Kepada Yth,
Hotman Paris Hutapea, S.H
Di tempat,
Salam sejahtera bang Hotman! Sebelumnya izinkan dulu aku memperkenalkan diri. Namaku Tertibta Perangin-Angin, dan aku mau minta duit! Tapi aku nggak butuh duit, karena bapakku Pantun Perangin-Angin dari Tiga Panah, petani kol yang paling terhormat di Kabanjahe. Jadi alasanku nulis surat ke abang ini murni karena “kenapa enggak?” Makanya alangkah mantapnya kalau abang habiskan tulisanku ini sampai bawah. Nggak sampai sepuluh menit. Kalau nggak sepadan, potong kupingku.
Aku tinggal di Berastagi, Tanah Karo Simalem. Kegiatanku sehari-hari ngurus tanaman wortel sama bawang pere enam hari seminggu. Kadang kol kita tanam, tergantung musimnya lah. Tapi biar abang tahu, bukan pulak aku yang nyemprotin satu persatu wortel tadi ya. Karena ladang tiga hektar di Sukajulu ini memang pulak punyakku sendiri, aron-aron yang kugaji ada dua lusin kepala, jadi kerjaku tiap hari cuma ngemandorin untuk mastikan kalau Rp.80.000 per hari yang kukeluarkan itu betul-betul sepadan. Jadi jangan pulak abang takut ngelanjutkan baca suratku ini perkara abang malas karena capek ngehadepin Hutapea-Hutapea lain yang mengeksploitasi marganya untuk minta duit. Purak-purak kasihan, purak-purak punya visi. Yakin aku, pasti banyak yang gitu-gitu sama abang. Tapi kukasih tau dari awal, duit yang mau kumintak pun banyak ini, ceritanya. Karena, kenapa enggak?
Nah, jadi ceritanya gini: Biarpun kerjaku ke ladang, tapi aku nggak megang cangkul bang. Di dalam hati, aku ini penulis skenario. Udah ada tujuh manuskripku yang siap diterjemahkan kelayar lebar untuk ditontonkan sama khalayak ramai. Satu naskah yang paling kubanggakan ini, judulnya “Hutapea”. Tapi, udah sepuluh produser kujumpai di Jakarta ini, satupun nggak ngerti orang itu baca naskah ini. Ya cemana lah, satu orang Betawi, orang Jawa, orang Cina pun ada. Apalagi orang India, dibacanya pun enggak. Makanya aku ngomong sama abang. Nah tapi kenapa kutanya sama abang bukan perkara judulnya aja, tapi terkait soal kita anak Medan ini bang.
Kita anak Medan, kalau merantau ke Jakarta ini nggak ada yang nggak jadi orang. Jadi maksudku, agak-agak abang bantulah dulu kita sama-sama satu kampung. Jalan pintasnya, ya abang sumbangkan duit abang itu sikit samaku biar kujadikan filmnya ini sendiri. Duit segitu kan nggak kerasa sama abang, secara Bentley di garasi itu pun ngedrop akinya karena jarang dipanasin. Kalau ditakar-takar pun, masih lebih mahal pulak koleksi die-cast Autoart abang itu ketimbang modal film ini tadi.
Eh tapi bisa jadi, abang nggak mau dianggap macam filantropis. Secara keras hidup di Jakarta, geng! Kan gitu? Nggak pulak bisa semena-mena main motong jalan. Siapa kali rupanya aku? Iya, aku paham. Tapi ya jaman sekarang ini kan nggak laku lagi kerja keras bang. Yang ada kerja cerdas. Kalau bisalah nggak susah, ngapain mesti dibikin susah. Misalnya: Abang kasihkan aja naskahku ini sama Raffi Ahmad pun jadi yok. Nggak susah sama abang itu, tinggal abang sms-kan aja “Mad, ko bikin dulu pilemku. Ini ada naskahnya!” kan nggak mungkin dia nolak. Kalau sampe dia pun ikut nggak ngerti, tokokkan aja pake gulungan naskah itu, “produser macam apa kau baca pun nggak bisa!” bilang ke mukaknya. Kan beres. Soalnya ini bukan soal karirku, tapi tujuanku menginspirasi sodara kita bang. Uniknya naskah Hutapea tadi karena semua isinya soal idiom Batak. Dialognya bahasa Batak, sama yang mainpun kalau bisa orang Batak. Jadi target penontonku nggak muluk-muluk, cukup kita kasihkan aja hiburan yang mendidik sama orang-orang kita Batak ini, populasinya di Jakarta ini pun udah cukup bikin balik modal bang. Tapi ya balik lagi, semodal pilem nggak kerasa sama abang. Lebih mahal perhiasan yang abang bawak itu. Kalau nanti ternyata filmnya booming, kan abang jugak yang bangga. Untungnya ambil sama abang semua, aku cukup nebeng nama aja. Dan yang bisa kujanjikan, besok-besok kalau abang mau upload video komen di Instagram, bilang samaku biar kutuliskan dulu naskahnya. Karena kadang konten abang itu macam nggak nggenah, ngomong pun abang pakai “aak-eek,, aak-eek” terus titik koma di captionnya pun malu kita yang lihat, secara abang pengacara kelas internasional! Merk jas abang sama kayak yang dipakai George Clooney, jadi kan sayang kalau kontennya setengah-setengah.
Nah, jadi cobak lah dulu abang pertimbangkan, kalau misal abang sor, abang balas aja emailku ini, biar kukasihkan langsung naskah Hutapea tadi. Nanti kalau nggak mantap abang rasa, hapus aja namaku dari silsilah Batak ini. Dan Satu lagi, kalau secara profesional aku yakain nggak mungkin abang tersinggung sama suratku yang main todong ini, karena mulut Ruhut Sitompul masih lebih taik lagi, kan gitu bang? (Jujur aku pribadi pun nggak senang sama semua Sitompul malah, mintak dicabe mulutnya kutengok). tapi kalau secara personal abang marah, aku ada di Jaksel sampai hari sabtu, silahkan abang tempelengi mulutku yang lantam ini. Karena dulu kata mamakku, Erlita Hutapea, Adalah harga mati untuk hormat sama yang lebih tua, sepadan dibayar nyawa. Akhir kata, kudoakan abang jadi presiden.
Salam Sejahtera,
Tertibta Perangin-Angin
. . .