Aku berlari ke dalam pulau dan akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah pohon. Sepertinya tempat itu yang bisa menjadi satu-satunya tempat pelarian. Namun saat aku membenamkan diri di kasurnya ada bau Banyu yang tertinggal, mungkin semalam ia tidur disini.
Aku kecewa pada mereka yang selalu menganggapku perlu dilindungi dan sebenarnya ada rasa rendah diri yang muncul setiap saat aku berada diantara mereka. Aku merasa tidak lagi pantas bersama mereka, sejak sepuluh tahun lalu keluargaku mengalami banyak kehancuran.
Dan kini saat aku mulai belajar menerima keadaanku sendiri, Jessica secara tidak langsung menjerumuskan aku dalam peliknya persoalan menghadapi rasa minder menerima perasaan Banyu yang sebenarnya memang aku cintai. Dan Banyu makin memperburuknya dengan sikap yang kadang baik dan mau menunggu kemudian di hari berikutnya bersikap dingin dan kasar serta tidak sabaran. Semua hal ini menjadi semakin membingungkan bagiku.
Terlebih lagi, fakta bahwa ternyata Kevin adalah orang suruhan Jessica membuatku semakin merasa kecewa. Jessica tidak tahu bagaimana rekan kerja yang lain mencemburui dan begitu memojokkan aku yang begitu diistimewakan oleh Kevin selama di Bali. Maka itu saat ada peluang kerja di Bandung, aku langsung mencobanya dan lagi-lagi begitu mudah didapatkan. Baru kali ini aku merasa dipermainkan oleh dirinya yang sudah ku anggap seperti saudara perempuanku sendiri.
“Neng…Buka pintunya donk!” Terdengar Salman memanggil.
Aku membuka pintunya dan membiarkan ia masuk kedalam.
“Marah beneran ya?” Tanyanya.
Aku hanya mengangguk perlahan.
“Aa ngomong gini bukan hanya karena Deska teman aa, tapi karena aa juga udah anggap neng adik aa sendiri.” Ucapnya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Sebagai lelaki aa ngerti kenapa Deska begitu, itu wujud dari rasa frustasi dia yang sangat sangat sangat lama menunggu dan menginginkan kamu tapi saat kamu udah di depan mata hal itu belum kesampaian. Maka itu ia mudah cemburu, mudah salah paham dan kesannya sering memaksakan kehendaknya.” Ia mencoba menjelaskan.
“Sedangkan si Nona Kangguru itu persis kakak perempuan aa, nalurinya ingin melindungi, karena sifatnya yang keras saat perlindungan yang ditawarkan kamu tolak maka ia mencari segala cara untuk tetap bisa melindungi kamu. Intinya mah dua-duanya itu sayang banget kok sama kamu.”
Aku menjelaskan hal lain berkenaan dengan rasa ketidak percayaan diriku bersama dengan mereka. Mereka jauh lebih segala-galanya dibanding aku yang baru saja mulai menata hidup. Ia kembali mengingatkan bahwa kedua makhluk itu sama sekali tidak melihat latar belakang dari diriku, yang ia lihat adalah kepribadian yang kumiliki. Aku merasa sedikit lebih tenang dengan apa yang baru saja kami bicarakan, namun aku tetap minta waktu untuk sendiri.
“Dapet tugas yang berat nih! Nahan dua makhluk itu sekaligus.”
Aku tertawa mendengarnya.
Rasanya aku tertidur cukup lama, mungkin karena lelah dan semalamnya kurang tidur. Saat aku bangun hari sudah mulai gelap, aku menyalakan lampu rumah pohon itu. Angin laut yang dingin mulai berhembus ke dalam, rasanya hujan akan datang. Aku mendengar suara langkah seseorang datang, aku berharap itu bukan Banyu ataupun Jessica karena aku masih bingung bagaimana bersikap pada mereka setelah kejadian tadi siang.
Sebelum aku bangun dan sempat mengintip keluar, pintu rumah pohon itu sudah dibuka. Ah, aku lupa menguncinya.
Banyu masuk kedalam, tangannya membawa nampan berisi penuh makanan. Ia mencoba tersenyum ramah padaku.
“Kau melewatkan makan malam. Makanlah dulu!” Pintanya.
“Ya, nanti aku makan. Simpan saja disitu!” Perintahku.
“Si nenek sihir itu menyuruhku memastikan bahwa semua ini harus dimakan habis. Lagipula hujan akan turun ada kemungkinan terjadi badai juga ada baiknya kamu keluar dari sini.” Rayunya.
“Ya, nanti aku keluar. Pergilah!” Ucapku ketus.
Bukannya pergi ia malah menutup pintu dan menguncinya. Aku langsung merangkak dari kasur mencoba mendekati pintu. Namun ia menghalangiku dan menahan tanganku.
“Apa kamu masih marah?” Pertanyaan bodoh yang jelas-jelas sudah terlihat jawabannya itu ia lontarkan.
“Pergi kamu!” Aku mendorongnya menjauh, namun ia terus menahan tanganku dengan kencang.
“Aku minta maaf. Aku memang sudah keterlaluan.” Tegasnya.
“Ya sudah ku maafkan. Tapi kumohon pergilah dulu.” Pintaku.
“Kamu belum memaafkanku jika masih menyuruhku pergi.”
Aku menjadi kesal mendengar perkataannya, lalu aku berontak dan memukulinya sejadi-jadinya. Tak terasa air mataku mengalir dengan deras. Air mata kekecewaan.
“Aku sungguh-sungguh minta maaf.” Ia mengatakannya dengan lembut.
Angin dingin berhembus makin kencang, diiringi suara tetesan air yang jatuh bergantian. Aku makin larut dengan kekecewaanku. Ia mendekat dan memelukku erat sambil tak henti-henti meminta maaf. Aku merenungkan kata-kata Salman sore tadi, bahwa sebenarnya ia berlaku seperti itu karena rasa cemburunya. Maka aku pun mencoba berdamai dengannya dan mencoba berbicara lebih terbuka.
Badai diluar terasa makin kencang, petir dan kilat saling berbalasan. Suara hujan yang mengguyur begitu berisik, dan terasa sangat dingin disini. Aku merasa beruntung Banyu tidak pergi saat aku mengusirnya tadi. Kami berlindung dibawah selimut, berharap badai segera berlalu.
“Ban…” Aku memanggilnya.
“Hmmm..” Ia menggumam lembut sambil membelai lembut rambutku.
“Aku mungkin bukan gadis yang pantas untuk kau nikahi…”
Banyu menaruh jarinya di bibirku, memintaku untuk berhenti bicara. Aku memegang jarinya kemudian menggenggamnya.
“Kamu harus dengar dulu, sepuluh tahun yang lalu banyak hal yang tidak aku sadari. Yang aku tahu Ayahku masih bekerja di pertambangan maka itu ia jarang pulang menemui ibu dan aku. Tapi ternyata ia sudah memiliki keluarga lain, ibu tetap menyandang status sebagai istrinya karena ia ingin ada yang merawat nenek. Tanpa sepengetahuan kami rumah kami dijual entah uang itu untuk apa. Membuat kami harus menumpang pada anak-anak nenek yang lain. Mereka dengan suka cita menampung nenek, tapi membenci aku dan ibuku yang notabene anak dan istri dari saudara kandung mereka yang menjual semua harta warisan keluarga tanpa mereka mendapatkan sepeserpun bagian. Aku dan ibu diperlakukan tidak baik sekalipun kami berusaha mengerjakan apa saja yang mereka minta. Setelah dua tahun lebih hidup seperti itu, kami mendapatkan kabar bahwa anak nenek yang kedua meminta kami untuk ke Bali. Membantunya untuk mengelola sebuah rumah makan, sekalipun sikapnya baik namun untuk masalah keuangan tidak begitu baik terpaksa aku mengambil beberapa pekerjaan sambilan. Namun ternyata tetap tidak pernah cukup untuk membiayai kuliahku. Bahkan saat bertemu Jessica aku sedang berada di pantai menawarkannya beberapa kalung untuk dibeli. Aku berlari menghindarinya, namun esoknya ia tetap menemukanku. Aku merasa…”
Ia memandangiku dan lagi-lagi menutup mulutku dengan jarinya.
“Aku sudah tahu…Aku mengerti…”
Ia memelukku lebih erat dan mengecup keningku dengan penuh kasih.
“Biar aku yang membayar semua penderitaanmu, aku akan selalu membahagiakanmu, aku akan menuruti semua permintaanmu, aku akan mengikuti kemanapun kau mau. Mungkin kadang aku akan membuatmu kesal, tapi aku akan selalu mencari cara untuk memperbaikinya.” Wajah tampannya menyunggingkan senyum yang termanis.
“Tapi aku belum siap untuk menemui ayahku…Aku juga belum siap untuk menikah.”
Aku memandangnya dengan kening mengerut kebawah, takut ia marah padaku. Namun ia mendekatkan wajahnya padaku dan menempelkan bibirnya dibibirku dengan lembut dan hangat.
“Aku sudah menunggu selama sepuluh tahun, menunggumu sepuluh tahun lagi pun aku tidak peduli.”
“Tidak selama itu, Jessica meminta ia menikah lebih dulu sebelum kita menikah.” Ucapku.
“Oh,tidak. Kita tidak akan menikah selamanya kalau begitu.”
Aku tertawa mendengarnya.
“Siapa yang bisa menaklukan hati sekeras batu itu?Siapa yang sanggup menghadapi ego nya?” Ocehnya.
Aku makin tertawa geli mendengarnya.
Saat menjelang fajar hujan sudah berhenti. Kami memutuskan untuk kembali ke cottage namun kami keluar cottage kembali karena menyadari Jessica tertidur di sofa dengan Salman memeluknya erat. Aku baru ingat Jessica sering takut berlebihan pada petir. Saat kami berjalan-jalan dipinggir pantai, Banyu tertawa lega.
“Sepertinya kita tidak perlu menunggu lama.” Ucapnya sambil menggendongku dan melemparku ke laut.
“Banyu, dingin!!!” Aku berteriak dan menyiraminya dengan air laut.
Kami berlarian saling tarik-menarik dan menjatuhkan diri kelaut. Kami kelelahan dan berbaring diatas pasir, tangannya menggenggam tanganku dengan erat, kami saling berpandangan kemudian tersenyum dalam hati seakan-akan sama mengucapkan harapan yang sama.
Ya, sepertinya tak akan lama lagi.