...
Kadang, saat sesuatu yang sangat kau inginkan tak jadi milikmu, harusnya kau terima saja dengan ikhlas. Tak perlu memaksakan karena sesungguhnya yang tahu apa yang terbaik untukmu bukanlah kau sendiri.
Sesuatu yang dipaksakan kebanyakan tak pernah berakhir baik. Itulah yang terjadi di kisah ini. Semuanya berakhir dengan sebuah penyesalan.
Jika saja dulu Ezra tak membawa Okta ke rumahnya dan memaksakan kehendak agar gadis itu tinggal bersamanya, mungkin saja rasa cintanya pada gadis itu tak hidup lagi dan ia tak harus berbohong. Dan jika saja Ezra tak membawa Okta ke rumahnya, mungkin saja masa lalu Anita tak terulang lagi. Mungkin rumah tangga Ezra dan Anita juga tak akan bahagia, tapi setidaknya hal buruk lainnya bisa dicegah.
Tapi, seperti yang selalu orang bijak katakan. Akan ada satu hal baik yang lahir dari banyaknya hal buruk yang diterima dengan tulus.
Ezra akhirnya menyerah akan cintanya pada Okta. Ia sadar bahwa ia dan Okta memang tak ditakdirkan bersama. Ia membiarkan Okta pergi ke Filipina dan menikah dengan Alex, seperti apa yang gadis itu mau.
Anita juga menyerah akan cintannya pada Okta. Meski sulit, ia berusaha hidup bersama Ezra yang menganggapnya seolah tak ada.
Ezra sendiri merasa sudah tak punya tujuan hidup lagi. Ia bahkan hampir bunuh diri 1 tahun lalu. Tapi semuanya berubah saat Anita membawa pulang seorang anak yang Anita bilang ia adopsi dari panti asuhan.
Ezra mendapat tujuan hidupnya lagi. Ia tak tahu kenapa, tapi anak yang diberi nama Inezz itu membuatnya ingin jadi ayah yang baik. Ia ingin merawat Innez. Ia ingin memastikan bayi kecil itu mendapat hidup layak. Meski bukan darah dagingnya, ia merasa sangat menyayangi Innez.
Anita dan Ezra pun membesarkan Innez dengan penuh kasih sayang. Mereka tak membiarkan gadis itu kekurangan apapun. Dan sebagai imbalannya, Anita dan Ezra mendapat tawa mereka kembali. Innez tumbuh menjadi gadis yang manis. Bahkan di usianya yang masih 5 tahun ia sudah sangat pintar dan bijak.
Seperti sekarang. Gadis itu tak menyentuh semua makanan di meja makan padahal ia sudah sangat lapar. Ia tak akan makan kalau ayah dan ibunya tak ikut makan.
“Ayah, Ibu!” teriak Innez senang saat akhirnya ayah dan ibunya datang.
“Maaf, Nak. Ibu terlambat. Kenapa Innez nggak makan duluan?”
“Innez mau makan sama ayah dan ibu. Lebih enak kalau makan sama-sama.”
“Ya udah. Kita makan ya. Berdoa dulu, Nak.” Ezra pun melipat tangannya dan memimpin doa.
Selesai makan malam, Innez pun duduk di ruang tamu. Menunggu ayah dan ibunya yang sedang membersihkan diri. Orangtuanya itu baru saja pulang bekerja. Tak lama, Innez mendengar bel pintu rumahnya ditekan. Gadis kecil itu pun membukakan pintu.
“Om Alex!” teriaknya girang lalu segera menghambur ke pelukan Alex. Om Alex ini adalah temanya ayah dan ibu.
Alex menggendong Innez ke ruang tamu dan duduk di sofa. Kemudian Ezra pun datang. Seperti biasa. Ayahnya Innez itu selalu menatapnya tak suka.
“Ayah, Om Alex datang lagi.” Innez bermain dengan tangan Alex.
“Innez, ayah boleh bicara sama om Alex nggak?” Ezra mengambil Innez dari pangkuan Alex. “Innez ke kamar dulu ya, Nak.” Ezra tersenyum pada Innez setelah dilihatnya gadis kecil itu mengangguk.
Setelah memastikan Innez sudah meninggalkan ruang tamu, barulah Ezra bicara pada Alex. Ia tak mengerti kenapa sampai sekarang Alex terus datang ke rumahnya. Ia juga bingung kenapa Alex ikut-ikutan mengurusi Innez sementara ia sudah memperistri Okta. Emosi Ezra selalu berada di level paling tinggi setiap melihat wajah laki-laki itu.
“Aku berhak atas Innez,” kata Alex dengan wajah sendu. “Besok ulang tahun Innez,” sambungnya.
“Aku sudah mengizinkanmu bersama Okta. Apa sekarang kau sedang menyia-nyiakan dia?!” suara Ezra meninggi.
Anita yang baru datang langsung bisa mengerti kenapa Alex ada di rumahnya. Besok ulang tahun Innez. Tanpa bisa ditahan, air mata Anita pun menetes.
“Alex, Ezra harus tahu semuanya sekarang. Innez juga harus tahu.” Dengan terisak Anita menghampiri Alex.
Alex merasa apa yang Anita katakan benar. Ia pun menatap Ezra dengan mantap. “Kau laki-laki paling brengsek yang sayangnya beruntung.” Alex membuka ceritanya dengan sebuah makian untuk Ezra.
Pertemuan Ezra dan Okta yang terakhir, saat gadis itu berpamitan untuk pergi ke Filipina, Okta berbohong. Ia hanya ingin menjauh dari Ezra dan akhirnya tinggal di rumah yang Alex sediakan. Okta mengandung anak Ezra saat itu dan ia memang punya keingingan memberikan anak pada Ezra. Meski tahu dirinya punya rahim yang lemah dan sadar bahwa nyawanya bisa dalam bahaya jika melahirkan seorang anak, Okta tetap ingin mengandung dan melahirkan anak Ezra.
9 bulan Okta mengandung dan akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan. Dan pada hari Okta melahirkan buah cintanya dengan Ezra, di hari itu jugalah ia meregang nyawa.
Sebelum melahirkan, Okta sudah bertemu dengan Anita dan meminta sesuatu dari Anita. Okta ingin Anita merawat putrinya itu, dan Anita pun menyanggupinya. Anita membawa pulang bayi Okta seminggu setelah Okta meninggal. Mengaku bahwa bayi itu ia adopsi, ia memohon pada Ezra agar diizinkan mengurus bayi kecil itu. Dan Ezra mengizinkan.
Ezra tiba-tiba saja pusing. Ia tak bisa berdiri lagi dan akhirnya terduduk di lantai rumahnya. Okta tak pernah menikah dengan Alex. Dan yang membuat Ezra menangis adalah, Okta yang ia cintai itu sudah meninggal. Ezra merasa dirinya benar-benar pendosa. Ia bahkan tak tahu kalau Okta sudah tiada.
Tak bisa menahan dukanya, Ezra menangis sekuat yang ia bisa.
“Jadi, dimana anakku dan Okta?” tanya Ezra setelah lelah menangis.
“Di kamarnya. Sedang tidur.”
Ezra mengernyit bingung.
“Okta memberiku hak menamainya.” Alex tersenyum tulus pada Ezra. “Jovanka Innez.”
Tangis Ezra pun kembali pecah. Pantas saja selama ini ia begitu menyayangi Innez. Gadis kecil itu anaknya. Darah dagingnya. Okta mengabulkan keinginannya.
.
.
Pukul 7 pagi, Innez bangun dari tidurnya. Ia lumayan terkejut saat melihat Alex ada di sampingnya. Ia pun membangunkan Alex.
“Om Alexi nginep di rumah Innez?” tanya bocah itu dengan raut wajah senang.
“Iya. Sekarang kamu mandi dan siap-siap. Pakai baju yang bagus. Kita bakal pergi ke tempat seseorang.”
Ezra, Anita, Alexi dan juga Innez yang ada di gendongan Ezra tiba di sebuah pemakaman. Berjalan masuk beberapa belas langkah, mereka akhirnya sampai di sebuah pusara. Tiga orang dewasa tadi pun langsung meneteskan air mata. Orang yang sangat mereka sayangi sudah terbaring di sana.
“Ayah, ini makam siapa?” tanya Innez. “Loh? Kenapa Ayah, Ibu sama Om Alex nangis?”
Ezra berjongkok dan mengusap nisan di sana. ‘Aku mencintaimu, Okta. Selamanya.’ Ezra berucap sungguh dalam hati.
“Om Alex, ini makam siapa?” tanya Innez lagi.
Ezra memeluk Innez erat. Air matanya tak mau berhenti mengalir. “Innez, mulai sekarang panggil om Alex dengan sebutan papa Alex ya, Sayang. Dan ini, ini makam ibu kamu. Ibu Okta.”
….
Selesai.
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14