...
Sinar mentari sudah mengintip dari balik tirai jendela kamar yang Okta gunakan. Sinarnya tak sampai menggangu tidur Okta, tapi rupanya gadis itu memilih bangun. Duduk di ranjang besar, Okta merasa kepalanya pusing. Okta kemudian mengamati ruangan bernuasan putih itu. Meski pelanya berdenyut, ia masih sempat mengagumi megahnya kamar seukuran hampir setengah lapangan sepak bola itu.
Okta hendak bangkit dan keluar untuk mencari seseorang agar bisa ditanyai, tapi jarum infus yang tertanan disalah satu lengannya membuatnya mengurungkan niat. Okta kembali berbaring, rasanya ia ingin muntah. Ia menutup matanya dan menaruh tangannya di atas wajah.
Suara pintu yang terbuka membuat Okta memasang sikap awas. Melihat seorang pria asing, Okta sepenuhnya bangun dari posisi tidurnya.
“Kepalamu pasti pusing.” alih-alih mengucapkan sapaan selamat pagi yang sudah ia latih sejak 1 jam lalu, Ezra malah bicara soal hal yang tak perlu. Pria itu meringis dalam hati. Masih saja bodoh.
“Siapa kau?” Okta menatap takut
“Mau minum?” Ezra mengambilkan segelas air putih yang ada di atas meja disamping kepala ranjang dan menyodorkannya pada Okta. Gelas yang ditangan Ezra tak berpindah. Okta malah masih menatapnya dengan takut. Ezra mundur, gelas tadi kembali ia letakkan di atas meja lalu ia keluar dari kamar
Ezra mendatangi Anita yang masih ada di kamar tamu. “Okta sudah bangun.” katanya mencoba terlihat biasa.
Anita bingung. Kenapa Ezra memberitahu hal itu padanya? Memang apa yang harus Anita lakukan saat Okta bangun? Anita menatap Ezra meminta penjelasan.
Ezra membalas tatapan Anita dengan jengkel. Selalu lamban. Menghembuskan nafas kesal, Ezra pun mau tak mau menjelaskan, “Dia sakit. Ingatannya hilang. Jika aku yang kesana dan mengurusinya, untuk apa aku menyuruhmu berbohong?”
Anita menepuk jidatnya. Ia lupa. Setelah memberikan cengiran bodoh pada Ezra, ia pun segera berlari menuju kamar Okta.
Anita masuk tanpa mengetuk pintu dan ia juga mendapat pertanyaan yang sama dari Okta.
“Minum dulu” Anita duduk di pinggir ranjang dan memberikan segelas air pada Okta. Ia tersenyum senang saat Okta mau meminumnya
Okta mengamati wajah tersenyum Anita. Lain dengan pria yang pertama masuk tadi, aura Anita sangat bersahabat. “Siapa kau?” tanya Okta lagi.
Anita langsung merubah wajah tersenyumnya menjadi murung. “Kau bahkan tak mengingatku.” katanya sambil menunduk. Membuat kesedihannya terlihat semeyakinkan mungkin. “Aku Anita, Okta.”
Anita. Okta mencoba mengingat nama itu tapi tak ada satu pun memori yang ia punya. “Apa harusnya aku mengingatmu? Maaf, tapi aku bahkan tak tahu siapa namaku.”
Anita menatap Okta, lalu tersenyum lembut. Ia membawa tangan Okta dalam genggamannya, membuat gadis itu merasa nyaman. “Namamu Okta dan aku Anita, sahabatmu.”
Anita pun memulai ceritanya. Ia membangun kisah semeyakinkan mungkin soal persahabatan dirinya dan Okta sejak SMA hingga kuliah. Lalu Anita juga menyinggung masalah yang ayah Okta alami. Untuk yang satu ini Anita menceritakan yang sebenarnya, karena Om Jefri sudah sempat menceritakan masalah itu pada Okta.
Di depan Anita, Okta mendengarkan semua cerita tentang dirinya yang ia lupakan. Gadis itu bahkan menangis saat Anita menceritakan apa yang terjadi pada ayahnya. Ia semakin terisak saat Anita memeluknya. Okta percaya pada cerita Anita.
“Jangan menangis lagi. Mari kita sudahi kesedihanmu hari ini.” Anita menghapus air mata dipipi Okta dan tersenyum.
“Lalu kenapa saat aku dirumah sakit kau tidak pernah datang?”
Anita kira sesi berbohongnya sudah selesai. Tapi saat Okta bertanya lagi, ia baru ingat apa yang beberapa waktu lalu Ezra katakan padanya.
Okta itu gadis yang pintar, jadi berhati-hatilah menyusun kebohongan
Anita diam cukup lama sampai akhirnya ia mendapat ide. “Aku sedang ada di luar negeri. Suamiku sedang mengurusi perusahaannya yang ada disana. Aku baru kembali tadi malam dan baru mendengar berita tentangmu.” Anita memberi selamat pada otaknya yang hari ini bekerja sangat baik. Anita kembali tersenyum senang saat dilihatnya Okta mengangguk paham. “Mulai sekarang, kau akan tinggal bersamaku disini.”
Okta menimbang. Kalau ia setuju, ia tak ingin menyusahkan Anita dan menjadi beban untuk orang lain. Tapi kalau dia menolak, akan tinggal dimana dia? Sudah tak ingat apapun, siapapun tak lagi punya. “Apa tidak masalah jika aku menumpang dirumahmu?” Okta ingat pria yang tadi sempat datang ke kamarnya. Itu pasti suami Anita. Apa suami Anita akan bisa menerimanya?
“Tentu saja tidak.” Anita juga tak tahu, tapi saat Okta memberi jawaban yang terkesan mengiyakan, ia segera memeluk Okta. Ia senang, tapi bingung harus senang karena apa? “Maaf, aku terlalu senang. Apa aku menyakitimu?” tanyanya kikuk saat sudah melepas pelukannya.
“…tidak.” kata Okta sambil tersenyum kecil. Ia semakin yakin kalau dirinya dan Anita memang berteman. Setelah itu Okta kembali harus membaringkan diri, pusingnya bertambah parah. “Maaf, tapi rasanya aku mau muntah.”
“Tidak apa-apa. Berbaringlah dulu. Aku akan ambilkan sarapan untukmu. Om Jefri bilang, pusingnya akan berkurang setelah beberapa hari.” Anita sudah dekat dengan pintu sampai Okta memanggilnya lagi untuk mengucapkan terima kasih. “Sama-sama.” jawab Anita dengan senyuman senang yang entah sudah berapa kali ia tunjukan hari ini
Menyiapkan makanan untuk Okta didapur, Anita didatangi Ezra. Suaminya itu bertanya untuk menyamakan kebohongan. Anita pun memberitahu Ezra apa yang perlu pria itu ketahui dan kebohongan apa yang sudah Anita tambahkan.
“Tenang saja, Okta akan baik-baik saja.” Anita mengelus pundak Ezra. Anita terkagum saat Ezra yang biasanya sangat tidak perhatian bisa bersikap begini baik pada orang lain.
Ezra diam. Okta memang akan baik-baik saja, karena ia sendiri yang akan memastikan itu. Yang membuat Ezra tak tenang adalah dirinya sendiri. Okta didekatnya. Satu rumah dengannya. Kebodohan apalagi yang nantinya akan ia lakukan? Seluruh kecerdasan juga sikap angkuhnya akan luntur dengan otomatis saat Okta ada disekitarnya.
Sejak dulu Ezra sadar kalau dirinya mencintai Okta. Yang ia tidak sadar adalah cinta yang sudah ia pendam cukup lama itu ternyata bisa lebih berbahaya dari kebodohan manapun. Bodoh, Ezra sudah melakukan 2 hal bodoh padahal belum genap 24 jam Okta berada dirumahnya.
Yang kedua adalah saat ia yang tak mampu mengucapkan selamat pagi dengan benar pada Okta. Sedangkan yang pertama adalah saat ia masuk ke kamar Okta pukul 5 pagi tadi. Niat awal Ezra hanya ingin memastikan keadaan Okta baik-baik saja. Tapi akal sehatnya menghentikannya masuk kesana. Memang penting seorang pria bersuami, masuk ke kamar gadis lain saat subuh, hanya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja? Memang apa yang bisa terjadi pada gadis sendirian di dalam kamar? Gila. Apa Ezra ingin menyeleweng dirumahnya sendiri? Bagaimana jika Okta bangun dan menyadari perbuatannya dan menganggapnya tidak sopan? Atau, apa yang harus ia jelaskan pada Anita, jika istrinya itu memergokinya masuk kesana? Ini bahkan belum genap satu hari Okta dirumahnya dan ia sudah hampir melupakan norma.
“Ezra?” Anita menepuk lengan Ezra karena sedari tadi suaminya itu hanya diam dan menatap tak focus. “Tenang saja, Okta akan baik-baik saja tinggal bersama kita.”
Ezra menatap Anita datar. Ia mengangguk dan pergi meninggalkan dapur. “Aku yang tidak baik-baik saja….” gumamnya pelan
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14