Read More >>"> Parloha (04.45) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Parloha
MENU
About Us  

04:45

Kereta-nya Honda Beat keluaran tahun 2008. Jaman segitu mentereng kali awak kalau ngepot pakai lampu jauh turun Gundaling. Seri paling pertama yang punya tutup pengaman kontak biar nggak bisa dicucuk maling pakai kunci T. Stiker dekornya pun trendi, bodi warna putih mutiara ditempel stiker metalik biru campur ungu, ya pantaslah cewek-cewek Parloha rata-rata lebih senang kalau diantar sama Kambeng. Akselarasinya konstan, dijalan nggak bakal ada cerita rem-rem mendadak mau oper gigi, yang sering dibikin modus sama anjelo biar punggungnya kena bantalan tetek penumpang.

Saking larisnya, nggak jarang aroma parfum isi ulang ketinggalan di jok belakang. Sebab wangi cheri atau vanilla sempat ketiup angin semriwing di bulu hidung, langsung ketahuan kalau si Kambeng baru aja antar-jemput ‘barang’. Jadwal cuci seminggu sekali, tapi tiap pagi kain lap sintetis selalu siap sedia dari balik kompartemen bagasi dibawah jok. Ini adalah kereta Kambeng. Banyak kereta lain yang sama tapi tiap kereta hadir dengan keunikannya sendiri. Ini permasalahan antara empu dengan kerisnya. Tanpa kereta, Kambeng bukan siapa-siapa dan tanpa Kambeng, kereta-nya bukan apa-apa.

Dan betul! Begitu pintu ganda kedai dibuka, Mawan keluar merapat sedikit kebawah aspal untuk mendapati Honda Beat yang sama dengan jok penuh embun akibat cuaca dini hari. Berlindung dibawah tanaman hias yang dibeton sama Pemda sebagai bagian dari sisi trotoar, si Honda berdiri pakai cagak-dua. Seiring pertambahan umur, si Honda ini pun turut mengalami modifikasi baik dari mesin maupun tampilannya. Diantara ramainya pengguna Honda Beat di Berastagi, tetap nggak bakal ada yang kesulitan buat mengidentifikasi keretanya si Kambeng. Lampu utamanya diganti warna biru, spionnya warnan silver dan cuma ada di kanan. Kedua Velg depan-belakang yang berwarna emas serta yang paling mencolok: Stiker raksasa di bodi putih mutiaranya yang bertuliskan ‘No Fear’. Yang menarik, justru di slot ignisi, ada menempel pula kunci kontak. Mawan melirik tangannya, dia juga pegang kunci kontak yang didapat Kakang dari kantong celana tadi. Bedanya, yang menggantung di slot ignisi nggak pakai gantungan Decepticon.

“Mampuslah kita, kenapa satu pun dari klen nggak ada yang nanya soal ini!?” Kata Mawan sembari mendorong kereta ikut masuk kembali ke kedai. Dia parkir ke pojok ruangan dekat sisa yang punya.

“Sama siapa kau ngomong?” Tanya Jepri.

“Sama yang merasa paling idiot! Kemana matamu semua waktu mau masuk kesini? Sama idiotnya macam yang punya.” Balas Mawan. Memang pulak dari sore sebelum Kambeng ketemu ajal, itu kereta parkir didepan kedai agak kesamping sambil kuncinya lengket di kontak. Terkait soal kambeng yang entah tolol atau sengaja, satupun anak-anak kedai ini ‘nggak kepikiran’, karena dikantong mayat pun tadi ada juga kunci yang bergantungan kunci. Masalahnya, tanpa kunci yang lengket pun, ada empat calon tersangka yang segera dicurigai bahkan sebelum ada kabar kereta hilang. Di daerah Jalan Beskop saja, ada nama-nama macam Iwan Koyak, Sasson, Aseng Kero sama Alien. Empat cecunguk itu bolak-balik ditunjangi orang. Pun, nggak juga jera. Konon Alien yang pernah menerima dengan ikhlas satu balok kayu ke kepala kirinya sebagai sumbangan dari massa waktu dia kepergok congkel-congkel kereta pakai obeng minus. Lain cerita kalau soal Pian Lumpuh! Asli Berastagi, rumahnya dibelakang Gedung Kesenian. Dulu cerita orang katanya dia merantau ke Bukit Tinggi. Tapi pas perginya belum lumpuh dia. pas pulangnya justru diantarkan sama Ambulans Rumah Sakit Umum Medan yang tulisan “Ambulance” dicetak terbalik biar bisa dibaca dari spion angkot, enam bulan kemudian setelah dia minum-minum perpisahan di lapo tuak sambil belajar bahasa Minang. Rupanya dia habis ‘diramaikan’ sama pedagang di Pajak USU karena maling kereta Mio yang platnya bahkan belum turun. Katanya dia ditumbuki ditunjangi tapi macam nggak kerasa, jadi sama pedagang sana dia diikat ditiang sambil berdiri diatas balok es tebal 30 cm yang menyangga kakinya untuk jadi tumpuan, sampai datang pihak keamanan. Empat jam kemudian roboh sikawan sambil dalam hati nyanyi selamat tinggal buat lari sore di Jam Gadang. Sebab yang kanan terpaksa diamputasi. Kabar terakhir, dia jadi penasehat umum bagi pelajar-pelajar baru yang mau tekun di dunia resedivis percolongan kendaraan bermotor atau asesorisnya.

“Yah, siapa yang sempat celingak-celinguk. Bukan urusanku lah itu. Harusnya kau lah Kang, tadi kau masuk kenapa nggak kau tanya soal kereta. Kan nggak mungkin nggak kau nampak!” Kata Jepri menanggapi protes Mawan.

“Kan, sikit-sikit aku! Sikit-sikit aku…”Kata Kakang sambil melempar matanya ke Kolor.

“Ha, jangan pulak kau lempar lagi samaku. Aku nggak nampak. Titik.” Balas Kolor sebelum sempat Kakang melanjutkan kalimatnya.

“Ah entahlah. Amatiran kali pun kita semua. Kau tahu, kalau misalkan sekarang ini jadi pilem, udah keburu tinggalkan orang keluar bioskop. Dari pertama main pilem udah ada mayat! Dua jam kemudian masih juga tetap disitu-situ aja. Pindah enggak, ceritanya pun nggak jalan!” Kata Kakang.

“Iyalah memang amatiran. Siapa diantara kau yang pernah mecahin kepala orang? Ada? Potong mayat, potong mayat, pembual juga rupanya tukang potong tadi. Kalau cuma cerita, aku pun bisa. Kau tanya sama Jepri, semalam bukan lagi mayat, begu ganjang kupotong-potong terus kukasih makan anjing. Iya kan Jep?” Mawan nimbrung.

Jepri gusar. “Klen udah situasi gini pun sempat ngomong-ngomong becanda. Nggak ada lucunya sikitpun, tau klen? Udah jam berapa ini?” Protesnya.

“Serius kali kau.” Kata Mawan.

“Pukimakmu lah Wan! Kau santai-santai aja hidupmu kayaknya. Masalahmu yang mau diurus ini!” Balas Jepri.

Mawan menghela napas sejenak.

Klen itulah, kan. Udah sini kita semua pun masih sempat ngelempar masalah. Oke. Gitu caramu rupanya ya. Dari tadi kudiamkan, tapi bolak-balik klen ulang-ulang. Oke. Udah tau aku.” Ujar Mawan.

“Apa pulak maksudmu itu, kan memang ulahmu ini.” Balas Jepri.

“Iya Jep. Ulahku memang. Salah aku. Kan kelen cuma kumintai tolong aja. Iya memang masalahku sendiri ini. Sori.”

“Terus? Tersinggung pulak kau?” Tanya Jepri.

“Enggak ah. Ngapain pulak. Yang penting kan udah tau aku. Nggaknya besok mayat jumpa mayat Jep.” Kata Mawan.

“Maksudmu?” tanya Jepri lagi.

“Yuh, apa pun enggak.”

“Mayat jumpa mayat kobilang tadi? Apa maksudmu itu? Serius nggak ngerti aku. Apa  maksud referensi kalimatmu barusan?” Tanya jepri terus.

Sebab kalau bukan yang asli darahnya dari kota kecil ini, agak susah ngikutin jargon-jargon orang ini semua. ‘Mayat jumpa mayat’ kata Mawan. Kemarin perkara Jepri menolak mentah-mentah permintaan Wandi buat pinjam duit, Wandi merespon “Oke Jep, nggaknya besok duit jumpa duit.” Terus ada lagi respon Itom “Nggaknya besok rokok jumpa rokok” karena tidak dibagi batangan rokok. Jadi kalau besok tutup Parloha, apalah responnya? “Oke, nggaknya besok lonte jumpa lonte?” Pikir Jepri.

“Udah fiks, kita kubur aja. Rapatkan mobilmu kedepan pintu sekarang.” Putuskan Mawan.

“Oke. Tapi sebelumnya, mau dimana kau kubur?” Jepri memastikan.

“Bukan urusanmu itu. Habis masuk bagasi, udah habis itu kuantar kau pulang. Kubawa dulu mobilmu ini.”

“Kok sedap kali mulutmu itu?” Balas Jepri.

“Tapi kau bilang bukan urusanmu, anjeng!” bentak Mawan.

“Dimana mau kau kubur!? Jangan nanti gara-gara tololmu kau cuma main asal kubur, seminggu depan didapat orang, abis itu jadi kasus! Aku pun kena!” Kata Jepri.

“Nggadak cerita jadi kasus. Aku yang ngomong sama Perot abis ini. Udah dari situ nanti dia yang urus, sama Perot nggak ada cerita kasus.” Tutup Mawan.

“Apa mau ko bilang rupanya” Jepri butuh detail.

“Masih lama klen, bang?” Tanya Kakang.

“Kau geser dulu mobilmu itu kesini! Masih bisa kita bahas ini dimobil!” Perintah Mawan lagi.

Memang pulak kebanyakan ngomong. Maka diamlah si Jepri. Pelan-pelan mundur, balik arah dia keluar menuju ke mobil Starlet-nya. Sambil memperhatikan Jepri keluar, Mawan berusaha mencairkan kembali suasana.

“Tapi memang iya kok Kang. Kalau tadi pilem ini, udah kesal orang. Dari awal ‘potong…potong…’ katanya. Rupanya cuma PHP. Sampai habis pilem nggak ada juga cerita soal mutilasi.” Kata Mawan.

“Orang si babi ini nggak mau motong!” teriaknya ke Kolor.

“Jangan gitu kenapa. Manusia itu. Jahat kali klen. Udah mati pun masih kelen bercandain. Berdosa kita.” Kata Kolor.

“Lor, udah halaman berapa ini!? Kok baru sekarang kau ngomong dosa!?” Jawab Kakang.

“Nggak usah ribut klen. Kita angkat sekarang ayok! Mumpung belum ada orang lewat.” Ajak Mawan. Kolor segera merapat sambil melepaskan kaosnya. Kakang yang melihat segera ikut lepas baju pula. Dari depan, mata Mawan pun ikut ngomong “Eh, betul juga.: Kaosnya pun ikutan copot.

“Trus, ini mau di cemanain?” Kata Kakang, merujuk ke kantongan plastik yang berisi barang-barang pribadi mayat.”

“Oh iya! Jangan, jangan satukan. Itu nanti kita urus Kang.” Kata Mawan. Sembari putar otak melihat-lihat sana sini, fokusnya jatuh ke kereta Beat.

“Bagus kau masukkan aja semua ke bagasinya. Muat kan? Jejalkan aja kesitu dulu Kang!” pinta Mawan.

Kakang mengangguk sambil merogoh kantong celananya, kunci Transformers muncul untuk ia merapat ke jok kereta yang dibawahnya ada rongga bagasi buat penyimpanan ekstra. Begitu kunci diputar, Ctak! Jok dia angkat lalu: “Bang! Nggak muat disini. Banyak kali barang anak ini.” Kakang memberitahu sambil memeriksa gundukan plastik hitam yang tersumpal memenuhi seluruh rongga bagasi. “Ada lagi plastik item, ntah apalah ini, diangkat pun susah kali. Berat.” Kata Kakang.

“Jangan pulak gatel tanganmu megang-megang Kang, makin panjang urusan nanti.” Kata Kolor menyambut. “Kita bawa aja berarti bang. Abis kita tanem, ya mau nggak mau putar arah kita, buang entah dimana. Atau kita bakar aja sekalian lah, biar nggak resiko.”  Lanjutnya ke Mawan.

“Yaudah, tutup lagi Kang.” Kata Mawan. “Sekarang kita angkat ini, ayok.” Ajaknya. Menoleh kedepan pintu, cahaya merah dari lampu rem Starlet Jepri mulai menerangi pintu ganda kedai. Dari kabin sopir, Jepri keluar untuk mengangkat bagasinya sendiri sambil tengak-tengok kiri kanan.

“Aman Jep?” tanya Mawan.

Jepri memberi sinyal ‘mari’ dengan tangannya.

“Makjang! Berat kali bang!” Teriak Kolor. Kakang dan Mawan setuju, sebab sesudah ancang-ancang, beban dibawah cuma terangkat beberapa senti sementara urat jidat keduanya udah macam mau pecah.

“Apanya makan si jalutup ini!?” komentar Kakang.

“Keberatan dosa kurasa.” Jawab Kolor.

“Karpetnya tebal kali bikin Jepri tadi! Itu pun nggak ada guna. Tetap juga berdarah ini.” Protes Mawan. Jepri hadir ke kumpulan dan mengambil kardus kulkas Polytron lalu kembali ke bagasi mobilnya. Diluar, ia tata kardus sedemikian rupa sehingga menjadi alas ekstra untuk tempat mayat berleha-leha. Segera dia balik masuk kedalam, dari samping Kolor Jepri mengangkat dengan mencengkram gulungan karpet disebelah cengkraman Kolor. Di seberang, Mawan sama Kakang menggotong kaki telanjang mayat yang mencuat keluar dari karpet. Tergopoh-gopoh mereka berusaha membawa masuk bagasi sebagai kerenda pengantar Kambeng ke alam kubur, buat  dimakan cacing.

Setelah melepaskan pegangannya diatas mobil, Jepri segera meninggalkan sisa tugas tiga orang lain dengan berputar menuju kursi penumpang. Dari bawah jok ia keluarkan lipatan terpal anti air. Dari bagasi menganga dibelakang, ia bentang menjadi tenda penutup bagi gulungan karpet isi mayat. Ketiga orang lain menyambut tiap sudut dan mengikatnya sedemikan rupa di cantolan yang tersedia di tiap 30cm badan bagasi.

“Hoy! Yang sibuk kalilah abang-abang ketua ini. Belum subuh pun udah kerja. Ikut lah awak sekali-sekali ya kan!” Tegur satu suara dari balik gelapnya Jalan Beskop. Para ‘Mayaters’ pun sontak bak terberak celana sambil refleks menoleh: Sasson muncul dengan lari-lari kecilnya, dengan sepatu keds perempuan serta hoodie Adidas yang luntur kena campuran cucian. Perlahan tapi pasti ia menuju ke mobil yang bak bagasinya sudah ditutup terpal.

“Pukimak kau Sasson! Ngagetin aja kau, babi.” Kata Mawan yang jantungnya masih diluar.

            “Bisnis apa klen ini?” Sasson tanya.

            “Bisnis urusi-urusanmu-sendiri.” Jawab Kolor dari atas bak.

“Eh, pakabar Lor? Lama nggak nampak makin jadi mulutmu ya.” Kata Sasson.

“Mau kemana kau?” Tanya Mawan ke Sasson.

“Kemana pun enggak. Lari pagi lah. Klen-nya yang terlalu sibuk. Lari pagi pun nggak sempat klen.” Katanya.

“Patatmu itu, nteh! Dari mamak Cikang masih jualan pulut nggak pernah kau kutengok lari pagi. Banyak kali gayamu!” Kata Mawan.

“Kan semua ada awalnya bang. Tiada kata terlambat. Mau ngapain kelen ini? Apa itu?” Sasson penasaran dengan mata jelalatan.

“Kan udah bilangnya tadi urusi-urusanmu-sendiri.” Kata Jepri menyambut.

“Yuh, nanya aja pun nggak bisa bang Jep?” Protesnya.

“Kebanyaan nanya kau. Yaudah, kau bilang mau lari pagi. Sana kau lah.” Kata Mawan.

“kelen mau kearah mana kin ini?” Tanya Sasson.

“Mau ke Medan kami, kenapa rupanya?” respon Jepri.

“Oh yaudah kalo gitu aku nebeng sampai Parloha yok. Dari sana aku mau lari balik kesini.” Kata Sasson sambil ia bersiap naik ke bagasi.

Kolor diatas bak kaget setengah mati waktu Sasson segera tanpa aba-aba naik menginjakkan kakinya ke pinggir bak.

“Hoi hoi hoi! Pelan-pelan kau! Ada yang nyuruh kau naik!?” Tahan Kolor sambil mendorong Sasson kembali turun. Mawan pula bereaksi sigap dengan mencengkram hoodienya lalu menarik dan melempar Sasson ke tengah jalan.

Pigi[1] kau, pigi kau! Pigi!” Katanya dengan nada tinggi nan sinis.

“Yo’oh, pelan-pelan aja klen kenapa? Nggak bisa bagus-bagus ngomong?” Ucap Sasson.

Pigi kau babi!” Tambah Mawan.

Sasson hanya mampu memperhatikan satu-satu keempat orang didepannya.

“Klen usir pulak aku?” Tanya Sasson sekali lagi.

“Masi bicara kau, pecah kepalamu!” Potong Mawan sambil mengangkat kaosnya, dari balik celana, hitam gagang revolver menyapa Sasson. “Pigi kau!”

Mau tidak mau, Sasson mulai melangkahkan kakinya pelan-pelan menjauh sambil tetap mengunci mata. Walaupun tersinggung, tapi ia tampaknya tidak [unya pilihan. Ia bergerak mundur menjauhi mobil tanpa buka mulut. Dari balik mobil, Mawan melempar sebongkah batu ke Sasson hingga menghantam keras aspal dan kembali memantul. Sasson bereaksi macam ngondek.

“Anjeng kau Mawan!” Katanya sambil lari.

Mawan melempar satu bongkah batu lagi, tapi kali ini nyasar entah kemana.

“Babi kau semua!” Tambah Sasson yang suaranya makin menggema diantara sepi kota Berastagi pagi buta.

“Bisa pulak anak itu tiba-tiba keluar jam segini. Lari pagi, apa betulnya itu?” Kata Kolor sambil memperhatikan ujung jalan.

“Kurasa dibeternya kereta Kambeng tadi! Bisa aja kan!? Anak itu sekeluarga maling juga itu.” Kata Kakang menambahkan.

“Ah, didepan kedaiku!? Kau pikir dia berani?” Bantah Mawan.

“Kan kalau nggak ketahuan bang, cemananya.” Jawab Kakang.

“Nggak pulak tadi sempat kita gargar[2] kantongnya kan? Siapa tahu ada kunci T bawak-bawaknya.” Ujar Mawan.

Jepri segera menyambung “Misal pun kalau ada, kekmana kin!?

“Ikutkan dia kita kubur sama Kambeng lah!” Jawab Mawan sambil nyengir.

Menit yang sama, dari samping arah jalan raya satu cahaya lampu silver bikin silau mata mereka berempat berbelok ke Jalan Beskop, menuju kearah kedai. Makin dekat makin pelan, satu unit mobil Holden Kingswood warna kuning pucat nyodok ambil tempat pas disamping Starlet. Mawan, Jepri, Kakang sama Kolor, tengok-tengokan sambil mangap sama lebar.

Hold me now, I’m six feet from the edge and I’m thinking…” terdengar jelas mengendap waktu si sopir parkir sebelum mematikan mesin. Mawan buntad. Jepri gentar. Pikiran Kakang kosong, si Kolor celingak-celinguk. Mereka kenal sama kendaraan roda empat eksotis yang mereka sebut Holden Kuning, sesuai sama nama garasinya diatas bukit Gundaling sana, yang pintu papan lipat berpelitur bisa digeser buka-tutup pakai roda besi dari lantai sebagai pintu masuk ke rumah permanen tiga tingkat yang seluruhnya badannya warna putih dan pintunya yang warna coklat, Gedong Kuning.

“Ngapain klen ini?” Tanya si sopir begitu dia keluar dari mobil. Aroma pewangi kamfer dari dalam mobil kalah pamor sama aroma maskulin pria berantai emas ini. Misal salah satu dari empat cecunguk ini punya kondisi sinestesia, dia bakal setuju kalau wangi abang didepannya berwarna hijau pavilun. Topi surfer bahan beludrunya membentuk siluet dari lampu penerangan jalan. Kaos yang dipakainya bakal putih kinclong secara polos menyeluruh kalau saja logo Volcom didada bagian kirinya bisa dihapus. Gelang platina ditangan kanannya gontang-gantung kelonggaran di pergelangan tangannya yang juga sudah cukup besar saat ia membanting tutup pintu Holden. Sebagai barang koleksi, jarum jam di tangan kirinya berkilau hijau didalam gelap langit Berastagi yang sejak pertama dibawa ke kedai sudah bikin Mawan kepincut didalam hati. Tali pengikat celana longgar kotak-kotak warna oranye dikakinya juga ikut bergelantungan oleh pemberat kayu berlogo grafir sesama produk Amerika, tapi yang ini cuma dipakai buat tidur. Termasuk sandal dikakinya yang sama-sama model jepit, tapi beda kelas sama sandal jepit si Margareth, istri Eddy.

“…Ha, nggadak. Ngapain pun enggak…” Jawab Mawan refleks.

“Ngapain pulak kau masih disini jam segini, Jepri? Nggak dicariin binikmu kau?” Dia tanya kemudian tertawa. “Ngapain pulak kelen rame-rame didepan pintu jam segini?” Tanyanya lagi.

“…uhm…anak ini yang kemengkekan, takut dia coro. Jadi kami bantui beres-beresin lotengnya tadi.” Kata Jepri. Mawan mulai berkeringat.

“Trus, itu apa?” Katanya menuju gundukan yang ditutup terpal di bak.

“Mayat Kambeng bang.” Kata Kakang. “Ribut kali dari tadi dia, jadi sekalian kami gulungkan aja. Mau kami buang jauh-jauh ini.” Lanjutya…diikuti senyum selebar daun kelor.

“Ente darimana Rot, maka jam segini?” Tanya Mawan.

“Dari rumah. Kau kutelponi nggak ko angkat. Kau pun Jep! Dari jam dua tadi ku bel-bel Klen. Kudatengi tadi kerumahmu, tempat Mawan kau kata binikmu.” Kata Perot, si kepala suku.

“Ha…ada apa?” Tanya Jepri.

“Tinggal di laci hapeku.” Kata Mawan.

“Ntar dulu, kelen ngapain disini? Itu dibalik terpal itu apa? Mesti kali klen ikat-ikat?” Tanya Perot lagi, ikatan rapinya mencolok kali kayaknya di mata Perot. Cemanalah udah pulakhampir subuh, mobil Jepri siap sedia ngangkut sesuatu yang ditutup terpal, ikat-ikat pulak sana-sini, sementara udah seminggu Perot belum nyuruh kerjain apa-apa. Dua-dauanya pulak nggak bisa ditelponi. Cobak. Dari pojok tenda yang ikatannya longgar, Perot berusaha menarik-tarik supanya nampak dalamnya.

“Apa ini?” Katanya penasaran sambil melirik meraba-raba. Tangannya sampai dipinggir gulungan karpet.

“Karpet bekas diloteng, mau kami buang.” Kata Mawan. “Banyak kali coronya Rot.” Aku Mawan.

“mau kemana kelen buang?” Tanya Perot sambil melirik-lirik.

“Ditempat sampah lah, mau sekalian yang di jalan udara.” Kata Jepri.

“Udah idup kompormu?” Tanya Perot sama Mawan. Mawan menggeleng sambil melirik jam tangannya.

Terus Perot menoleh ke Jepri sama dua anggotanya “Terus, mesti kali empat orang buang karpet? Klen aja berdua yang buang kan nggak papa, biar Mawan idupkan kompornya dulu. Mau minum aku lah, sekalian.” Kata Perot.

Jepri bingung bereaksi.

“Kau pun kok tega kali kau Pur, kau suruh anak orang beresin rumahmu, tapi nggak ko sediain apa-apa. Cemana nya kau?” tambah Perot yang memanggil mawan menggunakan Purba, nama belakangnya. “Yaudah, Jep! Kau sama anak dua ini aja yang buang, biar gitu klen sampai kesini udah bakar kayu, biar minum rame-rame kita, kan gitu?”

“Iyalah, gampang. Terus tadi ente ngapain kerumah?” Tanya Jepri memberanikan diri.

“Gara-gara kau nggak bisa dihubungi, kubilang. Buang aja hapemu itu!” Jawab Perot.

“Ada perlu apa rupanya?” Tanya Jepri lagi.

“Pilem yang kau kasi satupun nggak ada yang bisa ditonton. ‘No Disc’ kata TV-ku. Mau minta pilem lain tadi maksudku kerumahmu, tapi kan nggak mungkin kumintak sama binikmu.” Jelas Perot.

“Yaudah sana kau buang dulu itu. Bakar kayumu lah Wan! Apalagi.” Kata Perot sambil meninggalkan empat sekawan, masuk ke kedai.

Habis lihat-lihatan mata Mawan sama Jepri, mau nggak mau Mawan ikut masuk ke kedai. Jepri pun tengak-tengok bingung sama Kakang sama Kolor. Masih pakai langkah bengong dia waktu masuk balik ke Starlet. Duduk bertiga didepan.

Brumm! Hidup mesin, tapi belum jalan jalan. Sambil memandang ke depan, “terus kita kemana ini?” Kata Jepri.

“Tadi kata Mawan kemana rupanya bang?” Kata Kakang.

“Hutan Penatapen…”Suara Jepri pelan.

“Sekop kita ada?” tanya Kolor.

“Dirumahku ada satu.” Kata Kakang.

“Rumahmu Lor?” tanya Jepri.

“…Ada yok.” Jawab Kolor.

Transmisi lapuknya teriak waktu Jepri masuk gigi satu, starlet pickupnya pelan-pelan jalan, belok kanan turun ke jalan gelap samping sisa bioskop yang tadi dilewati Sasson. Rumah Kakang searah sana. pas dibelakang mesjid belakang bioskop.

“…Jangan pulak ngambil sekop tapi nggak keluar lagi kau ya Kang…” Kata Jepri.

“Ooh…maulah kita sate dia sama Kang Nding-Kang Nding-nya itu sekalian.” Kata Kolor.

“…tapi mulutmu tadi itu mintak dicucuk-cucuk kali tadi itu kang. Mayat Kambeng pulak ko bilang! Anjeng kali kau tadi itu, sumpah lah!” Kata Jepri.

Macam di film koboi yang naik kuda ke matahari tenggelam, mobil Starlet pun masuk ke gelap-gelap. Tapi nggak hilang, orang lampu sennya nggak mati.

 

[1]Pergi

[2] Periksa

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1328      651     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4196      1151     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5453      1516     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.