Waktu sudah hampir tengah malam, mataku tak kunjung terpejam masih terbayang sikap tak bersahabat Banyu padaku. Aku merasa memang belum siap bertemu dengannya, tapi takdir membawaku tepat berada di dekatnya. Terlalu banyak harapanku untuknya, berharap saat bertemu lagi ia sudah melupakanku dan bahagia bersama orang lain. Berharap saat bertemu ia hanya menganggapku sebagai teman biasa dari masa lalunya. Namun ternyata kerinduan yang mendalam yang kutemukan di matanya, membuatku berbalik menaruh harapan padanya.
Aku menikmati semua detakan jantung yang kembali berirama saat aku bisa menatapnya. Aku mengagumi caranya bersikap terhadapku sekalipun aku adalah gadisnya yang pernah membuatnya kehilangan arah dan gairah. Aku menyukai caranya mencemburuiku dan berusaha melindungiku, namun yang kini membuatku kecewa terselip dari tatapannya ada sejentik ketidak percayaan terhadap perasaanku padanya. Aku tak bisa menghakiminya, karena itu terjadi tentu karena kesalahanku yang belum mampu mengutarakan perasaanku lewat kata-kata.
Entah mengapa sekalipun hati kami dalam satu gelombang rasa yang sama namun masih ada penghalang besar dalam keterbukaannya.
Sudah tidur?
Bisa buka pintu belakang?
Sebuah pesan darinya masuk kedalam handphoneku.
Aku segera berlari menuju pintu belakang dan membukanya. Tampak seorang pria jangkung yang sedang terduduk di dinding pembatas tertunduk lesu. Aku menghampirinya perlahan dan menyentuh wajahnya lembut, sebelum mata kami bertemu ia menarik tubuhku dan mendekap ku erat. Hembusan nafasnya terasa hangat di perutku membuat bulu kudukku meremang seketika.
Aku mengoyak rambutnya, membuat ia menengadah tepat dibawah dadaku. Aku spontan menjauhkan diri darinya, lenganku bersilang dan mengusap-ngusap lengan atas ku yang mulai merasa tertusuk oleh udara dingin. Ia berdiri memasang tampang muram kemudian memelukku, membuat telingaku tepat berada di jantungnya. Mendengarkan alunan kehidupan dalam tubuh kekarnya.
“Apa kamu lelah?” Tanyaku memecah kebisuan.
“Hmmm …sedikit.” Jawabnya dengan suara parau.
“Masuklah, aku akan membuatkanmu susu hangat.” Aku melepaskan pelukannya dan menarik lengannya.
Aku membuatku susu vanilla hangat untuknya, sementara ia merebahkan tubuhnya di kasurku. Setelah ia selesai dengan minumannya aku harus memaksanya kembali ke kamarnya,pikirku.
“Hey, minumlah selagi hangat!” Aku menusuk-nusuk pipinya dengan jari telunjukku.
Matanya yang terpejam terbuka perlahan.
“Simpan saja dulu.” Jawabnya.
Aku duduk di kursi kayu di dekat meja belajarku, memandanginya yang kembali memejamkan mata. Bagaimana bisa mengusirnya jika ia bersikap seperti itu?
Aku menuliskan beberapa kata dalam laporanku saat ia tiba-tiba sudah berada disampingku dan memainkan anak rambutku yang keluar dari ikatan. Aku berhenti menggoreskan penaku, dan memegang lengannya.
“Apa kamu butuh bicara?” Tanyaku.
“Kemarilah!” Ia menepuk-nepuk sofa di kamarku.
Aku menghampirinya dan duduk disampingnya. Ia memandangiku dalam diam membuatku merasa gugup tak karuan. Sikapnya lagi-lagi membingungkan, aku tak bisa menebak ia masih marah atau tidak. Bukankah ia yang pergi begitu saja saat mengantarku ke kampus siang kemarin? Mungkin karena besok pagi kami akan berangkat ia mencoba kembali bersikap biasa saja denganku.
“Ban…sudah malam. Kembalilah kekamarmu!” Aku mulai merasa tidak nyaman dengan sikapnya.
“Aku belum menghabiskan susu buatanmu.” Ia menunjuk pada segelas susu yang baru tersisa setengah.
“Kalau begitu habiskan dan pulanglah!” Pintaku lagi.
Matanya lagi-lagi menunjukkan kemarahan membuat nyaliku menyusut untuk memintanya pergi. Aku terdiam memandangi lantai keramik putih di kamarku, tak terasa bulir air mata berjatuhan. Membuat diriku sendiri kebingungan dan mencoba menghapusnya sebelum Banyu melihatnya. Ia bangkit kemudian berjalan ke arah pintu belakang, aku mengikutinya.
“Apa jika Salman yang datang kau juga akan mengusirnya atau memilih mendengarkan dengan semangat semua leluconnya?” Tanyanya sinis.
Hatiku seperti dihujam ratusan benda tajam, saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Aku ingin membalas perkataannya namun hanya sesak yang ada. Ia masih berdiri mematung di lorong dapur, seakan menunggu balasan kata-kata dariku.
“Jangan lupa kunci pintunya!” Ia melangkah keluar.
“Ku mohon … jangan datang lagi kekamarku!” Aku mengatakannya dengan separuh terisak kemudian mendorong pintu dan merapatkannya.
Ia mendorong pintunya kembali, dan memandangiku dengan tatapan rasa bersalah. Namun kobar amarah masih ada di matanya, membuatku kembali menatap kebawah.
“Pergilah, jangan membuat ini semakin buruk!” Aku hanya ingin melemparkan tubuhku kekasur dan membasahi bantalku dengan tangisan.
“Apa yang kalian bicarakan di café sebelum aku bergabung?” Tanyanya.
“Tanyakan saja pada temanmu!” Aku menjawab dengan susah payah, tak ingin amarahku meledak dan meninggikan suaraku.
“Aku bertanya padamu!” Teriaknya.
Aku berusaha mendorong kembali pintu itu namun Banyu mendorongnya lebih kuat membuat aku melepaskan pegangannya karena takut terjatuh. Ia sudah selangkah kembali masuk ke lorong dapur, aku tak mau beradu pembicaraan dengannya. Aku berjalan mundur menjauhinya, melemparkan ransel yang telah aku siapkan untuk berpergian besok kearah tubuhnya disusul dengan bantal dan buku-buku.
Ia terlihat marah kemudian menarik tanganku, aku menangis tertahan menjaga agar tak ada kebisingan yang mengganggu penghuni kosan lain.
“Kenapa tak kau jawab pertanyaanku?” Ia kembali mencecarku dengan pertanyaan.
Aku hanya bisa menutup mulutku sambil terus menerus air mata mengalir dan membuat mataku terasa bengkak. Ia menghempaskanku ke atas kasur, sementara ia menyandarkan dirinya ke dinding kemudian terduduk di lantai.
***
Suara ayam berkokok sudah terdengar di kejauhan, entah sudah berapa lama aku tertidur yang kurasakan hanya rasa dingin dan sembabnya wajah. Aku melihat Banyu tengah tertidur di sofa, matanya mulai bergerak-gerak aku langsung kembali memejamkan mata. Tak mampu aku menghadapinya lagi dengan kondisi seperti ini. Terdengar pintu belakang di tutup, disusul gedoran pintu di samping kamarku. Aku mencoba tak peduli yang kuperlukan kembali masuk kedalam selimutku.
Tak berselang lama pintu kamarku dibuka, dua orang pria memasuki kamarku. Aku masih terlalu mengantuk menyadari apa yang terjadi, yang terdengar Banyu melemparkan tas pada Salman dan memintanya memeriksa kembali kamarku dan mengingatkan untuk mengunci pintunya. Sementara Banyu membungkusku dengan selimut dan menggendongku di bahunya. Aku ingin berteriak namun hanya suara serak yang keluar.
Aku merasa ngeri saat menuruni tangga dengan posisi seperti itu, terlihat Salman kerepotan dengan kedua tangannya penuh barang bawaan ikut menuruni tangga. Aku melemparkan pandangan meminta pertolongan, namun ia hanya melemparkan senyuman. Aku diturunkan di jok belakang mobil Banyu, masih terbungkus selimut. Saat mobil berjalan aku kembali tertidur.