02:00
“Isi minyak kereta di Galon!”
Kalau misalkan kau jadi Kambeng, dalam arti anak yang kepalanya sudah pecah di kedai Mawan,berarti nama aslimu yang dikasih bapakmu dulu adalah: Zachtie Andrian. Tapi kan kau dipanggil Kambeng. Jadi apa nama “Kambeng” itu udah bisa dibilang resmi? Kapan waktunya kau boleh menyebut sesuatu sebagai resmi? Malam-malam jam 10-an, kau ajak si Diana raon-raon keliling Bukit Kubu dua kali putar. Baru abis itu kau ajak dia nongkrong di Jabu Café pesan Jus sirsak sama kentang goreng. Dimeja nomor 6 kalian duduk hadap-hadapan, kau pegang tangannya baru kau bilangkan kata ajaib tadi: “Have I told you that I love you?” Kau bilang pulak pakai bahasa Inggris. Sor dia! meledak-metetup jantungnya, pacaranlah kalian akhirnya. Jadi udah bisa dibilang resmi disitu?
Besoknya, kau ajak lagilah dia muterin Bukit Kubu, sekali. Baru setelah itu nongkrong lagi, kali ini di Tesalonika. Makan siang kalian sambil suap-suapan pasangan baru. Terus malamnya, kau bawa Diana tadi pulang ke kosmu sendiri: Kau gegek[1] dia disitu. Kau yang buka-calak sama perawannya, sor kali kau duanya semalaman berkeringat, nggak tidur. Lama-lama ituuuuuuuu terus kerjamu sama dia. Muter naik kereta[2], nongkrong, nggegek. Naik kereta, nongkrong, nggegek. Kadang nggegek dulu baru naik kereta, baru nongkrong. Ya memang disela-sela rutinitas itu sering juga kau bonceng lonte keluar masuk Parloha, tapi kalau masalah ini kan Diana paham. Percaya dia samamu kalau kau cuma ngantar cewek-cewek tadi ke tempat pemesan walaupun ternyata enggak. Kadang kalau setoran cewek-cewek tadi kurang, terpaksa tipmu dibayar via ATM. Istilah para sopir taksi liar yang kependekan dari Argo Tukar Meki. Secara lagi nomormu pulak yang paling sering diminta orang. Kabar diluar jalan kalau ‘hantaranmu’ tak pernah mengecewakan. Cuma sesekali diingatkannya: Kalau bisa carilah kerjaan yang lebih bagus. Karena kalau cuma perkara keren-kerenan nama kerjaan, dia tak paham dimana letak kerennya istilah kerjaanmu ini. Tapi itupun, selama dia nggak merasa diporotin, ya nggak juga terlalu dipermasalahkannya kali soal profesi. Walaupun kadang sering diinfokannya samamu kalau ada open recruitment di koran.
Tapi ya gitulah, namanya cewek. “Masih lebih banyak duitnya dari sini ketimbang dari tempat lain” Kau bilang. “Oh.” Katanya cuma. Yang tidak sama sekali kau pikirkan adalah dimana pas kawan-kawannya nanya soal kerjaan cowoknya. Apa mungkin kau rasa dijawabnya: Anjelo[3]? Tak pernah pulak kau pastikan. Ya cemana, terlalu sibuk pulak kau nongkrong, naik kereta, nggegek. Sampai akhirnya Diana tiba-tiba dapat panggilan magang di J.W Marriot, Medan. Bukannya pulak tiba-tiba kali sebenarnya. Kan kau yang nggak sadar dia udah lempar CV kemana-mana. Dia sibuk merangkak naik kelas biar bisa keluar dari Negara Babu, sementara kau bangga punya mental pengangguran. Sampai harus berubah siklus harian kalian pun tak masalah demi karir berseragam. Tapi dari setahun tadi, apa udah bisa dibilang resmi itu?
Namanya kerja hotel, waktu luang pun kan jadi makin sempit. Agak susah pulak kau jumpa sama dia. Bukan ada yang larang, tapi jarang. Untungnya masih ada telepon. Di sela-sela waktu, telpan-telpon kerja kalian berdua, kadang SMS-an. Bukan kadang, pasti SMS-an. Kalau telepon, ada jam khususnya. Nah, apalagi sebulan dua bulan tak jumpa, dengar suarapun jadi lumayan kali rasanya. Jarak membentang makin jauh, mulailah si Diana tadi bilang kata mesra-mesra seratus jenis. Yang peluk, yang cium, yang rindu, segala macam: Jadi sange kau. Ujung-ujungnya, obrolanmu duanya yang pelan-pelan jadi rada provokatif. Ya cemana, setahun kau sama dia, peju kau pun udah ditelannya, otomatis kan omongan udah tak pulak lagi pakai rem-rem. Jadi, disini apa udah bisa dibilang resmi?
Eh! Suatu hari, tiba-tiba kau sadar kalau ternyata belakangan ini komunikasimu sama Diana udah nggak lagi se-intens dulu. “Ada apa ini? Kok jadi aneh dia? Apa salahku?” Semua kau tanya dalam hati yang mana nggak seharusnya kau kaget. Itupun, kau tanya jugalah dia. Bahas mulai dari jauh kebelakang, utarakan argumen pendukung yang bikin kau ngerasa demikian. Tapi ternyata tak dapat juga jawaban pasti.
Terakhir kau mainkan jurus investigasi. Sebar mata-mata, kumpulkan data-data, kau ramaikan pendukung argumenmu barulah kau dapat kesimpulan: Diana udah jalan sama orang lain. Einam!
Jadi secepatnya lah kau klarifikasi sama yang bersangkutan. Kali ini pas kau buka omongan udah pulak kau siapkan semua bukti-bukti yang dukung kau, biar tak sempat dia mengelak. Barulah disitu dia bingung cemana mesti bersikap, sampai akhirnya harus ngaku! “Iya, aku sekarang udah pacaran sama anak Accounting, Solikhin.” Katanya. Andikow! “Jadi ternyata selama ini masih belum bisa dianggap resmi!?” Pikirmu. Padahal ya jelas jauh lebih nyaman menjawab pakai istilah akuntan daripada anjelo.
Kebakaran jenggot lah kau akhirnya. Berusaha kau setengah mati negosiasi. Diana tadi pun kadang nggak jelas juga soalnya, pacaran sama Solikhin katanya, tapi kalau SMS-an pun kadang masi menjurus-menjurus omongan provokatifnya. Sementara kau pun ngacengan. Kan susah. Jadi malah makin galau kau. “Jangan-jangan udah pulak dia dipake sama si akuntan itu?” Kau pikir. Astaga idiot! Mana ada pulak ceritanya pakai istilah “jangan-jangan.”
Jadi mulai dari situ mukamu pun lebih sering merengut ketimbang senyum. Apa-apa sikit kau gertak orang. Apa-apa sikit kau maki orang. Diajak bercanda pun kau susah. Kecuali kalau itu maumu. Sering kali tiba-tiba kau mau berusaha memutarbalikkan mood-mu sendiri, tapi caranya nggak nggenah. Adalah tiba-tiba kau tempeleng kepala kawanmu. Atau sok-sok mau ngelawak tapi tajam kali bahasamu. Si Tiur yang paling kasihan, masa tega kau gigit putingnya yang kiri sampai pendarahan, merah satu sprei. Padahal dia ikhlas ngasih kau bonus, sementara jarak kau ngantar dia dari Parloha sana cuma sampai Gang Kercu. Kepeleset pun nyampe. Biaya darahnya tadi jauh lebih mahal daripada alasanmu pura-pura “Isi minyak kereta di Galon” ya! Minyak kereta berapa sih? Yang kau isi pun premium. Itupun cuma satu liter. Cuma bikin capek petugas Galon[4] aja kau. Belum lagi kalau ngungkit peristiwa kau hampir tewas dihantami Sahertian yang sangat tersinggung waktu di kedai Bang Sidik gara-gara kau bilang Papua macam Planet of the Apes. Aidedeh! Mbeng, kurang baik apa orang samamu?
Sebetulnya dari siang tadi perasaanmu biasa-biasa aja kok. Nggak senang, tapi juga nggak sedih-sedih kali. Apalagi sampai sore aja, udah 14 orang kau jemput keluar Parloha, yang mana kebanyakan kau antar ke hotel Sibayak sebelum kau pake sendiri buat pelampiasan. Hemat bensin jadinya kan? Belum lagi SMS masuk yang belum kau respon. Ulahmu terbesarmu satu malam yang lewat di jalan Parloha pun berusaha nggak kau pikiri. Perkara kebawa emosi, yang harusnya tadi cuma disuruh pukul-pukulan, kelewatan kau karena kebaperan. Tapi nantilah itu. Teringatnya, kemarin kau ada janji mau bayar pinjaman duit, minggu depan. Jadi rencananya, kayaknya bakal nyenengin misal kau tiba-tiba datang mau bayar utang sekarang padahal belum ditagih sama sobatmu itu. “Oh, kesana lah!” Kau pikir. Maka jalanlah kau kesana.
Barulah kali ini masuk lagi SMS: “Zachtie, lagi dimana?” kata Diana. Disini udah nggak enak perasaanmu, senyum tadi pun hilang perlahan-lahan. Nggak sabar pulak kau ngebalasnya, diatas kereta pun berani kau balas-balasan SMS, macam orang kampung. Namanya udah SMS-an, sampai jam 1 malam pun nanti nggaknya juga bakal beres itu. Gitu kau sampai didepan kedai Mawan, sampai pulak balasan SMS yang ternyata ngomong kalau Diana mau diresmikan sama si Solikhin-Solikhin tadi bulan depan. Baru dibelikan cincin, katanya. Apa nggak sambar petir kau baca pesan macam begitu? Udah gitu tambah pulak lagi Mawan langsung saat itu juga ngomong pakai senyum taik: “Hoy, bayar utangmu Kambeng!”
Ih! Pukimaknya ini. Mesti kali depan muka pelanggannya dia nagih? Macam banyak kali pun yang kau pinjam. Langsung saat itu jugalah kau lemparkan Rp. 400.000 ke mejanya. “Makan itu” Batinmu dalam hati. Kalau nggak ingat dia lebih tua, udah kau ludahi lantai kedainya ini pun. Tapi kau masih coba tahan diri, ngapain juga kau stres mikirin cewek yang mau kawin. Berarti bisa jadi harus pakai cincin dulu baru bisa dianggap resmi. Entahlah, yang jelas kau nggak mau suasana hatimu tiba-tiba rusak cuma gara-gara SMS. Makanya mending lampiaskan sama Mawan. “Main catur kita sekali, marih! Cepek satu ronde, berani!?” Kau bilang pulak. Dengar tantanganmu seratus ribu sekali putar, Mawan jiper. Menolak mentah-mentah dia. Jadi apa kau bilang? “Iya’ah, mukak aja yang seram, nyali nol. Potong aja peler itu, buang ke paret.” Dan dari ujung meja kedai, bang Kripik ikut teriak: “Bah! Terima kau dibilang gitu, Wan? Kalau aku jadi kau, ‘Satu ronde 300 ribu plus harga diri!’ kubilang.” Katanya mantap.
Maka dari itu, pertarungan pun dimulai. Tapi ternyata, resmi apa tidaknya sebuah cincin bakal selamanya jadi misteri buatmu, sebab beberapa jam setelah ronde kesekian, sebutir peluru resmi mengubah statusmu jadi seonggok mayat, tergulung kaku didalam selimut yang dibungkus karpet.
Kalau saja kau masih bisa dengar, kau pantas tahu apa yang dibilang Jepri, Mawan sama Kakang soal mayatmu. Dari tadi nggak selesai-selesai orang ini mikirin dimana kau mau ditanam. Di Lau Gumba kata Mawan. “Ngeri. Mending di hutan Peceren!” kata Jepri pulak. Kalau Kakang dari tadi nggak setuju soal tanam-tanaman, pasti kedapatan sama orang, katanya terus berulang-ulang. “Kang, sekali lagi nggonggong kau pecah hidungmu itu!” Bentak Mawan barusan. Tapi kekmana lah, Kakang bahkan dekat-dekat mayatmu pun nggak berani dia. Takut dia nempel pulak nanti sidik jarinya. Lagian pas kau hidup pun dia malas dekat-dekat samamu, apalagi mati. “Bau kali kau Mbeng!” katanya samamu bolak-balik tiap kalian ketemu di kedai Mawan, padahal kau nggaknya pulak sahabatan kali sama dia macam kau sama Mawan. Kacau.
Berdiri di samping Meja Suci, akhirnya sekali lagi Kakang buka suara. Kali ini lumayan rada pede dia.
“Gini aja bang! Sebenarnya dari tadi udah mau kubilang sama klen[5], tapi aku takut klen nggak mau. Tapi sekarang nggak banyak pilihan ini. Selak keburu pagi.”
Mawan dipojok udah nggak sabar, langsung perhatian penuh. Jepri pun fokus. “Iya, apa itu!? Semprotkan lah cepat!”
Lewat sorot mata keyakinan: “Kolor yang biasa ngurusin gini, bang.” Kata Kakang.
“Kolor!?” Alis Mawan naik sebelah. Kakang mengangguk lebih pasti.
“Kolor yang perwarnet-warnet?” Tambah Mawan lagi. Kakang ngangguk lebih kuat lagi.
Jepri belum bisa mengikuti, “Kolor yang mana, Wan?”
“Kolor yang jaga warnet.” Jawabnya ke Jepri, “Itu maksudmu kan?” lanjutnya ke Kakang, yang hanya menghela napas.
“Puja!?” Jepri merespon tidak percaya.
“Iya bang. Gini lah, dulu yang kasus Banus sama Gajot Kloyor, kan ditikam Gajot anak itu. Trus, kekmana kelanjutannya coba? Ada rupanya cerita soal mayat Banus tadi? Mana ada! Itu Kolor yang ngurus. Telpon Gajot dia.”
“Kolor ko bilang, Kang?” Mawan berniat percaya.
Kakang berusaha meyakinkan: “Ish, gini denger dulu. Sekarang kutanya sama klen, dimana mayat Banus tadi dicari? Cobak.”
“Yah, mana kutau dimana tanemnya.” Kata Jepri skeptis.
“Klen kelilingi pun satu dunia ini nggak bakal ketemu. Potong kupingku kalau dapat. Klen tau diapainya?”
Jepri dan Mawan menggeleng, menyimak.
“Pertama kan: Telanjanginya dulu. Abisinya semua lah. Baju, dompet, sepatu. Kumpulinya dalem plastik. Udah? Abis itu cukurnya rambutnya, cabutinya giginya, satukannya dalam plastik tadi. Abis itu abang tau diapainya?”
Kedua si abang menunggu kalimat berikutnya.
“Potonginya mayatnya!” Kata Kakang. “Dibentangkannya dulu plastik satu lantai, abis itu baru potonginya, cap-cup-cap-cup, tumpuknya jadi satu. Baru tinggal gulungnya aja plastik tadi abis itu bawaknya ke om Yanto. Klen kenal Yanto?”
“Yanto perbabi-babi?” Tebak Mawan.
“YES! Aku sama Kolor langsung yang nganter kesana bang.” Jawab Kakang. “Ditelponnya aku malem-malem: “Mana kau Kang?” Katanya santai. “Dirumah” Kubilang. “Kujemput kau ya, mau ngangkat daging ke tempat Yanto. Nggak kuat aku sendiri.” Katanya. “Ayok!” Kubilang lah.” Terang Kakang kemudian untuk memperjelas.
“Ngapain ko bawak kesana?” Jepri penasaran.
“Kasihkannya makan babi bang.” Jawab kakang Yakin.
“Makan babi!?” Jepri kaget.
Dian malah kaget sinis. “Yuh, klen yang anggota Perot! Masak klen nggak tau? Si Banus gitu gendutnya manusia-”
“Banus nggak gendut. Obes itu.” Mawan motong Dian.
“Ya serahlah. Intinya segitu banyak daging nyampur lemak, nggak sampe sepuluh menit udah jadi taik. Ngap ngup ngap ngup macam bubur bikin babi itu.”
“kekmana sepuluh menit, Banus ko kasi makan ke satu RT pun nggak sanggup orang ngabisinnya.” Bantah Jepri.
“Kan nggak satu babinya Paok!” Mawan membela.
Kakang belum berhenti mencerahkan: “Iya, gitu kami sampe, udah ditunggu Yanto kami didepan pagar kandangnya. Besar kali tempatnya, panjang ke belakang, Bang. Abis itu pas diperiksanya bungkusan plastik di bak belakang, kaget dia. Ajaknya Kolor ke ujung. Aku nunggu di mobil tapi pas jalan sempat kudenger, “Banyak kali! Berapa kilo itu?” kata Yanto. “Seratus kilo ada kurasa, tapi satu orang ini, om.” Kata Kolor. Nggak lama “Ayok angkat Kang.” Katanya. Kami gotonglah ke Mesin Giling.” Ujar Kakang lebih jelas.
“Berapa ekor babinya?” Tanya Jepri.
“Nggak tau aku, tapi banyak lah. Segitu besar kandang, babi semua isinya.”
Mereka bertiga saling mencerna satu sama lain, hingga Mawan buka mulut: “Jadi maksudmu, kau suruh pulak kami motongi mayat? Anjeng kali kau! Nggak nteh[6]!”
“Kok ‘kami’ ko bilang!? Kaulah sendiri. Kan kerjaanmu ini!” Potong Jepri sebelum Kakang sempat buka mulut.
“Yah! Ngapain kita yang repot? kubilang tadi kan Kolor itu memang kerjanya bang. Ya tinggal panggil aja dia kesini.”
“Eii, ‘panggil-panggil’ ko bilang, ada kau disini pun udah jadi masalah! ko panggil pulak lagi orang lain.” Protes Mawan.
Jepri berpikir dengan seksama.
“Cemana ko rasa Jep?” Mawan beralih.
“…Kurasa mending tanem aja. Nggak jelas cerita anak ini. Nanti jadi kekmana-kekmana pulak…” Jawab Mawan.
“Siapa nggak jelas? Serius bang. Aku deket sama dia. Ketimbang tanem, masih harus ngono-ngene kita, belum lagi resikonya” Kakang meyakinkan.
“Kau cuma karena males ngorek lobang nya ini Kang!” Kata Mawan.
“Enggak bang. Kalo klen suruh korek, kukorek yok! Tapi resikonya nanti kekmana? Atau, tinggal ku telpon anak itu, urusnya sendiri, bayar! Udah. Tenang kita.”
“Iya juga sih Jep.”
“Enak kali mulutmu itu! Anggaplah betol yang dibilang anak ini, tapi secara yang nyuruh dia pun Gajot Kloyor, Gajot Kloyor pengusaha hotel nak! Berapa mau kita bayar!? ko pikir mau dia dibayar pake uang teh susu!?” Kata Jepri.
“Nah! Itu. Kalo gitu kekmana ko bilang ini Kang?” Mawan melempar.
“Iya, itu aku yang ngomong yok, belakangan kita urus. Waktu soalnya ini bang, waktu.” Kata Kakang.
“Bisa seberapa cepat kin rupanya?”
“Makin cepat kita panggil, makin cepat selesaikannya.”
Mereka diam lagi.Mata Jepri melirik kesana-sini.
“Paling nggak, udah aman dulu kita bang. Makin lama makin bau nanti itu.” Jelas Kakang membujuk.
...
“Udah hampir jam dua lho ini bang.”
“Kau lah itu Wan. Suka hatimu.” Bisik Jepri, pelan.
“Yaudah. Panggil yok.” Kata Mawan mantap.
Nggak pakai babibu Kakang langsung bergerak menuju pojok ruangan sambil ngerogoh ponselnya di kantong. Jepri duduk ke meja Suci sambil ngebakar rokok. Mawan pun ikut.
“Pantasan! Aku kadang nengok mukak anak itu, macam ada yang nggak beres kurasa.” Kata Jepri.
. . .
Jadi begitulah, semua ini dilakukan demi Kau, Mbeng.Persetan sama Diana, mereka lebih peduli.
[1] Slang: Seks
[2]Sepeda Motor
[3] Antar Jemput Lonte
[4] Pom Bensin
[5] Kalian
[6] Akhiran kata tentang penolakan