Read More >>"> Parloha (01.15) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Parloha
MENU
About Us  

01.15

ARDIANSYAH adalah seseorang yang tidak rasis. Di Berastagi dipanggil “Kakang”, entah kenapa. Padahal nama panggilannya Dian. Dia ini sempat kuliah di kampus akreditasi B di Jogja. Jadi, dia nggak rasis. Tapi cemana pun, dia sempat kuliah di kampus akreditasi B di Jogja.

            Pertamanya begini: Secara ingat kata mamak[1] -dimana tanah dipijak, disitu langit dijinjing- iya kan, jadi gabunglah dia sama anak-anak kuliah yang lain. Sosial. Dandanan rada intelek, logat digeser, suarapun agak dipelankan –Dari Berastagi anak ini soalnya- terus belajar pulak dia bahasa Jogja, kan gitu? intinya, semua berjalan sesuai etika sosial lah. No problemo. Good. Apik.

            Terus, akrablah dia sama si kawan ini. Anang namanya. Tinggi besar, suaranya santun kali. Orang Jawa pulaknya. Asli Jogja lagi. Bukan niat apa-apa, ya namanya bekawan pastinya atas dasar saling respek lah. Dirasanya si kawan ini baik, baik jugalah dia. Kadang bagi-bagi rokok, traktir kopi, dan ya gantian. Simbiosismutualisme lah.

            Nah jadi, ujung-ujungnya makin sering pulak keluar sama-sama. Sering keluar sama-sama otomatis makin panjanglah pula koyok-koyok[2] tadi. Awalnya tadi yang cerita tugas kuliah, lama-lama habis jadi bergeserlah ke cerita lain. Begitu terus, sampai terakhir masuklah pulak ke cerita yang rada pribadi. Si kawan tadi mulai cerita soal keadaan hidup. Bla-bla-bla ini-itu-segala-macam karena “Ane udah percaya sama ente.” Kata si Anang ini.

            Awalnya Dian santai, “Ah paling butuh teman curhat.” pikirnya.

            Tapi makin lama makin dalam. Kalau ada kesempatan, mungkin celana dalam mamaknya pun bisa jadi diceplosnya juga. Kesal si Dian. Maksudnya, sekali-dua kali kadang kita memang butuh curhat, tapi kalau tiap hari ituuuuuuu terus yang diungkit, macam urusan siapa kali jadinya? Bosan awak. Macam hidupnya kali yang paling susah didunia ini. Terakhir, mulut si Anang ini udah pulak jadi macam bini yang tak tahu diuntung.

            Mungkin kita paham kemana arahnya ini. Homo-homoan. Iya, memang ujung-ujungnya mau diperkosa Anang si Dian ini, tapi nggak jadi. Keburu ditusuk Dian duluan lehernya pakai pensil 2B enam kali sampai patah di dalam.

            Namun bukan itu poinnya. Dian ini tak pernah mau ambil pusing soal apa yang jadi kerjaan laki-laki berduaan dikamar di sesi privat mereka. Bukan urusannya.

            “Kalau misal aku tadi yang bayar, lain cerita!” katanya waktu debat sama Pajar.

            Pajar ini yang rada ekstrimis. “Astaga Kang, dosa besar bagi mereka yang menutup mata akan maksiat! Kaupun berdosa. Empat puluh hari ibadahmu nggak diterima.” Kata Pajar.

            “Yuh! Kau yang nggenjot kok aku yang berdosa? Kepala kau lah!” katanya cuma.

            Yang parah lagi malah ditambahin Pajar “Bisa kau ngomong gitu, orang agamamu pun cuma KTP! Tapi apa pernah terpikirmu, aku punya anak. Masa depannya kupikiri. Aku mau anakku beres. Apa yang mesti kujawab kalau anakku nanya kenapa laki-laki kawin sama laki-laki!?”

            Kan tolol kali si Pajar ini. “Pertanyaan kayak apa pulak itu? ya tugas kau lah itu, Monyet! Kau yang bikin anak, kau yang tanggung jawab! Cemananya kau. Kau suruh lagi si homo itu ngejelasin? Ya jadi homo anakmu! “Enak lo dek, tusbol pantat laki. Coba yuk.” Katanya sama anakmu. Mampus kau.” Kata Dian yang ikutan panas.

            “Ku doain anakmu homo. Cuih!” Pajar meludah.

Poinnya bukan masalah kehomoannya, sebab si Anang ini bukan homo. Jadi, singkat cerita: Belakangan si Anang ini makin nempel terus. Sampai pulak tinggal dirumah yang ditempati Dian. Jadi itu rumah petak kamarnya satu, punya saudara temen baik pamannya Dian, dan nggak ada yang nempatin. Jadilah mereka berdua tinggal disitu. Si Dian ini santai. Cuma makin kedepan, makin banyak pulakbarang-barang si Anang ini yang masuk. Mulai dari dispenser, buku-buku kuliah sampai rak sepatu. Tapi disini pun, masih kita lihat baiknya sajalah. “Toh, berangkat kuliah jadi bareng, dan apa-apa bisa masak sendiri jadi makin hemat.” Dian gumam dalam hati. Itupun, dengan nggak mau mikirin soal kerapnya ia mengungsi karena Anang bawa pecun buat ngambil. Kadang menggerutu juga dia dalam hati, karena masih ada skenario dimana dia harus curi-curi kesempatan buat coli di ruang lingkup teritorinya sendiri.

            Hampir setahun, lama-lama agak dongkol lah si Dian ini. Secara si Anang udah terindikasi soal invasi privasi. Mulailah Dian ini cari-cari timing buat nyampein ke si kawan tadi pelan-pelan soal mau pindah. Lagian pun dia rasa memang sampai waktu dimana dia harus angkat kaki dari rumah itu, karena kalimat si saudara temen baik pamannya itu pun cuma: “Sementara nunggu Dian dapat kos, nggak papa disitu aja dulu.” Katanya. Ditambah Keponakannya yang perempuan bakal ambil alih karena mau mulai semester baru perkuliahan. Kan? Pahamlah kita.

Jadi diajaknya lah Anang tadi bantuin dia nyari kos. Ya kenapa enggak? secara kita friend. Jadi Muter lah orang itu duanya, sana-sini sana-sini sana-sini sampai: Tuppp! Dapat kos tadi. Otomatis balik dulu kerumah ngangkatin barang, kan gitu. Karena pun, isi rumah tadi sembilan puluh persen barang Anang pulaknya semua. Sementara si Dian ini masuk tipe-tipe mokondo[3], tapi dalam konotasi positif.

            Nah, di titik inilah sumbunya mulai terbakar. Jadi, pas lagi angkat barang, si Anang ini nunggu kali waktu yang paling tidak tepat buat permisi ke Dian soal niatan terselubungnya yang ternyata mau titip benalu yang lain lagi sama Dian, ditempat yang baru. Ternyata salah satu cewek liar yang sering dipakainya terlanjur tekdung. Lha, cemananya?

            Situasi lagi hujan deras ini ceritanya! Barang yang mau diangkat tinggal perintilan tapi yang bikin repot macam Kajon buat akustikan, terus bawanya pun boncengan pakai RX-King yang businya telanjang, dan jalanan dari ujung ke ujung pun banjir! Jadi sambil dihantam hujan badai si Anang ini buka mulut ke Dian yang berusaha megangin kajon biar nggak ditiup angin, sambil kalimatnya ditutup suara knalpot “Bro, nanti sementara si Joan nginep dikosmu dulu ya?”

            Cobak eda bayangkan.

Udah? Disitu Dian jawab “Nanti aja bahas gituan bro, pas baju kita udah kering.”

Nah, sekarang biar kau tahu: Kalau di Berastagi, anak idiot pun tau kalau itu statusnya ditolak mentah-mentah. Harus malu kau kalau dibantah pakai cara macam begitu. Tapi sama Anang ini, kalau dia nggak tahu, berarti harusnya anak idiot pun sanggup manggil dia tolol. Tapi kan nggak mungkin dia nggak tahu. Makanya pukimak kali rasa Dian, yang penting dia udah bilang kalau dia mau nitip lehor[4] lagi ditempat orang.

            Mulailah kesal si Kakang ini. Terus, begitu sampai di kamar kos yang baru, kan otomatis disambut sama penghuni lama. Pas mereka nanya “Jadi yang mana yang nyewa kamar bang?” Baru Dian mau angkat tangan, duluan pulak si Anang yang jawab “Dia sama pacarnya.” Ops! Udah ngelangkahin si kawan ini. Ada pulak ceritanya dia bicara atas nama orang lain, apa nggak kurang ajar? Makin dongkol si Dian ini, awet semalaman.

            Besoknya, alih-alih mau absen, disuruhnya Anang berangkat kuliah sendiri. Si kawan cabut, nggak lama dia pun ikutan cabut pakai acara ngunci pintu, kuncinya dibawa masuk kantong, si Dian loncat nginep dirumah ceweknya. Nah, udah kasar bahasa tadi kan? Eh halah! Sialnya, kok bisalah pulak sikawan tahu alamat kos cewek si Dian ini. Kan nggak lucu. Dalihnya bawa bungkusan roti bakar bandung buat dimakan sama-sama.

            Disini kita bisa coba pengujian secara langsung, kalau kita penasaran sama jenis manusia kayak apa yang kita kawani selama ini. Caranya: Lempar kalimat: “Bro, malem ini ane nginep disini, nggak usah ditunggu, ente balik aja duluan.”

            Baru baca reaksinya! Kalau ternyata responnya: “Uhm, Ane mah gampang. Sebenarnya mau nganter Joan sih, kasian dia ngantuk, ngga ada tempat rebahan.”

            Sadar soal hal itu, berarti udah waktunya buat Dian langsung ngomong. Kan itu cara terakhir. Mau tersinggung, tersinggunglah! Masa iya dia harus tinggal ama pecun. Bunting lagi. Jadi besoknya, diajaknya ceweknya ini ke kos. Dia bilang ke Anang kalau mulai hari ini ceweknya mau nginep. Bagi anak kos, kan udah jadi aturan tidak tertulis yang berlaku di seluruh alam semesta, yang mana bunyinya: “Saat menyadari bro pulang ke kamarnya sambil pegangan tangan sama pasangannya, maka makruh hukumnya mengetuk pintu bahkan untuk meminjam korek api. Kedua: haram hukumnya nongkrong bertiga kecuali dipersilakan. Apabila sudah berada dalam kamar dan menikmati fasilitas yang sudah diizinkan bro sebelumnya, maka diwajibkan minggat saat si bro sudah kembali hadir dengan pasangannya.”

            Sampai disini, kita setuju kan? Tapi begitu Dian sampai dikamar kos, Anang justru melanggar aturan beserta poin-poinnya. Dia sempat ambil satu-dua ronde sama si Joan ini, sambal bilang “Iya bentar Ndan.” Dari dalam ruangan waktu si Kakang coba buka pintu yang ternyata dikunci grendel. Sudahlah murni si Anang sengaja makin mentengkelek[5].

            Meledaklah akhirnya si Dian alias Kakang ini. Disuruhnya si cewek pulang, langsung disitu juga disemprotkannya semua uneg-unegnya selama ini ke muka Anang. Didepan semua penghuni kos! Segala macam hinaan keluar mulai dari benalu, tai kucing, tai anjing dikombinasi  hingga ditutup pakai teriakan spesifik yang menurut para pendengar budiman merupakan sesuatu perihal sensitif dimana hinaan yang dialamatkan mengandung unsur kesukuan sebagai punchline yang akan menusuk perut penerima masuk ke ulu hati yaitu: “Memang kau Jawa pukimak nggak tau diri!” Katanya dengan mata memerah dan mulut berludah.

            Kagetlah pulak si Anang ini. Kok bisa sampai ke istilah Jawa, kan gitu? Apa mentang-mentang dia kalau nunjuk suka pakai jempol? Tapi itupun masih berusaha tenang, Anang membantah. “Oalah. Jangan bawa-bawa Jawa, ndan.”

            Kalau kau lagi baca ini di tempat umum, coba lihat muka-muka orang sekitar. Bayangkan misal tiba-tiba kau adu argumen sama orang asing disitu, bisa kau perkirakan kira-kira apa yang bakal kau omongkan? Mungkin bisa, mungkin enggak. Kalau nggak bisa, apa yang kau lakuin? Otomatis adalah mencoba satu-persatu hinaan sampai lawanmu betul-betul tersinggung. Karena, kalau kau berhasil dapat kata kunci yang paling nusuk, kau nggak harus ngutarainnya sambil teriak. Makin kuat kata kuncinya, makin santai kau ngucapinnya, maka makin sakit buat yang menerima. Makin sakit yang menerima, makin reda emosimu. Iya nggak?

            Apalagi misal keyword tadi pulaknya sesuatu yang ada diluar kontrol penerima. Umumnya fisik macam istilah caplang, pesek, kurcaci, birong[6]atau pincang. Kalau misal kendaraanmu ditabrak orang dari belakang, dan pas kau noleh ternyata pengemudinya si peramal palsu berkaki satu, hal pertama yang bakal kau ungkit adalah kakinya. “Kalau nggak bisa nginjak rem jangan pecicilan[7] kau, babi!” makimu, sekalipun dia bawa matic yang remnya ada di tangan. Malah, dewasa ini persoalan fisik tadi pun udah naik skala sensitivitasnya. Contohnya masalah berat badan. Sekarang ini persoalan timbangan udah pulak ikut-ikutan masuk jadi materi tabu, seolah kayak mau nimbrung masuk kategori SARA yang tidak sepantasnya jadi lelucon. Orang-orang tersinggung tiap dengar panggilan ‘ndut!’ karena obesitas bisa menyebabkan kematian, sama halnya kayak anoreksia. Korbannya pun nggak sedikit. Oke setuju! Cuma, yang bikin hal ini jadi wagu adalah masalah timbangan justru kontrolnya murni ditangan penderita! Sama macam perokok atau pecandu putau. Jadi apa pulak dasarnya yang bikin para gendut gembrot ini minta hak eksklusif kalau urusan perutnya harus disejajarkan sama suku, agama dan ras sementara dia yang nggak mau ngelepasin donat dari tangannya untuk memulai cardio tiap pagi? Lagipula lipatan lehernya pulak yang kelihatan paling awal, maka kalau terjadi keributan ya refleks bakal itulah yang jadi serangan diwaktu fajar.

            Gitu jugalah Kakang, pas dia sadar kalau Anang tersinggung kena kata ‘Jawa’, makin gatal mulutnya. Kan kita misal udah marah, kalau bisa hinaan ini menusuk pulak sedalam-dalamnya meresap ke rapuh seorang perasa. Maka ditambahkan pulaklah sama Kakang: “Pantesan kau ada dimana-mana! Nggak malu kau numpang di kampung orang karena dari moyangmu udah nggak punya harga diri, dirampok sama Belanda!” Katanya.

            Cobak eda bayangkan.

            Toeng! Teringat tentang cerita kakeknya soal migrasi, kuping Anang terpecah belah akibat humiliasi. Dari matanya ketahuan, apapun bentuk relasi yang mau dibangun Anang sama si Kakang, runtuh sudah. Istilah ‘sobat karib’ cuma akan tinggal di lirik lagu. Mau dibalas pakai istilah ‘Batak biadab’ pun hendaknya kembali mencuat di kepala Anang. Wajar! Hanya saja selama tinggal bersama, si Dian tak pernah pulak maling duit didompet Anang, jadi stereotipe maling dari Medan serasa tidak relevan. Tapi juga, entah Dian Batak atau bukan pun tak jelas juga kok, orang bapaknya pun jualan sate. Tapi apalah arti itu semua? kalau kata penulis novel Jumper: “Nasi sudah jadi bubur tapi bisa ditambah suwiran ayam dan cakwe”, di kasus hinaan ini malah tak laku. Nasi sudah jadi taik. Maka hal yang Anang bisa lakukan adalah pakai baju, ambil kunci kontak, terus langsung cabut dia keluar kamar sambil menarik tangan dia punya pecun yang kebingungan. Si Kakang ini lagi ngos-ngosan, tapi emosinya turun drastis. Gurih kali rasanya tadi ngucapin kata ‘Jawa’. Macam ada rasa kenyang di perutnya. “Tenang sekali ini aku tidur” pikirnya.

            Tenang dari Hongkong! Memang sempat dia tidur pulas barang satu-dua jam, tapi tiba-tiba terbangun karena suara grasak-grusuk, matanya melek pelan-pelan tapi pasti: Hal pertama yang disadari Dian justru kondisi kedua pergelangan tangannya yang diikat tali rafia di depan perut. Nggak terlalu kencang, tapi ya susah dilepas. Telentang diatas kasur busa kamar kosnya, dia menoleh ke bawah: Dia nggak lagi pakai celana.

            Karena dia telentang, gitu melek harusnya yang pertama dia lihat itu pintu kamar, tapi didepan pintu sekarang ada Anang lagi berdiri sinis, tangan kirinya masuk kedalam boxer. Disini langsung lampu otaknya Dian menyala. Nggak sulit sama dia buat mikir sampai ketemu kesimpulan kalau dia bakal disodomi.

            Sekarang ini.

            Iyalah! apa lagi? Hinaan apa rupanya yang sanggup ngimbangin tingginya fondasi kalimat ‘moyang nggak punya harga diri’, dengan timing delivery sesempurna tadi? Kalau bisa si Anang mikirin yang lebih canggih pun, timing udah lewat. Udah nggak ada lagi kesempatan buat Anang untuk nyakitin perasaan Dian secara verbal. Anang tau itu. Dian pun. Dan dua-duanya sama-sama tau soal humiliasi yang cocok buat penyetaraan, sebab Dian nggak buta warna. Dihadapannya: Anang bela-belain pakai jersey sepak bola warna oranye dengan nomor punggung 10. Dimana atasnya angka 10 ada nama Ruud Van Nistelrooy. Jadi jelas bukan pendarahan rektal yang dikejar. Kalau cuma buat darah-darahan ya tinggal sogok-sogok pakai timun kan koyak[8] juga anusnya. Tapi No! Semua harus natural dan jenuin.

            Sayangnya semua tidak berjalan sesuai rencana. Anang lupa memperkirakan faktor x di lapangan, yang mana ternyata yang paling ‘vital’ pulak. Persiapan udah lengkap tapi pas mau eksekusi, penisnya pulak yang masih nggak ikhlas. Rupanya tadi niat si kawan ini mau langsung main hajar dari si Dian masih pulas. Tapi peler-nya ngerasa kecil hati, kecewa merasa diperalat demi kepuasan batin semata. Jadi selama Anang berusaha negosiasi dengan remas-remas lembut, sekalian diikatnya Dian tadi biar nggak keluar faktor-faktor x lain.

            Sampai Dian melek pun ternyata nggak luluh juga si Johnny 23, terpaksa masuk ke Plan B lah! Cara Bar-bar. Belum sempat ngomong apa-apa, Anang langsung menerkam dan ditunggingkannya si Dian tadi. “…Kalau kena kulit sama kulit ngaceng juganya nanti! Tinggal merem, bayangkan pantat Siska…” Pikir Anang mungkin. Namanya situasi mendesak, Dian pun nggak bakal menyerah gitu aja lah pulak. Sambil meronta, melawan juga dia.

            Masalahnya begini: Praktek anal yang sukarela pun, pelumas mutlak dibutuhkan. Bedanya, pengolesannya cuma butuh gaya, bukan teknik. Jadi untuk mengatasi hal ini, Anang pilih jalan pintas: Disiramkannya satu rantang penuh minyak jelantah ke pantat Dian. Yang luput dari perhitungannya adalah, pas minyak jelantah tadi ngoles kemana-mana, rupanya sampai juga kena ke tali pengikat tangan. Kan super-ultra-dungu.

            Kesimpulannya, jangan coba-coba perkosa laki-laki dengan kepala panas. Seratus persen kemungkinan tangan korban jelalatan sampai berhasil menejangkau pensil 2B yang akan dipakainya buat menusuk-tusuk lehermu sampai patahannya tinggal di dalam. Kalau udah ketusuk di leher, kau tutupi dua tanganpun tetap ngocor darahnya. Makin lama makin buram pandanganmu, jatuh kau tergeletak, hilang sadar. Kalau udah hilang sadar, nggak sampai setengah jam pun udah wasallam kau.

 

. . .

 

            “Maka, sejak tiga tahun lalu berakhirlah sudah kisah seorang Ardiansyah yang harus menutup babak hidup dalam menimba ilmu, dengan pengalaman percobaan perkosaan. Setidaknya, dia mulai selalu pasang mata dibelakang kepala. Di depan sana akan selalu ada janji yang lebih baik. Mudah-mudahan.”

            Kau pasang dulu kuping Dian ke kupingmu, supaya kau bisa dengar kalimat diatas terus-menerus diucapkan oleh Morgan Freeman dengan suara yang otentik, sejak dari kau lari malam[9] meninggalkan kota Jogja untuk selama-lamanya. Narasi yang pasti keluar pas otakmu lagi kosong, galau, atau pas kehabisan duit. Dari jam sepuluh tadi pun, itu itu terus yang kau dengar sampai akhirnya kau mutusin untuk keluar rumah tengah malam mau kekedai Mawan, paling enggak bisa numpang begadang! nonton kek, ngobrol kek. Rokok pasti aman. Jalan kaki pun hajarlah, pikirmu.

            Dan yang namanya rejeki memang selalu nggak ketebak! Pucuk dicinta ulam tiba: Ada pulak mobil pickup Jepri parkir didepan sana, kan cocok kali gitu. Bersujud-syukur kau atas keputusanmu keluar dari rumah yang paling membosankan itu. Kalau nggak minum, main poker, berarti nonton film bawaan Jepri orang itu semua didalam. Biarpun Jepri orang Jawa, tapi Dian kan nggak rasis.

            Kurang manis apalagi cobak? Ha? Ha?

 

[1] Ibu

[2] Obrolan

[3] Slang: Tanpa modal

[4] Lonte

[5] Berulah suka-suka

[6] Kulit hitam

[7]Liar menjengkelkan

[8] Robek

[9] Idiom: Kabur

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Thantophobia
1147      654     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
1734      653     2     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
Cinta (tak) Harus Memiliki
4670      1198     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
Bad Wish
14779      2150     3     
Romance
Diputuskan oleh Ginov hanya satu dari sekian masalah yang menimpa Eriz. Tapi ketika mengetahui alasan cowok itu mencampakkannya, Eriz janji tidak ada maaf untuknya. Ini kisah kehilangan yang tidak akan bisa kalian tebak akhirnya.
PENTAS
926      566     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Pillars of Heaven
2592      825     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
Simplicity
8692      2128     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
The Journey is Love
593      408     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Survival Instinct
243      202     0     
Romance
Berbekal mobil sewaan dan sebuah peta, Wendy nekat melakukan road trip menyusuri dataran Amerika. Sekonyong-konyong ia mendapatkan ide untuk menawarkan tumpangan gratis bagi siapapun yang ingin ikut bersamanya. Dan tanpa Wendy sangka ide dadakannya bersambut. Adalah Lisa, Jeremy dan Orion yang tertarik ketika menemui penawaran Wendy dibuat pada salah satu forum di Tripadvisor. Dimulailah perja...