Namanya Hangga Saputra. Cowok yang berbeda dengan kebanyakan cowok idaman para wanita. Cowok berperawakan manis, tidak tampan, dan bertubuh pendek. Tinggi Hangga hanya 148 cm. Sangat berbeda dengan anak SMA pada umumnya. Membuat kisah cinta cowok itu ikut berbeda pula.
“Jangan si Hangga. Gak nyampe dia itu.” Kata Devin, Si ketua kelas.
Seperti sekarang, saat kelasnya tengah melakukan kerja bakti bulanan. Karena stok cowok rajin di kelas Hangga sedikit, jadilah mereka meributkan pembagian tugas. Koko yang bertubuh besar langsung mengusulkan Hangga untuk membersihkan langit-langit kelas. Tetapi langsung di tolak oleh Devin. Bagaimana mau beresin langit-langit kalau tubuh Hangga aja pendek begitu.
“Tapi badannya kecil. Gampang digendong.” Balas Koko.
“Lo mau gendong dia?, enggak kan?. Ya udah deh, kenapa gak si Kencana aja yang bersihin?. Dia orang tertinggi di kelas ini. Si tiang listrik, iya nggak, Dev?.” Usul Vina disahut anggukan setuju oleh Devan.
Beda lagi dengan Hangga. Cewek berpostur tinggi itu namanya Kencana Putri Adira. Cewek gak terlalu cantik dengan tinggi yang lumayan membuatnya minder, 175 cm. Kalau Hangga itu yang terpendek di kelas, maka Kencana adalah yang tertinggi di kelas. Bahkan tidak ada laki-laki yang setinggi Kencana di kelasnya. Garis keturunan bongsor milik Kencana membuat gadis itu ikut-ikutan merasakan dampaknya. Apalagi saat setelah pubertas, badannya meninggi membuat ia berbeda dengan gadis-gadis seusianya.
“Gimana, Na?. Lo mau bersihin alang-alang?.” Devan melirik Kencana yang sedang menyapu teras kelas.
“Ya sudah. Mana kemocengnya?.” Jawab Kencana menerima permintaan Devan. Ia meraih kemoceng yang ada di tangan Koko.
“Yang bersih, ya. Gak percuma badan lo gede kalau gak bisa bersihin langit-langit!.” Cibir Tasya. Yang notabene cewek paling perfect di kelas.
Kencana hanya tersenyum terpaksa. Ia sudah sangat terbiasa dengan ejekan dan cibiran dari para teman-temannya yang sering mengolok-olokan dirinya. Termasuk si Tasya ini. Gadis berambut ikal itu langsung menaiki kursi kayu agar tangannya mampu menjangkau langit-langit kelas. Membersihkan debu yang sudah sekian tahun bersarang disana.
Dilain tempat, Hangga menatap tubuh jangkung Kencana dengan perasaan tak enak. Dirinya dan Kencana memang musuh bebuyutan. Mungkin faktor perbedaan yang begitu kentara diantara mereka. Namun, itu bukan berarti Hangga merasa senang saat Kencana yang membersihkan langit-langit. Cowok pendek itu justru kasihan karena merasa payah menjadi seorang pria. Membersihkan langit-langit bukanlah tugas seorang perempuan, melaikan laki-laki seperti dirinya.
Oh, satu hal lagi, Hangga sudah cukup lama memendam rasa sukanya pada Kencana. Cewek itu manis. Hangga Cuma bisa menutupi perasaannya dengan berpura-pura memusuhi Kencana. Perasaan bersalah makin menyeliputi hati Hangga saat dirinya mendapati Kencana yang berulang kali bersin dan malah ditertawai teman-temannya.
“Udah, siniin kemocengnya!.” Hangga akhirnya memutuskan menghentikan aksi terpaksa Kencana.
“Ngapain?, gue lagi bersih-bersih, nih. Kalau mau main nan.., Hacchiiii....!!.” jawab Kencana yang terhenti karena tersendat bersin.
“Lo udah bersin-bersin dan masih mau bertahan?. Sini kemocengnya!.”
“Kencana...”
“Hangga...”
“BERSIHIN ALANG-ALANG ITU BUKAN KERJAAN CEWEK!!.” Bentak Hangga keras disengaja. Biar saja, biar semua anak-anak di kelas tau kalau mereka salah dengan menghina dan memanfaatkan tinggi Kencana. Begitu-begitu Kencana juga perempuan!.
Dengan cekatan, Hangga mengambil kemoceng dari tangan Kencana. Menaikkan sebuah kursi di atas meja, dan mulai membersihkan langit-langit dengan bantuan kemoceng yang sudah lebih dulu ia ikat dengan patahan gagang sapu yang cukup panjang.
“Sapuin aja debunya, Na.” Ujar Hangga pada Kencana yang masih berdiri di dekatnya. Merasa tak enak.
“Gak apa-apa ini?. Lo udah sampai jinjit-jinjit loh, Ga.”
Hangga sejenak menghentikan aktivitasnya. Menatap Kencana dengan tatapan tajam, namun dibaliknya tersimpan rasa suka yang sudah di pendam cukup lama.
“Mau gue jinjit-jinjit, lompat-lompat, atau apapun. Gue gak bakal biarin lo ngelakuin ini. Walau lo tinggi sekalipun. Ini kerjaan cowok.....”
“Dan gue adalah seorang gentleman yang masih bisa menghargai wanita!.” Sambung Hangga menatap Koko, Devan, Regi, dan beberapa anak laki-laki yang saat itu berada di kelasnya.
Pernyataan tegas Hangga membuat semua cowok bertunduk malu. Selama Kencana justru tersipu malu, Hangga itu benar-benar cowok sejati.
“Makasih, Hangga.” Ucap gadis itu pelan.
Hujan turun tepat saat bel pulang sekolah berdering. Memaksa para siswa-siswi berteduh sebelum mereka hendak menuju rumah masing-masing. Termasuk Kencana, yang sialnya hari ini gak membawa payung. Gadis ikal itu melirik jam tangannya, pukul lima sore. Pasti sekarang ibunya tengah mencari-cari Kencana. Alhasil, ia pun nekat menembus rintihan hujan sore ini.
Tetapi niatnya terhenti, lengannya ditahan oleh seorang laki-laki. Kencana menoleh, cowok itu Hangga. Pantas saja telapak tangannya terasa kecil di lengan Kencana.
“Hangga...”lirihnya.
“Cewek jangan main hujan-hujanan. Mau pamer badan memangnya?.” Tanya Hangga.
Kencana melirik seragam sekolahnya. Benar saja, seragam putih yang digunakan Kencana bisa basah dan menampakkan pakaian dalam yang ia kenakan di balik seragam itu.
“Terus gimana?, nanti ibu gue nyariin.”keluh Kencana.
Hangga melirik sekitar. Lalu dari dalam tas sekolahnya, ia mengambil sebuah payung lipat. Membuka payung yang berukuran sedang. Cukuplah untuk ia dan tubuh besar Kencana.
“Ayo.” Ajak cowok itu setelah memberikan payung pada Kencana. Sangat tidak mungkin ia yang bertubuh pendek yang memegang payung.
“Maaf karena gue pendek, lo jadi yang megang payungnya.” Kata Hangga di tengah perjalanan pulang.
“Gue yang makasih. Lo udah mau nebengin payung.”
“Sama-sama. Hmm, andaikan badan gue lebih tinggi.., gak pendek ceking kayak gini.” Hangga menghela nafas panjang. Ditatapnya lengan panjang kepunyaan Kencana yang tengah menggenggam erat tangkai payungnya.
“Gue juga. Andaikan punya tinggi yang normal, badan mungil manis, cantik. Pasti bisa manja-manjaan sama cowok. Karena bongsor, gue jadi punya kisah cinta kelam di putih abu-abu.” Balas Kencana. Ia menunduk menatap kaki jenjangnya yang menyiprat air hujan ke berbagai arah disekitarnya.
“Bayangin gue, Na. Masa iya, gue harus pacaran sama anak SD biar gue yang lebih tinggi?.”
“Loh, kenapa?. Lo pintar, rajin, anak pramuka, teladan. Pasti banyak yang mau.”
“Mau apaan. Yang ada gue jadi cibiran orang. Lagian, punya badan pendek kayak gini kasihan cewek gue, susah kalau mau dicium keningnya.”
Kencana menatap kasihan ke arah cowok berperawakan manis di sebelahnya.
“Gak ada yang lo taksir, Ga?.” Tanya cewek itu.
“Ada.”
“Siapa?.”
“Rahasia. Lagian, dia gak mampu gue raih. Ketinggian soalnya.” Tukas Hangga. Kencana ambigu, merasa kalau gadis yang disukai Hangga itu dirinya. Ah, kenapa Kencana jadi baper begini, sih?!.
Mereka terus menyusuri jalan setapak hingga akhirnya keduanya berada di depan rumah minimalis milik Kencana. Kencana lebih dulu memutuskan tautan tangannya dengan Hangga saat dirinya menyadari bahwa selama perjalanan ia bergandengan tangan dengan lelaki itu.
“Udah sampai. Makasih ya, Hangga.” Kata Kencana hendak membuka pagar rumahnya.
“Eh, tunggu.” Potong Hangga cepat.
“Kenapa?.”
“Tangan gue kedinginan, dilepas sama tangan lo.”
Kencana mendadak tersigap. Hangga sedang menggodanya, huh?.
“Lo mau masuk dulu?.” Tanya Kencana final. Hangga mengangguk setuju.
Setelah kurang lebih limabelas menit, akhirnya Hangga segera pamit pulang dari rumah Kencana. Ternyata benar, ibu dan adik Kencana memang benar-benar memiliki tubuh tinggi yang melebihi umunya orang Indonesia kebanyakan.
“Gue pulang, Na.”
“Oke. Hati-hati dijalan, Ga. Salam buat ibu lo.”
“Buat gue enggak, nih?.” Tanya Hangga sambil tersenyum.
“Salamin sekalian buat Hangga. Salam dari Kencana.” Jawab Kencana sambil tertawa kecil diikuti cengiran lebar cowok pendek tersebut.
“Katanya salam balik dari Hangga buat Kencana tersayang.” Ucapan Hangga ini sukses membuat Kencana terpatung. Kencana tersayang?.
“Lo temenin gue bentar ke taman dekat sini, ada yang mau gue omongin.” Pinta Hangga lagi.
Karena ibunya sudah mengenal Hangga, Kencana akhirnya menyetujui permintaan cowok itu. Ia ikut melangkah bersama Hangga di tengah jalanan becek karena habis dijamah hujan.
“Gue suka sama lo Kencana. Lo mau gak jadi pacar gue?.” Dua kata itu luwes diucap Hangga dalam sekali nafas.
Sekarang ia tengah berada di sebuah bangku panjang di taman dekat rumah Kencana. Hangga lega, beban selama beberapa bulan yang menyelinap menusuk hatinya lepas sudah. Terserah Kencana mau menjawab apa. Hangga siap menerima semua, yang jelas cewek tinggi itu sadar kalau Hangga telah jatuh cinta padanya.
“Gue sangat-sangat lebih tinggi dari lo, Ga. Gue kurus kering, tinggi, gak cantik. Mirip tiang listrik yang warnanya hitam putih.”
“Gue gak suka fisik lo.”
“Kita beda banget loh, Ga.”
Hangga menarik nafas gusar. Kencana benar kali ini, ia dan dirinya memang sungguh jauh berbeda. Tetapi apa mau dikata, kenyataannya sekarang, cewek itu telah sukses membuat Hangga merasakan cinta untuk pertama kalinya.
“Apa bedanya?, gue sayang lo. Kita sama-sama bernafas dengan oksigen, mengeluarkan karbondioksida, mempunyai satu jantung, dua ginjal. Kita sama-sama manusia.” Hangga membela diri.
“Tapi nanti kasihan elo-nya, Ga. Nanti di ejek-ejek punya pacar jerapah, tiang listrik nyasar, sapu lidi sepuluh ribuan.” Kata Kencana. Gadis itu rasanya sudah mau menangis.
“Yang pacaran sama lo kan, gue. Yang cinta sama lo juga gue. Terus, kenapa mikir yang lain?.”
Beberapa kalimat Hangga barusan meyakinkan Kencana. Ya, sudah ada Hangga disini yang menyukainya. Kencana gak mau jadi gadis jahat yang nolak cowok gitu aja. Apalagi soal fisik.
“Lo beneran suka sama gue kan, Ga?.” Tanya Kencana memastikan.
Hangga mengeram kesal. Ini merupakan bagian yang paling tidak ia sukai dari Kencana. Sudah dibilang suka, ya suka!. Apa tampang Hangga sekarang menyirat bahwa ia bermain-main?. Cowok itu langsung bangkit dari tempatnya duduk. Ia menahan pundak Kencana saat gadis tersebut hendak mengikuti apa yang Hangga lakukan.
“Diem dulu!.” Katanya. Hangga mendekatkan wajahnya pada Kencana. Perlahan, ia mencium kening Kencana yang sudah sejajar dengannya.
“Gue sayang lo, Kencana Putri Adira.” Ucap cowok itu lirih.
Kencana mendongak mendapati wajah yang tidak sebegitu tampan milik Hangga. Cenderung manis namun mampu membuatnya rindu.
“Gue mau, jadi pacar lo.” Kata gadis itu malu-malu. Hangga tersenyum senang.
“Serius nih?.”
“Iya.”
Hangga makin melebarkan senyumannya. Ia langsung menggenggam tangan Kencana yang sekarang sudah resmi menjadi kekasih hatinya. Kencana membalas itu. Lalu ikut tersenyum senang. Ah, sepertinya kisah cinta abu-abu milik Kencana akan dimulai sekarang. Kisah cintanya dengan si pendek Hangga Saputra.
“I love you, Keken.” Ucap Hangga tulus. Kencana tertawa, panggilan sayang Hangga ‘Keken’ itu membuat kupu-kupu di perutnya serasa berterbangan.
“I love you to, MY LITTLE HANGGA.”