Sebulan libur telah berlalu. Mahasiswa berdatangan untuk mengurus administrasi perkuliahan semester genap. Beberapa di antara mereka ada yang baru pergi ke bank untuk menutup SPP. Beberapa sudah bisa duduk santai sambil berbagi cerita karena lama tidak berjumpa.
Riuh datang bersama Amina. Sepertinya, tidak lama lagi mereka akan menikah. Riuh sering datang ke rumah Amina pada hari libur. Ia bahkan sangat berani berbicara dengan ayahnya Amina. Waktu itu, Riuh banyak dicecar pertanyaan. Ia menjawab dengan cepat. Seperti dibuat tidak betah, Ia langsung berkomentar, “Boleh kah saya menikahi anak ayah?”. Aminah yang menguping pembicaraan mereka di luar jendela, tertawa geli. Ayah Amina pun terpaku dengan jebakannya sendiri.
Ajar, ia datang dengan sepeda. Amina menunggunya di lorong arah ke belakang kampus. Ajar kemudian berhenti. Amina menutup jalannya dan tidak berbicara.
“Hei amina, janganlah tutup jalanku...” Ajar tersenyum setengah tertawa.
Jelas Amina terkejut. Obat apa yang telah diberikan Alya kepadanya sampai sakit jiwanya sembuh. Wajah Amina melongo dan mulai memberi jalan. Ajar lewat dan Amina mengikut di belakangnya.
“Hei Jar, aku tak salah liat? Kau biasanya sangat diam.” Amina bertanya serius.
“Apakah kau sudah mendaftar ulang?” Ajar memotong pembicaraan.
“Sudah.” Amina menjawab tertegun
“Aku belum. Apakah antriannya sudah panjang?” tuturnya sambil menepuk abu jalanan yang tersangkut di celananya.
“Cepatlah kau pergi, mungkin sebentar lagi akan panjang.”
Ajar mengambil tasnya di keranjang depan dan bergegas pergi. sedang Amina masih di sana dan memperhatikan sepedanya. Tidak adalagi dua keranjang sampah. Pedal dan alat kayuhan itu pun tampak baru. Tampak lebih menjanjikan. Lalu, Amina memutar arah dan ingin meninggalkan tempat itu. Seperti Ajar yang sedang di sana sebulan yang lalu. Amina melihat tulisan Alya yang terpampang besar di pagar beton belakang. Tulisan itu ditulis dengan arang. Lalu di bawahnya ada bentuk tulisan yang berbeda. “Kau adalah cut dan aku bukan teuku.” “Sesuatu telah terjadi.” Besitnya dalam hati. Kemudian, tulisan di dinding pagar itu difoto Amina.
Setelah zuhur, Amina dan Riuh menunggu Ajar di tangga mushalla. Cerita singkat tentang pertemuan Amina dengan Ajar tadi pagi diceritakan kepada Riuh. Riuh setengah percaya. Tak lama kemudian Ajar keluar dari dalam mushalla. “Bagaimana kalau kita duduk di luar sebentar, minum kopi mungkin?” Riuh mengajaknya. “Kenapa tidak.” Ajar tersenyum tenang. Lantas Riuh memukul-mukul bahunya sambil tertawa girang. “Ku kira, Amina tadi membohongiku.”
Sesampainya di warung kopi, Amina dan Riuh menanyakan semuanya. Ceritanya dan Alya dari awal sampai akhir. Butuh waktu hingga tiga jam untuk menjelaskan semuanya. Itu pun tidak utuh. Amina dan Riuh mendengarkannya dengan baik tan takjub.
“Lalu, sepeda kau tampak baru. Kau tidak menaruh keranjang sampah di bangku belakang. Itu juga termasuk hal yang berbeda dari kau hari ini, kenapa?”
“Aku hanya mengganti alat kayuh yang dibelikan Alya. Dua keranjang itu tidak ada karena aku tidak meloper koran lagi. Kalian tau gudang penampungan pinang di tikungan sana,?” –amina dan riuh mengangguk- “Aku sudah bekerja di sana sebagai akuntan.”
“Wah, hebat kau, gam.!” Riuh takjub.
“Kau pasti kangen dengan dia, kan? Tak jumpa dia, alat dayungnya pun jadi.” Amina tertawa.
“Ada benarnya juga. Kalau dia pulang, aku tentu akan mengganti alat kayuh itu dengan yang lama.”
“Kenapa?”
“Supaya waktu dia duduk di belakang, dia bisa mendengar bunyi denyitan dan hentakan itu lagi.”
Riuh tertawa, Ajar pun demikian. Sedang Amina melihat keduanya.
“Kejam lah kau Jar, tega kau tak menjawab pertanyaannya yang banyak itu. Kau malah memperdengarkan suara denyitan itu.”
“Ya benar, aku sekarang pun berpikir demikian. Itu memang kejam. Tapi, aku yang waktu itu, cuma ingin memperdengarkan suara itu kepadanya sebagai sebuah pesan.”
“Apa itu?” Mereka mulai memusatkan perhatiannya.
“Bunyi denyitan itu, ciieeeet, lalu aku harus menarik kayuhanku ke sedikit belakang supaya rantainya tidak jatuh. Kemudian kayuhan itu harus kudayung ke depan lagi, tapi kayuhan itu sedikit loss sepersekian detik dan memunculkan suara hentakan “takkk.” Waktu itu, ku harap ia tau, bahwa suara denyitan sepeda ini sedang mewakilkanku untuk menjawab semua pertanyaannya.”
“Ku kira kau sudah sembuh total jar.” Riuh mencandai dan ajar tertawa.
“Coba kau bayangkan baik-baik. Suara denyitan dan hentakan itu hampir sama dengan kata cinta.”
“Bagaimana bisa.” Mereka heran dan mulai tertawa.
“Cieeeettt takkk, = Cinta.” Ajar menjelaskan sambil menuliskannya di selembar tisu. Lantas tawa mereka pun pecah.
“Ya, bagaimana mungkin dia boleh mengerti tentang itu. Aku pun bodoh sekali. Kenapa sampai berpikir demikian.”
Ajar tertawa. Ia tampak riang. Kemudan Amina dengan sekejab mengambil ponselnya dan mem-foto Ajar dengan ekspresi itu, tanpa diketahui. Lalu Amina meng-upload gambar tulisan di pagar itu dan wajah ajar yang tertawa sekarang ke media sosial. Ia menulis status di atas gambarnya, “suara denyitan dan kayuhan. Cieeeett.... takkk = Cinta. :D. Kawanku ini tertawa lepas menceritakannya.”
Tak lama kemudian, satu pemberitahuan masuk. Alya menjadi orang pertama yang menyukai status itu. Amina tersenyum, “Berarti pesan ini sampai.”
“Jar, kenapa kau tak membeli ponsel saja? kau pasti akan membutuhkannya.”
“Ya, ku rasa aku mulai membutuhkannya sekarang.” Ia menggaruk keningnya dan tertawa lagi.