Parloha:
Komplek lokalisasi pelacur di Desa Sempa Jaya, Berastagi. Karo, Sumut
/Mulut Parloha:
Istilah vernakular masyarakat tentang inkonsistensi seorang narasumber
(Mohon periksa Footnotes yang berada dibagian bawah tiap Chapter)
----
23:45
Belum pun ada lewat dua puluh menit Jepri kebablasan tidur mangap didepan TV. Padahal dua hari berturut-turut dikelilinginya Pajak Singa –pasar sore di Kabanjahe- cuma untuk cari kopian film Tears of the Sun. pas tahu kalau itu filmnya Bruce Willis, kalang kabut dia. Syukur akhirnya dapat di pengecer kaki lima depan tukang loak. Sampai dirumah jam sebelas lebih, itu duluan yang diurusnya. Tapi kadang suka kayak gitu memang kalau nonton VCD bajakan ini, gambarnya gelap setengah mampus. Apalagi kalau Will Smith yang main, mata sama gigi cuma yang nampak. Tapi ya cemana lagi? kita mau cepat! Masalahnya bioskop pun udah geser jadi jual bubur ayam. Proyektor busuk, gedungnya tinggal tunggu runtuh. Sekali ini[1] kalau ditiup angin, habis itu. Cuma disitulah orang bisa bilang: "Eh dimana bubur ayam enak? - Di Bioskop." Si Nam-Kyang lah pulak[2] jadi lakon utama. Cuma dia yang jual bubur ayam, tapi nggak ada ayamnya. Mulai dari minyak, bumbu, sampai lauk, babi semua.
Entah dari suara TV atau telepon dari Mawan, Jepri kaget tersentak di atas karpet. Getar-getar kantong celananya.
"Halo."
Dari balik telepon, suara Mawan gusar gemetar. Dia bilang: "...Jep, pecah kepala Kambeng."
---
23:30
ITU DIA ADA DIDALAM KAMAR MANDI, tengok betul-betul. Tengok. Dikuncinya pintu dari dalam. Lagi berkaca dia. Berkaca lihat kulit keriput, suram macam bapak-bapak umur lima puluh tahun mukanya. Giginya kian kuning gusi sering berdarah, kadang kalau ngobrol dia tutup mulutnya pakai tangan biar nggak tercium orang bau napasnya. Tatap ulang berapa kali pun, tak bakal berubah itu kondisi. Kapan terakhir kali dia keramas? Dua hari yang lewat. Jadi kok bisa tiap sisiran selalu ada rambut yang nyangkut? Dia jambak pakai tangan, sepuluh helai dapat. Lagi, keringnya minta ampun. Macam kebanyakan dosa. Sama macam kau.
Sekarang giliranmu, kalau masih bisa. Cobak tengok betul-betul ke seberang cermin. Tengok mukamu. Mata merah, bibir kering pecah-pecah, jenggot pun tak terurus. Seratus orang yang bilang kau kurang minum air putih. Tiap kali ke WC habis bangun tidur, kau sendiri pun malu lihat kencingmu kuning pekat macam Pertamax. Kasihan lah sikit[3] sama ginjal itu. Berapa kali sehari dia denyut menyelekit sampai mukamu meringis? Kejadian sama satpam, iya! Tapi gagang tonfa kan kena perut yang sisi kiri, cemana pulak imbasnya bisa sakit di punggung kanan bawah, kan nggak lucu. Dulu cuma nyut-nyutan, tapi makin lama makin pulak kau diamkan. Sekarang kalau kumat terpaksa kau tahan napas, kan? Sakit memang, sebanding sama ngerinya teror mimpimu tiap malam kalau besok kau bakal mampus karena gagal ginjal. Ngeri ketakutan kau lewati sejam-dua jam diam merenung. Tapi abis itu kau bantai lagi sebotol sendiri.
Mantap kali.
Masih ada sisa setengah. Alkoholnya 40%, rasanya terserah. Anggaplah dia mau sekedar tarik napas sebentar karena jantungnya meledak-meletup nggak karuan, dari tadi belum turun-turun. Sekarang lagi sendirian di kamar mandi, bersyukur yang tercium cuma bau pesing. Bayangkan beban kepalanya makin bikin tunduk karena bingung apa yang mau dia kerjakan duluan, karena dibalik pintu kamar mandi ada bau amis yang lebih parah dari pesing. Segumpal-gumpal pecahan otakmu berserak di sana-sini. Darah merembes sampai kebawah kulkas. Bayangkan dia harus kutip itu pecah-pecah gumpalan satu-persatu. Mengepel cipratan darah, atau apapun lah yang bisa bersihkan ceceran itu sebelum jam tujuh pagi karena kedai harus buka lagi. Mana jam enam kurang pun harus masak air dulu. Tapi itu kompor, dandang sama etalase juga ikut kena cipratan otak apa enggak?
Terus cemana?
Kalau orang normal seratus persen bakal pingsan nengok ada orang lagi telentang, tapi nggak punya muka. Maka syukurlah kawanmu ini memang bawaan abnormal. Kalau enggak, udah siraman ampas nasi gulai kepala kakap campur asam lambung yang bakal dimuntahkannya ke mukamu ini. Tapi kau nggak bisa protes, orang kau udah tewas. Tak sanggup berkaca lagi, karena udah pecah muka kau. Berlobang diantara hidung ke kening. Perca sisa kulit pipimu menggantung, dibaliknya nampak pecahan gigi berkilau kena cahaya lampu. Satu bola matamu terletak di lantai, satunya lagi entah kemana. Astaga, kalau saja bibirnya masih utuh. Sebab dia lebih pilih lihat pemandangan bibir sumbing bayi yang belum dioprek ketimbang congor-mu ini. Setidaknya masih bisa cuma sekedar merem, biar nggak mual. Tapi sobekan mulutmu ini ada di level atasnya lagi. Menjijikkan.
Makanya sekarang, ucapkan selamat tinggal sama realita dibalik cermin. Disini berakhir semua potensi dan petualanganmu. Mimpi dan angan serta cita-citamu yang terakumulasi selama dua puluh sembilan tahun. Bisepmu tak pernah kempis, karena kau tak pernah absen angkat barbel. Otak senantiasa kau isi pengetahuan tentang ilmu bengkel-bengkel dan hobimu menghafal informasi trivial soal Jon Bon Jovi. Sayangnya semua sudah tidak berarti lagi. Toh, anganmu kadung meluap. Mayatmu pun segera kaku. Semua orang manggil kau Kambeng, padahal namamu Zachtie Andrian. Kemana-mana kau bawa pistol, padahal kerjamu pun cuma antar-jemput lonte. Sohib terdekatmu Mawan, tapi kepalamu pecah didalam kedainya. Jadi, satu-satunya hal yang perlu kau amini adalah hidupmu ternyata cuma abis-abis jadi taik.
[1] Nanti, segera
[2] Pengucapan dialektik kata ‘Pula’ dalam logat.
[3] Sedikit