...
Hari ini pekerjaan Ezra di kantor benar-benar menumpuk. Posisinya sebagai pemimpin sekaligus pemilik dari salah satu perusahaan konstruksi terbesar di kota ini membuatnya harus rela turun tangan untuk menyelesaikan semua masalah perusahaan, bahkan masalah terkecil sekalipun. Ezra ingin semua yang ia kerjakan dan ia miliki sempurna. Tak ada cacat sedikit pun.
Seperti hari ini. Disaat tenaganya sudah habis untuk memeriksa semua laporan keuangan semester dan menghadiri rapat dengan calon investor dari Singapura, ia juga harus ikut memecahkan masalah yang terjadi pada karyawannya.
Tadi pagi, saat melewati lantai 1, di depan meja resepsionis, Ezra tak sengaja mendengar adu mulut antara 2 karyawannya. Setelah Ezra bertanya pada sekretaris pribadinya, ternyata dua wanita itu adalah staff bagian keuangan. Ezra itu tipe orang yang menuntut semua hal harus berjalan sesuai perintahnya dan juga harus terlihat sempurna. Dan pertengkaran tak berkelas yang tadi pagi, suskses membuatnya naik pitam. Tanpa banyak basa-basi ia merumahkan 2 pegawai itu. Masalah selesai dan tingkat kekejaman seorang Ezra melambung di mata pegawai-pegawainya.
Ezra itu bukannya sangat kejam, ia hanya tak suka membiarkan sesuatu yang tak berguna dipelihara berlama-lama. Lahir dalam keluarga dengan predikat konglomerat membuat Ezra mendapat didikan tegas dari ayahnya. Dan agaknya didikan sudah mendarah daging pada Ezra. Ia menjadi seseorang yang tak bisa mentolerir kesalahan sekecil apapun. Dan sikapnya yang seperti itu membuat ia semakin sempurna. Tampan, kaya dan mendominasi.
Sementara Ezra berkutat dengan pekerjaannya, Anita sedang kerepotan mengurus Okta. Sedari pagi Okta yang Anita ajak bicara hanya menjawab seadanya saja, bahkan tak jarang hanya diam. Anita yang merasa bingung akhirnya menyudahi obrolannya dengan Okta dan keluar dari kamar yang Okta tempati.
Anita kemudian menghubungi Ezra. Ia harus bertanya sesuatu.
Ponselnya yang bergetar membuat Ezra membuka matanya yang sempat terpejam. Ia menegakkan tubuh yang semula bersandar di punggung kursi dan menatap layar ponsel pintarnya dengan satu alis yang naik. Nama Anita tertera disana. Biasanya Ezra akan mengabaikan urusan pribadi selama ia di kantor, tapi mengingat saar ini dirumahnya ada Okta, ia pun segera menggeser ikon hijau di ponselnya itu
“Ada apa?” tanya Ezra cepat
“Begini, apa Okta itu tak suka mendengar orang bercerita?” tanya Anita takut-takut. “aku mengajaknya bicara dan dia hanya mengangguk, menggeleng dan tersenyum.”
Dimana-mana wanita memang selalu menciptakan masalah. Jangan marah pada Ezra karena sudah meyakini prinsip itu. Ezra punya bukti kuat. Selama ia hidup, Ezra hanya mengijinkan 2 wanita memasuki hidupnya dan lihat apa yang terjadi padanya karena 2 wanita itu.
Pertama Okta. Tanpa berbuat apa-apa gadis satu membuat Ezra mampu bertingkah bodoh, merasakan gugup bahkan memutuskan sesuatu yang konyol. Meski Ezra punya perasaan senang karena menemukan seseorang yang bisa membuatnya melunak, tapi tetap saja ada sisi egois Ezra yang tak suka dengan kenyataan itu.
Wanita kedua adalah ibunya. Oknum yang memaksanya menikahi Anita. Dan lihat apa yang Anita lakukan padanya. Haruskah Anita bertanya soal hal tak penting begini?
“Ezra? Apa yang harus aku lakukan? Aku kesulitan membuatnya mau bicara. Setidaknya dia harus bicara beberapa kalimat kan?”
Anita. Gadis periang dengan latar belakang keluarga terpandang. Ayahnya seorang annggota dewan dan ibunya adalah seorang kepala yayasan sosial terkemuka. Sejak dulu Anita selalu menyelesaikan semuanya sendiri. Ia juga terbiasa menemukan jalan keluar masalahnya sendirian. Bahkan setelah menikah dengan Ezra, ia juga tak pernah mengadukan masalah apapun pada suaminya itu. Tapi untuk masalah Okta, ia merasa tak bisa berbuat banyak. Ia sama sekali tak kenal gadis itu dan Ezra adalah satu-satunya tempat untuk ia bertanya.
Di tempatnya Ezra diam untuk sesaat. Apa yang Anita ucapkan mengingatkannya pada Okta yang dulu. Okta temannya yang memang tipe gadis pendiam, tapi pada keadaan tertetntu bisa sangat berisik. Ia sangat yakin, Okta yang diam pada Anita semata-mata karena Okta masih merasa asing pada Anita. Tanpa sadar, wajah kesal Ezra berubah. Ada sebuah senyuman disana.
“Ezra?”
Ezra tersadar. Sadar dari lamunam Ezra melakukan sesuatu yang impulsif. Pria itu bangkit dari kursinya, mengambil jas kerja juga kunci mobilnya, “Aku pulang sekarang.”
Ezra meninggalkan kantor sebelum jam kerjanya habis dan itu pun hanya karena Anita yang mengadu bahwa Okta tak mau bicara. Tak mau ambil pusing akan tindakannya yang diluar kebiasaan, Ezra turun dari mobilnya dan segera masuk ke rumah. Ia sudah tiba rumah.
Anita yang kebingungan, menyambut kepulangan Ezra seperti biasa. Dilihatnya dan dipelajarinya raut wajah Ezra. Ia kira Ezra akan marah besar saat dirinya menelepon pria itu tadi. Tapi apa? Ezra bahkan tak membentaknya dan malah pulang untuk membantunya.
“Okta dikamar?” tanya Ezra setelah duduk di ruang tamu. Ia kemudian melonggarkan simpul dasinya. Ezra menatap ke lantai 2 rumahnya setelah melihat Anita mengangguk. “Okta memang seperti itu. Saat dia diam, kau hanya perlu memastikan bahwa dia tidak sakit. Selebihnya tak usah heran, karena dasarnya dia memang tak suka banyak bicara. Hanya dalam keadaan tertentu saja Okta akan bicara sangat banyak.”
Anita mengangguk paham, lalu bertanya lagi. “Apa ini karena dia masih merasa asing padaku?” tebaknya.
Ezra menatap Anita bangga. Akhirnya untuk pertama kalinya Anita bisa memikirkan sesuatu yang benar. Ezra pun mengiyakan dengan mengangguk.
Anita menatap Ezra sebentar. Ia sedang menimbang apakah harus ia tanyakan ini atau tidak. Tapi mengingat wajah tak nyaman Okta tadi, ia pun memberanikan diri bertanya, “Okta itu orang yang seperti apa? Aku perlu tahu apa yang ia suka dan tidak suka, agar bisa dekat dengannya.” Anita diam. Ezra sedang menatapnya dengan penuh tanya sekarang dan itu lumayan menakutkan. Oh, ingatkan Anita bagian mana dari Ezra yang tak Anita takuti.
“Kenapa harus aku ceritakan?”
“Kami hanya berdua di rumah ini. Jika bukan padaku, Okta akan bicara pada siapa? Lagipula, aku juga ingin menjadi teman Okta.”
Ezra lumayan terkejut saat dilihatnya mata Anita berbinar tulus saat berucap tadi. Ezra kejam, tapi bukan berarti dia tak punya perasaan. Ia cukup menyesal jika sampai Anita tahu siapa Okta baginya.
“Ezra?” panggil Anita lagi
Ezra menghela nafas berat sebelum berucap, “Lakukan saja apa yang kau anggap benar. Okta hebat dalam menilai maksud seseorang. Jika niatmu memang untuk berteman, Okta pasti tahu.” Ezra berdiri dan berjalan meninggalkan ruang tamu
“Kau mau makan?” tanya Anita sebelum Ezra pergi
“Tidak, aku mau tidur saja.”
Anita mencoba memapah Okta untuk menuruni tangga. Waktunya makan malam dan Anita pikir Okta sudah cukup kuat untuk ikut makan di meja makan. Lagipula ia yakin Okta pasti bosan karena sejak 3 hari lalu gadis itu terus di kamar.
“Tidak perlu, Anita. Aku sudah tidak pusing.” Okta sesopan mungkin menolak bantuan Anita. Meski sangat baik, Okta masih merasa asing akan Anita.
“Baiklah. Ayo !” tersenyum senang, Anita melepas tangan Okta. Beberapa hari ini Anita memang sangat senang karena Okta sudah mau bicara padanya. Hadirnya Okta dirumahnya membuat Anita tak kesepian lagi. Sekarang ada orang yang bisa ia ajak bicara dan bersedia mendengarkan semua ocehannya. Okta orang yang suka mendengarkan dan bisa memberikan feed back yang Anita memang butuhkan. Tidak belerbihan tapi memang yang ia inginkan.
Sampai di meja makan, Okta menghentikan langkah karena Ezra ada di sana. Pria itu duduk di kursi tengah meja makan dan diliputi aura khas penguasa. Pertemuan pertama Okta dengan Ezra membuatnya takut, dan pertemuan kedua ini membuatnya semakin takut. Dari cerita Anita, Ezra itu adalah tipe suami yang kelewat tegas. Anita juga bilang kalau Ezra itu tak suka dibantah.
Ezra yang sedang mengunyah makannya seketika berhenti karena menyadari kehadiran Okta. Ia menatap gadis itu sebentar lalu mengunyah makanannya lagi dengan perlahan. Hati-hati, jangan sampai ia menggigit lidahnya sendiri. Tak seperti pertama kali bertemu, hari ini Okta sudah terlihat segar. Wajahnya tak pucat lagi dan luka di keningnya juga sudah tidak ada. Gadis itu kembali memancarkan aura yang mampu membuat Ezra susah bernafas. Manis tapi tak tersentuh.
“Duduk Okta.” ajak Anita dan mendudukan Okta pada kursi disebelah kanan kursi utama. “Kalian belum berkenalan dengan resmi kan? Dia suamiku Ezra.” kata Anita sambil duduk di sisi meja yang berseberangan dengan Okta.
“Aku Ezra. Kita tak perlu berjabat tangan kan?” Ezra memasang wajah paling dingin yang ia punya, lalu menatap Okta. Ia kemudian kembali fokus pada makanannya saat Okta mengangguk paham.
Setelah makan malam selesai, Okta hendak kembali ke kamarnya. Anita sudah tak disana karena sedang menjawab telepon dari seseorang. Dengan kikuk, Okta pun mohon diri pada Ezra. Sebenarnya ia takut mengeluarkan suara di depan pria itu, tapi demi sopan santun ia memaksakan diri. “A-aku duluan Ezra.”
“Iya,” susah payah Ezra tak terbata dalam menjawab
Kemudian Okta pun menaiki tangga. Tanpa gadis itu tahu Ezra terus menatapnya. Tapi agaknya apa yang Ezra lakukan tidak sia-sia. Karena pada anak tangga ketiga, Okta hampir saja jatuh karena gadis itu tersandung. Lari dengan cepat, Ezra berhasil mencegah Okta jatuh. Ia menangkap gadis itu hingga sekarang Okta aman dalam pelukannya.
DEGH….DEGH….DEGH.DEGH.DEGH.DEGH
Ezra memohon agar Okta tak mendengar detakan jantungnya yang menggila. Buru-buru ia melepaskan Okta dari dirinya.
“Terima kasih.” kata Okta sambil menunduk malu
“Hati-hati,” kata Ezra sambil memindai tubuh Okta dari atas hingga bawah. Memastikan gadis itu baik-baik saja. “Apa kau pusing lagi?”
“Tidak. Aku hanya tersandung sandalku sendiri.” Okta tanpa sadar menggaruk kepalanya dan tersenyum kecil.
Didepan Okta, Ezra menyesali keputusannya membawa Okta ke rumahnya. Ini bunuh diri namanya. Bagaimana bisa ia tahan jika setiap hari Okta seperti ini? Gadis itu masih semanis dulu. Sial, Ezra ingin melakukan sesuatu pada wajah tersenyum itu.
“Pergilah ke kamarmu sekarang juga, aku tak bisa menjamin tak akan terjadi hal buruk padamu.” Ezra berucap dengan suara rendah
Okta pun segera menuruti perintah Ezra. Anita benar, Ezra sangat kejam dan juga tak terbantahkan.
…
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14