"Kakak! Aku ikut!"
Tiga hari berlalu. Shinta lelah bertanya-tanya kesana-kemari mengenai keberadaannya yang selalu dijawab sama oleh siapapun.
“Kamu adik Arya Adikara, Shinta. Anak Wiraraja. Dan kita berada di desa tak bernama di wilayah kerajaan Kediri.”
“Kamu tanya apa? Haha? Kamu ada di mana? Kamu ada di depanku sekarang, Shin.”
“Shinta, temanku... Kau ingat siapa aku? Aku Gayatri, kita sering bermain bersama? Apa kepalamu tertimpa sesuatu hingga melenyapkan sebagian ingatanmu?”
“Aku? Aku Lembu Sora! Pamanmu yang paling tampan! Apa kau benar-benar lupa? Haha... Tidak mungkin! Kau pasti sedang mengerjaiku lagi, kali ini, gadis mana yang akan kau jodohkan denganku?”
“Shinta? Kau aneh lagi? Kalau kau sebegitu penasarannya dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kita bisa menanyakannya ke Mbah Suji.”
Kalimat terakhir dari kakaknya membuatnya mengunci rapat-rapat mulutnya. Dia akan mencari tahu sendiri, bagaimana ia bisa sampai di desa antah berantah dan bertemu dengan orang-orang aneh ini. Dan ajaib, Shinta bisa melalui hari-harinya tanpa ponsel. Ponsel tak bergunanya itu masih mendekam di bawah bantal bantat di atas kasurnya yang juga bantat.
"Jangan! Nanti gatal-gatal," jawab Rangga sambil memasukkan golok dan perlengkapan babat lainnya ke dalam buntalan.
"Aku... aku akan cari tempat yang tidak ada ulatnya. Aku tidak akan merepotkan kalian. Janji! Kakak! Aku bosan di rumah hanya lihatin ibu-ibu itu nyari kutu!" rengek Shinta dengan mata berkaca-kaca.
Rangga menatap adiknya sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, pakai baju kakak! Ingat, jangan bandel!" Rangga menunjuk bilik ruangannya sambil menghela napas pasrah. Adiknya itu memang semangat melakukan hal-hal aneh dan tidak wajar sejak dia kesurupan arwah Kartikaswari. Dia ingin membawanya kembali ke Mbah Suji, memastikan bahwa arwah itu telah benar-benar meninggalkan adiknya, tapi melihat wajah pias Shinta setiap kali mendengar kata aneh dan nama Mbah Suji, Rangga selalu mengurungkan niatnya.
"Kak, babat hutan kan ilegal..." celoteh Shinta.
"Hm? Apa itu ilegal?" tanya Rangga, bingung. Dia menoleh ke belakang, menatap wajah adiknya yang terlihat lebih ceria dan patuh mengikutinya kemanapun seperti anak ayam mengikuti induknya.
"Dilarang pemerintah."
"Oh. Hutan Carik ini adalah hasil kesepakatan Raden Wijaya dengan Jayakatwang setelah Raden Wijaya mengaku menyerah."
"Siapa Jayakatwang?"
"Pemerintah. Raja Kerajaan Kediri." Rangga menunjuk ke arah barat, ke arah Kediri.
Mereka terus melanjutkan percakapan mereka sambil berjalan naik-turun bukit hijau, yang mengingatkan Shinta akan bukit Teletubies. Shinta ingin lari ke bukit-bukit itu, berguling-guling di sana. Tapi kelakuannya pasti akan dianggap aneh, dia tak mau berakhir disembur dukun gila yang menganggapnya kesurupan untuk yang ketiga kalinya.
"Kak! Itu, kenapa mereka berkelahi?" tanya Shinta lagi, telunjuknya terarah ke segerombolan orang berpakaian kuning cerah dan hijau gelap yang berkelahi di jalan setapak dalam hutan, di depan sebuah kereta mewah tanpa kuda.
Tangan kanan Rangga menarik lengan adiknya, perlahan membawa mereka ke balik semak-semak tebal dan menempelkan telunjuknya ke depan mulut. "Paling... ada orang kaya lewat, terus ketemu musuh bebuyutan. Atau mereka mau merampok si orang lewat itu? Atau bisa juga mereka awalnya mengobrol biasa tapi akhirnya ada yang tersinggung, jadilah berkelahi. Saat ini, tenaga selalu berbicara lebih lantang daripada otak," bisik Rangga. Rangga menjelaskannya dengan raut muka malas. Dia bahkan menunjuk-nunjuk gerombolan dan kereta mewah itu seperti pembawa acara berita yang tengah menjelaskan perubahan cuaca.
"Kak? Tidak mau membantu mereka?" tanya Shinta sambil berbisik. Dia penasaran sehebat dan sebaik apakah kakak jaman dulunya ini. Siapa tahu kakaknya bisa terbang, menghilang, atau punya naga jadi-jadian seperti di TV-TV? Mungkin saja sinetron di jaman modern benar-benar menggambarkan kekuatan jaman dulu.
"Kakak bingung mau membantu yang mana? Daripada nanti malah membantu yang salah, sepertinya lebih baik menonton saja. Mau taruhan kelompok mana yang akan menang?"
"Taruhan?"
"Kamu pilih satu kelompok. Jika kamu menang, kakak akan turuti semua permintaanmu."
"Bagaimana kalau kakak yang menang?"
"Kamu turuti semua permintaan kakak, adil kan?"
"Baik. Aku pilih yang pakai baju kuning."
"Berarti kakak yang pakai baju hijau."
Dan mereka berdua malah sibuk menyemangati perkelahian itu dari balik semak rumput tebal, seolah tengah mensuport tim sepak bola masing-masing.
"Yeay!!! Aku menang!!! Aku menang... aku menang... uuulalaaaa~"
Shinta menari-nari sambil tertawa riang dan melompat-lompat di depan Rangga. Sedangkan Rangga hanya memperhatikan adiknya dengan kedua alis terangkat tinggi, mempertimbangkan apakah saat pulang nanti dia perlu membawa Shinta kembali menemui Mbah Suji?
“KAKAK!!! AKU MAU POHON ITU!!! JANGAN TEBANG POHON ITU! BUNGANYA BAGUS!!!”
Rangga menghentikan goloknya yang hampir menyentuh kulit pohon besar rindang di hadapannya, dia berbalik meninggalkan pohon itu, memilih pohon lain dan mulai melayangkan goloknya. Nambi, salah satu teman Rangga yang berada di depan pohon paling dekat dengannya hanya melayangkan senyum tertahan melihat Rangga yang biasanya pemarah tak berkutik di depan adik manjanya.
“KAKAK!!! AIR MINUMKU HABIS!!!”
Rangga kembali menurunkan goloknya, menghampiri adiknya hanya untuk menuangkan air dari kendi yang dibawanya ke dalam gelas bambu adiknya.
"KAKAK!!! AKU MAU BUAH NAGA!!!"
Entah ini adalah teriakan adiknya yang ke berapa? Rangga mulai jengah dengan tingkah adiknya yang setiap seratus napas sekali selalu memanggilnya dengan berbagai permintaan aneh yang harus ia tepati. Dia agak menyesal membawa adiknya ke Hutan Carik hari ini. Belum satu pun pohon yang berhasil ditumbangkannya, padahal matahari sudah mulai condong ke barat. Teman-teman Rangga sibuk dengan pohon mereka masing-masing, sudah tak lagi menghiraukan teriakan Shinta. Mereka sudah menganggap teriakan-teriakan Shinta itu seperti bagian dari kicauan burung di Hutan Carik.
Dengan wajah tertekuk, Rangga mendekati adiknya yang duduk di bawah pohon yang tidak jadi ditebangnya atas permintaan Shinta. "Buah apa?" tanyanya, berusaha bersabar saat dia sampai di depan adiknya. Dia mengeluarkan kedinya, mengangkatnya ke atas mulut, memiringkannya. Tapi tak ada yang keluar dari sana. Rangga melihat adiknya yang kini sibuk mencabuti rumput di sekeliling pohon itu. “Buah apa?” ulangnya.
Shinta menghentikan aktivitas mencabuti rumputnya, sambil tersenyum dia mendongak. Meneliti raut muka kakaknya. Setelah dia memastikan kakaknya tidak marah, dia mengacungkan tangannya. "Buah Naga! Yang itu tuh! Yang menggantung di pohon itu, yang warnanya merah!"
Rangga mengernyitkan dahi. Dia mengikuti arah jari telunjuk adiknya dan mendapati buah aneh merah menggantung di sebuah pohon besar yang dililiti tanaman rambat aneh di sepanjang batangnya. Dia tidak tahu bahwa buah itu aman dimakan.
"Itu bukan buah yang bisa dimakan Shin," jelasnya mencoba lebih bersabar.
"Ih. Bisa Kakak! Buah itu tuh enak! Ambilkan, Kakak sudah janji! Ingat?" Shinta tersenyum senang saat melihat Rangga dengan berat hati memenuhi permintaannya.
Rangga memanjat pohon besar yang ditunjuk Shinta, mengambil buah merah yang menempel pada tanaman rambat itu. Lalu membawanya ke pangkuan adiknya yang kini memasang senyum berseri-seri.
"Shinta lebih cantik saat kamu tersenyum seperti itu," ucap seorang pemuda yang mendekatinya membawa buah hijau besar. Shinta tahu dia adalah salah satu teman kakaknya, tapi Shinta belum mengenalnya jadi dia mengabaikannya dengan mencoba membongkar buah naga yang dibawakan kakaknya menggunakan parang, lalu menggerogoti isinya. Posenya saat ini sangat jauh dari kata cantik.
"Raden Wijaya terlalu memuji," balas Rangga sambil tersenyum.
Raden Wijaya? Mulut Shinta menganga lebar, matanya membesar. Shinta mengerjapkan mata dua kali. Sesaat dia terpesona? Terhipnotis? Atau tertegun? Karena wibawa yang dirasakan menguar kuat dari kehadiran pemuda itu. Dia terkesima, Hei!!! Aku bertemu dengan Raden Wijaya! Pendiri Kerajaan Majapahit!!! Tapi untuk siapa dia bersorak-sorai? Siapa yang bisa diajaknya bercerita? Kakaknya? Tidak mungkin! Dia tak mau berakhir dibawa ke tempat dukun gila itu lagi. Jadi Shinta hanya berusaha tenang, cara aman menjalani hidup tentram di jaman dulu.
"Adikmu sudah besar, Arya. Mungkin sebentar lagi akan ada yang datang melamarnya," ucap Raden Wijaya. Dia meletakkan buah hijau besar itu di samping Shinta masih menggerogoti daging buah naga. "Untukmu," lanjutnya.
Shinta mengernyitkan dahi. Lalu menggelengkan kepala. "Raden Wijaya kan? Tahu tidak, buah yang Raden bawa itu namanya buah Maja, dan rasanya pahit," ucap Shinta. "Ini, Buah Naga, rasanya manis, seger, cobalah." Shinta mengulurkan sepotong kecil buah Naga ke arah Raden Wijaya, sikap dan tata caranya berbicara sungguh jauh dari kata sopan. Rangga berjengit medengarnya.
"Shin, berikan yang lebih besar!" Rangga gusar melihat tingkah adiknya pada Raden Wijaya, pangeran terasing yang telah menciptakan desa yang kini mereka tinggali.
"Ini? Buah ini? Pahit?" tanya Raden Wijaya.
Shinta mengangguk.
"Buah Maja terasa pahit... sepahit perjalanan hidupku..." Raden Wijaya malah berpuisi.
Shinta ingin tertawa mendengarnya, tapi melihat mata tajam kakaknya yang terus mengawasi gerak-geriknya sambil memegang golok ditangan kanannya, Shinta mengurungkan niatnya. Dia hanya berusaha bersikap tenang dengan kembali menggerogoti buah naganya.
"Buah ini sangat menginspirasi, maka dari saat ini hingga seterusnya, kuberi nama desa kita Desa Majapahit," ucap Raden Wijaya heroik.
Rangga seketika berdiri dan memberi hormat dengan menundukkan kepalanya. Shinta mengikuti apa yang dilakukan kakaknya. Matanya berbinar-binar. Jadi ini asal nama kerajaan Majapahit? Dari buah Maja yang rasanya Pahit, sepahit perjalanan hidup Raden Wijaya? Shinta hampir menangis. Selama ini dia berusaha membaca dan memahami isi buku sejarahnya tentang Kerajaan Majapahit demi ulangan minggu depan, dan gagal. Tapi di sini, dengan sendirinya dia bisa melihat dan ikut merasakan perjuangan Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit, dia paham. Tapi apakah dia akan pernah bisa kembali ke kehidupan modern? Mengisi lembar ujiannya? Mengingatnya hanya membuat pelupuk matanya terasa panas dan agak perih. Shinta menggosok matanya, lalu mencoba kembali tersenyum.
Malam hari, api unggun raksasa diciptakan di tengah lapangan desa. Pengumuman nama Desa Majapahit mengantarkan penduduk desa pada euforia. Banyak dari mereka yang rela menyembelih ayam, angsa, dan ternak lainnya untuk dimakan bersama demi memeriahkan pesta dadakan terciptanya nama Desa Majapahit.
Semua wajah terlihat riang gembira.
"Ular naga panjangnya... bukan kepalang. Berjalan-jalan selalu riang kemari. Umpan yang lezat, itulah yang dicari. Inilah dia yang terbelakang!!!" Anak-anak menyanyikan lagu itu sambil membuat permainan gapura, setelah menggerogoti buah naga yang dibawakan Rangga dan Shinta.
Mereka tertawa riang. Bahagia bersama di bawah langit penuh bintang dengan penerangan api unggun yang mulai redup.
Shinta tersenyum. Dia ikut bahagia. Kebahagiaan berbeda dengan yang dirasakannya saat menang bermain PS melawan Ella.
Kebahagiaan ini terasa lebih bersih, murni, dan tanpa beban.
Semilir angin sejuk membawa mereka ke satu tahun kemudian...
____________________________________________________________________________
Wow... 1593 words! Amazing!!!
Happy Reading...
Kocak
Comment on chapter 2. Sejarah yang membosankan