Read More >>"> Parloha (14.30 ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Parloha
MENU
About Us  

14:30

            Tepat di pertigaan Jalan Peceren yang jadi titik rawan dimana udah tiga anak SD jadi korban tabrak lari, di tembok pembatas area kebun kol berbeling-beling kaca setinggi satu meter membentang segulung spanduk ukuran 8x1 Meter, meneriakkan kalimat “Warga desa Sempajaya menentang operasi kompleks lokalisasi Parloha!”, selantang font Arial Black fitur bold disertai hiasan logo berupa dua pedang saling silang diantara satu buah granat. Latar belakang spanduk warna hijau ditimpa desain logo kuning cerah yang ilustrasinya sedetail gambar realis. Mamak tiri Mawan pun juga bakal paham jika pedangnya bermata dua walaupun bilahnya membengkok macam katana. Romi tentu bakalan kepikiran untuk mencabut pin pengunci terlebih dahulu sebelum ia berniat meledakkan gerombolan anak punk yang main keroyok makan nasi sisa buangan tamu pasar kaget, setelah memperhatikan logo. Yang rajin mengaji, nggak bakal kesulitan mengenali tulisan arab gundul dibawah gambar granat yang terbaca: Laskar Pedang Barakuda. Singkatannya LPB.

            Sebelum berhenti dari kelas dua di SMA 3 pun, Henni udah jualan warung rokok sama jajanan chiki di pertigaan tadi. Tapi sampai sekarang masih belum punya anak juga dia. Tapi bukan karena takut ketabrak bus, murni karena belum rejeki. Kalau ngecer rokok, sekarang yang laku cuma Super sama Gepe. Yang beli tinggal rohis tukang nongkrong di Sekretariat LPB, kelang empat rumah dari warungnya. Kalau dulu lebih lumayan, Mild-Mild kelas dua kalau diecer kerasa kali untungnya, namanya perempuan kan umumnya doyan manis sama yang menthol. Biasanya jam-jam 4 gerombolan Gina, Indah sama Amel udah pada duduk pesan Fanta. Habis itu ya ngerokok, satu…terus satu lagi…satu…sampai korek masuk kantong ya sering. Kadang kalau sampai jam 5 belum ada yang jemput, barulah mereka jalan naik ke Parloha. 1 km sambil ngerokok satu batang kan cukup. Kalau pun pada nge-bon, berarti memang lagi pada kepepet. Soalnya kalau bon rokok Henni nggak ngasih, dan mereka juga nggak pernah minta. Cuma kalau kondom lah yang lumayan sering. Secara yang beli pun cuma mereka, utang dua tiga hari ya nggak masalah daripada kadaluarsa. Tapi ya lumrah, toh namanya kerja. Apa salahnya bantu-bantu? Orang itu pun kalau belanja kesini juga kok. Tapi sejak spanduk tadi naik panggung, terasa kali omset turun drastis. Apalagi pak Kepala Lorong ini pun entah cemana, ababil kali entah siapa mau dibelanya. Kemarin bale-bale Henni dimintanya supaya nggak ditaruh diteras, diturutin! Sekarang “Hen, ya kalau bisa kotak-kotak Sutra ini nggak usah lah pala dipajang di etalase. Dari jauh pun nampak merah dia, nggak enak sama tetangga.” Katanya pulak. Apa gitu? Orang cari makan disini. Sementara dari sekretariat sana tiap dua jam sekali pasang lagu-lagu religi pakai toa, nggak pernah sekalipun ditegurnya. “Oh gitu, jadi mentang-mentang lagu religi, nggak bisa ditegor? Kalau gitu, biar kukumpuli uangku, mau langsung kuimpor kondom buatan Abu Dhabi, biar semua isinya pakai tulisan Arab. Abis itu biar kita liat apa rupanya kata Keplor[1]?” Henni mbatin.

            Malah jadi kepikiran, apa maksud komentar Gina sama Indah waktu bilang “Sekarang Kak Henni hafal luar kepala lagu-lagu Opick, padahal dia Non. Iya kan Kak?” Sambil ketawa. Iya Henni tahu, bercanda itu. Soalnya yang belanja ke warung pun rata-rata suka berekspresi nyinyir, nyari persetujuan dari Henni kalau toa sekretariat lagi teriak-teriak. Henni cuma angguk-angguk ala kadarnya. Bahasa ekspresi lah. Cuma istilah ‘Non’ ini yang macam apa kali istilahnya. Masa gara-gara papasan sama Mak Tika habis pulang misa, langsung pulak dia komentar “Oh!  Baru sadar aku, ternyata kau non ya Hen. Padahal mukamu macam orang Padang.” Katanya pulak. Apa maksudnya gitu cobak? Sama aja ibarat kamar mandi umum dua pintu, yang kanan bertuliskan “Pria”, yang kiri tulisan “Non Pria.” Minor ya minor, tapi apa sampai seminor itu awak dikampung sendiri? Orang tuli ya minor. Tapi apa pernah dijalan itu dipisah “budeg” sama “Non budeg”? Apa pernah di kursi roda itu ditulis ‘khusus Non jalan’? Mau minor mau enggak, semua semua ada namanya. Yang buta itu tunanetra. Yang miskin itu tunawisma. Yang kerja di Parloha itu Tunasusila. Di Parloha sana pun nggak pulak ada tulisan Non lonte.

            Seberapa besar rupanya efek spanduk itu sama kami? Kadang Henni menggumam. Toh orang-orang sini pun nggak pernah ada yang bicara soal itu. Bang Mardingat udah lima belas tahun tinggal dirumah sebelah, sekarang anaknya yang kedua mau lulus SMP. Nggak pernah satu kali pun absen pesan teh manis tiap pulang dari ladang. Tapi bukan pulaknya mau curi-curi pandang sama gerombolan Gina, ditegornya pun enggak. “Bikin teh manis, dekku” katanya, udah. Duduk dia situ baca koran, mandang-mandang jalan. Kadang ngobrol sama Ustad Marlen. Tapi sekarang, beli rokok pun udah jarang. Kadang cuma anaknya suruhnya, itupun seminggu paling cuma sekali.

            Besok, tepat sebulan spanduknya mampang di tembok. Hari pertama udah tiba-tiba kepasang disitu, siangnya segerombol massa baju putih rame-ramen gumpul dirumah Keplor, atawa Kepala Lorong. Rata-rata anak lajang tanggung. Baru setelah itu keluar plang sekretariat LPB dari dalam rumah bang Eben. Nah, bang Eben. Bang Eben ini lagi, dulu orang paling ramah di kampung sini. Perantauan dari Palembang, dua tahun pertama ngekos di tempat buk Yus, tapi tiga tahun belakangan udah ngontrak rumah bekas bang Jani. Papasan sama siapa pun, senyumnya jenuin nggak pernah palsu. Kerjanya di pabrik Aqua, tiap mau berangkat shift malam, kadang Henni rela tutup lebih lama biar bang Eben bisa ngopi dulu. Tapi entah cemana ceritanya, tiba-tiba bang Eben yang diawal selalu pakai jeans, sekarang ganti celana bahan cuma satu warna, hitam. Entah satu warna atau itu satu-satunya celananya. Atasannya koko putih bongsor kebawah, tapi kakinya malah pakai selop idaman tukang panjat gunung, Eiger. Ada yang bilang karena kemarin termasuk dari PHK massal Aqua, ada pulak yang bilang dia mengundurkan diri. Tapi persoalannya, mulai dari situ, siapapun di kampung ini udah nggak pernah lagi teguran sama dia. Sebab udah ikutan pulak dia menjenerasilasi warga sini. Bocah tujuh tahun kan nggak mungkin bohong! Waktu anaknya lewat, ditegur canda sama Henni, “hei Aleksa, kau sombong kali sekarang nggak pernah jajan tempat ibuk lagi?” yang kontan dijawab “Soalnya kata bapak kalau mau jajan jangan ditempat yang Non, buk.” Oalah.

            Entah udah berapa lama dia melamun, tapi tiba-tiba terpecah sama panggilan, “Hen! Bikin dulu teh manis dekku!” katanya dari balik kaca steling. Henni melongok, Mardingat berdiri siap narik kursi buat duduk. Jenggot brewoknya tersisir rapi, abang ini baru selesai mandi. Badannya tegap, perawakannya mirip James Hetfield vokalis Metallica, cuma rambutnya hitam sama nggak punya tato. Mardingat jalan mendekat ke steling konter, “Sama Gepe ya dek.” Mintanya.

            “Ih, kemana aja abang ini?” protes jenuin Henni.

            “Nggak kemana-mana, dirumah nya aku terus.” Jawab Mardingat sambil senyum.

            “Yang kupikirnya ada salahku sama abang, bang. makanya abang nggak mau datang.” Tanya Henni lagi.

            “Ya’ah enggak lah. Nah, itulah makanya aku kesini sekarang. Kau pikir pulak aku nanti nggak mau lagi aku minum tehmu. Kan gitu. Cuma kadang memang…” Dan kalimat Mardingat terpotong disusul empat orang lajang tanggung pakai lobe hadir menerobos.

            “Kak, Gepe dua batang!” Teriak yang satu. Ketiga lajang lain saling sibuk menjangkau chiki-chiki yang dipajang bergantung, dimana-mana tangan berusaha meraih ini itu, serta suara yang saling tumpang tindih, “kak ini berapa?” “kak, aku ini satu sama Djarum satu.” “Kak, roti ini tiga dua ribu kan?” disertai acungan tangan memegang jajanan.

            “…Iya iya, bentar dek.” Jawab Henni tergopoh.

            Gerombolan rohis tetap berteriak satu dan yang lain “Kak cepat kak, ini tadi aku dua, sama Djarum.” Disertai teriakan lain dibelakang.

            “Hoy! Sabar, sebentar katanya.” Kata Mardingat buka suara.

            “Mau cepat kami bang!” Jawab yang satu.

            Mardingat tidak menyangka ia mendapat jawaban.

            “’Mau cepat’ kau bilang, kupatahkan nanti kakimu itu baru tau kau!” bentaknya.

            Ketiga lajang diam seketika, kaget pula dengan respon Mardingat. Mereka saling menoleh, dan satu sebagai penerima ancaman Mardingat balik melotot.

            “Matamu itu!” Gertak Mardingat lagi.

            Pelan-pelan mata si lajang tunduk beralih. Ia buang muka. Suara yang lain pun ikut merendah. Secara tertib, satu-persatu mereka membayar belanjaan masing-masing, hingga beranjak keluar dari warung. Mardingat tetap berdiri di posisinya semula tanpa beralih pandang. Setelah situasi balik normal, Henni berusaha keluar dari kecanggungan. “Gepe tadi kan bang.” Ucapnya sambil menyerahkan sebungkus rokok diatas toples permen. Ctak! Mardingat kembali mereda, disambutnya pemberian Henni. “Lajang-lajang ini kalau nggak digitukan, nggak taunya etika.” Komentarnya. “Anak mana itu Hen?” Tanyanya kemudian.

            “Itu yang ngumpul dirumah bang Eben lah bang.” Jawab Henni.

“Iya! Tahu aku, maksudku anak dari mana?” Tambah Mardingat.

“itu nggak tahu aku, nggak pernah kutengok bang. Nggak anak Berastagi kayaknya.” Jawab Henni. “Kurasa arah Bandar Baru sana terus ke Medan. Logatnya kan abang dengar tadi. Rata-rata yang beli rokok kesini kayak gitu logatnya.”

            “Satu pun yang dirumah Eben itu nggak ada yang orang sini kan?” Tanya Mardingat.

            “Nggak tahu ya bang. Tapi mungkin aja lah. Orang satu orang pun nggak ada yang kukenal. Kecuali bang Eben lah.” Jawab Henni.

            “Anak itu lagi satu. Sekarang ntah udah macam apa. Kau tau Hen, tegornya lagi pun aku enggak.”

            “Akupun enggak bang.”

“Udah pulak jadi agamis dia sekarang kutengok. Jenggotnya itu min lihat, nggak pernah lagi dipotongnya.” Ujar Mardingat. “Inilah yang bikin aku malas duduk disini. Tau kau Hen. Udahlah anggotanya itu sini cuma bikin rusuh, terus mukanya pun kalau nengok kita udah macam taik.”

“Diamkan ajalah bang.” Henni sekedar merespon.

“kau tahu semalam, Harahap datang kerumahku.” Mardingat membuka topik.

“Harahap-nya Bu Restu, bukan? Yang rumah kuning diatas?” Tanya Henni.

“Iyalah, yang mana lagi. Jadi rupanya, orang ini semua udah ngumpul, rapat soal LPB-LPB ini. Semalem ajaknya juga aku nanti malam ikut rapat. Maksudnya mau sama-sama kita semua datang ke rumah Keplor, ngomong sama dia langsung.”

            “Ngomong apa bang?”

“Kan dia yang ngasih izin LPB-LPB ini masang spanduk disitu.”

“Ya kan karena diujung atas itu bang, sementara mereka kan agama-agama.” Kata Henni.

“Aaa, itulah tadi kau udah salah. Masa nggak tau kau soal anak Sembahe yang dipukuli orang ini dipengkolan parloha itu?”

“hah! Nggak tau aku bang.”

“Iyah, habis bikinnya. Dua orang boncengan, cowok sama cewek. Kurasa yang cowok anjelonya, tapi entahlah. Sepantaran si Riko, dipukulin rame rame pakai balok kayu segini panjang.” Kata mardingat sambil mengangkat tinggi tangan kiri sambil tangan kanannya seolah-olah memotong bicep yang kiri. “Si perempuan patahan semua giginya.” Lanjutnya.

“Astaga. Siapa yang mukuli?”

“Nah itulah dia masalahnya. Sebelum naik spanduk itu, apa pernah ada kejadian penganiyaan di kampung kita ini? Siapa rupanya premannya sini? Agung? Barta? Mungkin kau rasa?”

“Ntah orang yang datang kesitu lagi berantem bang.”

“Iya mungkin. Tapi separah-parahnya orang berantem disitu, siapa berani jauh-jauh, apa pernah ada perempuan yang dipukuli disana, coba kutanya samamu.” Kata Mardingat.

Henni mengingat-ingat.

“Nggak ada Hen. Nggak pernah ada.” Jelas Mardingat.

“jam berapa kejadiannya  itu? Tanya Henni lagi.

“jam sebelasan kalau nggak salah. Itulah sampai yang cewek itu lari kerumah Harahap, rumahnya pulak paling dekat. “Tolong pak, tolong pak” Kata ceweknya sambil berdarah-darah situ. Harahap yang nampak katanya baju-baju putih enam orang main keroyok. pas dateng Harahap lari orang itu semua.” Cerita Mardingat. “Kata Mak Tika pun gitu. Dia nyari kucingnya malam-malam. Denger suara teriak-teriak. Nampaknya ada kereta Matic putih parkir tengah jalan.

“Ish, terus kekmana ceweknya tadi?” Henni penasaran.

“Ya gitulah, naekkan harahap ke Sudako[2], pulang dia ke Sembahe. Tapi ko tau, nggak pernah sampe si cewek tadi kerumahnya.”

“Nggak sampe?”

“Iya. Di pinggir hutan Penatapen itu dapat orang mayatnya. Tapi nggak ada lagi kepalanya.”

“Astaga. Yang betul lah abang, bang!” Ucap  Henni.

Ck, nggak percaya kau. Itulah makanya mau dibicarakan ini. Lagian kalau Parloha maksudmu Hen, dari jaman kakekmu pun dulu udahnya ada itu. Mau protes macam mana pun kita, tapi misal ternyata dipiara pemerintah itu, mana tau-tau kita. Lagian yang dibahas dirumah Harahap bukan perkara Parlohanya, tapi geng-geng begal ini justru. Siapa kali rupanya dia disini, enak-enak aja dia bikin sekre, trus dipasangnya pulak spanduk kekgitu. Kau tengok gambar pedang pulak bikinnya situ, apa maksudnya? Siapa ditantangnya itu, mau bawak-bawak anarkis ceritanya ini? Warga desa Sempajaya katanya pulak.” Ujar Mardingat Panas.

“Sabar bang, sabar. Ini tehnya, abang minum dulu.” Sembari Henni mempersilakan segelas teh  manis dari gelas coklat.

“Kau bikin satu lagi sekalian Hen, Pak Marlen pun mau kesini dia, janjian kami.” Kata Mardingat.

Henni tertawa, “Mau bahas apa kelen bang, cabut spanduk?” Komentarnya.

“kita dengar dulu apa kata pak Marlen sekali ini. Kalau cabut katanya, langsung kita cabut, kan gitu?” tanggapnya dengan tertawa pula. “Eh terus, teringetnya, Jepri mana ini?” Tanya Mardingat.

“Kalau jam segini masih di Gedong Kuning dia bang. Tapi bentar lagi pun kayanya balik. Orang tadi dia pigi nggak bawa mobil.” Jawab henni.

“Nah, anak itu pun perlu hadir itu, malam nanti udah sini dia kan?”

Dari seberang Jalan, turun dari mobil sudako, Jepri balik badan setelah membayar receh kepada sopir. Sembari jalan mendekat, Jepri menganggukkan kepalanya kearah Mardingat.

“Bah, panjang umur anak ini.” Kata Mardingat kepada Henni. Lalu ia teriak: “Darimana kau Jep!?”

Semakin dekat ke warung, Jepri menjawab, “Kedai Mawan. Cemana berita, ketua?” tanyanya kemudian.

“Ih, anak ini. Istrinya pun sini buka kede, malah dikede orang dia minum. Kan babi kali kau gitu, Jepri! bilang gitu sama dia Hen.” Ucap sang James Hetfield. Henni mengangguk sambil tertawa.

“Ngapain kau di kedai Mawan? Anak itu masih banyak gaya?” Tanya Mardingat.

“Ngapain pun enggak.” Jawab Jepri.

“Berarti nanti malam, sibuk kau Jep?”

“Enggak ah, kenapa bang?”

“Biar kerumah Harahap kita, penting.” Kata Mardingat. “Yaudah sini kau dulu duduk mari, nunggu ustad Marlen ini.” Ajaknya kepada Jepri.

“Aduh, bentar yok. Aku mau ke Kabanjahe dulu ini.”

“Ngapain kau jam segini ke Kabanjahe?” Protes Mardingat.

“Ke Pajak Singa. Ada yang penting kali mau kucari. Selak keburu malam, soalnya.” jawab Jepri.

“Yaudahlah, sana kau dulu. Nanti malam aja sekalian. Jangan kau lupa ya. Jam 8.” Jawab Mardingat.

 

 

 

[1] Kepala Lorong

[2] Angkutan umum

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1328      651     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4196      1151     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5453      1516     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.