“If you’re lonely, and need a friend
And troubles seem like they never end
Just remember to keep the faith
And love will be there to light the way
Anytime you need a friend
I will be here”
~Anytime You Need A Friend-Mariah Carey~
Ara tengah menikmati makan siangnya bersama teman-teman kantornya di basement bawah yang kini di sulap menjadi pantry. Di nikmatinya bekal yang sudah ia siapkan tadi pagi dan selepas makan dan sholat dhuhur, dia pun ikut nimbrung bersama teman-temannya untuk berbincang-bincang menghabiskan jam istirahat mereka. Nimbrung dalam hal ini bukan berarti dia ikut ngobrol dan saling bercerita dengan teman-teman kantornya tapi lebih pada sebagai pengamat saja. Ya, Ara masih menarik diri dari orang-orang di sekitarnya, ia hanya berbicara jika di ajak bicara dan selebihnya ia hanya memberikan seulas senyum ketika mendengar cerita dari teman-temannya. Ara memang memiliki kepribadian yang introvert atau tertutup. Ia lebih senang sendirian berkutat dengan bertumpuk-tumpuk bukunya di bandingkan dengan pergi beramai-ramai atau ngobrol-ngobrol dengan teman-temannya.
Tapi, Ara menjadi seseorang yang benar-benar berbeda tiga tahun yang lalu. Dimana dia bisa tertawa dengan lepas, berbagi dan mendengarkan semua cerita sahabatnya. Dia bisa menceritakan semua hal yang dia rasakan pada sahabat-sahabatnya dan tidak lagi berkutat hanya pada buku hariannya. Tiga tahun yang lalu tepatnya selama masa kuliahnya Ara menjadi pribadi yang ceria. Ara memang juga memiliki sisi kepribadian yang seperti itu ketika dia sudah merasa nyaman dengan orang-orang dan keadaan yang membuatnya merasa nyaman. Detik berikutnya lagu If You’re Not The One-nya Daniel Bedingfield berkumandang di handphonenya. Ara pun kemudian mengangkat panggilan yang menampilkan nama Aprillia di layar handphonenya.
Aprillia Calling :
“Hallooo…………..Ra…………,”
“Iya Pril….,”
“Eh, Ra aku cuman mau mastiin nieh. Kamu fix jadi ikut kan ke Yogja?” tanya April.
“Hu’umb…ya….jadi…,”balas Ara.
“Oke deh…makasih…Besok ngumpulnya di bascamp seperti biasa ya…,” ucap April.
“Ya…,” ucap Ara mengakhiri komunikasinya dengan April via telepon. “Huft…apa keputusanku sudah benar untuk ikut berlibur bersama mereka ya. Tapi, aku gak enak selalu menolak ajakan mereka. Tapi, kenapa harus Yogja? Bagaimana kalau di sana aku….,” batin Ara. “Yogja besar Ara, gak mungkin aku bisa bertemu lagi dengan orang itu…,” gumamnya meyakinkan dirinya bahwa keputusannya adalah keputusan yang tepat dan segala konsekuensi yang akan terjadi nanti ia yakin akan bisa mengatasinya.
*****
Erlangga masih meringkuk di kamarnya dan membaca buku kecil berwarna biru muda dengan sampul bergambar seorang gadis kecil mengenakan baju kuning yang duduk di antara ranting pohon dengan raut wajah sendu. Buku itu berjudul Antologi Puisi : Semua Tentangmu. Namun, kegiatannya membaca dan mencermati isi dalam buku itu menjadi terganggu karena kedatangan seseorang yang tiba-tiba menerobos masuk dan langsung menghempaskan tubuhnya di ranjang yang sama di mana Erlangga tengah berbaring.
Seseorang itu terkejut melihat Erlangga yang tidur telentang bersandar pada bantal dan membaca buku kecil itu. Dia mengamati Erlangga dengan saksama dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sejak kapan loe suka baca buku beginian kak?” tanya Adik Erlangga yang di kenal dengan nama Ares. Namun yang ditanya hanya diam dan tidak menggubris sama sekali pertanyaan Ares. Ares kemudian mencabut paksa buku yang sedari tadi dipegang dan dibaca oleh Erlangga. Dia mengamati dengan saksama buku itu dan tersenyum-senyum kearah Erlangga tanda mengejek. “Loe, mau belajar romantis dengan baca buku ini kak?” tanyanya lagi.
“Diem, bukan urusan loe….,” ucap Erlangga.
“Duuuh kak loe tuh jadi makin aneh tau gak. Udah lama gak pulang-pulang, eh tiba pulang loe jadi aneh kayak gini. Dan ini, apa ini?” ucap Ares dengan mengacung-acungkan buku kecil di tangannya. “Sejak kapan kakak gue jadi mellow gini?”
“Bodoh, siniin buku gue…,” ujar Erlangga sembari mengambil buku dalam genggaman Ares.
“Hmm..loh tuh ya, keluar sono dikamar terus kayak ayam yang lagi mengerami telurnya aja, gak mau beranjak sama sekali dari tempat tidur,” ucap Ares.
“Bodoh amat…,” ucap Erlangga.
“Loh tuh ya kalau di bilangin. Pergi ke rumah Kak Brina sono, sejak loe pulang dari Singapura loe belum kesana kan?”
“Itu urusan gue…,”
“Loe ada masalah lagi sama dia. Berantem lagi?”
“Nggak gue gak da masalah. Dan kita gak pernah berantem..,” ucap Erlangga.
“Iya, gue tahu kalau kalian memang gak pernah berantem, adem ayem terus. Tapi, loe sadar gak kak kalau hubungan kalian yang kayak gitu terkesan membosankan..,” jelas Ares.
“Maksud loe…?”
“Gini ya kak, dalam hubungan pastilah ada yang namanya percekcokan entah itu karena masalah kecil atau sepele seperti perdebatan kecil dan sebagainya. Kadang memang sedikit membuat frustasi tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut, tapi itulah tantangannya. Kalian akan belajar bersama-sama untuk mengatasi masalah tersebut dan jika hal itu berhasil maka itu juga bisa membuat hubungan diantara kalian menjadi semakin erat,” jelas Ares.
“Sok tahu loe….,”
“Gue bukan sok tahu kak, tapi emang itu kenyataannya. Jujur sama gue sekarang, loe udah menghindar dari Kak Brina karena loe merasa bosan kan?”
“Jangan sok tahu, gue gak gitu…,” ujar Erlangga.
“Baiklah loe bisa bohongin gue kak, tapi loe gak bisa bohongin diri loe sendiri. Udah deh gue mau pergi kencan dulu ya….,” ucap Ares sembari meninggalkan Erlangga yang masih terpaku mencermati dengan saksama perkataan Ares.
“Apa gue emang bener-bener bosan dengan hubungan ini….,” batinya. Dia memang memutuskan untuk menghindari Brina saat ini. Tapi, bukan karena bosan bertemu dengan Brina tapi ada sesuatu yang lain di hati dan pikirannya dimana seseorang yang lain menyita seluruh waktunya saat ini. Tidak, tidak hanya saat-saat ini, tapi dari dulu. Sejak tak lagi di temukannya kabar gadis itu sedikitpun, pikirannya tak henti-hentinya berpikir tentang gadis itu. Dan dia tak ingin Brina melihatnya tengah memikirkan gadis lain saat mereka bersama. Karena itulah Erlangga memutuskan untuk menghindar sementara dan segera menyelesaikan urusan hatinya itu. Dibuangnya pikiran seperti itu cepat-cepat dari pikirannya dan Erlangga pun kembali focus dengan buku biru kecil itu. Di bacanya lagi satu puisi yang ditulis gadis itu yang tentu saja membuat Erlangga kembali mengenang kenangannya dengan gadis itu dulu.
Dualitas Tak Terbantah
Seolah baru kemarin kita saling bertatap malu-malu
Seolah baru kemarin kita saling duduk diam dan membisu
Seolah baru kemarin kita bertengkar dan mengambek tanpa mau mengalah
Hingga waktu berjalan dan mengubah segala yang ada
Mengubah kediaman menjadi tawa
Mengubah kebisuan menjadi canda
Mengubah amarah menjadi ramah
Kita,,yang dulu terlampau jauh dari kata dekat
Yang membatasi diri dengan jarak selengan, sejengkal..
Kini menjadi sedekat nadi
Sedekat nafas yang yang bahkan hembusannya dapat ku rasa di pipiku
Namun, sekali lagi waktu mengubah segala yang ada
Semua yang telah kita lalui bersama
Untuk waktu yang telah kita habiskan untuk merenda hari bersama
Kini telah mencapai pada kata akhir
Kita akan kembali pada suatu masa
Dimana kau menjadi asing untukku dan akupun menjadi asing bagimu
Terlalu banyak kata mengapa untuk mengetahui maksud Tuhan mempertemukan kita
Kita,,bersama saling berbagi cerita singkat hidup kita
Namun tak ada yang terjadi sampai akhir
Tak ada yang berubah antara kau dan aku
Selamanya kita akan tetap seperti ini
Tapi tak pernah ada sesal dalam hidupku
Aku tak akan menyalahkan temu, juga tak akan pernah menghakimi pisah
Karena selamanya temu akan selalu bersahabat dengan pisah
Itulah dualitas tak terbantah..
Erlangga termenung mencoba untuk mengingat kembali masa lalu itu. Tak butuh waktu lama untuk mengingat kenangan itu. Karena puisi yang telah di bacanya itu mengantarkannya dengan cepat pada gerbang kenangan itu.
*****
Aku masih ingat ketika kau menyuruhku mengatur jarak denganmu. Kau membatasi jarak tempat duduk kita dengan tangan kecilmu sebagai ukurannya. Satu jengkal. Ya, itu jarak yang kau perbolehkan kemudian setelah kau dengan lelahnya mengusirku menjauh darimu namun aku tetap saja bebal dan tak mau mendengarkanmu. Hingga aku mengejutkanmu saat itu. Aku berpindah dari tempat dudukku dan tidak memperhatikanmu yang asyik ngobrol dengan teman kita. Kemudian aku duduk dibelakangmu, menghembuskan nafasku tepat di samping pipimu. Dan tentu saja itu membuatmu terkejut dan refleks segera menjauh dariku.
“Issshhhh…kamu ngapain,” ucapnya kala itu dengan raut muka jengkel.
“Hahahaha…..,” aku hanya menjawabnya dengan tawa. Aku senang sekali melihat raut wajah jengkelnya. Lucu. Terlebih ketika mukanya blushing karena perlakuanku itu. Tak begitu tampak sih, karena dengan sempurnah dia bisa menyembunyikannya. Tapi, bukan Erlangga namanya kalau tidak tahu perihal Ara. Karena lebih dari apapun aku mengenal gadis itu bahkan mungkin melebihi aku mengenal diriku sendiri.
Sejak saat itu dia mulai membatasi jarak diantara kami. Dia bilang gak boleh dekat-dekat nanti dosa atau apalah banyak sekali alasan dia. Tapi, aku tetap aku dan tidak bisa dia menentangku. Aku selalu saja menggodanya seperti biasa dan akhirnya dia menyerah dan membiarkan aku dekat dengannya kemudian. Dia tahu bahwa berdebat denganku tak akan pernah ada habisnya karenanya dia menyerah untuk membuatku menjauh darinya. Tapi apa kau tahu hal lain yang menjadi ciri khasnya kalau sedang merasa jengkel denganku. Aku akan menceritakannya. Menceritakan masa lalu yang lucu itu.
Gadis kecil itu sering ku panggil bocah. Kau tahu kenapa karena sekalipun dia berusia lebih tua dariku kelakuannya tak ubahnya seperti bocah. Kadang dia memang bisa bersikap dewasa namun disisi lain dia lebih sering bersikap seperti bocah. Pasalnya sikap polosnya itulah yang menjadikan dia terlihat seperti bocah cilik yang suka usil dan sok tahu. Dia di juluki gadis aneh. Entah itu oleh teman-temannya sendiri maupun oleh kakak-kakak tingkat. Kau tahu kenapa dia di juluki seperti itu karena dia memang aneh. Dia sering berbicara sendiri, entah itu dengan handphonenya, leptop atau computer di kantor Lab, dia selalu mengajak mereka bicara. Dia juga selalu mengoceh sepanjang hari jika berada di dekatku. Entah cerita inilah cerita itulah kadang aku menyimaknya tapi lebih sering aku mencuekkannya.
“Gha….,” ucapnya.
“Hmmm….,”tanggapku.
“Kamu tahu gak,” dia selalalu memulai kalimatnya dengan kata itu. “Masak aku di bilang aneh sama Mas Jo…,” ucapnya kala itu.
“Memang benar kan….,” ucapku.
“Ishhhh kau nih. Dengerin dulu napa…,” ucapnya mulai nampak jengkel denganku.
“Iya..iya apasih….gue dengerin…,” ucapku.
“Mas Jo itu aneh, masak aku dibilang aneh hanya karena aku gak pernah pacaran. Aneh kan…,” ucapnya yang malah mengatai orang lain aneh padahal dirinya sendiri yang sebenarnya aneh.
“Ya betulkan memang yang Mas Jo bilang…,” ucapku.
“Betul bagaimana?”
“Kamu memang aneh. Semua orang pernah pacaran Ra. Bahkan liat sekarang berapa usiamu,”
“22 tahun…,”
“Nah, kan dari lahir sampai usiamu 22 tahun kamu sama sekali belum pernah pacaran, sementara yang lainnya mungkin sudah 3 atau 5 kali pacaran dalam rentang usia begitu,” jelasku. Dia pun manggut-manggut mendengar penjelasanku sebelum mengatakan apa yang ingin dikatakannya kemudian.
“Ahhh..begitu ya. Jadi aku dibilang aneh karena seperti itu. Semua orang pernah pacaran paling tidak sekali seperti kamu, ya kan?” ucapnya meminta pendapatku yang ku tahu itu juga merupakan sindiran untukku atas perkataannya.
“Gak usah ngeledek…,” ucapku.
“Hehehe…bukan ngeledek Gha, paling tidak kamu pernah walau hanya sekali kan. Sementara aku gak pernah sama sekali. Karena itu aku selalu jadi bahan bully-an anak-anak dan sering di katai aneh…,” ucapnya.
“Ya, sudah cari pacar sana…,” pintaku tapi dia menggelengkan kepalanya. “Kenapa?”
“Gak mau, bukankah Allah mengatakan sendiri dalam surat Al-Isra’: 32 “wa laa taqrabuz zinaa innahu kaana faahishatan wa saa a’sabiila : dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Itu berarti Allah melarang pacaran kan…?” ucapnya.
Aku tertohok dengan perkataannya. “Tapi, selama kita masih bisa menjaga diri dan tidak neko-neko kan gak papa Ra..,” ucapku.
Namun dia hanya menggelengkan kepalanya. “Hmm..tetap saja aku gak mau pacaran…,”
“Kau akan selalu di bully kalau keras kepala begitu. Dan terima saja nasibmu menjomblo seumur hidup karena pemikiranmu itu,” ucapku.
“Menjadi jomblo dan memilih untuk tetap sendiri karena tidak mau pacaran itu bukan nasib Gha. Tapi, itu prinsip,” ucapnya sembari tersenyum lebar ke arahku. “Manis..,” batinku.
Ya, itulah sifatnya kalau sudah menyangkut tentang prinsip yang dipegangnya tak akan ada siapapun yang mampu untuk membuatnya berubah pikiran. Dan aku suka keteguhan dirinya yang seperti itu. Walau dia terkesan polos tetapi pemikirannya bisa sangat dewasa jika menyangkut hal-hal seperti itu. Dia pun menerima segala konsekuensi yang terjadi atas keputusannya. Dia selalu mendapat bully-an dari teman-teman kami, teman-teman sekelasnya dan bahkan dari para adik tingkat.
Tapi, dia tetap berfikir masa bodoh dan kadang menampilkan wajah melasnya di hadapan kami semua dan aku tahu kalau dia bukan benar-benar sedih, tapi dia hanya ingin menghibur kami semua dengan tingkahnya. Lebih dari apapun, lebih dari siapapun aku tahu bahwa dia kuat, dia wanita yang hebat yang akan mampu mempertahankan prinsip yang sudah jelas-jelas ia ketahui kebenarannya, tidak sepertiku sekalipun aku tahu kebenaran itu tepat di hadapanku tapi aku masih mengikuti keinginanku sendiri. Egois memang, tapi itulah aku.
*****
Ceritanya bagus, menginspirasi.
Comment on chapter Di Batas Rindubaca ceritaku juga ya,