah jawabannya. Livi dan ke empat temannya sudah berdiri di sana, dengan wajah tegang Dira berusaha untuk melewati para wanita itu, tapi Livi mendekati Dira, teman-temannya mengelilingi Dira. Ini bencana!
“Adira, Wanita sok suci yang sebenarnya lebih kotor daripada sampah.” Livi tersenyum miring menatap Dira.
“Apa maksud lo?”
“Katanya otak anak IPA itu lebih encer dibanding anak IPS, Tapi kok yang ini lemot ya?” Livi bertanya kepada salah satu temannya yang mengelilingi Dira.
“Oh iya Liv, Dia kan pelayan.” Ucap salah satu teman Livi. Mereka semua tertawa.
“Apa sih yang lo mau?” Dira meninggikan suaranya. Bagaimanapun Dira tidak boleh terlihat lemah dihadapan wanita yang tidak suka dengannya. Tidak boleh juga ada air mata yang jatuh, karena wanita di hadapannya ini akan tertawa puas atas kemenangannya.
“Gak usah ganjen. Gak usah centil. Bisa gak? Jijik gue liatnya, Apalagi yang lo centilin itu Adit, mantan gue” Livi memajukan wajahnya, Dasi yang Dira pakai ia tarik sehingga menimbulkan rasa nyeri seperti cekikkan.
“Gue yang jauh lebih dulu kenal Adit dibandingkan dengan lo”
“Jadi? Gue yang ngerusak hubungan persahabatan lo sama Adit, Atau lo yang ngerusak hubungan percintaan kita?” Livi menaikkan dagunya, sikap sombongnya begitu terlihat.
“Gue gak pernah nyuruh Adit untuk deketin gue, dan asal lo tau, Adit mutusin lo bukan karena gue.” Dira tak mau kalah dengan Livi, ia juga mengeraskan suaranya. Mendekati wajah Livi dan menunjukan wajah sombong miliknya.
“Terus? Ra, harusnya lo tau. Kita sama-sama perempuan, berteman masih gue wajarin, tapi ya lo tau diri, kalau salah satunya udah punya pacar lo harus jaga jarak. Ini, Dianter jemput? Ayo. Di ajak jalan? Ayo. Di ajak kemana-mana berdua? Ayo. Padahal lo sendiri tahu kalau dia udah punya pacar. Kalau gak mau disebut penggoda ya tau diri. Dasar bodoh!” Livi mendorong kepala Dira hingga terbentur ke tembok.
Sakit, sesak, kesal, marah, sedih, semua bercampur aduk menjadi satu, menjadi suatu kesatuan yang rasanya tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Ingin menangis dan berteriak. Tapi bukan di sini tempatnya. Di depan musuh bukanlah tempat yang cocok, yang ada malah mencari penyakit baru.
Tanpa bicara, Dira berjalan menuju atas Rooftop dan meninggalkan Livi CS, tapi ada sesuatu yang membuat langkahnya terhenti tepat di ujung tangga Rooftop. Sebuah jambakan rambut.
Dira menoleh, Dan orangnya masih sama, yaitu Livi.
PLAK!!!
Satu tamparan mendarat sempurna di pipi Dira. Dira menghela nafas, ia biarkan pipinya terbuka agar Livi bisa melihat bagaimana merahnya pipi Dira karena tamparannya.
“Gue Cuma mau bilang, Gue gak takut walaupun lo itu anak kesayangan guru, atau bahkan kesayangan Adit dan Marvin, oh atau bahkan Davin sang panglima tempur. Gue Cuma gak suka ada cewe sok cantik, sok pinter, sok suci, sok alim dan sok perfect kaya lo. Inget peringatan gue Ra, kalau gue lihat lo masih jalan sama Adit, Bukan Cuma ini yang gue lakuin!” Livi memberikan satu tamparan lagi di pipi Dira dan kemudian berjalan pergi dari hadapannya.
Semesta, apa ini salah satu rencanamu? Apa ini yang kau maksud dengan peran antagonis? Tapi kenapa dia terlalu jahat?
***
Baru saja otak didinginkan setelah belajar Fisika,Tapi saat ini belum genap satu jam, otaknya harus bepikir keras melawan kejamnya Kimia.
Jam pelajaran setelah istirahat hari ini adalah kimia, pelajaran yang diajarkan oleh guru paling cantik, tapi killer. Siapa lagi kalau bukan Bu Hida.
Fokus belajar Adit kali ini bukan lagi mengarah kepada materi hukum farraday yang sejak kemarin masih mengganjal, Tapi fokusnya kali ini mengarah kepada Dira, sejak tadi kursinya tetap kosong dan rasanya Adit sangat mengkhawatirkan keadaan Dira.
“Ta, pas istirahat Dira ada sama lo nggak?” bisik Adit pada Dita, hari ini adalah english day jadi seluruh siswa harus berbicara menggunakan Bahasa Inggris untuk melakukan segala aktivitasnya di sekolah.
“Nggak, Dira kan ada kelas olimpiade setiap istirahat” jawab Dita yang sama berbisik juga.
Perasaan Adit mengarah kepada Davin, karena hanya dia orang yang bersama dengan Dira saat jam istirahat berlangsung.
Apa yang Davin lakukan pada Dira, Dan semua itu kini bercampur menjadi satu, Khawatir, bingung, takut.
“Bu,” Adit mengangkat telapak tangan kanannya. “May I go the toilet?” English day yang benar-benar merepotkan!
“Yes please”
Setelah mendapatkan izin dari Bu Hida Adit sesegera mungkin melangkahkan kakinya menuju ke kelas Davin, X IPA 1, laki-laki itu sedang duduk di depan kelasnya dengan buku dan tas yang berada di kursi koridor.
“Lo ngapain di situ?” tanya Adit saat melihat Davin seperti anak pinggiran yang ingin sekolah tapi tidak mempunyai biaya. Hanya duduk di koridor sambil mencatat apa yang guru bicarakan.
“Gue lagi diskors,”
“Terus ngapain lo ada di sini?”
“Ya gue harus tetep belajar walaupun gue diskors”
Terlalu rajin! Kalau dia tidak mau di skors ya jangan melakukan hal yang aneh-aneh.
“Lo liat Dira?” Adit langsung menanyakan tentang tujuannya datang ke hadapan Davin ini.
“Setelah selesai kelas olimpiade gue sama dia pisah, dan nggak tahu dia kemana”
“Jangan bohong, lo orang satu-satunya yang sering ngejar-ngejar Dira”
“Nggak ada gunanya gue bohong, Nggak ada untungnya juga”
Setelah menemukan jawabannya Adit langsung beranjak dari hadapan Davin, Tak peduli dengan panggilan Davin yang terus menanyakan keadaan Dira.
Pikirannya mengarah ke Rooftop,Apa di sana?
Adit langsung berlari sekencang-kencangnya menju ke gedung IPS yang berada lumayan jauh dari kelas Davin tempat ia menginjakkan kakinya yang terakhir. Dengan langkah yang tergesa-gesa Adit hampir menabrak seorang Cleaning service tapi ia langsung berlari lagi, tidak peduli dengan sang Cleaning serviceyang terus memanggil namanya.
Baru sampai di ujung tangga, pemandangan seorang wanita dengan seragam putih abu-abu sedang duduk menunduk di depan sana. Adit melangkahkan kakinya dengan pelan agar tidak timbul suatu suara yang membuat wanita itu tersadar jika ada seseorang yang datang.
Dan berhasil! Kini Adit sudah duduk di sebelah Dira.
Wanita itu terkejut dengan kehadiran Adit yang tiba-tiba, belum sempat ia menghapus air matanya, tapi Adit sudah terlebih dulu menatap wajah Dira. Kedua pipinya memerah, air mata mengalir jelas melewati pipinya yang merah itu.
“Lo kenapa?” Dira menghempaskan tangan Adit yang semula ada di pipinya. Adit yang melihat aksi itu hanya menatapnya dengan jutaan tanya.
“Nggak apa-apa” Dira berdiri dan beranjak meninggalkan Adit.
Entalah apa yang terjadi di dalam diri Dira saat ini, tapi itu terjadi benar-benar nyata dan terlihat, wajah Dira seakan berbicara, keadaanya saat ini tidak benar-benar baik.
Dira yang biasanya cerita kini malah menangis, wanita yang biasanya bercerita panjang kali lebar kini hanya berbicara sepenggal kata yang menimbulkan jutaan tanya, Dira wanita yang biasanya nyaman berada di samping Adit kini justru malah pergi dengan cepat dalam hitungan detik.
Harus ia cari tahu apa penyebabnya.
***
Hamparan kebun strawberry yang sangat luas menjadi pemandangan yang segar bagi mata Adit dan Dita saat ini. Kebun luas yang sangat hijau ditambah dengan udara khas kota Bandung yang sejuk.
Mereka hanya berdua, di hamparan kebun strawberry yang luas dan sepanjang kebun juga Dita melihat Strawberry yang sudah matang dan sangat segar.
“Kalau mau ambil aja” Dengan izin dari Adit, Dita mengambil sebuah mika kecil dan ia isi dengan strawberry yang ia petik sendiri.
Sambil berjalan, Dita juga memetik strawberry itu. Dan pada akhirnya mereka sampai di sebuah saung yang berada di tengah-tengah kebun ini.
“Oh iya, kenapa nggak ajak Dira sama Marvin, nanti mereka mikir yang nggak-nggak kalau tau kita jalan berdua” Dita kemudian menyuapkan strawberry ke dalam mulutnya, sejak awal Adit mengajak Dita ke sini rasanya memang sudah ada kejanggalan, karena mereka pergi berdua saja.
“Nanti lo nggak puas makan strawberry kalau gue ajak Marvin”
“Heh gue nggak pelit kaya gitu lagi” Dita berbicara dengan mulut yang penuh dengan strawberry. Wanita yang satu ini memang sudah beralih tidak waras jika sudah bertemu dengan strawberry.
“Sebenernya ada yang mau gue omongin sama lo, dan Dira nggak boleh tau soal ini” Dita meletakan mika yang berisi strawberry itu di samping tubuhnya, dan kini Dita menatap wajah Adit, Ada keseriusan terpancar dari mata Adit, apa hatinya akan berpindah?
“Tentang apa?”
“Perasaan gue” jantung Dita berdetak cepat, kontraksi jantungnya tidak teratur. Dan kini rasanya makin tidak beraturan saat Adit menggenggam tangan Dita. Wajah Dita sudah berubah menjadi pucat, ketegangan sudah berhasil menyelimuti dirinya, dan saat ini Dita sedang berharap cemas menunggu kelanjutan ucapan Adit.
“Gue mau lo,”Adit menjeda ucapannya dan sangat terlihat jika ia sedang menghela nafas panjang. “Gue mau lo bantuin gue buat cari cara untuk nembak Dira”
Jika ada kata yang lebih kasar dari Bangsat Dita akan ucapkan itu untuk menyampaikan rasa kesalnya. Dita menghela nafas dan melepaskan genggaman tangan Adit.
“Bisa diatur” Dita mencoba untuk menciptakan sebuah senyuman agar semua perasaan kecewanya tidak terlihat oleh Adit.
Dan lagi-lagi kali ini Dita berbohong, ucapannya tidak seirama dengan hati, Dita ingin menjerit sekencang-kencangnya, Kenapa harus Dira? Kenapa harus Dita yang membantu Adit untuk berpacaran dengan Dira?
Tuhan, Sekarang Dita bisa apa? Berbicara tentang perasaannya pada Adit? Berbicara jika Dita juga menyukai Adit? Mana mungkin! Untuk apa sekarang ia bicara? Untuk apa Adit mengetahui perasaan Dita? Semua sudah terlambat dan Adit sudah menjatuhkan perasaannya pada Dira, dan bahkan sudah berniat untuk berbicara pada Dira.
***
Dira saat ini sudah berada di rumah, benturan tadi membuat kepala Dira sedikit pusing sehingga ia harus mengompres kepalanya dengan air hangat agar lebih terasa membaik.
Pening di kepalanya malah bertambah ketika harus memikirkan bagaimana caranya untuk menjauhi Adit, Dira sudah mengenal Adit sejak kecil, dan bagaimana bisa hubungan yang sudah dirajut selama hampir sepanjang mereka hidup harus hancur begitu saja hanya karena orang baru? Bagaimana mungkin Dira bisa menjauhi orang yang selama ini seperti bayangannya, orang yang sudah mengetahui seluruh seluk beluk hidupnya.
Alarm di handphonenya sudah berbunyi, sudah jam 5 sore dan itu artinya Dira harus segera pergi untuk bekerja. Bagaimanapun juga, saat ini uang masih menjadi permasalahan hidup Dira, dan itu sebabnya Dira harus bekerja keras untuk memenuhi dan membantu perekonomian keluarganya.
Saat masih kecil dulu, Dira adalah anak yang manja, anak kesayangan ayahnya yang tak pernah boleh melakukan sesuatu yang berat, tapi semua berubah saat 1 tahun sebelum ayahnya pergi, Saat itu Dira dipaksa harus membantu ibunya jika memasak, membantu kakaknya untuk membersihkkan rumah, bahkan baju seragam Dira harus dicuci olehnya sendiri, semua hal itu seperti pertanda, Ayahnya menginginkan Dira menjadi lebih dewasa dan mandiri, ternyata jawabannya benar, Ayahnya pergi. Mau tidak mau Dira harus hidup mandiri dan merasakan dunia yang keras.
“Yah, kenapa hidup Dira saat ini berubah, gak seperti dulu. Ayah marah karena Dira manja? Ayah, kenapa juga sih, hidup ini terlalu banyak pilihan, tapi semua pilihan itu membingungkan. Dira gak tahu harus milih apa, yang Dira tahu, selama ada di samping ayah, Dira gak pernah pusing untuk nentuin pilihan. Dulu Dira gak pernah nangis, tapi kenapa sekarang Dira banyak menangis? Padahal ayah bilang kalau air mata Dira itu mahal, air mata Dira itu berlian, tapi kenapa ada banyak orang yang membuat air mata Dira terus-terusan keluar.” Dira tahu, berbicara seperti ini tidak ada gunanya, tidak akan ada pengaruh apa-apa yang timbul karena ucapannya ini, karena Dira tahu, hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar ucapannya.
Dulu ayahnya sering bilang, semakin banyak yang ia tahu, maka semakin banyak yang ia tidak tahu, dan begitupun semakin banyak yang ayah tidak tahu.
Itu benar, sejak ia dekat dengan Davin, Dira selalu mengumpat jika akan bermain dengan Davin agar ayahnya tidak tahu, tapi Dira menyesal telah melakukan hal itu. Benar-benar menyesal.
Sekarang, apalagi yang diinginkan oleh anak remaja yang tumbuh tanpa ayah? Saat ini, setiap hari hanya kerinduan yang datang, bayangan ayahnya yang sedang duduk di kursi depan rumah sambil memprotes isi Koran yang semakin hari bentuk dan isinya semakin ngawur. Hanya itu yang terbayang, keinginan untuk bertemu juga sangat besar, tapi Dira sudah besar, Dira tahu jika bertemu dengan ayahnya adalah suatu impian yang sampai kapanpun tak akan pernah terwujud.
***
Pagi ini Adit dan Marvin sedang bernyanyi di meja mereka masing-masing, Adit yang memukul meja agar menciptakan bunyi yang seirama dengan apa yang dinyanyikan oleh Marvin.
Bersamaan dengan itu, Dira dan Dita muncul dari balik pintu, kedua orang itu menuju ke mejanya masing-masing.
“Ayah kukirimkan doa, Semoga engkau tenang di alam surga aaa…” Adit bernyanyi sambil memukul-mukul mejanya.
“Ayah,, kan ku ingat slalu pengorbanan yang telah engkau berikan” kini giliran Marvin yang bernyanyi.
Dira menyuruh Adit untuk bergeser dan memberikan jalan untuk Dira keluar.
Adit menatap kepergian Dira dengan tatapan bingung, sejak kemarin wanita yang satu itu sudah memberikan banyak tanya yang sudah Adit ketahui jawabannya, itupun dari orang lain, bukan langsung dari cerita Dira.
Adit beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ke luar kelas, mencari keberadaan Dira, wanita itu terlalu cepat untuk menghilang. Tapi inilah Adit, kemanapun Dira pergi, Adit tahu di mana dia berada. Bukan benar-benar tahu, tapi tempat Dira saat sedang kacau hanyalah Rooftop.
Sesampainya di sana Adit langsung duduk di samping Dira. Wanita yang satu ini tampak sekali sedang menahan beban berat, Air mata miliknya mengalir begitu saja melewati pipi manisnya. Bebannya terlalu besarkah? Hingga ia lebih memilih untuk menangis?
“Masalah gak akan pernah selesai kalau lo terus diem aja, lo pendem sendiri seakan lo itu kuat, seakan-akan lo itu bisa nyelesain masalah ini sendiri. Gunanya gue di sini apa sih Raa?”
“Gue Cuma lagi kangen sama ayah” Adit tahu, bukan karena itu Dira menanggis terus menerus sejak kemarin.
“Gue tahu apa yang terjadi sama lo kemarin, masih gak mau cerita?”
“Tahu apaan?”
“Lo nangis gara-gara gue? Karena ancaman Livi? Kantung mata lo karena tadi malam lo gak tidur karena mikirin gue, Iya kan?”
“Tahu dari mana?”
“Gue ada di samping jendela kamar lo tadi malem, saat gue denger cerita Gresilda tentang lo yang dilabrak abis-abisan sama Livi, gue tahu.”
“Lo tahu dari mana kalau gue nangisin lo? Jangan kepedean deh”
“Masih aja gengsi, Gresilda udah cerita, di Caffe juga lo nangis karena dilabrak sama Livi kan?
“Kak Gresilda?”
“Anak Om Tisna, dia tahu semua kronologis kejadian lo sama Livi kemarin, gue punya Vidionya juga”
“Gue Cuma takut—“
“Apa yang lo takutin? Lo boleh takut, tapi nanti, kalau gue gak ada di samping lo”
Adit menatap Dira yang terus terdiam, melihat Dira menangis rasanya seperti disayat oleh pisau tajam, perlahan, tapi menyakitkan. Bukan hanya Dira yang sakit karena menangis, tapi Adit juga.
Semua biang permasalahan Dira adalah Adit. Semua karena Adit, karena ia yang memutuskan hubungannya dengan Livi tanpa sebab yang jelas. Mungkin karena itu Livi jadi beranggapan jika Diralah penyebab runtuhnya hubungan mereka.
Karena saat itu Adit berfikir Dira sangat membutuhkan seorang laki-laki saat ayahnya pergi meninggalkan Dira untuk selama-lamanya. Tapi saat itu juga, Adit tidak bisa bergerak bebas untuk menghibur Dira dari keterpurukannya, karena Adit mempunyai Livi.
“Lagi kangen ayah?” Tanya Adit saat melihat Dira masih menitihkan air matanya.
Dira hanya mengangguk, tanpa berbicara. Adit tahu, tanpa Dira harus menjawabnya, Adit sudah mengetahui jawabannya.
“Gak akan ada yang selesai dengan cara nangis, tapi kalau itu satu-satunya cara untuk bikin lo sedikit tenang, Baju gue siap nampung seluruh air mata lo Raa,” Adit merentangkan tangannya, sebagai kode agar Dira masuk ke dalam pelukannya.
“Gak mau,” Ucap Dira dengan menggelengkan kepalanya.
“Gratis, Gak bayar, Gak pake modus kaya si Revan”
Ya, Adit tahu siapa Revan, dia adalah rekan kerja Dira di restoran, Orang yang sering sekali Dira ceritakan pada Adit. Laki-laki modus yang sangat baik hati tapi sama-sama menyebalkan seperti Adit, katanya.
Adit mendekatkan tubuhnya ke samping Dira, merangkul tubuhnya dan membiarkan Dira menangis di baju putih miliknya. Wanita di sampingnya ini hanya butuh ketenangan. Itu saja.
***
Sama seperti kelas-kelas anak SMA yang lainnya, setelah jam istirahat kelas mana mungkin sepi, termasuk kelas XI IPA 2. Bahkan kelas ini jarang sekali terjamah oleh suatu ketenangan dan kesunyian, kecuali pada saat pelajaran Bu Hida berlangsung. Hanya itu saja keheningan yang tercipta, selanjutnya, selalu ramai, dan berisik.
Seperti saat ini, kelas yang semula ramai oleh suara nyanyian dari mulut Adit dan Marvin, teriakan dari Syereen yang menagih uangkas dan Rio yang memang selalu menjadi perusuh di kelas ini terpaksa harus berhenti karena Bu Rere datang untuk membagikan hasil evaluasi siswa yang biasa di berikan satu bulan sebelum ujian akhir semester dilakukan.
Tak butuh waktu lama, setelah membagikan hasil evaluasi siswa, Bu Rere bergegas keluar kelas, Dan kelas menjadi gaduh kembali, tapi kali ini suara berisik itu membicarakan evaluasi siswa mereka masing-masing.
Evaluasi siswa
Aditya Rhazes
#Bisa bersikap royal pada teman-temannya
#Bisa berpikir secara kritis
#Memiliki keinginan untuk menjadi seorang penyanyi
#Memiliki kemampuan bermain musik yang luar biasa
#Penilaian akademik yang masih berada jauh di atas rata-rata.
#Kurangi kebiasaan tidur pada saat jam pelajaran.
Sebuah kejujuran, hasil evaluasi semester lalu memang begitu, dari Adit tak ada yang bisa dibanggakan, karena Adit memang pemalas.
Evaluasi siswa
Marvin Adiwijaya
#Rasa ingin tahunya sangat tinggi.
#Menjadi pelindung bagi teman-temannya.
#Aktif bertanya di bidang Akademik.
#Sangat Aktif dalam menyalurkan suara siswa.
#Prestasi yang sudah diraih harap terus dipertahankan, jika perlu harus ditingkatkan.
Adit menganga melihat Evaluasi siswa milik Marvin, mengapa isinya tidak ada yang sesuai dengan fakta? Apa ada permainan lagi di balik ini? Semua terulang lagi? Begitu?
Memang, Ayah marvin adalah pemilik sekolah ini, jadi wajar saja jika semua yang menyangkut diri Marvin di sekolah selalu bagus, walaupun pada kenyataannya tidak. Marvin yang pemalas diubah menjadi Marvin yang rajin, Marvin yang berada di peringkat bawah diubah menjadi Marvin yang berada di peringkat tertinggi kedua setelah Dira. Lagi-lagi semua menggunakan uang.
Adit memindahkan pandangannya dari wajah Marvin, laki-laki katanya jagoan tapi masih mengikuti keinginan orang tuanya yang jelas sekali salah.
“Raa, nanti bantuin buat selesain evaluasi ini ya,” Adit menatap Dira yang sedang asik mengisi evaluasi miliknya sedikit demi sedikit.
“Raa” panggil Adit sekali lagi karena sejak tadi Dira tidak menoleh.
“Berisik! Gue denger” ucap Dira yang tak juga beralih pandangan dari selembar kertas itu.
***
Sekarang Dita sedang berada di ruang wali kelas, ia sedang berkonsultasi tentang hasil evaluasi siswa miliknya. Lebih banyak keburukan yang tertulis di sini. Ini rasanya tidak adil. Marvin yang sikapnya benar-benar buruk saja bisa mendapatkan evaluasi bagus, tapi kenapa Dita tidak? Padahal ayah Dita dan ayah Marvin hampir mempunyai peran yang sederajat pentingnya di sekolah ini.
“Prestasi taekwondo juga pengembangan diri, seharusnya tertulis di sini. Kalau Cuma kaya gitu aja buat apa saya buang-buang untuk konsultasi sama psikolog untuk e valuasi semester lalu.” Dita menaruh kertas evaluasinya ke meja Bu Rere.
“Itukan taekwondo di luar sekolah, jadi kamu gak bisa masukin ini ke dalam evaluasi sekolah”
Dita menghela nafasnya kasar, raut kekesalan sudah jelas tercipta dalam wajah Dita. Kalau saja orang yang berada di depannya ini bukan seorang guru, akan Dita hajar juga wajahnya seperti Dita menghajar wajah Syereen.
“Ibu jangan kaget kalau besok atau lusa ayah saya datang ke sekolah untuk mempermasalahkan kertas ini” Dita langsung bergegas keluar dari ruangan guru dan juga tak lupa, salam kekesalannya yaitu membantingkan pintu.
***
“Jadi prestasi apa aja yang udah lo raih selama 6 bulan ini?” Dira sudah berada di rumah Adit sejak setengah jam yang lalu, tapi laki-laki ini masih terlihat ogah-ogahan untuk mengerjakan evaluasi miliknya sendiri.
“6 bulan ya?” Adit terlihat seperti sedang berfikir. “Ya belum ada, palingan juga prestasi di bidang musik, itu juga waktu masih kelas 10”
“Ya udah, jangan prestasi deh, kemajuan dalam diri lo selama 6 bulan ini apa?”
“Ya gak tahu, nggak merhatiin.” Adit terdiam, lalu kemudian berbicara lagi, “Oh iya, prestasi gue mencapai mythic di game mobile legends” hanya Mobile Legends tapi kebangganya berada di atas langit. Tinggi sekali.
“Yang bener atuh,” Dira sudah sedikit lelah dengan Adit yang tidak serius sejak tadi. “ Kurang-kurangin tuh tidur di dalem kelas”
“Kenapa emangnya?”
“Sekolah itu tempat belajar, bukan tempat tidur” Dira menatap mata Adit yang sudah sejak tadi menatapnya.
“Kan ngantuk” Adit tersenyum, dan senyuman Adit membuat Dira salah tingkah. Sejak dulu jika Adit tersenyum, Dira akan sulit untuk bergerak, dan apalagi jika Adit sudah menatapnya ditambah dengan senyum, Hidup Dira bukan lagi seperti manusia, tapi menjadi patung.
“Kan bisa tidur di rumah” Dira menjawab ucapan Adit dengan perasaan ragu, kenapa laki-laki ini tidak mengalihkan pandangannya kemanapun, kenapa harus mengarah pada Dira? Dasar laki-laki menyebalkan!
“Terus? Kalau di rumah bisa digunain buat ngerjain tugas, kenapa di sekolah gak boleh digunain untuk tidur, katanya sekolah itu rumah kedua.” Dira terdiam, mendengar ucapan Adit sejenak. Sedikit ada benarnya, ada salahnya juga. Dan Dira berpikir, lagi.
“Dit, waktu di sekolah itu Cuma 8 jam, sementara kita punya waktu dalam sehari itu 24 jam.” Dira mengela nafas dan mengambil ancang-ancang untuk berbicara panjang. “Kita main hitung-hitungan deh sekarang. 24 jam dalam satu hari, kita potong 8 jam untuk sekolah dan 8 jam untuk tidur, sisanya ada 8 jam. Dari sisa 8 jam itu lo kurangin 1 jam untuk perjalanan berangkat dan pulang sekolah. Sisanya 7 jam, Lo kurangin aja waktu 3 jam untuk lo main, dan sisain 2 jam untuk belajar. Lo masih punya 2 jam lagi untuk bersantai. Rasanya itu cukup kan?”
“Mungkin penjelasan lo tadi untuk manusia normal kaya lo, bukan untuk gue Ra,”
Dira terdiam, apa maksudnya manusia normal? Memang dia bukan manusia normal? Kalau bukan, siapa dia? Jangan- jangan dia titisan Albert einstein? Atau Alexander graham bell? Atau Thomas alva edison? Atau Isaac newton? Atau semua ilmuan yang jam tidurnya tidak seperti orang normal? Tapi jika Adit disamakan dengan seluruh ilmuan, jelas tak tahu ada dimana titik kesamaannya.
“Tugas buat anak sekolah kaya kita tuh wajar, kalau gak mau terima ya gak usah sekolah, lo buang-buang waktu sama uang lo doang kalo lo gak punya niat untuk belajar” Dira tidak tahu apa yang ada di kepalanya, kata-kata itu terlontar begitu saja tanpa ada yang menyuruhnya, tapi sangat jelas, Ada yang memancing omongannya untuk keluar.
“Tapi menurut gue itu gak adil, 8 jam kita belajar emang kurang? Otak kita terus dipaksa untuk berpikir dan mencerna pelajaran baru. Tugas banyak, di rumah tugas, di sekolah tugas, emang gak jenuh? Baru liat aja gue udah pusing duluan, gimana ngerjainnya?” masa bodoh dengan ucapan Adit saat ini, Dira lelah. Apalagi untuk berdebat dengan Adit. Bukan hanya lelah, otaknya juga pusing karena dipaksa untuk berpikir agar bisa merubah pikiran buruk anak di depannya ini kepada sebuah tugas.
“Udah ya dit, gue males mikir kata-kata apa yang harus gue keluarin buat berdebat sama lo, sekarang gini aja, kalo mau lanjutin ngisi evaluasi ini, lo kerjain sendiri. Gue cape. Lo tahu hari ini gue banyak nangis dan jadi pusing, tapi sekarang lo malah bikin kepala gue pengen pecah”
Dira membereskan bukunya yang semula berada di meja, memasukkannya ke dalam tas dan berpamitan dengan Adit. Berbicara dengan orang keras kepala dan mempunyai presfektif berbeda dengan dirinya memang sulit, bukan lagi emosi yang keluar, tapi otak juga dipaksa untuk mengeluarkan seluruh isinya agar dapat melawan sang batu itu.
“Lah, kok marah sih?”
Dasar sinting! Tujuan Dira kesini memang untuk apa? Untuk membantu Adit menyelesaikan Evaluasinya, bukan untuk berdebat dengannya, apalagi berdua-duaan dengannya. Dira tahu, ini sudah melampaui batas tujuannya dan untuk apa lagi Dira menetap di sini? Lebih baik pulang, beristirahat dan bersiap-siap untuk bekerja.
“Gue anter pulang deh ya,” Dira hanya terdiam, Ditatapnya mata Adit dan kemudian bangkit dari posisi awalnya.
“Gue duduk di samping lo tadi bukan untuk dengerin segala keluhan lo yang gak beralasan itu. Gue duduk di sana buat bantu lo, gue gak mau lo gagal. Cukup hati lo aja yang berantakan, otak lo jangan.” Dira menghela nafas panjang dan menghembuskannya secara kasar. Ditatapnya Adit sekali lagi, laki-laki itu terdiam, kesalahan tampak sekali sedang menyelimuti tubuhnya itu. “Maaf kalau omongan gue kasar, lo tahu sendiri, gue benci berdebat. Gue pamit” Dira berjalan menuju ke pintu keluar dan meninggalkan Adit yang masih terdiam tanpa kata.
***
Uang memang segalanya, tapi segalanya tidak bisa dibeli menggunakan uang. Orang di dunia memang selalu menggantungkan dirinya pada selembar kertas benilai itu. Kini segala hal bisa dimanipulasi menggunakan uang, tapi siapa sangka jika Marvin, laki-laki yang bergelimang uang, justru malah menbenci sosok kertas benilai itu.
Semua ketidakadilan di penjuru dunia terjadi karena uang. Uang menjadi pembeda, antara yang satu dengan yang lainnya, uang pemicu keributan.
Menurut Marvin seperti itu.
Kini ia sedang berada di ruang kerja ayahnya, bersama dengan keheningan yang entah sejak kapan sudah terjadi.
“Yah,” Marvin memberanikan diri untuk berbicara pada ayahnya. Pandangan ayahnya masih terfokus pada laptop yang tepat berada di hadapannya. Bahkan ia tidak menatap Marvin, atau bahkan ia tidak tahu jika yang bicara barusan adalah Marvin, Anaknya.
“Bicara sekarang, ayah lagi sibuk buat laporan”
Marvin menggertakkan giginya, berharap-harap cemas, apa ini adalah waktunya untuk berbicara? Apa ini saatnya untuk menengakkan keadilan yang sudah ia inginkan sejak dulu?
“Ayah gak perlu repot untuk memanipulasi semua nilai dan evaluasi kakak di sekolah,” Ucapannya yang singkat dan halus ternyata malah dibalas gertakan dan ancaman dari ayahnya, Dipukul meja dengan keras dan pelototan mata yang mengerikan, walaupun bisa dibilang Marvin adalah jagoan di kelas dan tak takut apapun, tapi kepada manusia yang ada di hadapannya kali ini, Marvin masih mempunyai rasa hormat, rasa hormat yang sudah membawanya hingga ke jurang kegelisahan karena ternyata rasa hormatnya dimanfaatkan oleh ayahnya sendiri.
“Sekali lagi, apa kamu bisa? Apa kamu bisa tanpa bantuan ayah? Bisa?” kini ucapanya sedikit melunak, walaupun belum benar-benar lunak, karena terlihat sangat jelas, masih ada emosi tercipta di sana.
“Kakak Cuma mau keadilan yah, dunia ini maksa kakak untuk bersikap baik sesuai dengan nilai yang ayah pengen, tapi kalau kakak boleh jujur, kakak gak pernah ngerasa nyaman dengan itu semua, itu bukan diri kakak yang sebenarnya.” Marvin selalu memanggil dirinya sendiri dengan sebutan ‘Kakak’ karena ia mempunyai satu adik perempuan yang masih duduk di bangku SMP dan nasib Adiknya sama seperti Marvin. Tertekan dengan seluruh keputusan ayahnya untuk berlaku tidak adil kepada seluruh siswa dan selalu menempatkan anak-anaknya di tingkat teratas.
“Kalau kamu bisa dapat posisi tiga teratas di kelas saat semester ini, ayah akan mengakhiri semuanya, tapi, apa kamu bisa?” Mungkin? Rasanya tidak, tapi ia harus bisa. Permainan ayahnya justru malah membuat Marvin merasa sangat dirugikan.
“Kakak gak pernah minta ayah untuk bagusin semua nilai kakak di sekolah, yang kakak minta, ayah stop semua permainan ayah yang mengatasnamakan kehormatan itu, ayah harus sadar, kalau semua orang di sudut sekolah atau kolega dan rekan bisnis ayah tahu tentang ini, apa ayah sanggup nanggung malu?” Marvin tahu, tidak seharusnya ia berbicara seperti itu pada ayahnya sendiri, seseorang yang menyumbang DNA dan menyumbang tenaga untuk mengurusnya. Tapi Marvin tidak mau permainan ini berlangsung lama, ia ingin segera mengakhiri ini dan membuat ayahnya sadar jika bermain-main bukanlah suatu hal yang baik.
“Tapi ayah perlu, bahkan sangat perlu untuk ngelakuin ini. Vin, kamu itu anak ayah, dan ayah adalah pemilik sekolah. Mau ayah simpan di mana muka ayah saat tahu kalau anaknya ada di peringkat terbawah” ada sedikit kegetiran yang terdengar oleh telinga Marvin. Ia sadar diri, siapa Marvin? Bukanlah anak kebanggaan ayah yang selalu membuat ayah bangga, tapi Marvin hanyalah anak ayah yang selalu membuat ayahnya malu.
Tapi bukan dengan seperti ini juga cara Marvin untuk menutupi wajah ayahnya untuk menahan malu yang telah dibuat olehnya.
Tak ada yang bisa ia harapkan dari obrolannya kali ini. Ayahnya terlalu keras kepala. Tapi Marvin juga tidak boleh menyerah begitu saja. Batu yang keraspun akan terkikis jika terus menerus terkena air.
Padahal keinginannya sangat sederhana, tidak mewah apalagi sulit. Marvin hanya ingin kebebasan saat berada di sekolah. Merasakan bagaimana sibuknya menyalin PR ketika lupa mengerjakan PR di rumah, merasakan bagaimana lelahnya berdiri di tengah lapangan bendera dengan telapak tangan yang ia letakkan di ujung kening, dan merasakan bagaimana menyebalkannya ketika harus membersihkan toilet atau taman sekolah. Sepertinya siswa nakal dan jail seperti Marvin harusnya merasakan seluruh hukuman itu, tapi ini adalah Marvin, anak pemilik sekolah yang dengan mudah bebas tanpa syarat.
Marvin melangkahkan kakinya keluar ruangan ayahnya, menuju ke kamar dengan perasaan yang tak kunjung tenang, karena ketenangan yang ia butuhkan tak mampu digenggamnya untuk saat ini.
Marvin mengambil jaket dan kunci mobilnya di atas narkas dan kemudian melajukannya menuju ke rumah pohon. Rumah yang memberikannya ketenangan, namun sementara, tidak abadi seperti keinginannya.
***
Rumah pohon,
Zali melangkahkan kakinya secara perlahan menuju ke rumah yang berada di ketinggian. Rumah yang menjadi markas seluruh teman yang entah di mana ia temukan.
Di dalam rumah pohon ia melihat ada Adit, Marvin, dan Gazza yang sedang duduk sambil berbicara hal yang tidak Marvin ketahui. Ia duduk di sebelah Adit dengan nafas terengah-engah dan nyaris hampir terjatuh di pertengahan tangga tadi.
Perlu kalian ketahui, Zali baru saja di keroyok 10 orang dari gerombolan anak-anak pandu sejahrera di bawah pimpinan Davin.
Jumlah yang jauh tidak seimbang membuat Zali kalah. Bahkan ia berfikir jika nanti ia akan mati di jalanan, tapi ternyata tuhan sangat baik, Zali masih bisa membuka matanya walaupun dengan kondisi babak belur.
“Besok kita serang pandu sejahtera, gue bikin panglima tempur itu terkapar di kandangnya” Ucap Gazza dengan nada penuh dendam.
“Lo gak bisa dateng besok, lo harus buat strategi, Davin orang cerdas. Dia udah bisa nebak kalau lo mau dateng besok” Ucap Marvin yang mencoba membantu temannya untuk melumpuhkan seorang Davin.
“Lusa atau tiga hari kedepan, gue akan datang” Sejak tadi Gazza terus yang mengoceh layaknya burung beo, Sementara Zali, orang yang teraniaya, justru malah terdiam, menahan sakit di pipi dan sekujur tubuhnya.
“Susun strategi, Jangan sampe gue muncul di barisan terdepan, buat dia seneng dulu karena lawannya gak ada di tempat seharusnya” Gazza mengangguk menuruti apa keinginan orang yang mereka anggap panglima tempur itu.
“Gue punya strategi bagus buat lo” ucap Adit tiba-tiba.
“Apa? Lo gak gila kan Dit? Gue mau nyerang sekolah lo, masa iya lo mau ngasih strategi dengan percuma ke gue[m1] ” Zali mendongak, melihat Adit yang kini terdiam menatap Marvin.
“Lo kira Cuma anak sekolah lo yang benci sama Davin, Gue sama Adit punya dendam pribadi sama Davin” Zali tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Marvin.
Adit kemudian menjelaskan tentang strateginya untuk pertempuran nanti. Adit akan berada di barisan penonton untuk melihat Davin terkapar di kandangnya sendiri.
***
Pagi Bandung!
Pagi ini Dira dikejutkan dengan kedatangan Zali kerumahnya dengan wajah yang terdapat lebam di setiap sudut wajahnya.
“My jaket di mana Dir?” Tanya Zali saat Dira suda berada di hadapan wajahnya.
“Ada di dalem tas” Dira menunjukkan tas tempat jaket Zali berada.
“Ayo, berangkat”
Dira naik ke atas motor hitam berbercak merah milik Zali, dan motor itu melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Bandung yang ramai lancar.
Dua manusia berbeda seragam ini memang selalu mempunyai cara sendiri untuk tertawa di jalanan, mulai dari mentertawakan ibu-ibu yang menggunakan lampu sen kanan tapi belok ke arah kiri, lalu ada anak SMP yang terlihat menaiki motor dengan cara bonceng tiga, dan juga anak SMA yang naik motor dengan kencang, persis seperti balapan di jalan umum.
“Tapi paling lucu itu sih, yang naik motor bertiga, pake kerudung tapi kok pahanya kemana-mana, kadang suka lucu liatnya” Dira berdecak pelan, mendengarkan ucapan Zali yang setengah tertawa.
“Aku nggak pake kerudung, naik motor tinggi juga pula”
Zali meminggirkan motornya di pinggir jalan, ia menatap Dira sambil tersenyum dan membukkan jaket yang semula ia gunakan untuk menutupi seragamnya.
“Nih, tutupin. Biar nggak keliatan sama orang-orang”
“Rok aku ngelewatin lutut kali Zal, ini juga udah ketutup rok”
“Nggak pa-pa, tutupin aja”
“Tapi baju seragam kamu,nanti ketahuan sama anak-anak sekolah, Gimana?”
“Kalaupun aku pake jaket ya tetep aja ketahuan, liat celana aku” Zali menunjukkan celana yang ia gunakan, yang tak lain adalah termasuk pasangan seragam sekolahnya.
“Iya juga sih, Lupa”
Zali hanya tersenyum kemudian ia melajukan kembali motornya menuju ke SMA pandu sejahtera, tempat Dira bersekolah.
Tepat di depan gerbang Zali berhenti, Dan tepat juga saat Zali berhenti Davin melewati gerbang sekolah. Dira bisa melihat ada sedikit tatapan tidak menyenangkan yang diciptakan oleh Zali dan Davin.
“Kamu masih belum mau cerita tentang muka kamu Zal?” tanya Dira pada Zali yang sejak perjalanan menuju ke sekolahnya ia tetap tidak menyinggung soal lebam di wajahnya.
Zali hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut Dira.
“Nanti siang aku jemput di sini. Jangan pulang sebelum aku dateng”
“Oke, kalau kamu belum mau cerita, akan aku tunggu sampe kamu mau sukarela cerita tentang semua itu, ya walaupun nggak tahu kapan” Zali hanya tersenyum, sejak tadi dia lebih banyak tersenyum dibandingkan dengan berbicara.
“Masuk sana, 10 menit lagi bel bunyi”
“Duluan ya” Dira melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan Zali yang masih berada di gerbang.
Zali yang baik, Zali yang lebih banyak menolong Dira saat Adit menggoda atau mengganggu Dira. Dia itu lebih menjadi pendingin bagi Adit dan Dira yang sering bertengkar.