Read More >>"> Come Rain, Come Shine (Bab 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Come Rain, Come Shine
MENU
About Us  

“Sudah waktunya kamu keluar, Ris.”

Awalnya Arisanti bermaksud mengabaikan kalimat itu seperti yang sudah-sudah, siapa tahu, seperti semua telepon yang tak pernah dijawabnya, desakan lembut itu akan mereda dengan sendirinya. Namun, dia tetap merasakan tatapan mata yang seolah berniat melubangi bagian belakang kepalanya sampai beberapa menit kemudian, jadi dia menghela napas dan menoleh ke belakang. Meski Bu Tyas telah mengalihkan pandangan ke baju yang tengah disetrika, urgensi kata-katanya tetap menggumpal di sekelilingnya seperti hawa panas dari setrika.

Risa tahu cepat atau lambat ibunya harus bersikap tegas terhadap situasinya, walaupun perkataan sambil lalu adalah ketegasan maksimal yang dapat diupayakan seorang Bu Tyas. Tentu saja Risa tahu, tapi membayangkan dirinya mengenakan seragam dan berangkat ke tempat yang dipenuhi anak-anak yang menatapnya lekat-lekat terasa seperti beban besar yang mengimpit dada. Belum lagi pelajaran-pelajaran yang sudah lama ditinggalkannya. Dia tidak akan mampu bertahan sehari.

“Ris,” kata ibunya lagi, urgensinya semakin besar. Risa semakin merosot ke sofa.

“Barusan sudah keluar beli telur.”

“Kamu tahu bukan itu maksud Ibu.” Terdengar gemeretak keras dari setrika yang diletakkan di tepi alas. Lalu baju dikibaskan dengan kuat. Risa menambah volume suara televisi kendati sejak tadi dia tidak memperhatikan tayangan berita. “Ibu tiba-tiba ingat Alika, temanmu yang dulu rutin berkunjung ke sini di pagi hari untuk mengajakmu berangkat. Padahal rumahnya lebih dekat ke sekolah, tapi dia harus memutar dulu ke sini untuk menemuimu, sementara kamu masih tidur nyenyak. Sudah lama dia tidak ke sini, jadi Ibu pikir dia mungkin sudah muak juga. Kamu tidak malu padanya?”

Risa menggaruk-garuk kulit kepala dengan frustrasi. “Justru karena itu.”

“Kalau malu bisa dijadikan alasan, menurutmu seseorang bisa sukses?”

“Tidak.”

“Nah, kan.”

“Tapi aku bukannya punya keinginan untuk sukses,” lanjut Risa lirih, sekali lagi menghentikan gerakan menyetrika Bu Tyas.

Itu bukan argumen yang bagus, pikir Risa secara terlambat, buru-buru menurunkan kakinya ke lantai untuk beranjak dari sofa dan meninggalkan ruang tengah. Dia ingin secepat-cepatnya pergi dari kecanggungan yang diciptakannya sendiri, tapi Bu Tyas memanggilnya lagi ketika dia baru tiba di ambang pintu, serta-merta membekukan langkahnya. Nada lembut dari suara wanita itu hanya menandakan satu hal.

“Oci akan menjadi orang pertama yang tersenyum ketika kamu sukses, Ris.”

Risa menggertakkan rahang. Tangannya mengepal. “Oci sudah mati, Bu.”

Lalu dia berlari ke kamarnya.

 

Sebenarnya ibunya sama sekali tidak salah. Sangat rasional, malahan, mengingat ini sudah lebih dari dua bulan sejak terakhir kali Risa menginjakkan kaki di sekolah. Jika diibaratkan orang yang jatuh sampai mengalami luka-luka, seharusnya dia sudah merasa baikan dan bisa berangkat sejak awal minggu lalu. Sayangnya, luka tak tampak yang disebabkan oleh kehilangan orang tercinta tidak bisa diberi alkohol kemudian ditutup perban, alhasil luka itu hanya bisa semakin parah dan menyebar ke seluruh anggota tubuh, melumpuhkannya. Dia tidak pernah mendapatkan resep obat pereda nyeri dari rumah sakit atau hadiah kecil-kecilan dari teman yang peduli supaya cepat sembuh; alih-alih, dia diteror oleh selusin reporter yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan melankolis, dua orang polisi yang senantiasa menginterogasinya, serta seorang terapis bersuara sengau yang datang tanpa diundang oleh dasar keprihatinan serta publisitas.

Memikirkannya saja sudah membuat lidah Risa kesepian. Dia menggali sampai ke dasar kantong parka hijau lumutnya, kemudian merogoh saku sweatpants, tapi tekstur halus sigaret tak kunjung ditemukan ujung jarinya, menjadikan pemantik yang sudah digenggamnya menjadi tak berguna. Dia melontarkan pemantik itu hingga membentur dinding seberang dan jatuh berkelotak di lantai, kemudian menyurukkan kedua tangan ke kepala, menjambak akar rambutnya sekeras mungkin, merasakan tusukan rasa sakit yang semakin familiar.

Tentu saja dia tidak merasa baikan. Hanya karena dengung berita itu tinggal kabut tipis-tipis di media dan para polisi sudah menutup pemeriksaan dengan hasil akhir bunuh diri, bukan berarti secara ajaib Risa berhenti merasa tertekan. Hanya karena terapis memintanya menggambarkan kekosongan yang dirasakannya, bukan berarti gerowong itu dapat serta-merta ditutup. Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar peduli pada perasaannya karena toh mereka telah menyelesaikan pekerjaan masing-masing.

Risa menurunkan tangannya dan mendapati jari-jemarinya terjerat oleh helaian rambut yang rontok. Memperhatikan untaian gelap yang saling-silang itu mau tidak mau mengembalikan kenangan pada hari itu, ketika angin berembus lebih keras dan malam tampak jauh lebih gelap. Hari itu dia juga melihat rambut gelap tersebar di aspal, menggumpal bersama genangan pekat yang terus merembes. Begitu cepat rambut itu menjadi tak lebih dari gundukan yang geming, padahal hanya sepersekian detik sebelumnya Risa masih melihat bagaimana rambut itu berkibar di antara gelimang lampu.

“Ris, Ibu mau masuk!”

Seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk, Risa tersentak dengan napas terengah-engah. Tangannya telah gemetar hebat, menggugurkan helaian rambut satu per satu ke pangkuan. Dengan gugup dia melonjak berdiri dan menepuk-nepuk celananya dari rambutnya sendiri, kemudian menoleh ke arah pintu yang sudah dibuka oleh ibunya.

“Kenapa?” tanyanya sambil menahan napas, mengetahui suaranya akan ikut terguncang jika dia tidak melakukannya. Bukannya menjawab, Bu Tyas menyambar tumpukan pakaian dari sandaran kursi dan melemparkan semuanya ke lemari baju. Risa hanya bisa tercengang memandangi ibunya mengitari kamar sambil melipat selimut, menyurukkan buku-buku ke kolong tempat tidur, lalu, yang terakhir, mendorong kosen jendela sampai terbuka selebar-lebarnya. Kemudian wanita itu memutar tumit ke arahnya.

“Ganti baju.”

“Apa …?”

Tetapi Bu Tyas menyeretnya ke kamar mandi tanpa menjelaskan lebih lanjut, melucuti parkanya dan mengguyur kepalanya dengan air dingin. Hanya setelah Risa diberikan handuk untuk mengeringkan rambut serta wajahnya yang sudah basah kuyup, Bu Tyas melipat kedua lengan di depan dada dan menghela napas panjang.

“Wali kelasmu datang ke sini.”

Gerakan tangan Risa berhenti. Dari balik juntaian rambut yang basah, dia terbelalak menatap ibunya. Sekali lagi dia menahan napas, tapi untuk alasan yang sangat berbeda. Samar-samar dia dapat merasakan aliran kegelisahan menelusup ke bilik-bilik jantungnya, membuatnya berangsur-angsur berdegup semakin kencang.

Dua bulan absen dari sekolah tidak lantas membuat Risa melupakan wali kelasnya sendiri. Malahan, bisa dibilang dia sangat mengingat lelaki itu, hingga hanya dengan mendengar namanya saja sudah seperti menghadirkan lelaki itu langsung di depan matanya. Sejak awal Risa membenci tipe orang yang sok akrab, tapi kebenciannya seperti mencapai titik tertinggi ketika mendapati lelaki itu menangis sesenggukan di ruang tamu Oci. Kesedihan pura-pura adalah hal terakhir yang ingin dilihat Risa.

“Sekarang beliau ada di ruang tamu, katanya ingin mengobrol denganmu secara empat mata saja.”

“Dan Ibu memperbolehkannya?” desis Risa sambil menyambar handuk dari kepalanya. “Masa’ Ibu mau membiarkan anak gadisnya berduaan saja dengan seorang pria dewasa?”

Bu Tyas menjejalkan sepasang pakaian bersih ke dekapan Risa. “Jangan bicara aneh-aneh. Beliau sendiri yang bilang ingin melihat-lihat kamarmu, tapi mempersilakan Ibu mengawasi kalau Ibu curiga. Bagaimana Ibu bisa menolak kalau sudah didesak seperti itu?”

“Ini pelecehan seksual.”

“Hus!” hardik Bu Tyas sambil membantu merapikan Risa karena tampaknya dua tangan saja tidak cukup untuk memperbaiki penampilannya. Pada akhirnya, wanita itu merengkuh kedua sisi wajah Risa dan memaksanya mendongak membalas tatapannya. “Ris, ini kesempatan bagus untuk pergi ke sekolah lagi. Jangan membuat Ibu malu pada wali kelasmu yang sudah susah-payah mengunjungi rumah kita.”

Risa mengempaskan tangan ibunya menjauh. “Susah payah? Tidak ada yang memaksanya ke sini.”

“Pokoknya bersikaplah yang baik,” pesan ibunya singkat, kemudian bergegas-gegas turun ke lantai satu menyongsong wali kelas Risa yang sedang menunggu. Risa memberengut selama berjalan kembali ke kamar, tidak yakin pemandangan apa yang semestinya dilihat wali kelasnya ketika naik nantinya, jadi dia sekadar duduk di tepi ranjang dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain.

Siapa pula nama lelaki itu, batin Risa sambil menggoyang-goyangkan kaki gelisah. Sesuatu yang dimulai dengan huruf H—Hendra atau Herman? Lelaki itu mulai bekerja di tahun yang sama dengan Risa naik kelas, jadi tidak lebih dari setengah tahun. Satu-satunya alasan dia menjadi wali kelas adalah karena wali kelas Risa yang sebelumnya sedang cuti, tapi tampaknya dia sudah merasa cukup dekat untuk menangisi kepergian salah satu anak didiknya. Jangan bilang dia juga akan menangis begitu memasuki kamar Risa. Sungguh memalukan.

“Risa, ini Pak Hanan sudah datang,” kata ibunya dengan nada manis yang dibuat-buat. Risa menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang lelaki jangkung dalam seragam batik lengan pendek menjulang hingga ubun-ubunnya hampir menyentuh bagian atas kosen.

Hanan, ulang Risa dalam hati seraya mengurai kakinya, lalu beranjak berdiri dan menghampiri pintu. Hanan Hanan, pikirnya lagi saat mencium tangan kanan gurunya karena harus diakui kebencian tidak membuatnya menjadi anak yang tidak tahu diri, apalagi dengan pelototan penuh peringatan ibunya di balik punggung lelaki itu. Tapi jujur saja siapa yang bisa mengingat nama aneh itu.

“Risa,” kata Hanan dengan suara tertahan, seolah sudah lama dia ingin mengucapkan nama Risa tapi tidak pernah punya keberanian untuk itu. “Senang melihat kamu sehat-sehat saja.”

“Silakan masuk, Pak,” ujar Risa tanpa mengacuhkan komentar tulus tersebut, lalu mengganjal pintunya menggunakan ransel supaya tetap terbuka lebar. Risa membiarkan Hanan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarnya selama beberapa saat sebelum menceletuk, “Bukannya agak tidak sopan memelototi kamar seorang murid perempuan, Pak?”

Hanan membalikkan badan dengan terkejut, matanya terbelalak. “Saya tidak pernah berpikir begitu!”

Risa mengangkat bahu. “Silakan duduk, Pak.”

Sementara Hanan menempati kursi belajar dengan agak waswas, Risa kembali duduk di tepi ranjang, sekali lagi memandanginya lekat-lekat. Perabotan yang sejatinya berukuran normal dapat terlihat kerdil jika disandingkan dengan Hanan. Lelaki itu bukan hanya jangkung, tapi juga besar, sehingga membuatnya tampak seperti objek hasil editan asal-asalan yang ditempelkan begitu saja tanpa memperhatikan dimensi latar belakang.

“Bagaimana keadaan kamu, Risa?” tanya Hanan sambil memandangi gorden mengembang kemudian mengempis digelitik embusan angin. Mungkin lelaki itu menyadari Risa sedang memperhatikannya, alhasil merasa tak enak.

“Biasa saja,” jawab Risa pendek.

“Teman-teman semua merindukanmu.”

Samar-samar Risa mengingat wajah teman-teman sekelasnya saat duduk berdesak-desakan di kursi ruang tamu dan berusaha keras membuatnya tertawa. Kalau tidak salah, itu satu minggu setelah dia absen dari sekolah. Sampai beberapa hari kemudian, mereka masih rutin berkunjung untuk menyemangatinya, tapi lama-kelamaan tidak seorang pun datang dan Risa akhirnya bisa bernapas lega.

“Begitu, ya,” sahut Risa, suaranya terdengar sarkastik meskipun dia terlalu berharap begitu.

“Risa, ini sudah dua bulan. Sudah waktunya kamu kembali ke sekolah, bukan begitu?” tanya Hanan seraya meluruskan tatapan ke depan. “Saya tahu dengan kembali ke sekolah, kamu akan melihat kenangan-kenangan yang ditinggalkan Oci, tapi kamu tidak sendirian, Ris. Saya juga merasakan apa yang kamu rasakan.”

Dada Risa serasa diremas tangan besi. Tidak, tidak seorang pun merasakan apa yang dia rasakan. Tidak seorang pun dari mereka menjadi sahabat Oci selama sepuluh tahun dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Oci melayang dari menembus udara malam. Tangan besi itu turut menjerat tenggorokannya dan Risa mendapati dirinya sulit bernapas. Dia mencengkeram seprei kuat-kuat, tapi itu tidak mungkin membantunya, jadi dia bangkit dan berjalan menghampiri jendela.

Hanan, yang sejak tadi berbicara mengenai kesedihan semua anak-anak di kelas pada hari-hari pertama kepergian Oci, terdiam sebentar melihat reaksi muridnya. “Risa.”

“Iya, saya mendengarkan,” Risa berbohong. “Saya tahu harus segera kembali ke sekolah. Ibu juga bilang begitu.”

“Saya wali kelas kamu, Risa. Kalau ada apa-apa, kamu bisa minta bantuan saya. Percayalah, saya tidak di sini untuk menggurui kamu, tapi sepenuhnya karena saya merasa sedih jika melihat salah seorang murid tidak bisa mendapatkan apa yang semestinya dia dapatkan.”

“Apa yang semestinya saya dapatkan?” ulang Risa sinis. “Saya jadi penasaran apa itu.”

“Pendidikan,” jawab Hanan tegas. “Juga, kegembiraan yang berhak kamu peroleh dengan bertemu teman-teman kamu di sekolah. Semua itu tidak bisa kamu dapatkan dari mengurung diri di kamar. Orang-orang datang dan pergi dalam hidupmu, Risa, tapi kamu tetap harus berjalan maju.”

Kepercayaan diri dalam suara Hanan membuat Risa menggertakkan rahang. Dia yakin lelaki itu berpikir situasi ini sebagai tidak lebih dari sebuah tantangan dalam dunia mengajar yang perlu dilewati, bukan peristiwa yang sungguhan terjadi dan berdampak nyata pada seseorang. Berani bertaruh Hanan akan memasukkan ini dalam jurnal pengajaran dengan bumbu kalimat-kalimat penyemangat serta narasi yang mengharukan.

“Perjalananmu masih panjang, Risa. Meskipun kamu merasa semua sudah berakhir, kenyataannya tidak demikian. Coba kamu lihat orang-orang di luar sana yang tidak bisa mengenyam pendidikan sepertimu—”

“Sepertinya,” sergah Risa dingin, “saya ingat Pak Guru bilang tidak datang ke sini untuk menggurui saya.”

Hanan terkesiap, kemudian ada bunyi derit kursi. Mungkin dia ikut berdiri. “Saya tidak bermaksud begitu, Risa.”

“Tentu saja Bapak tidak bermaksud begitu.” Risa terkekeh hambar. Angin sore membelai wajahnya, berembus melewati anak-anak rambutnya dan mengingatkannya pada langit lepas, dan tiba-tiba saja dia bergidik. Dengan kedua tangan dia menahan rambutnya dari terbang terempas angin, tetapi tarikan itu terlalu kuat, dan tangannya tergelincir turun dengan lebih banyak rambut yang rontok.

“Astaga, Risa,” bisik Hanan, entah sejak kapan berada di sampingnya dan meraih satu tangannya yang dipenuhi gumpalan rambut. Sontak Risa berjengit, berusaha menarik tangannya menjauh. “Apa yang terjadi padamu?”

“Aku baik-baik saja.”

“Mustahil ini bisa disebut baik-baik saja.” Hanan memperkuat pegangannya pada pergelangan tangan Risa ketika merasakan perlawanan. “Risa, beritahu saya. Semua ini terjadi karena kamu terlalu stres, tapi memendam semuanya dalam dirimu sendiri, bukan begitu?”

Risa meronta dengan lebih kuat, tapi dia tahu jika bergerak terlalu banyak, kemungkinannya adalah dia yang jatuh terjengkang keluar jendela. Alhasil dia hanya bisa meredam semua insting melawannya dengan menggigit bibir kuat-kuat.

“Ini sebabnya kalau kamu tidak mau cerita pada siapa pun!” tukas Hanan dengan nada meninggi, suaranya menggelegar. Kedua bola matanya diisi oleh kepanikan yang hampir menyerupai kemarahan. “Lihat yang sudah kamu lakukan pada dirimu sendiri. Kamu merusak diri, Risa, semua karena kamu berpikir hanya kau yang merasa—”

Bunyi tamparan itu bahkan mengejutkan Risa, dan perlu satu detik untuk menyadari tangannya yang bebas telah terangkat di udara, terasa panas dan berdengung. Di depannya, leher Hanan sedikit memuntir ke samping, pipinya merah membara. Risa terkesiap keras.

Pegangan Hanan menguat selama sejenak, sebelum dilepaskan sama sekali. Kendati demikian, dia tetap menjerumuskan tatapan matanya pada Risa, menjulang sangat tinggi hingga mengintimidasi. Entah ke mana perginya akal sehat Risa selama ini karena menampar seorang guru jelas-jelas bukan sesuatu yang dapat menyelamatkannya dari apa pun, terutama jika guru itu berukuran dua kali lipat lebih besar dan dapat dengan mudah meremukannya, secara kiasan maupun harfiah.

“Saya sangat khawatir akan kondisimu,” kata Hanan, kedua tangannya mendadak diletakkan di pundak-pundak Risa. Beban dari tulang-belulang yang mantap itu menekan Risa ke bawah. “Kita memang belum lama bertemu, tapi saya ingat kamu murid yang cemerlang. Sungguh disayangkan jika kamu membuang semua potensimu.”

“Sepertinya Bapak salah orang,” tukas Risa, suaranya tidak bisa diupayakan lebih dari bisikan. “Sejak awal saya tidak punya potensi apa-apa.”

Hanan menatapnya tanpa berkata-kata, kemudian secara mengejutkan melepaskan pegangan tangannya begitu saja dan membalikkan badan. Risa baru sadar telah menahan napas ketika mendapati jantungnya bertalu-talu dengan panik; diam-diam dia mengembuskan udara lewat celah bibirnya. Matanya tidak pernah meninggalkan figur Hanan yang membungkuk untuk mengambil tas kerja dari kursi. Sesuatu yang besar sedang berusaha dikeluarkan dari dalamnya.

“Tugas saya di sini adalah membawa kamu kembali ke sekolah, Risa, mari kita tidak melupakan fakta itu.”

Hanan meletakkan stoples kaca berukuran sedang di atas meja belajar, lalu dia memutar tumit untuk sekali lagi menatap Risa lekat-lekat. Cahaya matahari sore yang menerobos dari jendela di belakang Risa jatuh menimpa wajah Hanan, memberikan pancaran keemasan pada kedua matanya serta bayangan dari bentuk hidungnya yang tajam.

“Saya benar-benar berharap besok kamu masuk ke sekolah,” lanjut Hanan. Senyumnya datang agak terlambat, seperti dia baru sadar sedari tadi wajahnya menampakkan kekosongan. “Kalau besok kamu masih merasa keberatan, saya akan datang lagi ke sini. Kemudian besoknya dan besoknya lagi. Saya wali kelasmu.”

Kemudian Hanan mengangguk sedikit, sebelum berjalan ke arah pintu. Sebentar saja dia melirik ransel sekolah Risa yang digunakan sebagai pengganjal pintu, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Langkahnya terdengar berdentum-dentum di sepanjang anak tangga, lalu dia dan Bu Tyas mengobrol sebentar, dan pada akhirnya pintu depan tertutup.

Risa menyandarkan pinggul ke pinggiran jendela, tatapannya ditujukan pada stoples kaca yang penuh berisi bintang mungil yang terbuat dari gulungan kertas mengkilat.

Apakah lelaki itu benar-benar berpikir dia anak TK yang dapat tergerak hanya dengan bintang-bintang bulat itu?

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Alvira ; Kaligrafi untuk Sabrina
12360      2321     1     
Romance
Sabrina Rinjani, perempuan priyayi yang keturunan dari trah Kyai di hadapkan pada dilema ketika biduk rumah tangga buatan orangtuanya di terjang tsunami poligami. Rumah tangga yang bak kapal Nuh oleng sedemikian rupa. Sabrina harus memilih. Sabrina mempertaruhkan dirinya sebagai perempuan shalehah yang harus ikhlas sebagai perempuan yang rela di madu atau sebaliknya melakukan pemberontakan ata...
Kisah yang Kita Tahu
5184      1464     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
Salendrina
2247      813     7     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
Rinai Hati
495      262     1     
Romance
Patah hati bukanlah sebuah penyakit terburuk, akan tetapi patah hati adalah sebuah pil ajaib yang berfungsi untuk mendewasakan diri untuk menjadi lebih baik lagi, membuktikan kepada dunia bahwa kamu akan menjadi pribadi yang lebih hebat, tentunya jika kamu berhasil menelan pil pahit ini dengan perasaan ikhlas dan hati yang lapang. Melepaskan semua kesedihan dan beban.
Koma
17019      2801     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
10 Reasons Why
1995      814     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
AROMA MERDU KELABU
2020      769     3     
Romance
Someday Maybe
10004      1873     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
Strange and Beautiful
4277      1154     4     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
Dear You, Skinny!
855      437     5     
Romance