Read More >>"> Parloha (05.17) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Parloha
MENU
About Us  

05:17

            “Keras bikin Wan.” Kata Perot sambil tarik kursi kedepan meja yang cuma satu bekas Kakang ngobrol soal nasi kucing. Dia angkat gelas kosong dihadapannya untuk membersihkan tetesan susu melingkar diatas meja. Disamping papan catur yang beberapa pionnya masih berdiri, ada dua gelas masih sisa setengah teh susu yang udah lengket di kerongkongan kalau masih diminum. Bakalan kerasa macam kesangkut rambut di belakang lidah, biarpun cuma sekali teguk. Entah itu jadinya plus atau malah minus buat menu Teh Susu Karo ini. Jadi harus tepat kali titik suhunya buat sampai klimaks cita rasa maksimal. pas diseduh airnya mendidih, begitu diserahkan perkede-nya, itu susu harus cepat-cepat dikaco pakai sendok, biar susunya matang-matang digelas. Habis itu, moga-moga yang minum pakai baju tangan panjang jadi bisa untuk lapis jari waktu ngangkat gelas. Tiup barang dua-tiga ‘fuuh’, seruput pakai ujung bibir! Sensasinya mak-kimpol-kimpol. Kalau yang pesan bilang “Keras bikin!” berarti maksudnya “Ko ganti bubuk teh kau pakai yang baru. Banyaknya tiga sendok makan, siram kegelas seduh baru air siramannya ko seduh lagi masuk ke gelas susu.” Sukses apa enggaknya keras minumannya tadi bisa ditengok waktu seruputan yang pertama, kalau langsung lidahnya bunyi “Ctak!” sambil komentar “Ahh! Lemak kali dia” berarti sepadan dibayar Rp.9000, biarpun itu varian Supen, singkatan dari ‘susu pendek’, biarpun kata pendek merujuk ke gelas.

            “Panjang bikin?” Tanya Mawan yang  jongkok menyusun kayu di rongga kompor.

            “Iya lah! macam awak buru-buru kali ko bikin. Jam segini mau kemana rupanya?” Kata Perot sambil menoleh ke Mawan, barusan entah tengak-tengok kemana matanya.

            “Pilem apa yang nggak bisa dipasang tadi rupanya?” Tanya Mawan.

            “...”

            “…Rot?”

            “Apa kau bilang?” Tanya Perot, sambil mengembalikan perhatiannya.

            Mawan berdiri dari kompor, “Pilem apa yang nggak bisa dipasang tadi?” Ulangnya.

            Perot merogoh kantong celana goyangnya. Korek besi Zippo warna oranye bertuliskan ‘Bad Mother Fucker” keluar sama sekotak rokok putih. Tutup gambar paru-paru hitam dari dada mayat yang dibuka lebar diangkat naik, Perot tarik sebatang untuk ditempel dibibir. Cting! Namanya Zippo ori,  sekali grek langsung main api kuning tadi. Ctak! Ditutup pakai ayunan tangan pulak, terus Perot memberdirikan Zipponya rapat sama kotak rokok disusun sejajar sedemikian rupa, karena Perot ini terkenal nggak bisa lihat benda-benda yang berantakan. Semua harus tersusun selaras. Itulah alasan utama Bang Waris berhenti jadi tukang pasang keramik kamar mandi, setidaknya berhenti menyediakan jasanya di Berastagi. Soalnya dia lari malam gara-gara salah pasang posisi keramik kamar mandi Gedong Kuning. Jadi satu keramik ada tiga warna, hitam, abu-abu, sama putih. Kalau disusun selaras nanti warna tadi bakal membentuk garis diagonal. Cantik kali kalau ditengok. Entah iseng atau goblok, bang Waris ambil resiko buat memasang satu keramik pakai posisi sebaliknya. Jadi diantara ratusan warna hitam yang semuanya di kiri, satu keramik yang posisinya ditengah, hitamnya ada di kanan! Besoknya Perot mau berkencing kali pertama di kamar mandi barunya, gatal setengah mampus hati sama tangannya lihat satu keramik yang memberontak. Di hari itu juga dia datang kerumah bang Waris! Entah cemana kelanjutannya, mulai hari itu bang Waris ganti nomor telepon. Rumahnya pun sekarang dikontrak sama pendatang dari Nias yang kalau ngomong susah kali mengucapkan huruf mati dibelakang kalimat. “Sama kawa-kawa maka kaca!” Katanya waktu bercerita soal dia makan kacang sama teman-teman.

            Mulut Perot mengepul asap lingkaran melayang kedepan. Mawan tertegun  menunggu jawaban.

            “…Pilem…sshh, fuuuuh…soal tipu-tipu.” Jawab Perot, sambil dari dua lobang hidungnya serentak keluar asap rokok pula. Sikapnya jadi semakin tenang sekarang. Air mukanya sebening air mineral gunung yang disedot perusahaan swasta dari Prancis.

            “…uhm, kekmana pilem tipu-tipu?” Tanya Mawan lagi, pelan.

            “Kekmana rupanya? Ya kekgitulah. Nggak bisa pun dipasang.” Jawab Perot sambil hidungnya kembang-kempis mengendus-endus.

            “Bau kapur barus kedemu ini.” komentar Perot kemudian, enggan-enggan malas.

            “…Apa judulnya?” Masih tanya Mawan lebih lanjut.

            “…Apa ko mau.” Jawab Perot singkat.

            Asap rokok Perot mulai nyampur sama asap kompor Mawan. Sambil menunggu mendidih, Mawan merapat ke samping steling sambil menghadap Perot. Diluar belum ramai, didalam Perot pun tak ngomong apa-apa, sementara suara ambiens pun nggak ada. Lama kali pulak lah air ini matang, lumayan suara ‘blup-blup’nya agak bising biar nggak terlalu ‘krik-krik’.

            “Kereta Kambeng itu terpaksa kami masukkan tadi. Angkat orang pulak nanti kalau diluar. Ente tahu masa tinggalkannya kuncinya disitu lengket. Tolol kali anak itu kan?” Cerita Mawan.

            Perot menoleh balik ke Mawan.

            “kan belum ada kutanya soal kereta.” Tutupnya.

            Mawan terdiam. Salah kali kayaknya dia ngomong kereta barusan. Ngapainlah mesti dibilang yang nggak perlu dibilang. Memangnya apa cuma Kambeng yang sering ninggalin kereta situ? Si Aseng Kibo pun kan sering juga. Keretanya Ninja, Cuma memang kalau anak itu tak ada yang berani sentuh baik keretanya apalagi orangnya. Bukan gara-gara mukanya mirip sama Liu Te Hua, tapi memang kakinya pulak pun main macam Jet li. “Kerpak-kerpuk!” dua kali tunjang, aman juga Jalan Beskop ini dibuatnya.

            ...

            “Kemana dia rupanya?” Lanjut Perot.

            “Eh…uhm, entah. Sore tadi disini dia. Abis itu malam agak rame orang, nggak kuperhatikan dia kemana. Ngomong titip kereta pun dia enggak.” Jawab Mawan.

            “Tinggalkannya aja keretanya situ kan.” Tambah Perot. Mawan menggangguk.

            “Trus, nggak kau telpon? Kenapa nggak “angkat keretamu ini Mbeng” Ko bilang?” tanya Perot lagi.

            “Nggak tau aku. Jepri tadi yang nampak waktu kesini dia. Makanya kami masukkan.” Jawab Mawan.

            “Jam berapa rupanya Jepri kesini?”

            “…jam… dua…” Mawan Terbata.

            “…belas.” Tegasnya.

            Diatas asbak penuh pantat rokok, Perot memukul-pukul rokoknya sampai bengkok. Tuk tuk tuk tuk…patah sampai baranya ikut mati. Nah ini dia. Gestur Perot matikan rokok ini yang paling tak enak dilihat. Biasanya kalau di Gedong Kuning, semua diawali lewat pukul-pukul rokok diatas asbak. Sambil berdiri, dimatikannya rokoknya terus tiba-tiba ditariknya dari bawah meja tonfa baton hitam yang tanpa ­ba-bi-bu langsung masuk batangnya tadi ke muka kita. Hidung si Gayo dua kali pukul, hancur sampai pilek pun tak sanggup lagi dia, gara-gara main buang kargo perkara takut razia.

            “Udah mateng aermu itu.” Katanya.

            Dibelakang Mawan, uap keluar naik sampai tutup dandangnya merengek ketap-ketup.

Panjang bikin?” Respon Mawan.

            “Ih, berapa kali ko tanyak.” Jawab Perot.

            Begitu dibuka tutupnya yang berengsel jadi satu sama bodi, uap air tadi meletup macam ada jin yang keluar dari dandang. Diatas kompor ini ada dua dandang. Yang kanan isi air mentah, yang kiri isi air mendidih. Dari bawah, apinya ngekomporin dua-duanya sebetulnya, tapi kekgitu pulak teknik turun-temurun masak air buat teh susu. Jadi dandang kanan itu diisi pakai gayung dari air pet, dan dandang kiri cuma boleh terima air dari dandang kanan. Jadi dandang kiri satu-satunya sumber penyeduh ke saringan teh. Paten punya.  Disitulah sekarang ini Mawan lagi ritual.

            “Sering si Puja itu kesini Wan?”

            “Lumayanlah. Konco Kakang itu.” Kata Mawan.

            “Siapa Kakang?”

“Dian, yang tadi itu. Anak Nding tukang sate.” Jawabnya. Perot tidak melanjutkan.

            “Kenapa rupanya Rot?” Pancing Mawan lagi.

            “Kenapa pun enggak.” Jawab Perot sambil buang muka.

            Di gelas panjang warna coklat, susu kental manis disiram air seduhan bubuk teh beruap jin sampai tumpah-tumpah di piring lepek yang jadi alasnya. Angkat gelas, jatuhkan tumpahan air di piring melamin dan ‘cting!’ teh susu disajikan Mawan didepan Perot. Gelas terletak, Mawan macam bingung mau ngapain selanjutnya. Dia gosok-gosok tangan di kaosnya.

            “Trus kau kok berdiri aja? Duduk kau dulu lah.” Pinta Perot.

Pelan-pelan Mawan duduk.

            “Siapa sekarang main ini? Hitam bukan?” Tanya Perot sambil menggeser papan catur ketengah. Dua gelas sisa disingkirnya sendiri, rapat ke pojok sisi Mawan.

            “Iya, item.” Jawab Mawan.

            “Eh!Tiga langkah Mat kau ini.” Komentar Perot. Digesernya pion benteng ke berapa kotak ke kanan.

            Mawan merespon, tapi mau-mau-enggak. Cuma raja sama kudanya yang bisa bergerak. Pion putihnya pun cuma tambah dua Bidak. Sementara yang hitam satu bidak didepan raja, sama gajah disamping benteng. Raja Mawan dia geser satu langkah.

            “Ko tau, problem caturmu ini sekarang udah bukan kontrolmu lagi. Kekmana pun ko buat langkahmu tetap nggak bisa lari kau, jangankan menang, remis pun nggak bisa.” Kata Perot.

            “…Iya memang tadi Kakang sama Jepri yang-“

            “Haish! Papan ini aja ko tengok dulu. Mau kemana ko bikin itu? Cepatlah. Cobak.” Potong Perot.

            Mawan mau meraih bidaknya kemudian “Nggak bisa ko angkat itu.” Kata Perot sambil ngetok-ketok gajah hitam.

            “Ya memang tinggal harus ditutup pakai kuda.” Jawab Mawan.

            “Ya iya. Jadi bukan dikontrolmu lagi, kubilang. Mau nggak mau, mat kau ini. Yaudah ko tutuplah.” Tegas Perot. Mawan mengikuti perintah lawan mainnya. Kuda ia geser horizontal menutup anncaman benteng. Segera Perot makan kudanya pakai benteng yang sama.”

            “Nah, Habis kau. Nggak bisa lari lagi kan. Kau ‘iya’kan dulu.” Kata Perot. Cara Perot memerintahkan bilang “iya” ini macam banyak kali maknanya. Intonasinya spesifik, matanya tak kedip, lehernya pun maju kedepan.

            “…Iya.” Jawab Mawan.

            “Berarti murni pecundang kau kan?”

            Mawan belum siap menjawab.

            “Kalau kau kupanggil pecundang sejati di Berastagi, sakit hati kau?” Tanya Perot.

             Déjà Vu. Mawan melongo.

            “Ko tau, kalau kau ikut kompetisi pecundang sejati, kau finalisnya. Tapi kau juara dua.”

            “Iya udah pernah kudengar-”

            “Karena kau pecundang!” Bentak Perot memotong kalimat Mawan.

            “Jadi sekarang, ko jelaskan dulu samaku soal situasi sekarang ini. Jangan kau berkilah.” Kata Perot.

            “…situasi apa?” Tanya Mawan lirih.

            “Pukimaknya ini…” respon Perot. “Wan, jangan ko pikir aku bodoh kali. Kalau orang lain tadi, tersinggung aku kalau masih berkilah dia, terus langsung pecah kepalanya kubikin. Gini aja, apa memang urusan mayat tadi kelen itu?” Tanya Perot.

            ...

            Mawan mengangguk.

            “Berarti memang betul apa kata Dian tadi?”

            Mawan mengangguk. Lagi.

            “Kenapa klen bantai anak orang?”

            “Orang itu nggak ikut. Aku tadi yang manggil kesini.”

            ““Tapi katanya klen gulung!”

            “Bercanda dia itu. Jepri cuma kupanggil. Nggak lama dia datang sendiri.”

            “Kenapa ko bantai anak orang?”

            Mawan diam.

            “Jadi siapa aja yang tanggung jawab?” Nada Perot makin lama makin serius.

            “…aku.” Jawabnya pelan.

            “Kau apain?”

            Mawan menggeleng.

            “Mati kenapa dia?”

            “Pecah kepalanya.”

            Perot menarik napas. Mundur dia, nyender di kursi kayu. “Kalo gitu, cobak ko ulangi kata-katamu kemaren. Apa ko bilang samaku.”

            “…Kalau sekali  lagi aku ngulah, mati pun nggak papa.” Jawab Mawan sambil nunduk.

            “Seingetku bukan gitu kalimatnya.” Kata Perot protes.

            Dari tadi nunduk macam bocah kepergok nyuri duit bapaknya, Sumbu Mawan udah kebakar habis sebetulnya, cuma dinamitnya nggak berani main asal meledak, karena pawangnya pulak ada didepan.

            “Ya jadi maksudmu aku harus cemana!? Apa yang mau ko dengar lagi, iya Rot! Sama-sama tau kita. Salahku. Akupun udahh ngaku salah, yaudah lah. Kalau mau ko selesaikan sekarang, selesaikan. Ikhlas aku.” Balas Mawan. Lari dia jongkok kebawah kompor. Balik kemeja, dibantingkannya Revolver silver kedepan Perot!

“Itu nah. Udah, sekarang selesaikan! Mumpung belum rame orang!” Tambahnya.

“Duduk kau dulu!” Perot kembali membentak sampai Mawan keselek kata-katanya sendiri.

“Siapa kali kau rupanya!? Yang ko pikir aku peduli kali samamu? Apa pulak untungnya samaku mecahkan kepalamu? Hargamu pun nggak ada. Siapa yang nyari kepalamu rupanya?” Jawab Perot. “Kan udah keras kali mbako-mu ini, kutitip samamu malah ko tempel-tempel pulak di celanamu. Nggaklah ko malu sikitpun!? Kata Perot.

            “Jadi maksudmu cemana ini? Rot, aku respek samamu. Ko jadikan aku babumu pun nggak pernah aku protes, karena aku tau posisiku dimana. Tapi kalo terus-terusan ko rendahkan aku kekgini, ‘main kita’ ko bilang, ayok main. Nggak takut aku Rot!” Ujar Mawan.

            Dengan santai, Perot meraih Revolver didepannya. Buka silinder, putar-putarnya sebentar terus Clak! Silinder balik masuk, pelatuknya ditarik sambil moncongnya mengancam dagu Mawan.

            “Ada yang mau kau sampekkan samaku?” Tanya Perot.

            “Sekali lagi kubilang aku respek samamu, Rot. Kau main-main nitip pistolmu ini pun apa pernah kutanya kenapa!? Kan enggak. Tapi jangan  ko pikir aku nggak sadar kalau kau pun mau sok bersih didepan anak-anakmu. ‘Nggak mau ada barang hina macam gitu di sekitar Windi’ ko bilang. Tapi ko lempar pulak samaku. Itu pun aku nggak masalah.” Bongkar Mawan.  “Memang kubilang kalau sekali lagi emosiku kumat-kumat nggak jelas makan korban, pecahkan aja kepalaku Rot! ‘Kalau makan korban’ Kubilang! ‘Kalau’ makan korban. Tapi asal kau tahu, yang ini bukan salahku!” tambahnya membela diri.

            “Nggak ada alasanmu yang laen!? Terakhir kuingatkan samamu jangan ko pikir aku tolol!” Jelaskan Perot.

            “Ya makanya kalo pintar kau bisa ko bedakan yang mana cerita bohong sama enggak! Bukan salahku itu! Pecahkannya kepalanya sendiri! Berserak otaknya itu di kedaiku ini, aku yang ngutipi sendiri, tau kau! Sementara kau cuma bisa gegayaan unjuk calak macam yang paling bener. Ngebedakan yang mana pestolmu sama enggak pun kau nggak sadar. Ko pikir aku sok jago kali ngacung-ngacung barang orang!? Dari ko tinggal barangmu itu disini, sekali pun nggak pernah kupegang, tau kau!?” Ujar Mawan mulai terbata.

            Perot melirik senjata acungan ditangannya. Kalau diperhatikan baru kerasa grafir nama “Smith & Wesson” yang kualitasnya miskin. Ujung pelatuknya ternyata juga berkarat. Setelah ditimbang-timbang, barulah pulak dia sadar kalau ukuran ditangannya sekarang ini ternyata jauh lebih kecil dari yang bolak-balik dipegang sebelumnya. Kalau punya Perot biarpun ilegal, tapi otentisitasnya boleh diadu. Kan dulu dibayar ke Salmon, hasil operan barang kontainer dari Batam. Jangankan revolver, proyektil nonaktif R.P.G buatan Rusia pun dipajang di samping guci sama dia. Gawat si kawan itu. Sementara yang ditangannya sekarang ini, mirip kali sama yang sering di tenteng-tenteng Raymond, bekas barang bukti sitaan dari rampok Kalideres, Jakarta. Cuma ditebus tiga juta perak.

            “Kenapa pulak pecahkannya kepalanya sendiri?” Tanya Perot.

            “Iya’ah itu nggak tau aku. Nggak urusanku pulak lah. Yang jelas lagi main catur kami trus keluarkannya itu. Nggak pakai ngono-ngene langsung tempelnya dimulutnya.” Kata Mawan.

            “Jadi kok pande-pandean kali kau sok-sok mau ngubur sendiri? Ko panggil pulak si Puja itu, berarti kan udah jauh kali rencanamu ini! Ko panggil Tertib, terus Puja suruhnya dateng. Gitu kan?” Korek Perot.

            “Itu nggak tau aku Rot. Beresinya pun enggak jugak nya. Lagian pulaknya Kakang tadi yang manggil-”

            “Ya enggaklah! Pakai apa mo ko bayar dia!? Teh susu?” Potong Perot.

            “Ah, udahlah. Aku nggak tahu lagi. Udah capek aku Rot, jelasin sana-sini. Suka ati kau lah sekarang mau cemana.” Lepas Mawan.

            “Kutanya kok kau pande-pandean kali. Kenapa nggak langsung kobilang samaku-“

            “Kubilang sukak hati kau mau cemana.” Mawan memotong balik.

            Perot diam. Matanya nyucuk ke mata Mawan sambil dia gigit-gigit gigi. Mawan pun menghela napas lega. Kedipannya pelan-pelan lemas tapi nggak memelas.

            Pistol dimiringkan, silindernya keluar. Baru Perot ngangkat larasnya vertikal, tiga biji pelor jatuh ke meja, yang mana yang satu selongsong kopong. Sigap diraupnya ketiga biji, dua masuk kantong, yang satu balik masuk ke siilinder. Ayunan tangan Perot memutar kencang silinder dan Ptak! Silinder balik ketempat semula. Baru kemudian pistol diletakkan Perot ke atas meja.

            “Gini aja udah! Asal kau tau, aku sikitpun nggak percaya sama mulutmu. ‘Bukan salahmu, ini, itu, hantu blau… taik kucing samaku itu. Setauku, kau pernah janji dan sekarang aku mau nagih. Udah gitu aja. Nggadak tawar-tawar, secara kau bilang sukak hatiku, kan gitu? Jadi biar sama-sama enak kita. Kita serahkan aja sama yang diatas. Kau apa agamamu? Tanya Perot.

            “Apa ko mau.” Jawab Mawan.

            “Di KTP-mu?” Tanya Perot lagi.

            “Nggadak KTP-ku”

            “Tapi percaya kau sama Tuhan kan?”

            “Kenapa, apa bisa tolongnya aku sekarang rupanya?”

            “Nah, yaudah ko buktikan.” Tutup Perot.

            Pakai ujung jari, digesernya pistol revolver ke hadapan Mawan. Mawan menarik napas panjang. Pelan, ditariknya pelatuk pistol sampai mengunci “Ctak!”

            “Berapa biji tadi ko isi ini?” Tanya Mawan.

            “Satu.”

            “Berarti, kutempel ini dikepalaku, kutarik triggernya. abis itu cemana?”

            “Abis itu lunas utang. Kalaupun kekmana-kekmana, kuanggap kau mati terhormat.”

            “Mamakku?” tanya Mawan.

            “Oke.” Jawab Perot tegas.

            Segagah mungkin, Mawan mengacungkan salamnya. Perot menyambut elegan. Mereka berdua jabat tangan sebagai laki-laki. Guncangan mantap dua kali.          

            Lepas dari tangan Perot, Mawan menjangkau Revolver dan tanpa ragu menempel moncongnya dipelipis kanan!

            Diujung mulut dia berbisik, ngucap satu kata yang paling populer di saentro Berastagi, tapi satu orangpun nggak ada yang tau artinya apa. Jangankan definisi, maksud tujuan kata itu pun suka-suka mau duduk dimana. Sambil tempel moncong pistol di samping jidatnya, dia bilang “…Ntekleleskules!

            Ntekleleskules.

Entah apa maksudnya.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1328      651     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4196      1151     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5453      1516     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.