...
Okta keluar dari toko dan menemukan Alex baru saja keluar dari mobilnya. Laki-laki itu menjemputnya seperti biasa. Okta berjalan menghampiri Alex sembari mengepalkan kedua tangan.
“Ayo kuantar pulang, “kata Alex sambil menggenggam tangan Okta.
Okta langsung menarik tangannya. Ia menatap Alex sebentar, lalu memalingkan wajah. “A-aku pulang sendiri saja. Ini sudah malam, kau pulang saja,” tolak Okta. Ia langsung mengeluarkan ponselnya.
Alex bingung. Sudah seminggu belakangan Okta menolak ia antar pulang. Saat ia bertanya alasannya, Okta tak memberikan jawaban yang benar-benar konkrit. Alex yakin, Okta hanya sedang menghindarinya. Tapi kenapa? Seingatnya ia tak melakukan kesalahan apapun pada gadis itu. Dan juga, bukankah hubungan mereka sudah lumayan dekat akhir-akhir ini?
“Aku duluan, Alex.” Okta pun pergi karena ojeknya sudah datang.
Okta mengucap ribuan maaf pada Alex dalam hati. Ia tak mau Alex mengantarnya. Okta sudah melakukan kesalahan. Sejak ia mengajak Ezra ke rumahnya untuk makan mie beberapa minggu lalu, laki-laki itu jadi sering datang. Okta tak mau Alex mengantarnya karena takut Alex melihat Ezra di rumahnya nanti. Ezra suka datang tiba-tiba.
Dan benar saja. Laki-laki itu memang sudah ada di rumah Okta. Ia menunggu Okta pulang dan duduk di teras.
Okta turun dari sepeda motor dan segera menghampiri Ezra. Ada yang berbeda dengan pria itu malam ini. Kepalanya tertunduk seperti orang tidur.
“Ezra,” panggil Okta. Dan setelahnya, ia langsung mendapati wajah Ezra yang memerah. Mata pria itu hampir tertutup. Satu yang bisa membuat Ezra berpenampilan begini. Laki-laki itu mabuk. “Kenapa kau malah datang kemari?” Okta membantu Ezra berdiri. Dari tubuh Ezra menguar bau minuman yang sangat kuat.
“Kau kenal aku, Okta?” Ezra merasa dunia benar-benar sedang berputar. Kepalanya serasa akan pecah.
“Astaga, kau memang mabuk. Bagaimana kau bisa menyetir jika begini?” Okta melihat sekitar dan tak mendapati mobil Ezra di sana. Okta tahu Ezra pasti sengaja tak membawa mobilnya agar bisa punya alasan menumpang tidur di rumahnya. Kesal, Okta menginjak kaki Ezra.
“Kenapa kau injak kakiku?” Ezra berucap lambat
Okta tak menjawab. Dengan satu tangan ia membantu Ezra tetap berdiri dan satu tangan lagi ia gunakan untuk membuka pintu rumahnya. Ia memapah Ezra sampai ke sofa, lalu melemparkan tubuh laki-laki itu ke sana.
“Terserahmu saja, Ezra.” Okta pun pergi ke kamarnya. Membersihkan diri, lalu tidur.
Pukul 2 dini hari, Okta terbangun. Ia merasa tak sendirian di tempat tidur itu. Dan benar saja. Saat ia benar-benar membuka mata, ia melihat sebuah tangan. Ezra tidur dibelakangnya dan memeluknya dengan erat. Oh, apa ini?
“E-Ezra?”
“Aku sedang mabuk, Okta. Aku meracau soal omong kosong jadi dengarkan saja.” Ezra mengeratkan pelukannya. “Kau akan menikah dengan Alex? Apa yang laki-laki itu bilang padaku tadi siang benar?”
Tadi siang, Alex mendatangi Ezra. Kali ini laki-laki itu bukan mengaku sebagai mantan calon tunangan Okta, tapi sebagai calon suami Okta. Alex bilang ia sudah melamar Okta dan Okta menerimanya.
“Iya,” jawab Okta pelan
Ezra tersenyum pahit. “Apa kau masih ingin mendengar jawaban pertanyaanmu tempo hari. Kau ingin tahu siapa kau untukku?” Ezra membalik tubuh Okta agar mereka bisa saling memandang. “Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Okta. Aku Ezra, laki-laki bodoh yang mengingkari janjinya untuk menikahimu.”
.
.
Itu sehari setelah acara wisuda Okta dan Ezra. Hari dimana Ezra akhirnya meminta Okta untuk menjadi pemdamping hidupnya. Saat itu Okta tentu saja terkejut. Mereka pacaran saja tidak, Ezra malah memintanya menjadi istri. Mesi sebenarnya ia juga mencintai Ezra, tapi tetap saja permintaan Ezra ini sangat tiba-tiba.
Ezra pun terus membujuk Okta hari itu, hingga akhirnya gadis itu setuju. Dengan perasaan bahagia, Ezra langsung memeluk Okta.
Esoknya, Ezra memberitahu kedua orangtuanya mengenai rencananya menikahi Okta. Orangtuanya tampak terkejut. Selama ini Ezra memang tak pernah dekat dengan seorang gadis. Dan sekarang tiba-tiba berkata ingin menikah.
Saat itu, Ezra kira ia hanya akan mendapati keterkejutan ayah dan ibunya. Tapi ternyata ia juga mendapat penolakan dari mereka. Dengan alasan sudah menemukan calon istri yang sesuai standar, orangtuanya menentang keinginan Ezra untuk menikahi Okta.
Ezra menolak habis-habisan. Biarkan saja ia jadi anak durhaka, ia tak perduli. Ia ingin menikahi Okta. Tapi pada akhirnya, laki-laki itu menyerah. Sang ibu yang memang sudah sakitan-sakitan mendadak memburuk kesehatannya. Dengan alasan bahwa hidupnya tak lama lagi, ibu Ezra meminta pria itu menikahi gadis pilihannya, Anita.
Ezra terpaksa menurut. Ia sayang ibunya dan lemah karena itu. Dengan kepala tertunduk, Ezra pun menemui Okta dan berkata bahwa rencana mereka untuk menikah dibatalkan. Ezra tak masalah jika saat itu Okta memakinya atau memukulnya. Tapi Okta malah menangis dan sama sekali tidak menyalahkanya. Ezra merasa semakin bersalah. Ia sudah jadi laki-laki buruk hanya karena ibunya.
Kembali dari masa lalu, Ezra tak lagi menemukan Okta di sampingnya pagi ini. Melihat keseluruhan kamar, ia yakin dirinya masih ada di kamar Okta. Lalu kemana gadis itu pergi? Ezra duduk di ranjang dan menatap dirinya sendiri tak percaya. Apa semalam ia muntah hingga Okta harus membuka semua pakaiannya?
Ezra mengulanginya. Semua pakaianya tak lagi melekat di tubuhnya. Ezra mengingat dan jantungnya berdegup cepat. Ia sudah gila. Dia sudah melakukan sesuatu yang salah. Cepat-cepat Ezra memungut pakaiannya dari lantai. Ia harus bicara pada Okta.
Keluar dari kamarnya Okta, Ezra masih tak menemukan Okta. Hanya secarik kertas di meja dekat tv yang ia lihat. Diambilnya kertas itu dan ternyata itu adalah pesan dari Okta.
Aku akan pindah rumah besok. Jangan mencariku lagi, karena aku akan segera menikah dengan Alex.
Okta hanya menuliskan itu di sana. Gadis itu tak menyinggung apapun soal yang terjadi pada mereka semalam. Ezra terduduk di sofa. Laki-laki itu meremas rambutnya sendiri. Untuk kedua kalinya ia menjadi laki-laki brengsek bagi Okta.
“Maaf, Okta. Maaf...” Ezra berucap lirih. Ia tak bisa menahan rasa bersalahnya hingga akhirnya semua rasa itu ia tumpahkan dalam bentuk air mata. Untuk kedua kalinya dalam hidup, Ezra menangis karena orang yang sama.
2 bulan kemudian, Okta yang baru saja keluar dari toko buku langsung dicegat oleh beberapa pria tak dikenal. Mereka meminta Okta untuk ikut mobil mereka dan bertemu Anita. Tak punya prasangka buruk, Okta ikut mobil mereka.
Duduk di bangku belakang bersama salah satu dari ketiga orang itu, Okta tiba-tiba saja merasa tangannya di tusuk. Dan beberapa menit kemudian, ia merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur.
Saat Okta kembali bangun, hari sudah pagi. Hal itu ia tahu saat tirai di kamar yang ia gunakan disibak oleh seseorang. Okta bangun dan mendapati wajah tersenyum Anita. Okta melihat sekeliling dan ia yakin ini bukan rumah Anita.
“Hai, sayang....” Anita duduk di samping Okta lalu memeluk gadis itu. Ia sangat merindukan Okta.
“Anita, dimana kita?” tanya Okta mulai khawatir. Tak hanya wajah Anita yang berbeda, cara gadis itu menatapnya juga agak aneh.
“Kita? Di rumah. Rumah kita.” Anita berdiri dan tersenyum lebar pada Okta.
Berbulan-bulan ia menyiapkan semua ini. Membeli sebuah rumah yang jauh dari jangkauan Ezra dan Alex, juga ayahnya. Ia mengatur semuanya hingga tak ada yang bisa menemukan mereka. Anita sudah cukup sabar membiarkan Ezra dan Alex dekat-dekat dengan Okta. Dan sekarang, gadis itu hanya akan jadi miliknya. Selamanya.
“A-apa maksudmu?” tanya Okta yang masih kebingungan akan ucapan panjang lebar Anita.
“Aku tahu suamiku jatuh cinta padamu. Dan kau perlu tahu, bukan aku temamu semasa kuliah, tapi Ezra. Kalian yang sekelas, sementara aku hanya orang asing. Ezra cinta padamu.”
Okta terperangah. Tak ia sangka Anita tahu semua itu. “Ja-jadi kau mau membalasku dengan menculikku seperti ini?”
“Menculik? Tidak begitu. Aku tak mungkin berani menyakitimu.” Secepat kilat wajah sumringah Anita berubah menjadi wajah panic. Ia tak mau Okta takut padanya.
“Lalu kenapa kau membawaku ke sini?”
Anita merasa inilah waktunya. Ia sudah tak sanggup menyembunyikan rasanya pada Okta. Sudah cukup ia menyembunyikanya selama ini. “Aku tak perduli masa lalumu dengan Ezra. Aku juga tak mau tahu hubunganmu dengan Alex. Aku hanya ingin seperti ini. Bersamamu, tinggal denganmu, selalu menjagamu, selamanya. Hidup kita akan jauh lebih baik tanpa laki-laki, Okta. Percaya padaku.”
Okta menegang di tempatnya duduk. Meski tak terang-terangan mengaku, tapi apa yang Anita katakan tadu sudah bisa ia pahami. Anita tak sama sepertinya. Wanita itu pasti berbeda dari yang biasanya.
“Tidak, Anita. Tidak boleh begini. Ini salah.” Okta menggeleng dan beranjak dari kasur. Ini salah. Ia tak mau berada di sini.
Okta berjalan cepat menuju pintu dan hampir saja ia berhasil memegang gagang pintu itu, sampai akhirnya Anita menarik lengannya dan mendorongnya menjauh. Tak mau menyerah, Okta melakukannya lagi. Tapi kali ini ia bukan hanya terdorong ke belakang tapi jatuh di lantai.
Okta panic. Ia memegangi perutnya dan berdiri dengan pelan. Ia tak mau melakukan itu lagi. Berbahaya. Ia pun mundur dan kembali duduk di ranjang. Biarkan saja untuk sekarang ini Anita menganggapnya tak melawan. Setelah ini Okta harus mencari acara agar bisa kabur.
Melihat Okta yang sudah tenang, Anita pun meninggalkan ruangan itu. Tak lupa ia mengunci pintu dari luar, agar Okta tak bisa kabur.
Alex yang sudah menunggu sejak 30 menit lalu di depan toko tempat Okta bekerja akhirnya masuk ke dalam. Bertanya Okta dimana, ia mendapat berita bahwa Okta tidak masuk hari ini.
Sambil keluar dari toko, Alex menghubungi ponsel Okta. Aneh, ponsel gadis itu tak aktif. Langsung saja ia pergi ke rumah Okta. Tapi sampai di sana pun ia tak menemukan Okta. Harusnya, jika tidak menungguinya, Okta sudah sampai di rumahnya.
Alex kembali mengutak-atik ponselnya. Ia menghubungi Ezra dan sama sepertinya, Ezra juga tak tahu di mana Okta. Perlahan tapi pasti, Alex mulai panik. Okta hanya mengenali Ezra dan Anita. Jika tidak bersama dua orang itu, lantas kemana gadis itu sekarang? Ini sudah larut malam. Dan yang membuat Alex semakin gelisah adalah, ia tak tahu harus mencari Okta ke mana.
Sementara itu, kepanikan yang sama terjadi pada Ezra. Terakhir ia bertemu Okta adalah 2 tahun lalu. Semenjak itu Ezra benar-benar tak berusaha mendekati Okta lagi karena tak ingin gadis itu semakin menderita. Melupakan semua pekerjaan yang menumpuk, Ezra langsung meninggalkan kantor.
Dalam perjalanannya menuju rumah Okta, Ezra menghubungi Anita. Tapi sayang, nomor istrinya itu tak aktif. Ezra pun menghubungi Alex lagi. Ia memaksa Alex untuk memberitahunya alamat Okta yang baru. Setelah mendapat alamat itu, Ezra melempar ponselnya ke kursi penumpang yang ada di sebelahnya, kemudian menginjak gas sedalam yang ia bisa.
Saat Ezra sampai di rumah Okta, ia menemukan Alex di sana. Laki-laki itu sama gusarnya dengan dirinya.
“Kemana Okta?” tanya Ezra
“Jika aku tahu, aku tak sudih bertanya padamu,” balas Alex tak bersahabat.
Tak lama saling bertukar argumen, mereka pun akhirnya memutuskan membuat laporan orang hilang di kantor polisi.
.
Dua hari berlalu. Pagi ini, Okta masih harus terkunci di ruangan kamar itu. Ia tak menemukan satu jalan keluar pun. Kamar tempatnya di sekap berada di lantai 2, tak mungkin ia melompat.
“Saatnya kita sarapan.” Suara Anita yang masuk dengan nampan berisi makanan membuat Okta memasang sikap siaga. Anita pun duduk di pinggir temat tidur. “Harusnya, kita bisa sarapan di ruang makan. Tapi karena aku tak ingin kau kabur, terpaksa kita harus makan di sini.” Anita mengangkat tangannya yang memegang sendok penuh makanan. “Nah,” katanya menyuruh Okta membuka mulut.
“Anita, apa yang kau inginkan?” tanya Okta
“Apa semuanya belum jelas? Kau. Aku ingin kita hidup bersama. Apa kau tak suka?” Anita menjauhkan tangannya dari Okta.
“Itu tak benar, Anita. Kau tahu itu salah.” Okta berusaha membujuk Anita. Meski sebelumnya mereka tak saling kenal, tapi Okta sudah menganggap Anita sebagai temannya. Dan tugas seorang temanlah untuk mengingatkan.
“Apa yang salah, Okta?” Anita menjatuhkan sendok tadi ke lantai, lalu berdiri. “Aku mencintaimu! Apa itu salah? Seseorang yang mencintai itu salah?!” Wajah Anita memerah karena berteriak.
Okta berdiri. Ia langsung memeluk Anita. Perasaan Okta benar-benar campur aduk sekarang. Ia ingin kabur dari tempat itu, ia merasa kasihan pada Anita, tapi juga tak mau menuruti permintaan temannya itu. “Anita, jangan begini,” lirih Okta.
Anita melunak. “Cukup tinggal bersama denganku, Okta. Aku tahu aku ini sangat menjijikan dimatamu. Hanya tinggal bersamaku, aku tak akan melakukan apapun selain itu.” Anita berucap sungguh. Ia sangat berharap Okta mau mengabulkan permintaannya itu, tapi yang ia dapatkan malah tangisan Okta.
“Ini tidak benar. Aku tidak jijik padamu, tapi kau salah. Kau bisa mengubah dirimu Anita. Aku berjanji, ak-“
PLAK
Satu tamparan dari Anita membuat Okta tak bisa melanjutkan ucapannya.
“Aku bilang aku mencintaimu, dan kau malah bilang aku salah dan harus berubah? Kalian semua memang sama saja!” Anita pun meninggalkan kamar itu dan menguncinya lagi.
Sejak kejadian itu, Anita tak pernah lagi mengunjungi Okta. Sarapan, makan siang dan juga makan malam Okta diantar oleh salah satu anak buah Anita. Dan itu sudah berlangsung selama 3 hari. Kali ini Okta melakukan perlawanan. Ia tak mau makan dan berharap tak akan ada akibat yang buruk dari perbuatannya ini.
Tiga hari yang sangat berat bagi Alex dan juga Ezra. Tak satupun usaha mereka untuk menemukan Okta membuahkan hasil. Seperti hari ini, Ezra kembali pulang ke rumahnya dengan wajah lesu.
“Kau mau makan Ezra?” tanya Anita seperti biasa.
Ezra menatap wajah cantik Anita. Malam ini istrinya itu ia temui sedang duduk di sofa. Tiba-tiba saja ia merasa penasaran. Bukankah selama ini Anita menganggap Okta teman? Lantas mengapa istrinya itu biasa saja saat Okta menghilang begini. Dengan cepat otak Ezra memutar beberapa kejadian yang aneh. Mulai dari jarangnya ia menemukan Anita di rumah, wajah santai wanita itu dan semenjak Okta menghilang, Anita tak pernah bertanya soal perkembangan yang tim kepolisian punya.
“Menurutmu, kemana Okta pergi?” Ezra bertanya
“Okta? Mungkin saja ia pergi ke rumah kerabatnya. Ia kan punya satu tante yang tinggal di Filipina.” Anita berucap sambil membalik majalah di tangannya.
Ezra terkejut. Kecurigaannya benar. Ada yang salah dibalik menghilangnya Okta.
“Kalau kau tidak mau makan, aku tidur duluan, ya.” Anita bangkit dari duduknya dan melenggang menuju kamar.
Ezra langsung mengeluarkan ponselnya dan menyuruh orang kepercayaan untuk mengikuti Anita mulai besok. Ezra memang menceritakan beberapa hal tentang Okta pada Anita, tapi tidak mengenai kerabat Okta. Lantas darimana Anita tahu Okta punya tante di Filipina? Tak mungkin Okta yang memberitahunya, Okta tak ingat apapun. Dan kalaupun yang memberitahu Anita adalah Okta, kapan dan dimana?
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14