Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pertualangan Titin dan Opa
MENU
About Us  

Titin mendengkus-dengkus. Tangannya terus mencoba menggapai kotak di tangan Dzakky. Sang Kakek menyengir lebar. Senyuman jahil tak lepas dari bibirnya. Kotak dengan bungkusan cokelat itu memang telah ditunggu Titin semenjak dua bulan lalu. Dia bahkan menghabiskan uang tabungan selama enam bulan untuk memesan atribut yang rencananya akan digunakan untuk konser boyband Sung Jae bulan depan.

Luthfi tanpa sadar mengembuskan napas berat. Dua sosok kekanak-kanakan itu memang tengah bergelut di kamar tamu tempat Luthfi dirawat. Luthfi tidur sekamar dengan Dzakky di kamar itu. Pemuda dengan kemampuanhacker tingkat tinggi itu mengusap wajahnya, tak mengerti dengan suasana hatinya yang mendadak tak nyaman.

“Kalian dekat sekali, apakah ada hubungan spesial?” Luthfi menelan ludah, tak menyangka bibirnya akan menanyakan hal seperti itu. Batinnya mulai merutuki diri sendiri.

Sementara itu, Titin dan Dzakky melongo. Pergelutan keduanya terhenti seketika. Mereka saling menatap, memberi sinyal, apakah harus memberitahukan keadaan yang sebenarnya atau tidak. Setelah beberapa menit terdiam, Dzakky mengangguk. mereka pun segera menghampiri Luthfi untuk kemudian duduk mengapit pemuda itu.

“Kamu mungkin akan sulit mempercayainya tapi namaku sebenarnya bukan Zak. Namaku Dzakky dan aku adalah kakek Titin,” gumam Dzakky pelan. Luthfi refleks tertawa lepas namun dihentikannya mendadak ketika melihat wajah Dzakky dan Titin sangat serius.

“Ya sulit dipercaya sih. Jika kamu Kakek Titin, kenapa terlihat sangat muda untuk ukuran kakek-kakek? Apakah Anda menelan pil awet muda?”

Dzakky dan Titin mengembuskan napas berat sebelum mengulang kembali kejadian di malam berpetir itu, tentang mesin waktu serta tujuan Dzakky ke masa depan. Luthfi tiba-tiba tersentak, mengamati wajah Dzakky dengan seksama.

“Anda benar-benar Profesor Dzakky yang terkenal itu!” pekiknya takjub. Dzakky tersenyum simpul. Titin mencibir. “Kakek dan Om Fauzi sering menceritakan tentang Anda,” gumam Luthfi antusias sebelum menceritakan kembali keping kisah dari masa kecilnya.

Perapian hangat memeluk penghuni rumah mungil di ujung jalan. Dua bocah lelaki menatap kagum pada foto yang ditunjukan Lelaki tua. Sang Kakek terkekeh sebelum melanjutkan kisahnya.

”Profesor Dzakky ini sahabat baik kakek. Dia banyak dapat penghargaan lho.” Wajah sang kakek mendadak muram. “Seandainya ledakan mesin waktu itu tidak terjadi ....”

“Mesin waktu, Kek?” Bocah lelaki berkepala plontos membulatkan matanya.

“Iya, Dani.” Sang kakek mengusap kepala plontos. “Mesin waktu itu proyek kami berdua tapi sayangnya gagal dan harus memakan korban.”

“Tapi belum bisa dipastikan, Om,” potong seorang pria muda berkacamata. “Entah kenapa aku merasa jasad yang ditemukan bukan Om Dzakky. Kupikir proyek kalian justru berhasil. Mungkin saja sekarang Om Dzakky sudah ada di masa depan.”

“Aku juga berharap begitu ...,” gumam lelaki tua sendu, membuat suasana ruang keluarga yang hangat sedikit muram. Bocah berambut jamur yang duduk di sebelah bocah plontos bangkit dari duduknya menepuk-nepuk punggung sang kakek.

“Lho kok jadi pada murung. Ayo makan dulu kuenya!” seru perempuan berkacamata yang muncul dari dapur dengan sepiring kue-kue lucu.

Dua bocah lelaki berlari ke arahnya dan berebutan kue. Perempuan itu tersenyum lembut dan mengusap-usap kepala para bocah. Jemari mungil bocah berambut jamur mengepal kuat. Dia terkadang merasa iri pada si plontos. Meskipun sepupunya itu hanya anak angkat, tapi selalu mendapat limpahan kasih sayang. Sementara dirinya, selalu mendapatkan rumah mewahnya ditelan kesunyian. Bocah bernama Lutfhi itu selalu senang jika Om Fauzi mengajaknya menginap di rumah mungil mereka.

“Ya ampun, Ini benar-benar luar biasa! Kamu cucunya Joshua.” Dzakky terkekeh dan mengusap-usap kepala Luthfi. Pemuda itu sedikit merasa geli mengingat dari segi fisik mereka terlihat sebaya.

“Berarti kamu keponakannya Affit, artis idolaku!” jerit Titin. Luthfi mengangguk pelan. “KYAAA! Ya ampun! Nanti aku mau minta tanda tangan!”

 Titin pun mengoyang-goyangkan tubuh Luthfi ke kiri dan ke kanan membuat si pemuda syok. Dzakky menyentuh bahu cucunya, menghentikan aksi anarkis gadis itu. Gerakan tangan terhenti. Mata beriris cokelat menatap lekat sang kakek.

“Kamu bisa membuat lukanya terbuka lagi,” gerutu Dzakky sambil menggetok pelan kepala Titin.

“Ya ampun, maafkan aku, Luth!” seru Titin panik. Dia mencoba memeriksa luka Luthfi dengan seksama membuat sang pemuda tersipu.

“Tak apa, Tin. Aku baik-baik saja,” ucap Luthfi cepat. Dia tentu tak mau gadis beriris cokelat itu melihat semu merah di pipi. “Oh ya! Apakah kalian sudah membeli obat untuk Nek Dzakkya?”

“Belum. Obatnya kehabisan tapi Profesor Shela berjanji akan membuatkannya, gratis karena suami beliaungefans pada kakekku yang menyebalkan ini.” Telinga Titin langsung mendapat jeweran.

 “Eh? Kalian kenal Tante Shela? Beliau adalah sepupu ayahku. Benar, Om Fauzi memang sangat mengagumi Profesor Dzakky.”

Titin mengangguk yakin. Dia segera menceritakan tentang misi dari Profesor Shela, Dzakky membuka kotak penyimpanan dan menunjukkan Mustika Banyu Biru. Kali ini, Luthfi yang terpana. Bibirnya bahkan tak bisa menutup selama beberapa detik.

“Ini keren sekali! Jika lukaku sudah pulih, apakah aku boleh ikut pertualangan kalian?” tanya Luthfi dengan mata memelas.

“Tentu saja! Makin banyak personel, makin bagus ‘kan?”

Selanjutnya, mereka bertiga membahas perjalanan Titin dan Dzakky berikutnya. Dua mutiara naga tersebut terletak di sekitar gunung berapi. Dzakky menekan beberapa fitur di ponselnya. Layar proyeksi menampilkan struktur tiga dimensi kawasan gunung berapi yang akan dituju. Pembahasan strategi pun segera dimulai.

***

Napas tersengal-sengal. Mata mendelik pada sang kakek. Bibir Titin terus menggerutu sepanjang perjalanan. Dzakky tak mengacuhkan keluhan cucunya, malah sibuk mengamati peta hutan tropis dalam bentuk empat dimensi, berjalan lebih dahulu. Titin menjulurkan lidah. Namun, tak lama karena sang kakek mendadak berbalik dengan sorot mata mengancam.

Aishh ... punya mata di belakang kepala rupanya kakekku ini.

Mentari semakin meninggi tapi beruntung pohon-pohon hutan hujan tropis melindungi mereka dari cahaya menyengat. Namun tetap saja, kaki terasa pegal. Keringat pun sudah membasahi punggung. Kelelahan membuat keduanya tak menyadari beberapa pasang mata yang tampak bersinar di rerimbunan pohon.

 

Meski tubuh serasa remuk, Dzakky masih fokus dengan petanya. Sebenarnya, dia sedikit heran karena Titin mendadak diam. Sementara itu, Titin melangkah gontai dengan wajah memucat. Setengah jam menggerutu, menguras energi, membuat cacing-cacing di perut menagih jatah. Titin memutuskan untuk merogoh saku dan menemukan sebatang cokelat favoritnya. Cokelat dengan bungkus merah itu membawa kembali kejadian tadi pagi ke dalam benak. Titin memejamkan matanya sejenak.

Wajah tegar Shafa dipenuhi kecemasan. Oma Dzakkya sibuk memasukkan banyak barang ke dalam ransel hitam. Ajeng malah menangis histeris memeluk Titin. Luthfi tersenyum lembut memberi semangat sekaligus doa.

“Kamu harus pulang dengan selamat, Kak,” isak Ajeng.

“Sudahlah, Jeng. Kakakmu tidak jadi-jadi berangkat. Nanti malah kemalaman di jalan,” bujuk Shafa.

Perlahan, Ajeng melepaskan pelukannya dan menyeka buliran bening di pipi. Dia tentu tak ingin terjadi hal buruk pada sang kakak. Mana kakaknya itu masih jomlo di usia yang hampir kepala tiga lagi.

Dzakkya telah selesai mengemas barang dan menyerahkan ransel pada sang cucu. Titin memakai ransel dan segera mengikuti Dzakky keluar rumah. Langkah gadis itu terhenti ketika Shafa menyentuh bahunyan lembut. Titin berbalik dan menatap sang ibu dengan alis bertaut.

“Ambillah! Kesukaan kamu kan?” ucap Shafa sambil menyodorkan cokelat berbungkus merah.

Senyuman terbit di bibir. Mata beriris cokelat terbuka perlahan. Titin seketika melongo. Cokelat di tangannya raib. Dia mendelik pada Dzakky. “Ih Opa kenapa jahilsih!?” protes Titin.

“Apa sih, Tin? Sudah bagus dari tadi diam. Sekarang kenapa lagi hah?” gusar Dzakky. Tenaganya tinggal separuh. Kenapa pula cucunya ini malah mencari masalah?

“Opa yang mulai duluan?” Dzakky mendelik. “Opa mengambil cokelatku. Padahal aku akan membagi dua cokelatnya kok!”

“Aku tidak pernah mengambil cokelat! Dari tadi aku susah payah mengamati peta malah dituduh macam-macam!”

Kakek dan cucu tersebut saling bertatapan dengan mata nyalang. Dzakky tak merasa mengambil cokelat tentu tak terima dituduh macam-macam. Sementara itu, Titin dalam keadaan lapar tak bisa berpikir jernih. Omelannya pun keluar bagai rentetan peluru yang ditembakan dari senapan mesin.

PLUK!

Kepala Titin di jatuhi sesuatu. Dengan gusar, dia langsung meraih benda panjang yang ada di atas ubun-ubun. Titin tersentak. Tubuhnya seketika dirayapi rasa geli. Benda tersebut ditumbuhi bulu lebat berwarna kuning kecokelatan. Tangan Titin refleks melepasnya. Suara bergemuruh terdengar dari arah atas. Dzakky dan Titin refleks menoleh ke atas. Keduanya menelan ludah berkali-kali. Puluhan primata berhidung mancung menatap lekat pada mereka. Tak ingin membuang waktu, Dzakky menarik tangan Titin, memaksa sang cucu berlari sekencang mungkin.

Beberapa ekor makhluk berbulu menepuk-nepuk dada sebelum mengejar dua sosok asing yang telah berani memasuki wilayah mereka. Tangan-tangan berbulu begitu cekatan bergelantungan di pohon, membuat target di bawah sana hampir kehabisan napas dan tenaga.

BUKK!

Titin terjerembap di bebatuan ketika keduanya menyeberangi sungai. Tas di punggung putus dan hanyut terbawa arus sungai. Dzakky menepuk kening untuk kemudian membantu sang cucu berdiri. Titin meringis. Cairan merah meluncur dari lututnya. Dzakky merogoh isi ransel, mengeluarkan selembar plester dan menempelkannya di lutut yang berlubang. Hanya dalam beberapa detik, keping-keping darah mengumpul, menutup lubang dengan benang fibrin hingga lutut yang bolong telah kembali seperti sedia kala.

Suara gemuruh mendekat, menyadarkan Dzakky waktu mereka tak banyak. Dia kembali menarik lengan Titin. Terlambat! Seekor primata berhidung mancung melompat ke punggung Dzakky. Titin mencoba membantu sang kakek mengusir makhluk berbulu tersebut. Ketiganya bergelut di atas sungai. Pakaian telah basah kuyup, begitupula dengan bulu-bulu kuning kecoklatan. Berhasil! Pelukan si mancung terlepas. Dzakky dan Titin terguling ke seberang sungai. Sayangnya ransel berisi peralatan dari Profesor Shela masih melekat dalam pelukan si primata. Dzakky tak ingin memikirkan hal itu dahulu. Berlari, satu-satunya yang ada di benaknya.

Dzakky mempercepat larinya, mencoba menggunakan sisa-sisa tenaga untuk menembus semak. Titin kembali mengaduh ketika kaki kirinya berciuman dengan tanaman rambat berduri. Namun, sang kakek telah menulikan telinganya terus menyeret gadis itu. Sayangnya, dia juga menjadi lengah, tak menyadari jurang telah menunggu di depan. Keduanya hampir terjun bebas dari tebing nan curam. Beruntung, Dzakky berhasil melakukan manuver ke kiri. Tubuh mereka terpelanting, bergulingan di atas tanah sebelum berhenti ketika membentur tiang kayu.

***

Titin segera mengusap kepala yang benjol. Semetara itu, Dzakky mencoba mengamati keadaan sekitar. Para primata menatap lekat dari jarak beberapa meter, tampaknya tak berani melewati semak. Setelah keadaan dirasa aman, Dzakky mengajak Titin ke luar dari persembunyian. Meskipun awalnya takut-takut, Titin pun mengikuti jejak Dzakky yang telah duduk di teras sebuah rumah kayu sederhana. Ternyata, mereka tadi bergulingan ke bawah rumah kayu tersebut.

Dzakky mengomel  sambil mengipas-ngipas wajahya. Napasnya sudah tak lagi memburu namun rasa dongkol masih tersisa. Sementara itu, Titin sudah lupa akan rasa takut. Bibirnya berdecak kagum beberapa kali. Tentu saja, menikmati panorama hutan hijau tropis yang dinaugi gumpalan awan dari tebing curam nan eksotis sangat menyegarkan bola mata. Udara sejuk amat serasi dengan aroma aneka bunga warna-warni.

“Wah indah sekali, Kek!” Titin menoleh ke belakang mencari sang kakek. Kening Titin langsung berkedut, menemukan Dzakky masih saja menggerutu. Gadis itu langsung duduk di samping sang kakek.

“Makhluk-makhluk itu benar-benar gila!” keluh Dzakky.

“Monyet ‘kan memang tidak diberi Tuhan akal, Opa,” celetuk Titin.

“Jangan bikin Opa tambah emosi, Tin!” Dzakky mengembuskan napas berat.

Titin menyengir lebar. Dzakky menyabar-nyabarkan hatinya. Dia tentu tak mau membuang energi dengan menghadapi cucunya yang super jahil. Dzakky harus memulihkan tenaga sesegera mungkin. Siapa tahu, naga yang harus dihadapi mendadak muncul?

“Ayolah, Kek! Nikmatilah pemandangannya. Udara di sini pun menyegarkan! ” Seru Titin riang sembari menarik napas dalam-dalam. “Tampaknya para monyet itu tidak berani ke sini.”

“Mereka itu bukan monyet tapi bekantan. Lihatlah hidung yang mancung itu! Kau tahu, Tin? Mereka adalah primata paling tampan, endemik hanya ada di Kalimantan.” Dzakky melongo. “Eh? Mereka harusnya di Kalimantan. Kenapa ada di sini?”

“Kalimantan itu apa, Kek?” Dzakky mengerutkan kening.

“Apa maksud kamu, Tin? Kalimantan, salah satu pulau di negara kita ini, Indonesia.”

“Indonesia? Negara kita ‘kan Negara 03, Kek?”

Dzakky menggaruk-garuk kepala tidak gatal. Matanya menatap wajah Titin penuh selidik. Titin balas menatap heran sang kakek, mencoba memutar otak. Cling! Titin mendadak teringat cerita neneknya mengenai tragedi dua tahun setelah ledakan di laboratorium sang kakek.

“Pasti karena gempa puluhan tahun lalu, tepat dua tahun setelah ledakan di laboratorium kakek. Pernah terjadi gempa di seluruh bumi yang menyebabkan beberapa daratan menjadi satu hingga menyisakan hanya ada lima negara di dunia saat ini. Negara kita adalah Negara 03, negara yang terkenal dengan teknologi dan militernya.”

“Aku sempat bingung ketika kamu menyebut Sung Jae karena itu nama Korea. Jadi, negara-negara yang ada sebelumnya telah menyatu?”

“Begitulah, Kek. Jadi, sekarang negara cuma ada lima, 01, 02, 03, 04 dan 05,” gumam Titin sembari menepuk bahu Dzakky.  Dia bangkit dari duduk dan menyentuh salah satu kelopak bunga. “Bunga-bunga ini sangat indah, sepertinya bukan tanaman liar dan dirawat dengan baik.”

Dzakky mengembuskan napas berat sambil menyahut asal, “Mungkin yang punya rumah ini yang meraw-.”

“SIAPA KALIAN?” teriakan penuh amarah memotong ucapan Dzakky.

Dzakky dan Titin tersentak, secara refleks langsung mencari asal suara. Dua pemuda tampan menatap keduanya lekat. Pemuda pertama berambut merah menyala dengan sepasang bola mata bagaikan batu rubi. Dialah yang tadi meneriaki Titin dan Dzakky. Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan amarah yang bergejolak. Pemuda lainnya menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Rambut hitam pekat diikat seadanya tertiup angin. Sementara itu, mata hitam laksana black pearlmenatap dingin rerumputan.

“Cepat jawab! Siapa kalian?” Pemuda bermata rubi mendekati Titin membuat gadis itu mundur beberapa langkah. “Apa tujuan kalian ke sini? Hah!” Wajah mereka hanya tinggal beberapa senti. Titin menahan napas juga debaran di dadanya karena wajah galak itu tak kalah tampan dibandingkan Samudra. Ya! Mungkin Samudra lebih tampan, tapi aura bad boypemuda bermata rubi juga spesial. “Pasti ada niat jahat ‘kan?” Titin tersulut emosi.

“STOP!” jeritnya kesal. “Bagaimana mana mau menjelaskan kalau kamu ngomong terus, Mas?” protes Titin lagi. “Mana nggak sopan. Memperkenalkan diri aja nggak! Tiba-tiba nanya nama kami!” ucap Titin sambil memalingkan wajah.

“Namaku Joko Geni dan dia adik kembarku, Arga Yudha!” seru Pemuda bermata rubi dengan wajah angkuh. Titin mendecakkan lidahnya. “Kamu menghina aku, ya?” Sorot mata tajam menusuk si gadis muda.

Giliran Geni mendecakkan lidah. Titin mendelik tajam, tak mau kalah. Keduanya saling bertatapan dengan aura membara. Geni mencengkeram pergelangan tangan Titin. Matanya terbelakak ketika menangkap gambar naga berwarna biru di telapak tangan Titin. Amarahnya semakin menjadi-jadi.

“Ini ..., tanda penikahan dari Kakang Samudra! Kamu telah menipu Kakang Samudra untuk mendapatkan Mustika Banyu Biru! Awas kalian!”

“Enak saja! Aku cuma pinjam mustika aja kok! Ini untuk menyelamatkan dunia!”

“CIH!”

Api kemarahan semakin berkobar di mata rubi Geni. Dua bola api berpijar pada kedua tangan. Hanya dalam hitungan detik, bola api meluncur menuju Titin. Beruntung, gadis itu berhasil menghindar. Bola api meleset hanya melontarkan Titin beberapa meter ke kanan. Titin menutup mata, mencoba menahan sakit. Tapi, eh tidak sakit? Titin membuka mata perlahan. Mata beriris cokelatnya bertatapan dengan mata hitam pekat pemuda berwajah dingin. Sementara tangan si pemuda menahan tubuhnya dengan erat. Dalam beberapa jenak, Titin merasa terhanyut dalam bola bening bagaikan mutiara hitam misterius itu seolah tersedot ke dalam black hole. Deheman membuat keduanya segera tersentak dengan pipi bersemu. Pemuda bermata Rubi menatap kesal pada sang adik.

“Aku hanya melindungi bunga-bungaku,” kilah Arga tak ingin mendapat kemarahan kakaknya. “Lagipula aroma gadis ini sangat manis ....”

“Diam kamu Arga!” potong Geni.

Tangannya kembali mengeluarkan bola api. Senyuman sinis terukir di sudut bibir ketika mengarahkannya pada Titin. Gadis itu berguling ke kiri. Namun, sial! Dia malah tertusuk batuan tajam di bagian bahu. Titin meringis. Seringai Geni semakin lebar. Bola api beruntun lurus ke arah Titin. Dzakky melompat secepat kilat.

“Arghhh!” jeritnya tertahan. Kondisi tubuhnya tampak baik-baik saja karena menggunakan pakaian pelindung tahan api. Pemuda bermata rubi tersenyum sinis. Sementara itu, lelehan air mata menuruni pipi Titin. “Tak apa, Tin. Untung tadi Opa sempat menggunakan jubah pelindung,” hibur Dzakky. Namun, “Uhuk!” Cairan merah mengalir di sudut bibirnya.

“Opa!” jerit Titin panik.

“Kalian pikir bisa selamat dengan alat buatan kalian heh! Bola apiku itu mengandung tenaga dalam!” teriak sang naga angkuh. “Sudah berapa kali kalian para manusia mengobrak-abrik di sini. Aku cukup salut kalian berdua bisa menemukan rumah kami. Ini akan mengakhiri hidup kalian!”

Bola api yang lebih besar meluncur begitu saja tepat ke arah Titin dan Dzakky. Keduanya menutup mata, pasrah. Suara keras diiringi guncangan dahsyat membuat keduanya ambruk. Tak ada rasa sakit! Dzakky membuka mata. Sebuah tembok besar dari tanah hitam pekat berdiri kokoh di hadapan, memantulkan bola api ke udara untuk kemudian pecah di antara gumpalan awan.

“Arga! Apa yang kamu lakukan?” gusar Geni, tak menyangka adiknya akan melindungi para manusia itu.

“Kakang Geni, jangan sampai dendam membutakan hati kita! Kakang tahu mereka bukan orang jahat!” Bola bening hitam pekat nan misterius menatap dingin sang kakak.

Dzakky mengerutkan kening, mencoba menguping pembicaraan kedua naga. Bagaimana bisa sang naga tanah begitu percaya pada mereka? Sayangnya, rasa penasaran Dzakky harus ditunda karena tebing curam mulai retak. Hanya dalam hitungan detik, tanah tempat Dzakky dan Titin berpijak ambruk membuat keduanya meluncur ke jurang.

Saat genting itu, Titin malah pingsan karena terlalu banyak kehilangan darah. Dzakky menelan ludah berkali-kali. Beruntung, di menit-menit terakhir, dirinya teringat fungsi spesial lain dari seragam yang diberikan Profesor Shela. Sedikit gemetar, Dzakky menekan tombol merah kecil pada bagian dada kanan. Desingan terdengar samar sebelum lapisan pelindung mulai menyelimuti tubuhnya. Dzakky mendekap tubuh Titin erat-erat.

Keduanya bergulingan di sisi jurang, beberapa kali membentur bebatuan tajam. lapisan mulai menipis. Dzakky beberapa kali meringis. Bekas serangan bola api mengandung tenaga dalam mulai menggerogoti tubuhnya. Aroma anyir menguar ke udara. Wajah Dzakky berubah pucat ketika melihat aliran merah mengaliri bahu Titin semakin deras.

Tuhan, selamatkan cucuku!

***

Dzakky sudah tak dapat lagi menghitung waktu mereka tergeletak di bawah jurang. Kesadaran Dzakky sudah hampir mencapai titik akhir ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Pemuda itu mengeratkan pelukan pada cucunya, berusaha melindungi gadis itu jikalau sang naga menemukan mereka. Syukurlah! Dua sosok yang mendekat benar-benar manusia.

 “Tolong!” jerit Dzakky sekuat tenaga. “Uhuk!” Semburan darah menyembur begitu saja dari bibirnya.

Sementara itu, dua sosok yang tengah mendekat terperenyak. Mereka tak lain adalah Sung Jae, artis idola Titin bersama pengawal pribadinya, Risman. Sung Jae mendekati dua tubuh yang tergeletak lemah. Aroma anyir menelusuk hidung. Dia tersentak ketika tangan berlumur darah memegangi kakinya. Wajah dengan pipi lebam menatap penuh harap.

“Kumohon selamatkan cucuku ...,” gumam Dzakky lirih. Tangannya menunjuk Titin.

Sung Jae menaikkan sebelah alis. Usia pemuda dan gadis di hadapannya, tampak tidak terpaut jauh. Sung Jae menggelengkan kepalanya cepat, mencoba mengusir pikiran tak penting. Saat ini, keselamatan nyawa keduanya jauh lebih utama.

“Man, kamu bawa pemuda ini!” perintah Sung Jae.

Risman tak banyak bicara, segera menaikkan tubuh Dzakky ke punggungnya. Sementara itu, Sung Jae berjongkok, melingkarkan lengan Titin ke lehernya. Tubuh Titin baru beberapa senti terangkat dari tanah ketika sesuatu terjatuh dari saku jaketnya.

Sung Jae menahan Titin dengan tangan kanan sementara tangan kirinya meraih benda persegi berwarna biru di atas tanah, sebuah dompet. Matanya tak sengaja menangkap foto keluarga di dalamnya. Senyuman lebar para insan dalam foto mengiris hati. Dirinya terpaku. Tubuh terasa membeku. Jemari Sung Jae menyentuh wajah gadis dalam gendongan dengan gemetar. Buliran bening mengumpul di sudut  mata.

“Tuan? Tuan?” Suara Risman menarik Sung Jae ke alam nyata.

“I-iya.”

“Saya bisa memanggil bantuan. Tuan tidak perlu repot untuk menggendong gadis ini.”

Sung Jae menepis kekacauan dalam hatinya. Dia menggeleng cepat, menggendong Titin sembari berseru, “Tidak! Kita harus bergegas, Man.” Tak lama hingga keduanya mempercepat langkah memasuki gapura dengan ukiran naga berwarna emas.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kala Saka Menyapa
12240      2890     4     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Dear You
15685      2706     14     
Romance
Ini hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. Tentang bagaimana mensyukuri hidup. Tentang bagaimana mencintai dan menyayangi. Dan, tentang bagai...
Secret Elegi
4378      1287     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
Black World
1690      797     3     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
My Teaser Devil Prince
6545      1662     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
The Maiden from Doomsday
10755      2408     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Power Of Bias
1094      636     1     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Let Me be a Star for You During the Day
1077      583     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Persapa : Antara Cinta dan Janji
8057      1962     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Kisah Alya
334      237     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...