...
Suasana duka terasa jelas di kediaman orangtuanya Anita. Ruang tamu rumah itu penuh dengan para pelayat dan sanak keluarga. Sebagian dari mereka bahkan masih menangisi ibu Anita. Okta segera mengedarkan pandangannya dan ia tak menemukan Anita di sana. Kebingunganya soal dimana Anita pun terjawab saat Ezra menyuruhnya naik ke lantai 2. Anita ada di kamar ibunya. Tak mau membuang waktu Okta pun menuju kamar itu.
Sampai di kamar yang Ezra maksud, dengan ragu Okta mengetuk pintunya. Tak mendengar sahutan dari dalam, Okta berinisiatif masuk, karena pintu ruangan itu juga tak terkunci. Anita memang ada di sana. Gadis itu tak menjawab panggilan Okta karena sedang tidur.
Dengan pelan, Okta naik ke kasur yang Anita tempati. Hatinya iba melihat bekas air mata di wajah Anita. Mengikuti instingnya, Okta ikut berbaring. Ia memposisikan dirinya di belakang Anita dan memeluk gadis itu dengan erat. Pelukan dari teman biasanya cukup ampuh.
“Jangan khawatir. Kau tak akan sendirian. Aku disini, Anita,” ucap Okta pelan.
Anita merasa aneh, Entah ia bermimpi apa, tapi ia merasa sangat tenang. Perlahan ia pun membuka matanya. Yang pertama gadis itu lihat adalah tangan yang melingkupinya. Seseorang memeluknya dari belakang. Tak perlu menoleh, Anita tahu siapa yang sedang mendekapnya sekarang. Ia hapal tangan kurus siapa itu.
Anita tersenyum. Ia menaruh tangannya di punggung tangan Okta. “Kau sudah datang? Maaf, liburanmu harus aku rusak,”sesalnya.
Okta membalik tubuh Anita dengan paksa, agar mereka bisa bertatapan. “Kau tak menganggapku teman, ya? Apa kau pikir liburan itu lebih penting daripada menemanimu disaat seperti ini?”
Anita tersenyun lagi. Kali ini lebih lebar. Ia lupa bahwa harus berlakon sebaliknya. “Terima kasih, Okta. Terima kasih,” ujar Anita.
“Tidak masalah. Jangan terlalu bersedih. Tempat paling baik untuk ibumu pasti sudah disediakan.” Okta mengucapkan kalimat penghiburan.
Anita tersenyum simpul. Ya., Okta benar. Tempat paling baik untuk wanita tua itu memang bukan di sini. Bukan di sekitarnya.
Selepas acara penguburan ibunya, Anita langsung meminta pulang ke rumah. Mungkin ia lelah menangis. Ezra menurutinya.
Saat sudah sampai di rumah, Anita segera menuju kamarnya. Katanya mau tidur sebentar. Sampai di kamarnya, Anita menutup pintu lalu menguncinya. Berjalan menuju tempat tidur, ia tersenyum lebar. Sangat lega dan juga senang. Ranjangnya kemudian berdecit ketika Anita melempar tubuhnya kesana. Matanya memancarkan kebencian dan senyum di bibirnya semakin lebar.
“Harusnya kau pergi sejak dulu,” katanya pada langit-langit kamarnya. Setelahnya, Anita tidur dengan tenang.
..
Sore harinya saat Anita terbangun, ia sudah menemukan Okta di kamarnya. Okta datang untuk membangunkannya.
“Kau butuh sesuatu?” tanya Okta
Anita diam. Otaknya tiba-tiba jadi secerdas Ezra. Gadis itu menatap Okta penuh permohonan, sembari menepuk sisi tempat tidurnya yang kosong. Ia ingin Okta mengulang apa yang gadis itu lakukan kemarin, saat dirumah orangtuanya.
Okta mengerti. Ia menyusul Anita berbaring di tempat tidur dan memeluk temannya itu dari belakang. Gadis itu kemudian berucap, “Matamu bengkak, kau jadi jelek.”
“Aku tidak menangis. Ini bekas kemarin.” Anita tersenyum. “Nanti saja kita makan, ya. Aku mau tidur sebentar lagi. Jangan pergi dulu.” Anita memejamkan matanya. Tidurnya tadi sudah sangat tenang, tapi sepertinya tidur seperti ini akan lebih damai. Senyuman wanita ini kembali terbit ketika Okta mengabulkan permintaannya. Anita merasa ini pertama kalinya sang ibu memberikan hal baik padanya.
Awalnya, niat Okta hanya ingin menemani Anita tidur. Tapi yang terjadi, ia juga ikut tidur. Sampai 2 jam kemudian, saat Anita sudah bangun, Okta malah belum bangun. Tak tega membangunkan, Anita pun membiarkan Okta tidur. Merasa lapar, Anita pergi ke dapur untuk mengisi perut.
Sudah pukul 9 malam, saat Ezra memutuskan keluar dari ruang kerjanya. Ia mengantuk dan ingin segera tenggelam dalam kasur. Tanpa memperhatikan sekitar, laki-laki itu menerjang ranjang. Ia menarik selimut yang dipakai gadis di sampingnya dan menutupi seluruh tubuhnya.
Di luar kamar, Anita yang mengisi perut dengan membabi buta memilih berkunjung ke ruang tamu. Anita tiba-tiba saja ingin menonton.
Satu jam berlalu. Ezra merasa terusik dalam tidur lelapnya. Gadis di sebelahnya tiba-tiba saja memeluknya dari belakang. Tidak ingin diganggu, Ezra membiarkan. Anita memang sering demikian.
Dua menit berlalu, Ezra mulai terganggu. Pasalnya gadis itu malah menempelkan dahinya pada punggung Ezra.
“Anita, jauhkan tanganmu. Aku mau tidur,” kata Ezra dengan mata yang masih terpejam.
Tak ada perubahan. Tangan gadis itu masih melingkari tubuhnya. Ezra berang. Ia menghempaskan tangan tadi dari dirinya, berbalik dan siap membentak. Tapi teriakannya tertahan di kerongkongan, dan ia terkejut.
Menyadari siapa gadis yang tidur meringkuk itu, Ezra langsung menegakkan tubuh. Menoleh pada dinding putih di sana, ia yakin tak salah masuk kamar. Lalu mengapa ada Okta di ranjangnya?
“Okta…,” panggil laki-laki itu pelan.
Okta bergerak. Ia kedinginan dan mencari selimut. Tak butuh waktu lama, gadis itu segera merasakan hangat. Itu ulah Ezra yang memakaikan selimut sekaligus mendekapnya. Jangan salahkah Ezra. Terkadang, perasaan yang begitu besar bisa membuatmu melakukan sesuatu yang kau sendiri tahu itu salah.
“Aku senang bisa menemukanmu. Tapi aku juga takut.” Ezra menyentuh dahi Okta dengan telunjuknya, lalu tersenyum. “Sampai ka-“
Bibir Ezra berhenti berucap. Pergerakan Okta yang tiba-tiba membuat dahi gadis itu tak sengaja bersentuhan dengan mulut Ezra. Sungguh, nakal.
Ezra menjauhkan wajahnya. Lagi-lagi pria itu tersenyum. “Selamat tidur. Kupastikan tak ada mimpi buruk yang mendatangimu.”
..
Hari terus berganti. Tak terasa sudah hampir setengah tahun Okta tinggal bersama Anita dan Ezra. Sampai kemarin semua baik-baik saja. Pertemanan Okta, Ezra dan Anita semakin dekat. Dan disinilah letak masalah utama.
Siapapun akan heran, mengapa sepasang suami istri mau tinggal bersama teman mereka yang masih berstatus single dan hilang ingatan pula. Dan keheranan itu berubah menjadi asumsi bagi beberapa orang. Salah satunya adalah para asisten rumah tangga di rumah Anita dan Ezra.
Sejak Okta datang dan diperlakukan amat sangat baik oleh tuan mereka, para asisten rumah tangga itu sudah menaruh curiga. Belum lagi paras Okta yang sempurna. Siapapun bisa beropini yang tidak-tidak. Selama ini mereka hanya saling bertukar berita pada sesama pekerja. Tapi pagi ini, gosip itu sampai ke telinga Anita.
“Apa nyonya yakin, tuan nggak ada rasa sama nyonya Okta? Teman nyonya itu cantik loh.”
Adalah Bi Ratmi yang bicara seperti itu pada Anita. Tadi pagi, sebelum wanita berusia 46 tahun itu menyiapkan sarapan. Anita yang mendengar itu mendadak panas. Sejak dulu ia tak suka apa yang sudah ia sukai direbut oleh orang lain.
Terpancing hasutan bi Ratmi, Anita pun mulai memperhatikan gerak-gerak suaminya. Dua hari melakukan investigasi diam-diam, Anita membenarkan apa yang bi Ratmi asumsikan. Ada yang berbeda dari cara Ezra memperlakukan Okta.
Laki-laki itu menyembunyikan sesuatu. Kalau tidak, mengapa Ezra tak mau jujur pada Okta sejak awal? Dan pertemanan yang Ezra sebut-sebut selama ini, antara dirinya dan Okta, sepertinya lebih dari itu. Jika tidak, mengapa Ezra selalu bersikap berbeda pada Okta. Contohnya saja, suaminya itu lebih sering tersenyum semenjak Oka ada bersama mereka. Ezra juga sudah tidak terlalu pemarah lagi. Dan diatas semua itu, cara Ezra menatap Okta. Ada yang berbada. Anita tahu arti tatapan itu, karena ia juga pernah melakukannya.
Dengan berapi-api dan tak pikir panjang, Anita menyusul Ezra ke kamar mereka. Menutup pintu dengan lumayan keras, ia menatap suaminya tajam.
Merasa ditatap seseorang, Ezra membalik badan dan bingung atas ekspresi yang Anita berikan.
“Kau dan Okta hanya teman?”
Ezra diam.
“Kau menyukai Okta?”
Ezra masih diam. Rasa bingungnya sudah terjawab dan ia memasang wajah datarnya.
“Kau mencintai Okta?”
Anita terbelalak. Ezra masih diam, tapi sebuah seringai terpampang jelas di wajah pria itu. Tak hanya itu, Ezra memancarkan sinar yang aneh dari matanya. Keyakinan.
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14