“Ayah, berhenti.!! Alya memekik di dalam mobil. Sementara Pak Danish tidak menghiraukannya dan menambah kecepatan kendaraannya. Ibu Alya mulai bingung karena Alya tak berhenti memekik di belakang. “Berhentilah bang, kau tak kasian melihat anak kau. Ini hari terakhirnya di sini. Kasikanlah kesempatan untuk anakmu berjumpa dengan kawannya.” Ibu Alya mencoba memberi masukan. Sementara Alya tetap menangis di belakang, seperti orang histeris. Beberapa kali ia melihat ke belakang. Melihat Ajar yang mulai jauh.
Kaki Ajar tidak bisa lagi mengayuh lebih cepat daripada itu. Ia semakin panik karena mobil itu semakin menjauh. Dan tiba-tiba, kakinya keram. Dari rumah ia sudah memacu cepat sepedanya dan sekarang batasnya sudah sampai. Kakinya yang keram mengacaukan ritme dayungan dan akhirnya... Brakk !!! Ajar tersungkur jatuh.
Alya benar-benar melihat Ajar jatuh. Lantas ia membuka pintu mobilnya. “Kalau ayah tidak berhenti sekarang juga, alya lompat ke luar.” Alya mulai nekat. Sontak Pak Danish terkejut dan memarahinya. Alya mulai mengeluarkan kakinya dan...
Mobil itu pun berhenti. Pak Danish benar-benar tau bahwa Alya pasti akan benar-benar melompat jika mobilnya tidak berhenti.
Alya, ia mengambil sebuah pulpen dan langsung berlari secepat mungkin ke arah ajar yang terjatuh dari sepedanya. Tangan kanan dan kirinya mengangkat ujung bawah gamisnya sedikit ke atas agar itu tidak memperlambat. Ia tau bahwa dalam sekejab, ayahnya akan datang dan menariknya masuk ke dalam mobil lagi.
Ajar, ia menyeret sepeda dan dirinya ke pinggir. Ia bahkan tidak bisa berdiri. Sikunya lecet dan hidungnya berdarah karena menghantam setang sepeda. Ajar melihat Alya berlari dan tertawa sambil mengelengkan kepalanya. Alya pun demikian, berlari dan menangis sambil tertawa.
“Kau memang mirip ayahmu.” Ajar tersenyum.
“Kau tentu tak akan mengejarku seperti ini jika tidak ada sesuatu. Berikan tanganmu!” Alya, sambil menoleh ke belakang dan melihat mobil ayahnya mulai mundur.
“Berikan tanganmu!” Alya meraih tangan Ajar dan menuliskan nomor ponselnya dengan cepat. Dan mobil itu sudah tepat berada di belakang mereka.
“Tuliskan nomer mu. Cepat !!” Alya memberikan pulpen itu kepadanya.
Ia lantas bergegas meraih tangan Alya dan menuliskannya. Sementara Alya sudah panik sambil melihat ayahnya yang sudah turun dari mobil dan mulai menghampiri mereka.
“Sudah !” Ajar melepas tangannya.
Alya lantas berlari dan masuk ke mobil sebelum ayahnya datang untuk menarik tangannya.
“Kau memang sudah meracuni anakku.” Itu bentakan terakhir. Mungkin jika kondisi Ajar tidak seburuk itu, ia pasti akan di hajar lagi. minimal ditampar.
Pak Danish menghampiri Alya dan menuju pintu di mana Alya duduk. Ia melakukan sesuatu kepadanya di dalam mobil. Ajar tidak bisa melihat apa yang dilakukan Pak Danish dari sana. Setelah selesai, ia menutup pintu dan melihat Ajar dengan ngeri. Namun, pelototan mata orang tua itu menjadi tidak menyeramkan lagi di mata Ajar. Mungkin karena setelah dipukuli hari itu.
Ketika mobil hendak berjalan. Kepala dan tangan Alya mendongak ke luar. “Tanganku diikat” tuturnya sambil memperlihatkan kedua tangannya yang terikat. Ia bahkan tertawa. Ajar yang melihatnya, juga tertawa. Dan hari itu menjadi hari terakhir mereka bertemu.
Dua jam perjalanan, mereka sudah sampai di bandara. Tentu ikatan tangan alya sudah di lepas. Pak Danish terus mengomel karena jadwal penerbangan Alya hampir terlambat. Mereka bergegas. Alya mohon izin. Wajahnya gemilang. Ia mencium tangan ibunya. Dan ketika Pak Danish memberikan tangannya untuk disalami, Alya langsung berlari menuju lapangan bandara.
“Hei...! salami dulu ayahmu.
Alya menggeleng sambil tertawa. Ia benar-benar tak mau menyalami ayahnya.
Alya menaiki pesawat dan tak lama kemudian meluncur terbang. Sepintas ia mengambil ponsel-nya dan menyetel flight mode agar ia tetap bisa mendengarkan musik dari ponselnya tanpa mengganggu sinyal di pesawat. Seraya melakukan itu, Ia juga ingin memasukkan nomor ponsel ajar ke ponselnya dengan segera. Jika tidak tulisan itu akan kabur. Alya mulai memperhatikan telapak tangannya.
Seketika ia tertawa pelan, juga menangis. Melihat telapak tangannya berkali-kali. Juga melihat gumpalan awan dari balik jendela pesawat. Alya bahkan tidak curiga sama sekali, kenapa Ajar bisa dengan cepat menulis 12 digit nomer di tengah kepanikan seperti itu. Ia baru sadar, waktu itu hanya dia yang panik sementara ajar tidak. Tulisannya dilukis bagus. “Wo ai ni.” Keputusan yang tepat untuk mengungkapkan cinta di waktu sesingkat itu. Hanya butuh 6 huruf untuk 3 kata.