Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku terus menatap keluar, masih menahan kesal. Hingga mobil akhirnya berhenti di garasi rumah. Aku keluar lalu membanting pintu mobil. Tio yang sudah keluar memandang tajam padaku.
Apa pedulinya? Bukahkah ini mobil dari papa untukku? Suka-suka pemiliknya dong. Terserah mau kuapakan mobil ini. Dia tidak pantas memberiku tatapan tajam seperti itu.
Aku berjalan melewatinya yang masih berdiri memandangku. Dengan sengaja aku menginjak kakinya yang hanya memakai sandal. Aku menyeringai mendengarnya meringis.
"Papa?! Kok udah pulang?" Aku mengernyit melihat papa berdiri di teras. Matanya memerah melihat ke arahku. Aku yakin, papa melihat tindakanku tadi.
"Masuk! Papa mau bicara." Terdengar nada kemarahan dalam intonasinya. Ketakutan tiba-tiba menyergapku. Kenapa papa marah? Apa karena aku menginjak kaki Tio? Tidak mungkin. Lagi pula, sejak kapan papa marah-marah dengan perkara sepele seperti ini?
Aku berjalan gontai dalam kebingungan dengan sikap papa. Tiba di ruang tengah, sudah ada mama yang duduk di sana. Kutanyakan mama dengan isyarat mata. Mama hanya mengangkat bahu, tidak tahu. Papa dan Tio berjalan bersisian. Mereka melangkah ke arah aku dan mama. Papa merangkul bahu Tio. Mereka terlihat lebih akrab dari yang aku bayangkan. Perlakuan papa pada Tio, seperti ayah dan anak.
"Sassy, kenapa kamu sengaja membuat Tio menunggu?" Papa memulai introgasi setelah duduk di sofa yang sama dengan Tio. "Dia bisa jalan-jalan selama kamu belajar. Kenapa kamu sengaja membawa kunci? Dia bukan kacungmu. Dia bagian dari keluarga kita."
Aku menarik napas berat, lalu merunduk diam tak menjawab pertanyaan papa. Percuma saja aku cerita tentang alasan melakukan itu. Seperti kata Tio, papa tidak mungkin percaya.
"Sassy, Apa kupingmu tuli? Atau, mulutmu minta dijahit?" Aku mendongak dan menatap kesal pada Tio. "Besok papa tidak mau hal ini terulang. Ingat, ya! Dia bukan budak di rumah kita. Dia bagian dari keluarga kita."
Nada bicara papa yang kasar mengiris hatiku. Tega-teganya papa bicara kasar padaku demi laki-laki bermuka dua ini. Baru kali ini papa berkata kasar padaku. Aku mengerjap, menahan airmata yang hendak menetes. Kutarik napas perlahan.
"Baiklah, Pa. Berikan saja mobil itu padanya. Dia bisa jalan-jalan kapanpun dia mau. Nggak perlu repot-repot ngantar aku. Masih banyak bus yang bisa aku tumpangi," ucapku datar seraya melangkah menjauh, menaiki tangga.
"Sassy, Papa belum selesai bicara."
Teriakan papa tidak kuhiraukan. Airmataku sudah menetes. Rasanya perih. Kenapa papa bicara kasar padaku. Selama ini papa selalu bersikap lembut. Kesalahanku tidak diselesaikan dengan teriakan, tapi dengan nasihat bijak yang penuh kelembutan.
Siapa laki-laki itu? Kenapa papa membelanya sedimikian rupa. Apa dia anak papa yang lain? Astaga! Kenapa aku berpikir seperti itu. Jika dia anak papa dari perempuan lain, artinya papa selingkuh. Bagaimana cara selingkuhnya? Jarak umurku dengan Tio mungkin hanya beberapa tahun. Aku belum tahu pasti berapa usianya. Kira-kira dua puluh tiga tahun, kalau tidak salah tebak. Masa papa sudah punya anak yang lain sebelum kehadiranku. Astaga! Kenapa aku malah mikir seperti ini?
"Pa, Sassy tidak salah. Saya yang salah karena membuatnya marah."
Aku berhenti melangkah saat mendengar suara berat Tio. Apa dia akan mengakui sikap kurang ajarnya? Semoga setelah itu papa menendang pantatnya.
"Tidak usah membela dia Tio. Kamu bukan kacungnya dia."
Percuma. Papa sudah terinfeksi virus munafiknya si Tio. Papa sudah yakin kalau dia laki-laki baik yang tidak mungkin berbuat jahat. Lebih baik masuk ke kamar dan tidur. Tidak ada gunanya menangisi nasib. Kukunci pintu kamar, lalu menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Biasanya papa akan datang dan merayuku bila sedang kesal seperti sekarang. Kali ini aku yakin, papa tidak akan melakukan itu lagi.
Entah sudah berapa lama aku tertidur. Kamar yang tadi masih terang sudah menjadi gelap. Artinya sekarang sudah malam. Aku terbangun karena mendengar suara panggilan mama. Aku tahu mama tidak ikut berkata kasar, tapi tetap saja tidak kujawab panggilannya. Kalau aku membuka pintu untuk mama, pasti ada papa. Pokoknya aku tidak ingin bertemu papa sebelum papa datang dan merayuku seperti biasa.
Tak ada suara panggilan mama. Mungkin bosan karena aku diamkan. Beberapa saat kemudian, pintu kembali digedor. Kali ini suara papa yang terdengar memanggilku. Aku tersenyum senang, tapi masih tetap diam. Sebelum papa merayuku, pintu tidak akan kubuka.
"Sayang, buka pintunya! Papa minta maaf, Anak jelek. Jangan suka ngambek ntar jerawatan, lho."
Senyumku mengembang. Kubukakan pintu dan mendapati papa berdiri di depan. Tangan kanannya memegang piring berisi nasi dan lauk. Sedangkan tangan kiri memegang segelas air.
Tio menghampiri kami. Dia mengambil alih bawaan papa. "Biar saya saja, Pa. Ayo, Pesek. Aku suapin."
Hah? Kenapa dia mirip papa? Sudah tahu hidungku mancung, kenapa memanggil pesek. Bibirku kembali cemberut. Papa mencubit pipiku kemudian beranjak pergi, meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu. Tio sudah masuk.
Ketika melihat aku masuk, Tio menepuk lantai di sampingnya. Dia memintaku duduk melantai. Dengan wajah yang masih kesal, aku menuruti perintahnya.
"Kamu belum pernah makan sambil duduk melantai begini, kan? Coba, deh. Makan dengan melantai seperti ini lebih nikmat."
Aku hanya diam mendengarnya. Tatapan tajamku padanya membuat dia berhenti mengoceh. Hanya ada senyum jahil di bibirnya.
"Mulutmu ember juga, ya? Ngapain ngaduh ke papa segala. Kayak anak SD," ujarku geram. Dia menggaruk kepalanya, lalu mendengus.
"Tadi pukul satu papa telpon, ngajak makan siang bareng. Masa aku harus pergi dengan taksi? Terpaksa aku cerita sejujurnya."
Aku membuang muka mendengar penjelasannya. Bukankah dia munafik? Kenapa sulit baginya berbohong pada papa. Seharusnya dia bisa memberikan alasan yang lain, kan?
"Aku minta maaf atas sikap tidak sopan yang kulakukan padamu. Maafin aku, ya! Aku janji tidak akan mengulang lagi." Dia menangkupkan kedua tangannya di dada, memohon.
"Nggak percaya!" bantahku singkat.
"Terserah. Yang penting aku sudah minta maaf. Kamu bisa memberiku hukuman sesuka hatimu," ujarnya tanpa memandang padaku.
Aku diam, memikirkan hukuman yang pantas untuknya. Seru juga kalau bermain-main. Dia sudah bersedia dihukum. Hukuman apa, ya kira-kira. Oke, mikir Sassy.
"Apa kamu bersedia jadi pesuruhku?" tanyaku ragu. "Nggak pakai ngaduh ke papa, ya!"
Dia tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak mengaduh, hanya berkata jujur."
"Apa kamu sedang memproklamirkan bahwa kamu orang yang jujur? Kalau gitu, jujurlah! Apa kamu sudah biasa berlaku kurang ajar pada perempuan?" tanyaku lagi.
Dia merunduk, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Helaan napasnya terdengar berat. Kemudian dia mendongak dan menatapku.
"Kamu makan dulu, deh!" serunya sambil mengarahkan sendok yang sudah terisi ke mulutku. Aku menggeleng.
"Jawab dulu!"
"Kamu orang pertama," jawabnya tanpa ragu. "Maafin aku. Entah kenapa tiba-tiba muncul keinginan untuk jahilin kamu. Aku takut banget kalau kamu ngaduh."
Aku melihat mata coklatnya yang berair, mencoba mencari kebenaran di sana. Kenapa matanya berair? Apa dia laki-laki cengeng. Ah, memalukan.
"Lupain aja. Aku pegang janjimu, tidak mengulang lagi," kataku mengakhiri perseteruan kami. "Apa kamu bersedia jadi pesuruhku?"
"Apapun itu, Nyonya muda."
Aku tersenyum licik. "Tugas pertama, suapin aku!"
"Dengan senang hati, Nyonya muda."
Dia menyuapiku dalam diam. Aku mengajaknya bicara, tapi dia melarang. Katanya, boleh berbicara asalkan mengenai pujian terhadap makanan. Juga, memuji Tuhan yang telah menganugerahkan makanan tersebut. Jadi, aku memilih diam.
"Aku mau mandi. Ntar aku panggil lagi, ya!" Dia mengangguk, lalu berdiri. Aku menahan tangannya. "Maafin aku, ya!"
"Untuk apa?"
"Pokoknya kamu maafin aku, aku maafin kamu. Okey?" Aku masih memandang wajahnya yang sendu. "Mau jadi temanku?"
Dia mendongak dan menyambut uluran tanganku. Senyumnya kembali tersungging.
"Teman tapi mesra. Boleh dicoba."
Aku melotot. Dia terbahak dan berlari keluar.