00.15
LIDAHNYA SUSAH BILANG ‘R’. “Gambarnya belum ori[1] tapi udah bisa ditonton. Kalau nggak terang sekali ini, balikkan lagi aja bang.” Kata mulutnya yang cadel. Kan enak kali dia nyerocos. Perkara tujuh ribu perak kau suruh aku bolak-balik Berastagi-Kabanjahe. “Iya kan ku ganti bang.” Kau ganti sama apa Njeng? Kopian sama yang cuma beda sampul? Mati aja lah kau.” Gumammu sendiri, karena kau sekarang ada dikepala Jepri.
“Sampai pagi pun kayaknya tak bakalan turun dongkol ini. Udahlah kita tunggu-tunggu dari kapan tau, pas dapat rupanya filmnya pulak macam taik. Kopiannya, bukan filmnya. Kalau filmnya udah pasti jamin. Bruce Willis lo itu. Jangan main-main sama Bruce Willis. Di gas[2]-nya kita semua. Berapa pun kita bawa kawan kita, selesai semua. Waktu di Die Hard, sendiri dia padahal. Sendiri! Pakai sepatu pun enggak, sanggup di gas-nya Hans Gruber satu gedung. Padahal disitu cuma polisi dia. Apalagi Tears of the Sun ini, udahlah dia tentara elit, anggotanya pun satu pleton pulak. Bukan tentara sembarangan itu. Yang kau baca dari Cinemags, katanya mereka dikirim ke tempat Entah-apa-namanya, untuk jemput si Monica Bellucci. Tapi Bellucci-nya tak mau ikut kalau pasiennya ditinggal. Dokter dia disitu. Jadi terpaksa orang itu semua jalan lewat hutan dulu baru bisa dijemput. Disitu lah ceritanya mulai. Eceknya[3], mengawal penduduk sipil dari hutan ke tempat aman. Hutan. Pantatlah! Hutan pulak. Udahlah main di semak-semak, terus filmnya jalan dari pas malam pulak. Udah gitu Bruce Willisnya pun pakai semir hitam pulak mukanya! Apa lagilah yang bisa kunampak!? Seratus kali ku naik-turunkan Brightness sama contrast TV, makin kacau gambarnya. Untung nggak ku lemparkan remote tadi pun.” Kau menggerutu sendiri.
Itulah yang ada di benakmu, bahkan sebelum ditelepon tadi. Terus-terusan berputar dari jam sebelas. Jadi selagi Mawan nunggu kau datang sambil ngacadikamar mandi, kau pun nggak berhenti menggerutu. Bukan masalah duitnya, tujuh ribu perak rokok pun tak tembus. Cuma perkara udah kepingin tapi tetap tak dapat, sakit kali itu. Saking dongkolnya, kau paksa matamu merem, agak kau bayangkan kau tinjui si tukang bajak film itu. Mungkin orang cina, Entahlah. sebab tulisan Cina pulak teks filmnya. Atau pengecer yang banyak mulut itu kau balikkan meja jualannya. Intinya soal pelampiasan! Biar tenang. Sudah agak puas, tidur juga kau akhirnya. Yang baru-baru mau agak nyenyak, pelan-pelan makin ringan badanmu tadi. “Sekalian besok pagi ajalah kalau mau mandi.” kau gumam sendiri. Karena kau Jepri.
Jadi, begitu pas lagi enak-enaknya kau tidur mangap tadi, masuklah pulak telepon si Mawan itu. Kan! Ish, anak itu nggak pernah sekali pun nggak nyusahin orang. Cobak. Udah dia minta tolong, dia pulak ngomong lebih sengak[4]. Dari dulu, tiap hari gitu. “Dimana kau Jep? Jemput aku dulu, mau diramaikan orang aku ini.” Katanya. “Iya, sabar” kita bilang, marah dia! “Sabar ko bilang, pisau orang ini nggak bisa sabar, anjeng! Cepat kau.” Katanya. Apa gitu ngomong? Cobak. Terakhir, kita juga ikut terseret masuk ke masalahnya. Ya cemana nggak mau ditusuk orang, orang dua minggu pulak dilarikannya si Anis, lonte Parloha. Penyakit sama kawan itu memang! Kalau urusan lakang[5], lupa dia kalau sengak + pisau = 6 liang di perut.
Kemarin disuruh Perot dia nanya kejelasan soal masalah sama Santana. “kalo masih berkilah dia sekali ini, balik-balikkan meja kedenya itu, Wan.” kata Perot. Terus: Dia yang disuruh, kita pulak lagi disuruhnya! Alasannya, “Aku nggak enak sama Santana Jep, kan kau tau aku cemana sama dia.” Katanya pulak. Mana bisa gitu. Kalau kita kerja ya kerjalah! Kalau susah, sikit sikit “Jep!”, susah sikit-sikit “Jep!”.
Masalah makan pun bisa anak itu recok[6]. Sama Brewok juga itu. Kelahi bolak-balik, untuk kesekian kalinya. Sekali dulu pernah dihantaminya Brewok pakai asbak rokok perkara rebutan acar. Udahlah yang satu susah tahan emosi, yang satu lagi pun ada diantara paok[7] atau sok. Paok-paok Pukimak. Brewok disuruh jalan beli nasi goreng ke kedai bang Jaman, “punyaku banyak acarnya, bilang.” Pesan Mawan. Menyahut pun tidak si Brewok tadi. Entah gara-gara lupa atau kenapa, yang jelas pas datang nasi, Brewok pulak yang paling banyak acarnya, sementara punya Mawan cuma tiga biji. Tersinggung dia kurasa. Di gas-nya Brewok tadi “Ketepak-ketepuk” belum puas juga, tambahinya lagi pakai asbak.
Disitu palak[8] juga kau sebenarnya. “Kau beraninya pun sama anak-anak, kita sekali main, marih[9]!” Teriakmu depan mukanya pas lagi ngangkat asbak berdarah dari hidung Brewok.
“Ayok, diluar kita tonggal[10] sekarang. Marih.” Kau tantang. ‘Tonggal’ kan satu. Satu-persatu maksudmu. Ciut juga nya dia.
Makanya tak usah heran lagi kalau dia nelepon pakai suara memelas. Bosan kau dengarnya. Yang ada selama dijalan kau cuma menggerutu sambil menebak-tebak skenarionya. “Udah pecah kepala Kambeng, Jep.” Pantat sama dia. Kambeng korbannya hari ini. Ada apa pulak lagi? Suruhnya Kambeng beli rokok, Kambeng nggak mau. Terus pasti nyolot mulutnya, nggak senang Mawan! Di gasnya pakai asbak, bocor kepala anak orang. Halah, Mawan… nggak usah cerita lah! Lagu lama.”
Awalnya cuma ngomong dalam hati, tapi lama-lama mulai mulutmu komat-kamit pakai suara diujung mulut: “Nah, sekali ini kalau ternyata parah, kau jangan mau ngurusin lebih lanjut. Bawa ke rumah sakit? okelah. Tapi giliran bayar-bayar apapun: PATAT[11]! Bilang ke mukanya itu. Suruh dia bayar sendiri.” Sampai di klinik nanti, langsung aja kau tinggalkan. Apapun yang mungkin bakal dibilangnya samamu, mohon-mohon, tolong, ini-itu hantu-belau[12], nggak usah di terge[13]. Yakinlah kau, nanti pasti ada dia jual-jual nama Perot. Kalau sampai kesitu, tinggal kau balikkan lagi sama dia: “Aku yang ngomong sama Perot.” Bukan yakin lagi, tapi kau tahu. Entah cemana pun nanti model kalimatnya, tapi pasti keluar dari mulut Mawan persoalan soal Perot. Karena si Mawan ini udah dapat ultimatum dari kepala suku itu. Tahu lah Perot kan, kalau A bilangnya, ya harus A. Kalau sama Bruce Willis pun kita takut, berarti sama Perot harus kita buntad. Buntad, orang nggak takut sama Tuhan, tapi buntad masuk neraka. Kau nggak takut mati, tapi bayangkan kalau kaki tanganmu diikat biar nggak bisa lari, terus keluar Beguganjang[14] sambil asah kelewang mau ngerajang peler[15]-mu, udah pasti kau buntad. Ingat ekspresi Yogi beberapa detik sebelum lengket parang di kepalanya? Itulah buntad.
“Biar ngerti dia tanggung jawab. Tak bisa macam begini terus. sikit-sikit emosi? Gas. Sikit-sikit emosi? Gas. Udah tua kita. Udah Bisa belajar.” Kau gumam lagi. Bicara sendiri kau di jalan itu. Kesal kali luar biasa. Palak kau. Tahu lah kalau orang sampai palak itu bisa jadi macam apa, iya kan? Kalau kesal itu diam, marah itu teriak. Palak itu gigit.
Jadi begitu sampai di jalan depan Bioskop, kau berhenti di samping trotoar diseberang kedai. Parkir agak jauh biar nggak dengar Mawan suara knalpot mobilmu. Kalau ternyata Kambeng sampai nggak sadar, otomatis mobil ini yang diharapkan. Kita lihat situasi dulu, apa katanya sekali ini. Kalau perlu, tinggalkan kunci. Bisa jadi anak itu periksa-periksa kantong.
Sambil jalan, perhatikan situasi didepanmu, keliling. Lingkungan sekitar bioskop. Jalan Beskop. Kau sama Mawan ini termasuk anak Beskop. Dari kecil udah main-main di Beskop. Taikmu sama taik Mawan paling banyak di Beskop. Jalan Beskop disebut jalan Beskop karena status bioskop Milala di Berastagi sebagai satu-satunya bioskop. Bangunan paling besar pulak disitu. orang-orang pada kumpul di sekitar bioskop. Kalau naik angkot, penumpang bakalan bilang “Beskop ya Pir!” sama sopir. Kalaupun kau di SMS kawanmu pas lagi main meja bola, kau bakal balas “di Beskop.” Padahal Bilyard si Cikang masih berapa puluh meter lagi dari Jalan Beskop. Kalau kau buka konter pulsa di depan kedai Mawan, kau kasih namanya “Beskop Ponsel.” Sampai kiamat namanya bakal tetap Jalan Beskop, walaupun bioskopnya udah lama tekor.
Tapi sempat jadi primadona! Terakhir kali booming tahun 1998, satu Tanah Karo heboh berkat film Kuch Kuch Hota Hai yang tayang enam bulan setelah filmnya rilis worldwide. Padahal disitu krismon lagi pahit-pahitnya. Yang dari kecamatan ujung-ujung, kayak Ujung Teran sampai Ujung Aji jadi satu semua kumpul di jalan Beskop. Berangkat via truk sayur, belasan kilometer mereka susun-gembung di bak belakang tanpa istilah gerbong khusus perempuan. Jalan Beskop waktu itu sepuluh kali lebih padat ketimbang barak pengungsi korban gunung Sinabung. Sebulan lebih berturut-turut.
Sebetulnya jadwal tayang film harusnya cuma dua hari, tapi secara sebegitu membludaknya ibu-ibu sama aron[16] yang mau lihat Shahrukh Khan, manajer bioskop harus putar kepala buat memenuhi permintaan. Para aron malah rela absen menyempot kol, walaupun diancam PHK sama yang punya ladang. Bodo amat. Soalnya bukan cuma persoalan jualan karcis, tapi efeknya bisa turun sampai ke bocah macam si Nuar. Bayangkan, tiga hari tak masuk sekolah karena pas hari pertama jualan tisu, duitnya dibelikan Tamiya pun masih sisa. Apalagi dia punya selundupan Prekat[17]dari oknum dalam bioskop -besar kemungkinan tersangkanya anak manajer sendiri yang kawan akrabnya- buat nonton gratis dan dijual lebih mahal daripada Ardath[18] satu dos. Padahal Prekat itu jatah buat anggota keluarga pegawai bioskop, itu pun tetap juga terbatas. Macam bang Sani yang bininya dua anaknya lima, nggak semua juga bisa kebagian. Jalan Beskop sempat berubah jadi pasar serba ada. Mulai dari Selop, mie gomak, sampai poster Guns N’ Roses ada yang jual. Yang punya kedai semuanya pasang meja di pinggir jalan. Disitulah Nam-Kyang mengecat pantat gelasnya pakai cat minyak warna merah, biar nggak tertukar sama gelas Mawan. Di kaki lima kedai, ada yang jualan salep sama minyak oles. Sempat-sempatnya dia bawa terenggiling utuh yang diawetkan buat display, sama album yang isinya kompilasi foto-foto korban penyakit kulit. Tukang Koyo, istilahnya. Di trotoar itu dia gelar tikar, kita mau lewat pun susah. Didepan warung Andalas, remaja tanggung jualan yang dia sebut Spull gitar untuk gitar yang akustik supaya bisa jadi distorsi. Tinggal dicolokkan ke tape deck langsung bisa main opening riff lagu Smoke on the Water. Samping tukang spull, anak asal Tembung buka problem Skakmat di papan catur. Sekali main bayar Rp. 2000. Aturan mainnya: Yang bisa bikin skakmat maksimal tiga langkah, dapat Djie Sam Soe satu bungkus.
Karena itu, film tadi diputar non-stop satu harian. Mulai jam 9 pagi sampai jam 12 malam. Itupun orang-orang pada rela nonton nggak duduk. Sayangnya deadline cuma boleh tayang selama dua hari. Habis itu harus segera dioper ke bioskop Permata di Kabanjahe karena giliran. Maka pas malam-malam di hari pertama, manajer bioskop yang biasa dipanggil pak Manajer ngajak rapat di kedai Mawan sama satu orang ini yang sering kali disebut-sebut Pa Perot, si kepala suku. Kabarnya dia yang pegang satu Berastagi ini. Ada yang bilang dia mantan sopir ALS, ada juga yang bilang dia asli Malaysia. Yang jelas, dia yang punya rumah bernama Gedong Kuning di bukit Gundaling. Bangunan eksklusif yang kejadian didalamnya eksis dilingkup antara mitos dan isu. Cuma Tuhan yang tahu. Tato di lengannya gambar malaikat di sampul album Led Zeppelin, rumor yang beredar dia pernah empat kali ditembak petrus utusan pemerintah Orde Baru. Alasannya kenapa mesti rapat di kedai Mawan, nggak jelas. Tapi paling mungkin terkait soal produk andalannya. Pas waktu itu cuma kedai Mawan yang masak air pakai kayu bakar. Turun temurun itu. Sebelum besok-besok pada dicontek kedai-kedai lain.
Keputusan dari hasil rapat bilang kalau Milala tetap bakal menayangkan film yang sama, walaupun sampai waktu gantian giliran Permata. Solusinya, Mawan anak muda tukang teh susu yang ditunjuk jadi kurir untuk antar-jemput rol film. Oh! Di satu kabupaten ini cuma ada dua bioskop. Dan stok filmnya yang mau tayang pun cuma ada satu. Untungnya, satu durasi utuh film India itu dibagi jadi dua belas rol. Makanya di situasi macam begini, kalau dua bioskop mau tayang film yang sama di hari yang sama, mau nggak mau harus dibedakan jam tayangnya, biar rol filmnya bisa dioper-oper Berastagi-Kabanjahe. Jadi, kalau di Milala orang lagi lihat adegan Anjali ketemu Aman, berarti di Permata Rahul sama Anjali masih kuliah. Dan jangan sampai filmnya putus ditengah cuma gara-gara yang bawa rol telat nganter. Besok bisa-bisa tak datang lagi yang dari ujung-ujung tadi. Tugas Mawan lah itu. Karena bebannya pun besar, jadi Mawan ngajak Jepri. Berdualah orang itu jadi kurir, gantian bawa kendaraan. Di usahakan waktu tetap presisi, biar Mawan juga nyambi jaga kedai. Jam 12 malam baru lapor sama Pa Perot langsung. Gitulah makanya lama-lama orang berdua ini jadi makin akrab sama kepala suku tadi. Beres pulak kau kerja, dua-dua. Disuruh apapun “Iya bang”. Terus inisiatifmu jalan. Ya cemana, sampai sempat kau culik pulak manajer bioskop Permata tadi!
Jadi ceritanya kan pas seminggu kau berdua antar-mengantar rol film, di Permata ternyata tak pernah ada orang yang nonton. Paling satu-dua orang. Padahal kelas bioskopnya sama. Ukuran layar sama, kursinya sama-sama rotan. Harga tiket sama, merokok pun didalam suka hati kau. Tapi nggak ada yang datang. Kosong melompong sementara di Milala macam parade tujuhbelasan. Jadi pas malam jam lapor-laporan, Mawan ngomong sama Perot. “Bang di Permata sana nggak ada yang nonton. Kesini semua orang” Katanya. Kaget si ketua, “Serius kau?” katanya. Ditambahi Mawan lagi, “Dua orang cuma yang nonton. Bagus dua orang tadi kubonceng kesini ketimbang aku bolak-balik ngantar rol kesana.” Katanya. “Gitunya? Yaudah nanti aku ngomong sama manajernya lah.” Tutup Perot.
Tapi namanya anak muda darah panas, malah kau pulak duanya yang nggak sabaran. Jadilah pagi-pagi kau berangkat sama Mawan ke Permata, tapi nggak bawa rol film. Sampai disana malah manajernya dijemput paksa, bawa pulang ke Milala buat langsung menghadap sama kepala suku. Sadis! Malamnya memang ngomel-ngomel Perot tadi, tapi hasilnya toh Kuch Kuch Hota Hai tadi tayang terus-terusan sebulan lebih.
Sampai akhirnya yang nonton pun bosan-bosan sendiri. ‘Pengungsi’ pada pulang, Jalan Beskop balik mereda. Di penghujung minggu keempat, tukang spull gulung tikar. Meja Nam-Kyang pun udah balik lagi masuk dalam kedainya. Kecuali tukang catur, anak itu dari hari kelima pun kemarin udahpulang duluan dia. Ya cemana bikin? orang problemnya tadi udah dites duluan pakai papan caturmu sendiri di kedai Mawan! Lirik sebentar ke problem, balik ke kedai langsung cari solusinya. Dapat, balik ke tukang catur dan pasang! Djie Sam Soe tukang catur tadi habis kau sikat terus-terusan. Lima hari berturut-turut digitukan, ampun dia. “Bang, aku cuma cari makan disini.” Katanya. “Aku pun cuma nyari rokok.” Kata Mawan pulak. Minggat lah anak itu tadi pulang ke Tembung. Tukang Koyo yang bertahan agak lama. Dua bulan lebih dia disitu. Pelanggannya rata-rata ibu-ibu yang lewat jalan kaki habis belanja dari pasar. Pasar becek soalnya, jadi besar resiko kutu air.
Di sisa bulan kedua, seharian nongkrong di trotoar, ujung-ujungnya capek juga tukang koyo tadi ngejelasin terus-terusan soal pertanyaan Mawan macam mana cara dia mengawetkan terenggilingnya. Dan dengan gulungan tikar tukang koyo tadi, sekaligus juga ternyata jadi penanda habisnya masa-masa kejayaan bioskop Milala di Berastagi. Performa Shahrukh Khan ibarat bentuk pesta spektakuler terakhir yang dimaksudkan sebagai acara perpisahan terhadap petani dan pedagang sebagai penggemar setia Amitabh Bachchan sama Mithun Chakraborty. Terima kasih atas sudah bertepuk tangan riuh saat Mithun meloncat dari kobaran api dengan kuda hitamnya. Ngomong-ngomong, ini betulan. Penonton Milala betul-betul teriak tepuk tangan tiap lakonnya muncul secara heroik di detik-detik terakhir keputusasaan. Di film Lawaris, seluruh bioskop bersorak gembira waktu Dharmendra nangkep peluru pakai tangan kosong. Nangkep.
Jadi bisa kau bayangkan kekmana mereka kecewanya waktu Anjali mau kawin sama Aman disaat Rahul berusaha memperbaiki keadaan. Bisa kau dengar harap-harap cemas mereka waktu terakhir Rahul lihat bintang jatuh dari jendela. Istimewa kan, Jep?
Itulah terakhirnya. Setelah itu, Jalan Beskop cuma punya cerita dulu. Sebab habis itu, teknologi manual proyektor mulai berkonveksi jadi digital. Distributor tak lagi ngedarin film pakai rol-rolan yang panjangnya minta ampun. Gampang kali pulak terbakar. Terakhir ya seleksi alam. Pelan-pelan tapi pasti, Milala tidak bisa lagi ikut nayangin film-film baru. Stok judul film format seluloid pun makin lama makin terbatas, udah kadung masuk lemari arsip. Mau nggak mau ya jadinya itu-itu aja yang ditayangkan. Kalau bukan Karan Arjun atau Delta Force, berarti Tutur Tinular. Penonton pun gugur satu-persatu.
Sebetulnya dulu pas tiga tahun setelah Kuch Kuch Hota hai, sempat ada percobaan revival dari manajer. Kolaborasi bareng dia sama Perot, orang itu nyoba bikin lagi acara macam kemarin dengan harapan bisa agak-agak mirip fenomena sebelumnya. Kali ini target yang dikeker untuk tayang judulnya Kabhi Kushi Kabhie Gham. Shahrukh Khan sama Kajol juga soalnya. Kabar dari Medan, yang ini jauh lebih sedih lagi! makanya 3 bulan pun masih belum turun layar di bioskop 21 Medan Plaza. Jadilah manajer sama anggotanya ber-praproduksi-ria dengan beres-beres rumah lebih dulu. Teater disapuin, dikasih pewangi, kursi-kursi yang rusak agak ditutup-tutup atau disumpal busa. Ya, seadanya lah. Yang penting layak dulu. Setelah rumah beres, barulah dihajar orang itu cabut ke Medan, hunting ke seluruh distributor dengan mimpi mau ngasih harapan baru terhadap penggemar di kampung halaman yang udah rindu sama Amitabh Bachchan -sama duit juga lah pasti, yang ini nggak usah dibahas- sekalian langsung pesan lukisan raksasa ukuran 7x30 meter buat poster utama yang bakal dipajang di spasi iklan diluar bioskop. Di wajah utama tepat dibawah instalasi nama MILALA, tersedia tiga spasi masing-masing berukuran 7x10 meter buat poster pemberitahuan tentang pemutaran. “Sedang Tayang”, “Besok Malam”, dan “Akan Main”. Tapi kali ini, ketiga spasi bakal dipakai khusus buat film andalan. Kata Manajer, “Gambar Shahrukh Khannya harus pelukan sama Kajol semesra mungkin.”
Sialnya, sudah pun keliling sampai mau masuk ke daerah Pakam, nggak dapat juga film tadi. Ngapainlah sampai masuk ke Pakam, ATM pun disana nggak ada. Selidik punya selidik ternyata Kabhi Kushi tadi sudah tak tersedia lagi di format seluloid. Kalau mau ya digital. Kalau mau mutar format digital, satu-satunya cara ya ganti proyektor! Kan dah lucu gitu[19]. Terlanjur sudah jauh cari sana-sini, masa pulang nggak bawa oleh-oleh? Manalagi bersih-bersih rumah pun udah makan biaya. Apalagi selain salah satu biaya paling mahal, poster pulak pun udah di DP [20]. Jadi cemana solusinya?
Prinsip pak Manajer, “kalau bikin tato tai lalat pun seratus ribu, mending tambah sikitbikin tai kambing sekalian.” Datanglah mereka ke tukang lukis poster tadi. Maksud awal sebenarnya mau cancel pesanan. Tapi ternyata gambar sudah terlanjur dilukis. Dan entah habis minum apa si tukang lukis ini, kok lah tumben kali yang ini bagus pulaklukisannya. Memang masih nggak terlalu mirip, tapi dapat kali feel-nya! Biarpun judul filmnya belum dibuat. Jadi dapat ilhamlah pulak si manajer ini. Maka dengan penuh keyakinan dia ngomong sama pelukis, “Geng, kau bikin situ judulnya: Kuch Kuch Hota hai 2”.
Pulang ke Berastagi, langsung si Manajer pasang toa[21]diatas angkotsewaan, diajaknya raon[22] ke semua kampung sambil berkoar-koar, “Saksikanlah beramai-ramai kelanjutan kisah cinta Rahul dan Anjali, minggu depan di bioskop Milala.” Tapi dimanalah dapatnya film judulnya Kuch Kuch Hota Hai 2? Cobak. Kan nggak ada. Jadi pas hari H, adalah beberapa massa yang datang cukup buat mengisi kursi teater, walaupun gerombolan truk sayur belum hadir di lapangan. Itu memang yang ditunggunya, tapi tetap “Awal yang lumayan lah.” Pikirnya. Jadi pas sampai jam yang dijanjikan mau tayang, maka diputarnya lah film yang sudah disiapkannya tadi. Rupanya film keluaran tahun 1994 judulnya Dilwale Dulhaniya Le Jayenge. Memang pas pulak yang main Shahrukh Khan sama Kajol, tapi kan pukimak kali gitu. Orang Ujung Aji pulak yang mau ditipunya, sementara orang itu lebih luar kepala judul-judul film Akshay Kumar ketimbang nama-nama wakil presiden. Maka makin terpuruklah Milala tadi.
Jadi nasib bioskop sekarang ini, cuma tinggal tunggu tanggal runtuh bangunannya. Pintu lobinya tergembok sampai berkarat, kursi ruang tunggunya dipereteli buat dipakai jualan mie ayam babi. Langit-langit teaternya jadi sarang burung walet. Poster-poster filmnya gagal diselamatkan. Rusak luntur kena tetesan bocor dari seng. Tulisan MILALA diatas atap pun udah roboh huruf L sama A nya. Toa di huruf I nya hilang diambil orang. Kalau dulu itu dipakai buat memutar lagu The Bee Gees – To Love Somebody setengah jam sebelum film mau tayang. Kalau runtuh bioskop ini, runtuh juga lah kedai Mawan sama Nam-Kyang. Karena satu bangunan. Satu di pojok kanan, satu di kiri. Syukur juga penghuninya masih mau usaha bertahan. Sedih juga kadang-kadang Jepri melihat keadaannya. Abis kalau jam segini, suara-suara sepi. Lampu-lampu udah mati, jadi gampang terjebak nostalgia.
Di kedai ini dari dulu tak pernah ada istilah salam, masuk ya masuk! Mau siang, mau malam tak pernah sekalipun ikut gaya Nam-kyang di seberang yang etalasenya ditutup terpal bagus-bagus, kursi disusun rapi, baru dikunci betul-betul. Kalau disini, di pel tiap hari pun udah bersyukur kita. Kadang kalau kumat malasnya, bisa tahan dia nggak di pel. Padahal taulah yang masuk kedalam sini dari segala planet ada. Rata-rata jorok kali semua. Apalagi si Alien. Ampun bah! Udahlah bau badannya macam duren basi, tangannya berdaki nggak pernah dicuci. Itupun sah dia jadi tukang daging. Fix, seluruh tampilannya jadi lawak-lawak[23]. Kau paham kenapa dia dipanggil Alien, jelas karena bentuk kepalanya yang tidak proporsional. Nggakusah tanya soal kepalanya, dia yang bakal mengungkit duluan, ujuk-ujuk.[24] “Kau tau kenapa kepalaku gini? Karena dulu sungsang tapi pas sampai kepala, aku yang nggak mau keluar. Baunya enak, bang. Gurih.” Astaga Laknat.
Akhirnya kau sebagai Jepri pun menggedor-gedor pintu kedai. Dari balik pintu kepalanya mengintip, celingak-celinguk ke ujung jalan, terus: “Lama kali kau!” katanya samamu.
Padahal tadi kau bilang di telepon “Aku udah tidur.”
“Masa satu jam dari rumahmu kesini!?” katanya pulak lagi. Terserahlah, yang penting kau mau masuk ke kedai dulu.
Tapi malah dihalangi Mawan, dia berdiri dibalik pintu. “Gitu kau masuk, jangan kau ribut ya?” katanya pakai nada mengancam pulak.
Tak usah terlalu dipedulikan. Toh, kau cuma mau masuk kedai, isi absen, terus balik kerumah. Ngantuk kau, kan cuma itu sebenarnya.
“Gitu kau masuk, jangan ribut mulutmu! -“Iya” bilang dulu- Iya’ah!” Teriak Mawan lagi.
Sengak kali kawan ini. Kau mau marah tapi yang pertama kau nampak justru muka Mawan yang putih macam mayat, keringat dingin pulak macam baru habis cuci muka pakai sabun wajah dari belerang campur air kaporit. Mawan ini paling takut sama ular. Trauma karena pernah hampir mati tenggelam di sungai Lau Gumba dililit ular piton 5 meter segemuk pipa paralon. Persis kayak gitu mukanya sekarang. Cuma tambah lebih jelek. Sejak dari telepon pun tadi nggak ada ungkit-ungkit soal ular. Jadi separah apa sih? Anak ini nonton film Blue[25] pun tak pernah pakai acara kunci pintu.
“IYA!” Kau teriak. Pelan-pelan dia kasih jalan sambil matanya terkunci.
Barulah pas masuk kau jadi sadar, deduksimu dari tadi menyerempet pun enggak. Matamu keliling ke semua sudut kedai, yang kau nampak cuma meja-meja disusun berderet, tumpang tindih rapi. Disisi kanan ada satu meja yang kayaknyabarusan digeser. Pasti tadi ada di tengah ini, orang kursinya ada dua. Berarti ntuk Mawan duduk, sama si Kambeng.
Oke.
Sekarang dilantai. Pion catur ada satu, dua, tiga…banyak kali semua pada berpencar di bawah. Terus ada lembaran duit dua puluh, lima puluh, cepek, banyak lembaran duit. Banyak kali. Tadi dari masuk kau udah disambut dengan muka pucat, didalam malah menyengat kali aroma kapur barus berampur sama Bay Fresh buat usaha nutupin bau amis. Ini dia, lantai baru dipel dari bekas genangan darah. Bekas pelnya mengarah ke: Tumpukan baju kotor warna gelap. Tumpukan baju ditutup kardus kulkas yang terbuka lebar, menggunduk. “Pukimak lah Mawan! Mampus kali kita. Tolong yang ini cobak kau bilang kejadiannya nggak kayak yang kupikirin sekarang” Kau bilang, mukamu ikut pucat.
Salah. Salah kali kau.
Ipda Nurhalim Hasibuan namanya, biasanya “Kanit yang bawa Taft GT ” kata orang. Tinggi, cepak, pakai gelang emas putih ditangan kanan. Itulah memang kadang nasib ini nggak-tau-tau kita. Yang kita pikirnya hidupnya tenang-tenang terus. Karir jalan, istri cantik, anak dua-duanya cewek, kemana-mana pakai kacamata hitam. Badannya mendukung pulak masalahnya. Apalagi? Iya kan! Mentereng awak[26]. Rupanya badan sama karir naik tinggi tapi mental tinggal di dengkul. Dua bulan divonis kanker prostat, pilih motong jalan si kawan. Hantamkannya peluru tadi ke jidatnya sendiri. Kan jago kali. Abis itu malah kabarnya dia jadi sumber inspirasi pulak.
Cobak eda bayangkan[27].
Jadi ceritanya si Kanit ini nulis surat sama istrinya sebelum maniknat[28]. Habis seharian ngajak keluarga main Roller Coaster sambil makan Kentaki[29] di Mikie Holiday, dia cipika-cipiki sama bini ketawa-ketiwi sampai malam setelah itu baru tiba-tiba tanpa angin nggak ada hujan: Dor! Kata pistolnya ke kepala sendiri. Kontan dia Lewat tanpa menggelepar. Tulisnya di surat, dia ragu kalau umurnya sanggup melewatkan bahkan satu kalender pun, yang mana udah pasti pulak tiap hari makin buruk kian kondisinya. jadi ketimbang sisa umur habis nyusahin bini, lebih baik: “Senyum happy kalian yang jadi kenangan terakhir untuk kubawa ke surga” katanya. Gara-gara kronologi itu jadi banyak orang yang jadi salut. Kekmana headline Koran Metro One? “Kanit akhiri cerita hidup lewat sepucuk surat cinta”. Yaelah, salut. Salut ngikutin kata koran. Koran ini apa kali rupanya? Drama. Ganti headline berani nggak? “Kanit percik-cik[30] bunuh diri karena pelernya busuk sampai ke telor.” Terus pasang foto keadaan terakhirnya di halaman 1. Kan sama si Nanang banyak kali itu. Kalau ada manifestasi yang berlawanan dari polisi film India, Nanang lah orangnya. Polisi India selalu datang terlambat, Nanang sudah di TKP sebelum ada kejadian. Cobak.
“Crak! Crek!” kata tustel[31] andalannya itu, besok tunjukkannya kau gambar yang bakalan lengket dikepalamu terus-terusan. Kalaupun kau udah biasa kali berurusan sama liang tusuk atau darah, tapi ternyata tetap muntah kontan kau abis dikasih tunjuk Nanang cetakan foto ukuran 10x10 tadi. Cemana enggak, satu frame di close-up rongga kepala yang menganga terbuka. “Kayak ginilah kau kalau ditempel beceng Jep. Pelor kaliber 32 masuk kepala, bukan cuma numpang lewat, tapi muter didalem dia, dikocoknya dulu otakmu jadi cabe giling. Abis itu, keluarnya maksa, secara puterannya didalem macam blender, keluarnya harus meledak-meletup. Macam batok kelapa jadinya kan?” Katanya bangga.
Mana mungkin kau bisa lupa sama gambar itu. Seminggu kau nggak mau makan, sampai istrimu pun merajuk. Pulang kerja kerumah, pasti semua orang lapar. Kalau lapar pasti minta makan. Kecuali kau. Bini udah masak enak-enak, begitu pulang kau sentuh pun tidak masakannya tadi. Terakhir bini merajuk, ribut dia malam-malam, disangkanya kau makan di rumah perempuan lain. Cobak eda bayangkan.
Nah dikedai ini sekarang, persis pemandangan yang sama. Pelan-pelan kau angkat gundukan yang ditutup Mawan pakai kardus kulkas. Ibarat sisa kepala Ipda Halim, tapi badan lebih kecil sama pakaiannya lebih murahan. Bantingkan saja semangka dari loteng rumah sampai terbelah dua dilantai. Itu “Dampak Balistik” kalau istilah Nanang. Tetap lebih cantik semangka tadi ketimbang kepala Kambeng. Karena hidung Kambeng sudah bukan tentang dua lobang lagi. Susah dibedakan itu bekas lubang hidung apa lubang tembusan peluru. ‘Gigi kelinci’ paling depan, pecah. Bibirnya macam sumbing tapi sobekannya naik terus sampai ke alis kiri. Bola matanya yang tadi terletak di lantai rupanya masih punya ekor yang tersambung masuk kedalam rongga. Menggantung tertutup pasir, kelilipan pangkat seribu. Ubun-ubunnya yang lumayan maknyus, yang tadinya tempat under-under rambut sekarang terbuka lebar, dalamnya macam gulai otak sapi di rumah makan Padang, tapi kuahnya merah.
“Cukiayam! Astaga kok berserak gini! kau apain ini Wan!?” Refleks mulutmu.
“Aku pun nggak tau kenapa…”
“Kekmana nggak tau!? Ko tengok pecah kepalanya ini!”
“Nggak tau! Tiba-tiba kejadian. Maksudku cuma tempeleng aja nya tadi. Trus[32] kelewatan… kutinjui pulak dia…” Kata Mawan, macam membela diri.
“Kenapa ko tinjui!? Apa dibilangnya samamu rupanya!?”
“Main catur tadi kami. Tapi besar kali mulutnya. Ntah apa aja dibilanginya samaku. Emosi lah, palak pulak aku. Kuhantami…” Katanya.
“Gilak kau! Masak gara-gara catur ko pecahkan kepala anak orang!?”
“Nggak tau aku kubilang!”
“Kekmana nggak tau!? Kan cuma kau duanya disini!”
“Iya trus kekmana bikin ini!? Nanti ko marah-marah! Stres aku ini!” Nada Mawan juga ikut naik.
Matamu melotot, tapi kau bengong sama jawaban Mawan.
“Kok kau pulak marahan? Pertanyaanku sendiri pun masih banyak ini! Kau tengok kedaimu ini! Kau tengok mukakmu itu! Kau tengok mayat itu! Ada apa ini? Kok bisa kayak gini!?”
“Masih kurang jelas apalagi samamu! bolong kepalanya kotengok itu!” Jelasnya.
Argumenmu tersedak dikerongkongan. “…kau apain Wan?”
Dari balik punggung, ditarik Mawan sepucuk Revolver.37 warna silver. Lemparkannya keatas meja. Gubrak! Larasnya sendiri berukuran lebih besar dari badan Mawan.
Kurang kaget apalagi kau, cobak. Tengok itu. Besi murni barusan dibantingnya. Meriam tangan warna silver buatan orang barat itu rupanya dari tadi ada di balik punggungnya. Apanya isi kepala si anjeng ini, udahlah dipukulinya anak orang, terus sempat pulak dia lari masuk ke kamar ambil beceng terus balik lagi kesini terus ditempelnya kemuka orang terus ditariknya pelatuknya! Terus sekarang malah ngeles[33] “nggak tau, nggak tau” bilangnya.
“Nggak dikamar, ada disini itu!” Kata Mawan sambil memuk-puk punggungnya.
“Anjeng! Ngapain kau main catur sambil bawa-bawa beceng!?”
Mawan kehabisan kata-kata. “Jep, nanti kau marah-marah. Kita urus dulu ini. Tolonglah.”
Tolong!? Enak kali mulutnya itu bilang tolong. “Enak kali mulutmu ‘tolong’. Nggak mikir kau, apa kata Perot nanti? Dimana otakmu ko tarok[34]? Pistolnya itu Mawan! Kau kalau disuruh simpen ya ko simpen, ngapain ko bawak-bawak dicelanamu?”
Mawan merebahkan diri ke kursi, napasnya naik turun. “Nggak bisa lagi ko diharapkan!? Ntah masih selamat pun aku besok, nggak tau aku. Aku mbentak-mbentak gara buntad patatku ini, masa sikitpun nggak wajar ko rasa!? Ko tengok gara-gara aku udah pecah kepalanya itu.” Matanya berkaca-kaca. Bibir bergetar.
. . .
Memang anjeng kau betul-betul Wan. Anjeng kau.
[1] Dari kata orisinil
[2] Hajar
[3] Ilustrasi. Dari istilah ‘Ecek-ecek’
[4] Petentengan
[5] Selangkangan
[6] Berisik
[7] Tolol
[8] Kesal
[9] Mari
[10] Sendiri
[11] Pantat
[12] Dan lain-lain / Et cetera
[13] Peduli
[14] Hantu tradisional
[15] Slang: Penis
[16] Buruh harian di ladang
[17] Free Card
[18] Merk rokok
[19] Komentar umum untuk sesuatu yang diprotes
[20] Down Payment
[21] Pengeras suara
[22] Keliling
[23] Lelucon
[24] Tiba-tiba, entah dari mana.
[25] Film porno
[26] Saya
[27] Ekspresi peneguhan argumen, biasa digunakan ibu-ibu komplek. “Eda” merupakan panggilan saudara perempuan.
[28] Tewas
[29] Ayam goreng tepung
[30] Penakut
[31] Kamera analog
[32] Terus
[33] Banyak alasan
[34] Diletak