Dalam ruang makan sederhana di sebuah rumah, duduk disana seorang ibu yang terus menatap jam dinding dan pintu kamar secara bergantian. Raut mukanya terlihat cemas dan lelah, seakan sedang memikirkan hal yang sangat berat baginya untuk dipikul. Raut matanya tak pernah berhenti melihat pintu kamar usang yang sedari tadi tak pernah terbuka. Semakin ia tatap, semakin terlihat khawatir raut wajahnya. Sudah lama ia duduk di meja makan yang penuh akan makanan. Namun tak sesuap pun ia biarkan nasi memasuki perutnya. Sudah dua kali ia memanaskan masakan agar tidak dingin, namun tetap saja dia duduk termenung setelahnya. Berharap ada suatu bunyi pintu kamar yang terbuka.
Mungkin karena sudah terlalu khawatir, ia mencoba untuk berdiri dan menuju ke pintu kamar yang sedari tadi ia lihat. Ia menarik nafas dalam, mencoba mengetuk pintu yang sudah dimakan usia itu.
Tok tok tok..
Suasana masih hening diruang itu, hanya terdengar suara kendaraan lalu lalang diluar sana. Wanita paruh baya itu masih berusaha mengetuk pintu bercat coklat pudar dan berkata lirih.
Tok tok tok..
“Nak, keluarlah.. Ibu sudah masakkan makanan kesukaan kamu, masih hangat lho ini, ayo ndang keluar”
Suara wanita itu terdengar rapuh, lelah dan sangat lirih. Matanya sedikit berkaca-kaca. Seperti ada ruang penyesalan dalam hatinya yang tak bisa ia tutupi dengan apapun.
Hening
“Assalamu’alaikum”
Suara seorang pria yang kurus dan berbaju dipenuhi dengan noda bekas oli masuk ke rumah yang tidak besar itu. Melihat istrinya terdiam di depan pintu kamar, ia langsung berdiri di sebelah istrinya dan mengelus pundak wanita yang sudah menemaninya selama 20 tahun itu. Hanya itu yang bisa pria itu lakukan untuk membuat kekhawatiran istrinya berkurang, mencoba untuk memindahkan beban berat istrinya pada pundaknya juga.
“Masih sama bu?” Tanya pria itu.
Istrinya hanya mengangguk pelan dan menatap kebawah. Dia tidak mengeluarkan air mata. Sepertinya air mata pun tidak sanggup mewakilkan perasaannya saat itu.
“Bapak sholat dulu saja, Ibu persiapkan dulu makanan untuk bapak” Kata wanita itu.
Tak banyak percakapan mereka di meja makan. Ada sesuatu yang terus mereka pikirkan. Bagi mereka bukan saatnya untuk membicarakan hal lain. Hanya ada beberapa suara gesekan sendok dan piring logam diruang itu dan suara sang pria yang sedang makan, namun wanita itu tetap tidak ikut makan.
Sebenarnya bukan karena tidak lapar, namun ada sesuatu yang dia tunggu. Sesekali ia menatap sudut diruangan itu. Sudut dimana terdapat meja belajar yang menjadi pijakkan beberapa piala di atasnya. Sudut itu selalu terlihat memancarkan pelangi di masa lalu. Rasanya hanya sudut itulah tersimpan berbagai kenangan yang membuat bibirnya bisa menyimpulkan senyum. Ia masih memandang sudut itu, banyak buku-buku tertumpuk disana. Memang tidak seperti buku yang ada di perpustakaan. Kebanyakan berasal dari pasar loak dan terkumpul di meja berbahan kayu jati itu. Sesekali ia tersenyum melihat foto-foto penuh kebanggaan si gadis kecil yang dibalut dengan bingkai kayu di atas meja belajar. Namun, perlahan senyumnya memudar. Pelangi yang ia bayangkan tadi seakan terhisap kabut tebal berwarna kelabu. Piala-piala berwarna emas seakan telah dipenuhi oleh debu. Dia menarik nafas panjang dan kembali tertunduk di bangku meja makan dan kembali memandang jam dinding serta pintu kamar yang tadi secara bergantian. Suaminya yang sudah berusia lanjut tidak tega melihat istrinya begitu sedih, namun dia juga tak bisa berharap banyak. Pria itu juga sedang memikirkan sesuatu yang tak kalah pedihnya dengan istrinya.
Beberapa bulan yang lalu, sang pria mendatangi rumah kakaknya yang tak jauh dari tempat tinggalnya di Sleman menggunakan sepeda ontel bekas yang ia dapat di pasar loak. Ia berdandan cukup rapi, tak seperti biasanya yang hanya dengan pakaian yang penuh dengan noda yang ia dapat dari bengkel tempat ia bekerja. Tak ketinggalan peci ala Soekano melekat dikepalanya. Ada sejumlah stopmap berisi sertifikat tanah yang ia bawa menggunakan kantong plastik bekas berbelanja di mini market. Ya, ia bermaksud menjual tanahnya kepada kakak sulungnya yang cukup berada untuk suatu keperluan. Namun ia keluar dari rumah kakaknya dengan wajah yang sedikit marah. Ia merasa diremehkan. Mungkin harta yang paling memiliki banyak nilai adalah tanah warisan yang ia dapat. Sehingga selama berpuluh tahun ia menjaga tanah itu dengan hati-hati dan ia rawat dengan baik. Namun saat berniat menjualnya, harga yang kakaknya tawarkan tidak sepadan dengan yang ia harapkan. Harga yang jauh dibawah standar, belum lagi ia menerima kata-kata menusuk dari keponakannya sendiri. Miskin, tidak tahu diuntung, meningalkan saat mereka kesusahan dan datang saat mereka sukses. Sombong, mungkin itu yang terlintas dibenak pria berpeci itu. Namun ia tetap tenang dan bersikap menghormati karena hubungan kekerabatan yang masih ia mliki.
lalu ia pulang. Melewati jalanan kampungnya yang sudah banyak berubah. Sudah banyak rumah yang direnovasi disana. Kebanyakan anak muda di desa itu memang lebih memilih untuk bekerja di luar negeri. Begitu pula dengan keponakannya. Ia maklumi. Ia masih berfikir positif. Dia paham betul, mungkin banyak orang kaya yang belum siap dengan tanggung jawabnya.
Dia terus mengayuh sepedanya menuju rumahnya. Dengan tangan kosong, kekecewaan dan kesedihan. Sebenarnya ia berniat menjual tanahnya untuk putrinya yang akan memasuki bangku kuliah, mereka bukan keluarga yang berada, namun semangat masih bermuara di keluarga itu. Mungkin ia terlihat tegar dan tak pernah mengeluh, namun telah banyak kesulitan yang ia lalui bersama istrinya. Istrinya adalah orang yang pintar, berpikiran maju dan mau berusaha. Namun hanya Sekolah Menengah Atas yang mampu ia gapai karena pemikiran keluarganya yang terkesan primitif dan tidak megijinkan anak perempuan berpendidikan tinggi, sia-sia kata mereka, namun tak kuasa ia mendobrak semuanya. Semakin ia mendobrak, semakin dalam ia jatuh. Keluarganya berfikir ia menyerah, namun dalam hati tekadnya masih utuh tersimpan didalam peti. Masih ada harapan, gumannya hingga saat ini, hingga sepasang suami istri itu duduk bersama di meja makan dan menatap pintu rapuh di ruang itu, ia masih simpan peti pusaka itu dalam hatinya, yang dikuatkan oleh lindungan suaminya.
Hanya satu mentari yang akan mencerahkan seluruh kehidupan di keluarga itu. Mentari yang masih bersembunyi di balik pintu yang sedari tadi ia pandangi bersama suaminya. Mereka menganggukkan kepala dengan mantap bebarengan sambil menatap satu sama lain. Seakan yang mereka pikirkan adalah sama. Ada keyakinan kuat muncul kembali diantara mereka. Sedikit mengubah suasana yang kelabu. Anggukkan itu seakan mengubah raut muka keduanya, lalu menuju pintu bercat coklat pudar secara bersamaan. Sang istri mengetuk pintu kembali namun kali ini terdengar tak selemah tadi, ia mengetuk dengan yakin.
Tok tok tok..
“Nak.. masih ada satu kesempatan lagi, ayo berusaha sekali lagi saja, ayah dan ibu akan selalu disisimu..” ucap sang ibu.
“Menyerah berarti siap menyesal nak, bapak dan ibu yakin kamu pasti bisa kali ini” Lanjut sang Bapak meyakinkan perkataan istrinya.
Ada pergerakan terdengar dibalik pintu itu, siapa yang tahu, itu merubah segalanya.
6 Tahun Kemudian.
Suara tepuk tangan terus terdengar di gedung auditorium yang megah itu. Alunan musik nan syahdu juga terus menggema diantara riuhan suara manusia yang memenuhi ruangan berdekorasi warna emas. Sepasang suami istri yang telah cukup lanjut usia terlihat duduk menggunakan pakaian formal di tempat duduk khusus tamu undangan. Keduanya tak kuasa terus tersenyum memandangi area sekitar mereka. Mereka tak banyak bicara, hanya sesekali berbisik dan dilanjutkan dengan tertawa minim yang diikuti dengan kerutan diwajah mereka yang kian bertambah. Sang istri terlihat anggun memakai kebaya disana. Ya, hanya ia yang memakai kebaya, busana formal yang selalu ia banggakan.
Tiba-tiba terdengar suara anaknya dipanggil dengan mikrofon yang dipegang oleh seorang wanita muda berambut pirang dan diikuti dengan kata-kata yang tidak dimengerti oleh sepasang suami istri tersebut. Sontak mereka langsung melihat kearah panggung dan sesekali memanjangkan leher mereka diantara orang-orang yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari keduanya.
Ya..
Mereka sedang menyaksikan upacara kelulusan putri kesayangannya di negeri orang. Putri yang dulu pernah mengurung diri dikamarnya berhari-hari karena dinyatakan tidak lulus masuk perguruan tinggi dalam kurun waktu 2 tahun. Namun tiada yang menyangka kini suami istri tersebut dapat menyaksikan putrinya berdiri di panggung yang sangat megah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Jerman dengan lantang dan sesekali memandang keduanya dengan pandangan yang terlihat sangat bangga.
Keduanya mengeluarkan air mata, air mata yang beda dari sebelumnya. Air mata penuh rasa syukur atas doa yang akhirnya dikabulkan tuhan. Tak henti-hentinya mulut keduanya melafalkan hamdalah dan mengelus dada. Kini dada mereka terasa longgar dan tak ada beban sedikitpun didalamnya. Peti pusaka yang telah tertutup bertahun-tahun dalam hati sang ibu telah terbuka lebar dan menyerap penyesalan yang selama ini ia rasakan. Dia tak menyesal dilahirkan dari keluarga yang kurang sejahtera, tak menyesal pula hidup tertatih-tatih penuh perjuangan demi keluarganya. Pasangan suami istri yang hanya lulusan SMA dan bekerja keras selama bertahun-tahun dengan pekerjaan seadanya, telah berhasil mendampingi putri kesayangannya hingga menjadi lulusan S2 terbaik di Jerman.
Tidak ada yang tahu, jika kita tidak memilih sebuah pilihan. Terkadang pilihan perjuangan terakhirlah yang menuntun kita menjadi inspirasi semua orang. Pilihan yang menyelamatkan sebuah peti pusaka yang lama tenggelam dalam relung hati seseorang yang tak punya kesempatan untuk menggapainya.